Share

L.A.M - 7

Krik krik krik

Keheningan ini membuat Kinan tak bisa menyembunyikan pikirannya. Sudah lebih dari pukul sepuluh malam. Ia masih tak bisa tidur. Mengingat ia sedang berada di sebuah ruangan asing baginya. Hanya ditemani oleh bunyi jangkrik nan kadang menyita ketertarikannya.

Meski katanya kamar calon suaminya ini jarang ditempati, aromanya masih khas parfum Alan yang selalu bersliweran di hidungnya setiap kali mereka bertemu.

Kinan sangat merapatkan kelopak matanya mencoba untuk melabuhi pulau kapuknya. Namun usaha itu tampak tak berarti.

Aduh? Aku nggak bisa tidur nyenyak ini mah!

Sampai ratusan domba pun ia hitung. Ia hanya bergerak ke sana ke mari tanpa adanya tanda-tanda terlelap.

Tiba-tiba Kinan iseng. Ia mengambil ponsel miliknya yang ia letakkan di nakas. Di bawah lampu tidur.

“Udah tidur?”

Setelah mengirimkan pesan tersebut ia kembali berbaring menghadap langit-langit. Lima menit ia menunggu balasan pesan namun tak kunjung ada.

Kembalilah ia pada kegelisahannya. Ia menyerah dan mencoba memejamkan mata lagi.

TING!

Kinan auto membuka matanya lebar-lebar dan meraih ponselnya.

“Belum.”

Balasan nan singkat namun mampu membuat wajah Kinan menjadi merah merona.

Wah! Sepertinya Kinan menurunkan tembok yang sudah susah payah ia bangun selama beberapa tahun terakhir. Atau … memang Kinan tidak pernah membangun tembok tersebut?

Dok! Dok! Dok!

Astaga! Kinan kaget setengah mati! Hampir tengah malam!

“Ini aku. Nggak usah takut!”

Rupanya Alan yang mengetuk pintu tersebut. Segeralah Kinan membukakan pintu. Hanya secelah saja pintu itu terbuka.

“Nih,” kata Alan singkat. “Jangan bilang kalau kamu masih kayak anak kecil. Dikasih susu dulu baru bisa tidur,” lanjutnya dengan ejekan datar.

Kinan mengambil kaleng putih kecil tersebut dari genggaman Alan. “Ng-nggak. Nggak terbiasa aja sama kamar baru.”

“Tunggu. Kamu kayaknya nggak pernah tinggal di kos ya?!”

Kinan terkekeh tipis. “Ehe. Nggak pernah. Kenapa?”

“Pantas saja. Manja banget! Dah lah! Aku mau tidur. Ganggu ketenanganku aja sih kamu,” cerca Alan lagi.

“Mmm ya maaf, lhoh?”

Alan hanya melambaikan tangannya malas sambil membelakangi Kinan dan berjalan balik menuju kamarnya.

Setelah itu Kinan kembali menutup pintunya.

Ia kembali duduk di tepi ranjang sembari memandangi susu kaleng bergambar beruang itu. Entah susu sapi, naga, atau beruang ia malah terkekeh. Ya jelas susu sapi lah!

Diminumnya susu tersebut seiring menyinyir perkataan Alan yang seakan mengejeknya itu.

Namun rupanya ejekan Alan benar adanya. Setelah setengah jam susu tersebut sampai ke lambung Kinan, ia pun tertidur dengan pulas hingga pagi menyapanya lagi.

***

“Astaga! Astaga!”

Kinan sontak mengangkat kepalanya dari bantal dan langsung mencari ponselnya.

“Jam 8!?!” teriaknya.

Ia pun duduk sebentar di tepi ranjang sebab kepalanya terasa berat. Kemudian ia bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Setelah keluar dari kamar mandi ia menatap rupa Alan yang sudah seperti bola api neraka itu.

“Kamu bisa cepat nggak, sih?! Aku sudah telat gara-gara kamu!”

Sebelum menjawab, Alan berkata lagi.  “Habis ini aku antar pulang. Nggak perlu mandi.”

“Kinan di sini dulu,” ucap Vina tiba-tiba dari arah tangga.

“Kok gitu, Ma?”tanya Alan yang sudah siap dan rapi untuk bekerja.

“Kan mamanya Kinan masih di Jogja. Pulang nanti siang. Kamu lupa?!”

Alan menepuk jidatnya. “Oh, iya!”

Mampus dah Alan malu banget pastinya!

Kinan hanya diam saja memandangi sang ibu dan anak yang berbincang.

“Terus kamu ngapain terlihat buru-buru?!”

Kinan memandang ke kanan dan ke kiri. “Mmm ya karena nggak enak aja kalau bangun siang.”

“Astagaaa!” timpa Alan. “Tu kan, Ma! Kinan kalau di rumah sudah pasti pemalas nih!”

“Ya udah nggak apa-apa kan? Siapa tau Kinan capek, lho?”

Alan menutup ritsleting jaket yang ia pakai. “Serah, deh! Alan mau berangkat dulu,” pamitnya pada Vina. Lalu melirik sinis pada Kinan.

“Ya. Hati-hati di jalan,” sapa Vina balik.

Aduh! Berdua sama calon mertua, nih aku! Bakalan kayak di sinetron dengan mertua yang galak kayak macan lahiran nggak ya?!

Dengan lembutnya Vina mengelus pundak Kinan serta berucap. “Sudah sana mandi dulu terus sarapan di bawah ya? Anggap rumah sendiri. Kamu kan menantu mama.”

“Nanti pakai kaos punya Alan aja. Ambil di lemari,” lanjutnya sembari menurunkan kaki ke anak tangga.

Segeralah Kinan mandi. Ia hanya bermodalkan celana dalam yang selalu ia bawa untuk berjaga-jaga. Serta sabun mukanya yang sangat krusial untuknya.

Seusai mandi, Kinan berdiri di depan kaca wastafel. Di situ terletak satu buah sikat gigi berwarna abu tua. Sepertinya milik Alan. Lalu Kinan menaruh sikat gigi baru yang ia dapatkan dari Vina di sebelah milik Alan.

“Hihi.” Kinan seketika tersenyum melihat kedua sikat itu saling berdampingan.

Apa ini? Jangan bilang kalau memang tak ada tembok di hatinya. Bukankah katanya Kinan sudah tak menyukai Alan lagi?

“Eh! Apaan sih?! Ngapain aku senyum-senyum sendiri! Aku mulai gila kayaknya,” decitnya sendiri. Kemudian segera keluar dari kamar mandi menuju ruang makan.

Di ruang makan, Kinan mengambil sereal yang sudah disiapkan oleh Mawar. Ia pun melahap habis.

Ciiit

Decit kursi makan sangat terdengar jelas ketika Vina mencoba duduk di hadapan Kinan sembari membawa ponselnya. Tiba-tiba saja ponsel itu berdering.

Kinan hanya mendengarkan monolog dari calon mertuanya ini.

“Hah? Kecelakaan? Di mana?”

“Siapa, Ma?” Kinan panik.

“Sudah di kantor sekarang? Gimana?”

Vina kemudian memperbesar suara panggilan itu hingga Kinan bisa ikut mendengar.

“Nggak apa-apa, Ma. Tadi cuma kesenggol dikit. Gegara ngebut tadi,” jelas Alan.

Panggilan itu mati setelah mereka berdua saling berpamitan.

“Mas Alan kecelakaan gara-gara aku ya, Ma?”

“Kok kamu?”

“So-soalnya kan tadi Mas Alan nungguin aku biar bisa mengantar pulang.”

“Jangan begitu, ya? Kalau kamu khawatir … nanti tunggu Alan pulang saja. Biar tau keadaannya.”

Kinan mengangguk lemas. “Ya, Ma.”

Mungkinkah Alan akan luluh dengan perhatian Kinan nanti?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status