“Mmm,” lirih Kinan sembari menggigit bibirnya yang sedang gemetaran. Ia masih memejamkan matanya lekat-lekat.
“Ngapain kamu?!”
Alan seketika berkata seperti itu setelah melihat Kinan yang seperti es. Mematung dingin.
“Ng-nggak, kok!”
Kinan langsung salah tingkah dan mencoba merapi-rapikan bajunya. Meski tak ada yang salah dengan bajunya yang sudah ia pakai sejak tadi.
KLIK!
Siapa yang membuka pintu? Sedangkan Kinan dan Alan masih saling berhadapan. Apakah Vina?
“Eh? Maaf maaf! Aku nggak tau kalau kalian berdua sedang ber … berpacaran.”
Muncul ucapan dari seorang wanita. Langsung setelah pintu kamar terbuka.
“Kita nggak ngapa-ngapain, Stev! Aku cuma ambil baju,” ucap Alan segera. Ia sambil melewati pintu kamarnya. Meninggalkan kedua wanita itu.
“Kok kamu ke sini, Stev?” Kinan bertanya pada sahabatnya itu yang seketika sudah muncul saja di rumah ini.
“Iya. Habisnya kemarin kamu bilang mau ke sini. Aku jadi pengen ketemu kamu, deh!”
“Emangnya boleh sama tante kamu?” ledek Kinan.
“Boleh, lah! Aku waktu kecil biasanya langsung tiba-tiba datang ke sini diantar sama papa aku,” balas Stevi.
Kinan dan Stevi adalah sahabat sejak SMP. Kinan juga tahu sejak lama bahwa Stevi adalah sepupu Alan. Namun bagaimana lagi? Dirinya dan Stevi sudah sangat cocok dan dekat.
Mungkin itulah yang membuat Kinan tidak bisa melupakan Alan meski sekeras apapun ia mencoba. Stevi kerap kali menyinggung cerita mengenai Alan setiap ia bertemu dengan Kinan.
“Cie kadonya masih disimpan sama Mas Alan di kamar nih,” ejek Stevi sembari wajahnya menunjuk ke arah bantal bola kecil yang berada di ranjang.
Kinan memasang wajah datarnya. “Hmm iyaa. Kamu udah cerita berkali-kali kalau itu mah.”
“Jelas lah! Kurang senang apa lagi, sih, aku?! Sahabatku jadi istrinya sepupuku! Nanti aku bisa dengan bebasnya gangguin kalian dan keponakanku nanti,” ucap Stevi dengan bahagia.
“Hadehhh,” lirih Kinan seiring memutar bola matanya ke atas.
Stevi menarik tangan Kinan. “Yuk ke bawah aja! Om udah dateng katanya.”
Lantas mereka berdua selangkah menuju ruang makan.
Kinan mengambil kursi yang berada di depan Vina.
“Alan kok nggak ikut turun, Nan?” Vina kemudian bertanya seiring mengambilkan nasi untuk suaminya.
“Oh iya, Ma. Tadi Mas Alan barusan keluar dari kamar mandi.”
“Nggak, Tante. Tadi mereka habis pacaran,” cetus Stevi.
Dasar Stevi! Bisa-bisanya ngejekin aku mulu.
“Oh, ya? Bagus dong! Biar sering-sering pacaran, biar nanti habis nikah jadi cepet punya anak!” tawa Vina sebelum menyendok makan malamnya.
Masakan padang ala-ala yang disiapkan Vina sangat menggoda hidung Kinan. Bumbu rempah yang membaluri daging sapi itu sangat kental. Sebenarnya ia ingin segera mengambil dan melahap hidangan itu tetapi sebisa mungkin ia menahan nafsunya. Ia harus menunggu sang pemilik rumah mengambil terlebih dahulu.
“Ayo ambil,” suruh Bisma—suami Vina.
Akhirnya waktu yang ditunggu telah tiba!
Kinan langsung saja menyusul Stevi mengambil piring.
“Keliatannya enak, Ma,” kata Kinan sembari memberi senyuman lepas. Saking bahagianya menyapa masakan yang sejak tadi mencuri indera penciumannya.
Tap tap tap
“Nah, kan! Besok kalau udah satu rumah sama aku …. Pasti Kinan nggak akan mikir suaminya udah makan apa belum.”
“Eh?” Kinan langsung melirik pada tangga di mana suara pria itu muncul. Tentu saja sedetik kemudian ia langsung menaruh piringnya lagi.
Ia tak mampu berkutik menjawab pernyataan itu. Ucapan itu sedikit menyayat hatinya.
Setelah Alan duduk dengan santainya, ia tak bergerak mengambil piring atau apapun itu yang ada di meja makan.
“Kenapa nggak ambil makan? Ayo kita makan? Tadi kita nunggu kamu, lho?” Vina terheran.
“Lah? Kan ada Kinan yang ambilin aku makan, Ma? Sekalian biar dia latihan jadi istri,” sindir Alan.
Kalimat itu dengan lancarnya meluncur dari bibir yang tadi hampir mencium Kinan.
“Ya, Mas.”
Rupanya Kinan tak mampu memangkas ucapan itu lagi. Ia sangat terlihat tunduk di depan Alan kali ini. Lalu ia mengambilkan hidangan malam itu untuk calon suaminya.
Mereka kemudian melahap habis makanan yang Vina masak tadi.
“Gimana, Nan? Tidak seenak yang kamu pikir saat pertama kali lihat masakan mama tadi, kan?”
Kinan menjawab penuh semangat. “Enak, Ma! Sesuai sama yang aku batin tadi!”
“Enak, lah! Masakan mamaku! Paling kamu juga tidak bisa memasak seperti ini,” cibir Alan.
Ada masalah apa, sih, Alan sampai segitunya pada Kinan? Tes mental?
Bisma membela. “Ya nanti kan mama bisa ajarin resep keluarga ini?”
“Tau tuh Mas Alan julid mulu sama sahabatku!” Stevi mencerca balik sepupunya ini.
Alan hanya mengambil napas kemudian meneguk minumannya perlahan.
Vina berdecak lalu berkata. “Tenang saja. Besok mama ajarin bumbunya! Pokoknya besok setelah menikah kalian fokus saja bikinin mama cucu!”
Lalu Alan menyunggingkan senyuman pahit. “Kan mama udah punya cucu?”
“Kalau ditanya status ya memang mama udah punya! Tapi nggak pernah ketemu setelah berapa tahun lamanya!”
“Ya udah, sih, Ma? Mama yang bertamu ke Jakarta aja?” saran Alan.
Vina membuang muka. “Hmm ya besok kapan-kapan saja,” jawabnya.
“Oh, iya. Bulan depan kalian menikah. Papa kamu pulang, kan, Kinan?”
Kinan tersenyum. “Iya, Tante. Eh, Ma. Papa minggu depan pulang.”
“Emang terakhir ketemu papa kapan?” Alan menggali informasi. Hanya sekedar berinteraksi saja di meja sidang ini.
“Delapan bulan yang lalu,” balas Kinan. Entah mengapa rasa di hatinya ada yang aneh.
“Kali ini bakal di rumah terus, kan? Kemarin mama kamu bilang kalau papa kamu mau pensiun,” tanya Vina lagi.
“Rencananya sih begitu.”
Stevi yang dari tadi belum tahu mau ikut menimbrung dari mana. Akhirnya ia juga ikut angkat bicara. “Kasian, Kinan. Dari dulu ditinggal mulu sama papanya.”
Entah bagaimana Alan menangkap wajah muram Kinan saat ini. Ia pun berdeham.
“Ayo aku antar pulang?” Alan menawarkan.
“Lho? Kok udah main antar pulang saja. Kan baru satu jam di sini,” ucap Vina.
“Ya udah malem, Ma? Lagian mau ngapain lama-lama di sini?”
Bisma menyela. “Papa mandi dulu, ya?”
Semuanya mengangguk.
“Kalau Mas Alan nggak mau nemenin Kinan. Aku juga bisa, sih?” Stevi mengangkat satu bahunya.
“Ssst!” Vina memberi kode Stevi agar diam saja.
“Ajakin Kinan muter-muter aja sana?” suruh Vina.
Alan membalas. “Muter ke mana, Ma? Emang di sini ada yang bagus? Jam segini mah udah mulai sepi di jalan?”
Drrrt drrrt
“Eh?” Vina tersentak ketika ponselnya menyala di sebelah tangannya.
“Halo?”
“Vin? Ini aku mau jemput papanya Kinan.”
“Lho? Pulangnya malam ini?”
“Iya. Tiba-tiba sudah di bandara saja. Kinan bawa kunci rumah? Tolong tanyakan ya?”
Vina kemudian menanyakan pada Kinan.
“Nggak bawa, tuh? Gimana?” ujar Vina pada Rita.
“Duh? Ini papanya mau menginap di Jogja kayaknya. Soalnya malas perjalanan ke Klatennya,” jelas Rita.
“Lho? Ya sudah kalau gitu. Biar Kinan tidur di sini saja?”
“Gitu? Boleh ya? Ya sudah ini aku berangkat dulu ke Jogja,” pamit Rita.
Vina kemudian mengakhiri panggilan jarak jauh tersebut.
Saat itu juga, Kinan langsung menahan keringat dinginnya. Mana bisa dia tidur di rumah yang asing baginya ini?
“Nanti kamu tidur di kamar Alan saja, ya?”
Kinan sebenarnya ragu menjawab. Rasa-rasanya ia ingin pulang saja. “Eh? I-iya, Ma.”
“Stev? Kamu temenin aku, ya?”
Stevi tentu saja menolak dengan giatnya. “Mau tidur di mana aku? Kasurnya Mas Alan aja kecil begitu?”
Jawaban yang membuat Kinan menggaruk keningnya. “Duh,” batinnya.
Makan malam ini ditutup dengan Kinan yang akan bermalam di rumah ini. Kira-kira apakah akan ada yang terjadi di lantai dua rumah ini? Mengingat tadi Kinan dan Alan yang hampir saja mendekatkan bibir mereka. Akankah ada kesempatan kedua bagi mereka malam ini?
Kepala Alan terasa pening ketika diseruduk oleh pertanyaan tersebut. Makanan yang ia kunyah tadi juga tak kunjung ia telan. Mengapa demikian? Mungkinkah memang Alan memiliki wanita lain yang memang dicintainya?“Kenapa nanya gitu, Ra?” Rupanya pertanyaan tadi datang dari Nara.Nara pun terkekeh. “Ah! Aku cuma bercanda. Soalnya … kalian nggak keliatan kayak pasangan menikah. Nggak bucin!”Kinan berdeham kecil. Tenggorokannya tiba-tiba terasa gatal. “Gitu, ya?”Lantas Nara kembali memandang Kinan dengan tatapan candanya. “Kalian cuma malu kan kalau di depan umum?” ledeknya.“Ah, nggak! Kata siapa?” ucap Alan.Sesuatu menyita momen Kinan. Ketika Alan membalas Nara. Tak hanya dengan perkataan. Ia juga langsung merangkul pinggangnya. Sehingga Kinan t
“Lho? Anakmu ke mana? Kok nggak ikutan kita aja?”Lantas Vina menjawab pertanyaan salah satu temannya itu. “Ohh … iya, biarin aja mereka berdua. Kita senang-senang aja.”Vina dan teman-temannya yang sesama sudah menjadi ibu maupun nenek itu segera memasuki restoran ala jawa tersebut.Saat sudah memesan makanan, mereka pun mengobrol.“Kamu kapan gendong cucu, Jeng?” tanya satu orang pada Vina.Vina terkekeh tanpa jawaban.Rupanya malah membuat bibir temannya itu semakin menjadi. “Cucumu yang di Jakarta kan nggak pernah diajakin pulang ke Klaten?”“Iya lho, Jeng. Kapan? Suruh Alan cepet-cepet punya anak,” sambung teman satunya.Vina tertawa lagi. “Ya juga. Mungkin mereka juga baru berusaha.” Lalu ia pun berbisik pada dirinya sendiri, “u
Bukan pernikahan seperti ini yang Kinan inginkan. Ia hanya ingin bahagia bersama orang yang ia cintai sampai maut memisahkan. Namun malah tangisan yang ia dapatkan.Mereka berdua masih saling memandang tetapi Alan menatap Kinan dengan penuh ceria.Dok dok dokSeketika suara ketukan pintu itu membuyarkan kesedihan Kinan.Alan mengkerutkan dahinya dan langsung membuka pintu depan. Siapa pagi-pagi begini datang?“Mama?” Alan kaget.Setelah saling menyapa, Vina masuk ke dalam rumah.Harapannya datang ke rumah ini untuk melihat kedua anaknya berbahagia sebagai pasangan baru. Namun bukan itu yang ia pandang sekarang.“Kinan kenapa nangis!?” tanya Vina. Melihat mata sembab menantunya itu.Alan datang dan kembali tertawa lagi.
Kinan sangat paham bahwa ini tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Mengharap sesuatu yang sepertinya susah untuk didapatkan yaitu hati suaminya sendiri.Sebab sejak tadi Alan memanggilnya, belum ada secercah ucapan lagi yang keluar dari mulut sang suami.Menunduklah Kinan karena merasa kecewa lagi. Sepertinya memang Alan masih berada di alam bawah sadarnya sehingga ia tak merasa benar-benar memanggil nama istrinya.Mungkinkah Mas Alan bukan memanggilku? Melainkan wanita lain? ‘Nan?’ Siapa dia? Nanda? Nana? Nancy?“Kinan? Udah baikan?”Pertanyaan yang mampu membuat mulut Kinan bungkam. Rupanya memang namanya yang dipanggil.Entah mengapa Kinan sering merasa tidak perlu sulit-sulit untuk menjelaskan hal yang ada di pikirannya. Alan selalu bisa membacanya. Namun mungkin semua hany
Selamat membaca…***Setelah selesai mengunci pintu rumah, Alan masuk ke dalam kamarnya. Ia pun berbaring di kasur.Niatnya untuk beristirahat. Namun apa daya jika otaknya tidak bisa diajak bekerja sama? Sama sekali? Iya. Sama sekali.Sebetulnya ini tidak terlalu larut malam. Lamun bukankah overthinking tidak mengenal waktu?Alan berbaring ke sana ke mari. Ia merasa tidak nyaman tidur di ranjang sendiri. Mengecek ponselnya berkali-kali. Berharap malam ini sama seperti malam yang lalu sebelum ia menyandang status menjadi seorang suami. Kinan mengiriminya pesan, inginnya.“Kinan baik-baik saja, kan?” Berulang kali ia ucapkan dalam hati. Mengapa terlihat sangat cemas? Bukankah ia berniat mendiamkan Kinan sejak awal menikah?Ia masih berusaha memejamkan mata tetapi bukannya semakin berlabuh di pulau m
Sepanjang hari Kinan merasa tak ada harapan. Semua keoptimisannya telah sirna.Setelah melihat-lihat furnitur, Kinan dan Alan duduk berdua di sebuah restoran Thailand. Di hadapan mereka sudah tertata panci rebus berisi kuah tomyam dan pemanggang. Serta beberapa sayuran dan daging-dagingan yang telah dibumbui.Aroma kuah itu semerbak. Meski begitu, Kinan seolah tak bernafsu untuk memakannya segera. Reaksinya sangat berbeda saat berada di rumah mertuanya kala itu. Ia sangat semangat untuk mengambil makan.“Bentar lagi mereka datang,” kata Alan. Namun tak mendapat respon dari Kinan.Diam seribu bahasa. Itu yang dilakukan Kinan setelah sampai di restoran ini.“Kamu kenapa diam aja?”Alan berusaha menghidupkan suasana yang memang sudah tampak mati ini semenjak mereka menikah.