Senja ini Kinan berdiri di sebuah cermin panjangnya. Ia melihat perawakannya sendiri yang sudah lengkap dengan dandanan sederhana namun manis. Rok batik A-line berwarna mix pastel di bawah lutut dan baju putih lengan panjang.
Kedua perpaduan itu membuat kulitnya tampak bersinar dan cantik. Namun Kinan tak menyadari hal itu.
Ia mengembuskan napas rendah dirinya. “Mau dandan secantik apa aku tetap nggak cantik,” batinnya bersedih.
Telinga Kinan kemudian mendengarkan suara panggilan dari luar kamar. Pertanda ia harus segera keluar dari dalam kamarnya. Sudah pasti Rita memanggilnya.
Selama ia berjalan menuju pintu, ia pun mendengar bunyi yang semakin mendekati rumahnya.
Brum brum
Ia pun membuka pintu dengan sedikit rasa heran. Mungkin mamanya sedang akan menerima tamu.
“Ma, aku pergi ya? Aku nggak mau ganggu mama kalau ada tamu. Malas juga ketemu tamu mama,” ucapnya pada Rita yang duduk di ruang TV.
Kinan berjalan menuju ke pintu samping perbatasan antara ruang TV dan garasi. Ia bersiap menggunakan sepatu sneakersnya sebelum memanaskan motor.
Setelah itu Rita juga terkesiap ketika ada bunyi pintu terketuk berkali-kali.
“Lho?!” kejutnya ketika melihat bayangan seorang pria di balik jendela. Ia pun segera membuka pintu rumahnya. “Alan?”
“Kinan ada, Tante?”
Rita membolak-balikkan kepalanya sendiri ke arah yang berbeda. “Katanya Kinan mau berangkat sendiri?!”
Alan tersenyum pahit. “Tadi mama yang suruh aku jemput Kinan sekalian, Tante.”
“Kinaaan?”
“Iya, Maaa! Bentar, baru mau manasin motor,” imbuh Kinan sembari berteriak kencang agar terdengar oleh mamanya yang ada di ruang berbeda.
“Haduh, anak itu pasti nggak dengar ada kamu di sini,” bisik Rita. Lalu ia menyusul Kinan yang sudah berada di garasi.
“Kinan? Kamu sudah dijemput Alan di depan tuh?”
NGEEENG!
“Eh!” jeritnya Kinan.
Saking kagetnya, Kinan menarik gas motornya terlalu semangat. Untung saja dia kontan reflek menarik tuas remnya.
“Aduh, Kinaaan! Hati-hati makanya.”
“Ya, maaf, Ma. Kinan kaget. Mmm … yang suara motor tadi, Ma?”
Rita mengangguk seiring memejamkan matanya. “Iya. Cepat sana.”
Kinan segera mematikan mesin motornya dan melangkah menuju tempat di mana Alan menunggu. Sesuai arahan mamanya tadi.
“Ehm, Mas?” panggiln Kinan dari belakang Alan.
Alan menoleh ke belakang langsung. Entah bagaimana matanya langsung bertemu dengan kedua mata Kinan.
Mata Kinan bagus juga.
Selama tiga detik itu juga mata Alan tidak berkedip.
Apa ini? Aku tidak boleh begini.
Alan sontak membuang muka setelah menyadari apa yang dipandang oleh matanya ini terlalu membutakan dirinya.
“Ayo cepat, udah ditunggu mama di rumah,” katanya sembari memakai helm full-face-nya.
Kinan kemudian mengekori Alan menuju motornya yang ia taruh di depan pagar rumah.
“Aduh!” keluh Kinan.
Alan yang sudah menyalakan motornya menoleh ke sumber suara wanita itu.
“Makanya kalau jalan pake mata!” cibir Alan pada Kinan setelah ia tersandung. Entah tersandung apa, Alan tak peduli.
Kinan kemudia berdiri di samping motor cowok itu. “Kalau jalan ya pake kaki, lah! Masa jalan pake mata,” cercanya balik.
Alan tidak menjawab. Kinan juga langsung naik motor itu.
Selang berapa lama, mereka pun tiba di rumah Vina.
Jangan berharap di jalan ada adegan Alan mengerem mendadak sehingga Kinan memeluknya ya! Karena sungguh mustahil untuk Alan membuat ide seperti itu.
Vina pun menyambut Kinan dan mempersilakannya untuk masuk.
Karena Alan baru saja pulang bekerja dari Jogja, ia pun langsung masuk ke kamar mandi.
Kinan membuntuti Vina menuju dapur.
“Lho? Kok ikut mama? Kamu tunggu saja di kamar Alan. Nanti jam 6 baru turun ke bawah buat makan malam. Papa juga belum datang, kok,” ucap Vina.
“Mbak tolong antar Kinan ke kamar Alan, ya?”
Mawar — ART di rumah Vina, mengantar Kinan ke lantai dua. Di mana letak kamar Alan berada.
Tunggu sebentar! Kok sudah disuruh masuk kamar Alan? Padahal kan mereka belum sah menikah!
“Mbak, aku beneran nunggu di sini?”
Mawar membalas. “Iya, nggak apa-apa, Mbak. Mas Alan biasanya di kamar tamu. Lebih bersih katanya.”
Kinan menganggukkan kepala paham. “Ohh, iya. Makasih ya, Mbak.”
“Saya tinggal ya, Mbak.”
Mawar kemudian menutup pintu kamar. Meninggalkan Kinan dalam ruangan dengan lampu temaram.
Kinan berdecak bingung. Ia pun melihat ke seluruh penjuru ruangan.
Perhatiannya tercuri oleh suatu benda yang sepertinya ia kenal. Bantal berbentuk bola dengan warna putih dan hitam yang terletak di pojok tempat tidur.
Kinan mendekati benda tersebut dan mengambilnya secara perlahan. “Ternyata masih disimpan sama dia,” ucapnya pelan.
KLIK!
Apa itu!? Kinan memelototkan kedua matanya. Ia merasa tegang karena mendengar pintu terbuka.
Kinan langsung membalikkan badannya menghadap pintu.
“Aaa!”
“Ssst!”
Alan kontan membungkam mulut Kinan dari depan dengan satu tangannya.
Bagaimana Kinan tidak kaget? Ia melihat Alan dengan tubuhnya yang hanya dibalut oleh handuk setengah badan saja.
“Jangan teriak lagi,” ucap Alan seiring melepaskan tangan itu dari wajah mungil Kinan.
Kinan mengangguk ragu. Terlalu gamang apabila harus memandang badan yang masih tak halal baginya itu.
“Apa itu?” Alan menunjuk sesuatu yang dibawa Kinan di tangan belakangnya.
“Mmm ….” Kinan tak menjawab.
Alan langsung menyambar bantal bola tadi. “Oh, ini. Aku hampir lupa kalau punya bantal ini.”
Astaga! Sakit hati Kinan mendengar itu!
“Lupa?”
“Iya, lupa. Kado dari kamu jaman SMA, kan!?” Alan menjawab dengan agak bernada sombong.
Kinan tersenyum miris. “Kata Mbak Mawar, kamu sukanya di kamar tamu? Kok masuk sini?”
Alan melempar bantal itu kembali ke ranjangnya. “Mau ambil baju doang.”
Ia pun membuka lemari pakaian dan mengambil kaus abu-abunyan dan hendak keluar dari kamar.
Namun sedetik sebelum membuka pintu, ia berhenti.
Tak tahu apa yang terlintas di benaknya, Alan langsung berjalan cepat dan berhenti di depan Kinan dengan gagahnya.
Alan memandangi kedua mata cokelat Kinan yang sedari tadi mencuri atensinya. Wajah polos Kinan yang memandangnya balik sungguh membuat Alan ingin menciumnya.
Kedua wajah mereka sudah lekat. Hingga Kinan memejamkan mata. Merasakan kedua napas deru mereka saling bertemu.
Jemari-jemari Kinan sudah berkeringat dingin ketika merasakan kulit wajah Alan yang semakin mendekati wajahnya.
DEG! DEG! DEG!
“Mmm,” lirih Kinan sembari menggigit bibirnya yang sedang gemetaran. Ia masih memejamkan matanya lekat-lekat.“Ngapain kamu?!”Alan seketika berkata seperti itu setelah melihat Kinan yang seperti es. Mematung dingin.“Ng-nggak, kok!”Kinan langsung salah tingkah dan mencoba merapi-rapikan bajunya. Meski tak ada yang salah dengan bajunya yang sudah ia pakai sejak tadi.KLIK!Siapa yang membuka pintu? Sedangkan Kinan dan Alan masih saling berhadapan. Apakah Vina?“Eh? Maaf maaf! Aku nggak tau kalau kalian berdua sedang ber … berpacaran.”Muncul ucapan dari seorang wanita. Langsung setelah pintu kamar terbuka.“Kita nggak ngapa-ngapain, Stev! A
Krik krik krikKeheningan ini membuat Kinan tak bisa menyembunyikan pikirannya. Sudah lebih dari pukul sepuluh malam. Ia masih tak bisa tidur. Mengingat ia sedang berada di sebuah ruangan asing baginya. Hanya ditemani oleh bunyi jangkrik nan kadang menyita ketertarikannya.Meski katanya kamar calon suaminya ini jarang ditempati, aromanya masih khas parfum Alan yang selalu bersliweran di hidungnya setiap kali mereka bertemu.Kinan sangat merapatkan kelopak matanya mencoba untuk melabuhi pulau kapuknya. Namun usaha itu tampak tak berarti.Aduh? Aku nggak bisa tidur nyenyak ini mah!Sampai ratusan domba pun ia hitung. Ia hanya bergerak ke sana ke mari tanpa adanya tanda-tanda terlelap.Tiba-tiba Kinan iseng. Ia mengambil ponsel miliknya yang ia letakkan di nakas. Di bawah lampu tidur.“Udah tidur?”Setelah me
Waktu sudah berganti petang dengan ngebutnya. Rasa cemas yang dialami Kinan dan Vina sudah berangsur turun.“Aku nggak apa-apa, Ma,” kata Alan tenang tetapi sembari melirik sinis pada Kinan. Seolah menyalahkan keaadaan ini semua karena Kinan.“Mas,” ucap Kinan dan hampir menyentuh tangan kiri Alan yang terluka.“Apa sih?! Nggak usah pegang-pegang,” bentak Alan. Meski ada mamanya di situ jugaSetelah melihat Alan memasuki kamarnya, Kinan menunjukkan wajah sedih.“Ma, Kinan pulang dulu,” pamitnya pada Vina.“Alan? Antar Kinan dulu?” ucap Vina saat Alan sudah hampir menutup pintu kamarnya.“Eh? Nggak, Ma. Kinan pulang pakai ojek online aja.”“Beneran kamu?”Kinan mengan
Hari yang ditunggu oleh kedua pasangan orang tua itu pun akhirnya tiba. Rencana matang ini tidak akan berjalan mulus kalau bukan karena wedding organizer yang membantu. Karena memang waktu persiapan yang terbilang singkat.Wanita yang masih memakai gaun bak putri kerajaan itu sedang melamun di samping es berbentuk angsa yang terpampang dekat pintu masuk gedung pernikahan ini. Ia berdiri di situ setelah menyalami semua tamu yang hendak pulang.“Kinan, ayo?” ajak Rita pada Kinan agar segera naik ke lantai dua. Di mana ada beberapa kamar khusus untuk keluarga.Kinan mengikuti mamanya untuk masuk ke dalam kamar keluarganya.“Malam ini kamu pindah ke kamar dengan Alan, ya?”“Lho? Kenapa, Ma?”Rita berdecak. “Kamu lupa sudah bersuami sekarang?”Kinan menggaruk kepalanya. “Oh, iya. Tapi tolon
Kinan membuka matanya lebar-lebar. Segera menilik ke dalam selimut. Ia sudah tak lagi memakai pakaian apapun.“Astaga! Semalam aku sama Mas Alan mmm main!?” Ia pun membatin. Lalu ia kembali mendekap selimut tebal tersebut. Tangan Alan juga masih memeluknya.Sepertinya ini akan menjadi kenangan manis untuk Kinan. Betapa lembutnya cara Alan memperlakukannya di ranjang.KRIIIIING“HAH!” Kinan tersentak oleh bunyi yang sangat memekakkan telinganya. Dirinya langsung duduk tegak di atas tempat tidur nan empuk itu.Mengingat kejadian tadi, Kinan meraba d*danya. Apakah selimut itu masih menutupi bagian tersebut dengan rapat?Kinan langsung menunduk. Memastikan dirinya sendiri. “Oh! Aku masih pakai baju,” ucapnya pelan.Setelah merasa te
“Oi!”Sebuah hentakan mengejutkan Kinan. Seseorang telah menepuk pundaknya dari belakang.“Astaga, Stevi!”Stevi tersenyum tidak jelas. Seolah menggoda temannya yang statusnya baru saja berubah menjadi istri orang.“Cie hari pertama jadi sepupuku,” goda Stevi. “Gimana malam pertamanya?”Alan langsung meletakkan kembali alat makannya mendengar sepupunya sudah keterlaluan.“Stev!” bentak Alan saat mereka sedang makan bersama di meja makan.Tadi Alan langsung menyusul keluar kamar sebab saat ia meraba sebelahnya, Kinan tak ada di situ.“Ya, iya! Aku diam,” ucap Stevi memelas. Dilihatnya Kinan sedang menund
Meski sudah berstatus sebagai pasangan sah, tak bisa dipungkiri bahwa perasaan mereka masih belum bisa menyatu.Hari demi hari telah terlewati. Suasana rumah baru itu masih sesunyi biasanya. Pasti akan terbilan sepi seterusnya apabila mereka berdua tidak ada perubahan yang signifikan.Menikah namun sama-sama saling dingin. Sepertinya Kinan juga sudah sedikit menyerah untuk mengambil hati Alan. Lantas mengapa mereka harus menikah kalau Alan memang tak berniat belajar mencintai pernikahan ini? Bahkan mereka sudah saling berjanji di hadapan Tuhan dan keluarga.Memang perjodohan ini terlihat salah. Namun ketika mengiyakan acara seperti ini sudah menjadi pilihan mereka sendiri. Lantas seharusnya sudah menjadi tanggung jawab mereka, kan?“Kinan?” panggil Alan setelah mengetuk pintu kamar istrinya.Setelah mendengar panggilan
Sepanjang hari Kinan merasa tak ada harapan. Semua keoptimisannya telah sirna.Setelah melihat-lihat furnitur, Kinan dan Alan duduk berdua di sebuah restoran Thailand. Di hadapan mereka sudah tertata panci rebus berisi kuah tomyam dan pemanggang. Serta beberapa sayuran dan daging-dagingan yang telah dibumbui.Aroma kuah itu semerbak. Meski begitu, Kinan seolah tak bernafsu untuk memakannya segera. Reaksinya sangat berbeda saat berada di rumah mertuanya kala itu. Ia sangat semangat untuk mengambil makan.“Bentar lagi mereka datang,” kata Alan. Namun tak mendapat respon dari Kinan.Diam seribu bahasa. Itu yang dilakukan Kinan setelah sampai di restoran ini.“Kamu kenapa diam aja?”Alan berusaha menghidupkan suasana yang memang sudah tampak mati ini semenjak mereka menikah.