Krik krik krik
Keheningan ini membuat Kinan tak bisa menyembunyikan pikirannya. Sudah lebih dari pukul sepuluh malam. Ia masih tak bisa tidur. Mengingat ia sedang berada di sebuah ruangan asing baginya. Hanya ditemani oleh bunyi jangkrik nan kadang menyita ketertarikannya.
Meski katanya kamar calon suaminya ini jarang ditempati, aromanya masih khas parfum Alan yang selalu bersliweran di hidungnya setiap kali mereka bertemu.
Kinan sangat merapatkan kelopak matanya mencoba untuk melabuhi pulau kapuknya. Namun usaha itu tampak tak berarti.
Aduh? Aku nggak bisa tidur nyenyak ini mah!
Sampai ratusan domba pun ia hitung. Ia hanya bergerak ke sana ke mari tanpa adanya tanda-tanda terlelap.
Tiba-tiba Kinan iseng. Ia mengambil ponsel miliknya yang ia letakkan di nakas. Di bawah lampu tidur.
“Udah tidur?”
Setelah mengirimkan pesan tersebut ia kembali berbaring menghadap langit-langit. Lima menit ia menunggu balasan pesan namun tak kunjung ada.
Kembalilah ia pada kegelisahannya. Ia menyerah dan mencoba memejamkan mata lagi.
TING!
Kinan auto membuka matanya lebar-lebar dan meraih ponselnya.
“Belum.”
Balasan nan singkat namun mampu membuat wajah Kinan menjadi merah merona.
Wah! Sepertinya Kinan menurunkan tembok yang sudah susah payah ia bangun selama beberapa tahun terakhir. Atau … memang Kinan tidak pernah membangun tembok tersebut?
Dok! Dok! Dok!
Astaga! Kinan kaget setengah mati! Hampir tengah malam!
“Ini aku. Nggak usah takut!”
Rupanya Alan yang mengetuk pintu tersebut. Segeralah Kinan membukakan pintu. Hanya secelah saja pintu itu terbuka.
“Nih,” kata Alan singkat. “Jangan bilang kalau kamu masih kayak anak kecil. Dikasih susu dulu baru bisa tidur,” lanjutnya dengan ejekan datar.
Kinan mengambil kaleng putih kecil tersebut dari genggaman Alan. “Ng-nggak. Nggak terbiasa aja sama kamar baru.”
“Tunggu. Kamu kayaknya nggak pernah tinggal di kos ya?!”
Kinan terkekeh tipis. “Ehe. Nggak pernah. Kenapa?”
“Pantas saja. Manja banget! Dah lah! Aku mau tidur. Ganggu ketenanganku aja sih kamu,” cerca Alan lagi.
“Mmm ya maaf, lhoh?”
Alan hanya melambaikan tangannya malas sambil membelakangi Kinan dan berjalan balik menuju kamarnya.
Setelah itu Kinan kembali menutup pintunya.
Ia kembali duduk di tepi ranjang sembari memandangi susu kaleng bergambar beruang itu. Entah susu sapi, naga, atau beruang ia malah terkekeh. Ya jelas susu sapi lah!
Diminumnya susu tersebut seiring menyinyir perkataan Alan yang seakan mengejeknya itu.
Namun rupanya ejekan Alan benar adanya. Setelah setengah jam susu tersebut sampai ke lambung Kinan, ia pun tertidur dengan pulas hingga pagi menyapanya lagi.
***
“Astaga! Astaga!”
Kinan sontak mengangkat kepalanya dari bantal dan langsung mencari ponselnya.
“Jam 8!?!” teriaknya.
Ia pun duduk sebentar di tepi ranjang sebab kepalanya terasa berat. Kemudian ia bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Setelah keluar dari kamar mandi ia menatap rupa Alan yang sudah seperti bola api neraka itu.
“Kamu bisa cepat nggak, sih?! Aku sudah telat gara-gara kamu!”
Sebelum menjawab, Alan berkata lagi. “Habis ini aku antar pulang. Nggak perlu mandi.”
“Kinan di sini dulu,” ucap Vina tiba-tiba dari arah tangga.
“Kok gitu, Ma?”tanya Alan yang sudah siap dan rapi untuk bekerja.
“Kan mamanya Kinan masih di Jogja. Pulang nanti siang. Kamu lupa?!”
Alan menepuk jidatnya. “Oh, iya!”
Mampus dah Alan malu banget pastinya!
Kinan hanya diam saja memandangi sang ibu dan anak yang berbincang.
“Terus kamu ngapain terlihat buru-buru?!”
Kinan memandang ke kanan dan ke kiri. “Mmm ya karena nggak enak aja kalau bangun siang.”
“Astagaaa!” timpa Alan. “Tu kan, Ma! Kinan kalau di rumah sudah pasti pemalas nih!”
“Ya udah nggak apa-apa kan? Siapa tau Kinan capek, lho?”
Alan menutup ritsleting jaket yang ia pakai. “Serah, deh! Alan mau berangkat dulu,” pamitnya pada Vina. Lalu melirik sinis pada Kinan.
“Ya. Hati-hati di jalan,” sapa Vina balik.
Aduh! Berdua sama calon mertua, nih aku! Bakalan kayak di sinetron dengan mertua yang galak kayak macan lahiran nggak ya?!
Dengan lembutnya Vina mengelus pundak Kinan serta berucap. “Sudah sana mandi dulu terus sarapan di bawah ya? Anggap rumah sendiri. Kamu kan menantu mama.”
“Nanti pakai kaos punya Alan aja. Ambil di lemari,” lanjutnya sembari menurunkan kaki ke anak tangga.
Segeralah Kinan mandi. Ia hanya bermodalkan celana dalam yang selalu ia bawa untuk berjaga-jaga. Serta sabun mukanya yang sangat krusial untuknya.
Seusai mandi, Kinan berdiri di depan kaca wastafel. Di situ terletak satu buah sikat gigi berwarna abu tua. Sepertinya milik Alan. Lalu Kinan menaruh sikat gigi baru yang ia dapatkan dari Vina di sebelah milik Alan.
“Hihi.” Kinan seketika tersenyum melihat kedua sikat itu saling berdampingan.
Apa ini? Jangan bilang kalau memang tak ada tembok di hatinya. Bukankah katanya Kinan sudah tak menyukai Alan lagi?
“Eh! Apaan sih?! Ngapain aku senyum-senyum sendiri! Aku mulai gila kayaknya,” decitnya sendiri. Kemudian segera keluar dari kamar mandi menuju ruang makan.
Di ruang makan, Kinan mengambil sereal yang sudah disiapkan oleh Mawar. Ia pun melahap habis.
Ciiit
Decit kursi makan sangat terdengar jelas ketika Vina mencoba duduk di hadapan Kinan sembari membawa ponselnya. Tiba-tiba saja ponsel itu berdering.
Kinan hanya mendengarkan monolog dari calon mertuanya ini.
“Hah? Kecelakaan? Di mana?”
“Siapa, Ma?” Kinan panik.
“Sudah di kantor sekarang? Gimana?”
Vina kemudian memperbesar suara panggilan itu hingga Kinan bisa ikut mendengar.
“Nggak apa-apa, Ma. Tadi cuma kesenggol dikit. Gegara ngebut tadi,” jelas Alan.
Panggilan itu mati setelah mereka berdua saling berpamitan.
“Mas Alan kecelakaan gara-gara aku ya, Ma?”
“Kok kamu?”
“So-soalnya kan tadi Mas Alan nungguin aku biar bisa mengantar pulang.”
“Jangan begitu, ya? Kalau kamu khawatir … nanti tunggu Alan pulang saja. Biar tau keadaannya.”
Kinan mengangguk lemas. “Ya, Ma.”
Mungkinkah Alan akan luluh dengan perhatian Kinan nanti?
Kepala Alan terasa pening ketika diseruduk oleh pertanyaan tersebut. Makanan yang ia kunyah tadi juga tak kunjung ia telan. Mengapa demikian? Mungkinkah memang Alan memiliki wanita lain yang memang dicintainya?“Kenapa nanya gitu, Ra?” Rupanya pertanyaan tadi datang dari Nara.Nara pun terkekeh. “Ah! Aku cuma bercanda. Soalnya … kalian nggak keliatan kayak pasangan menikah. Nggak bucin!”Kinan berdeham kecil. Tenggorokannya tiba-tiba terasa gatal. “Gitu, ya?”Lantas Nara kembali memandang Kinan dengan tatapan candanya. “Kalian cuma malu kan kalau di depan umum?” ledeknya.“Ah, nggak! Kata siapa?” ucap Alan.Sesuatu menyita momen Kinan. Ketika Alan membalas Nara. Tak hanya dengan perkataan. Ia juga langsung merangkul pinggangnya. Sehingga Kinan t
“Lho? Anakmu ke mana? Kok nggak ikutan kita aja?”Lantas Vina menjawab pertanyaan salah satu temannya itu. “Ohh … iya, biarin aja mereka berdua. Kita senang-senang aja.”Vina dan teman-temannya yang sesama sudah menjadi ibu maupun nenek itu segera memasuki restoran ala jawa tersebut.Saat sudah memesan makanan, mereka pun mengobrol.“Kamu kapan gendong cucu, Jeng?” tanya satu orang pada Vina.Vina terkekeh tanpa jawaban.Rupanya malah membuat bibir temannya itu semakin menjadi. “Cucumu yang di Jakarta kan nggak pernah diajakin pulang ke Klaten?”“Iya lho, Jeng. Kapan? Suruh Alan cepet-cepet punya anak,” sambung teman satunya.Vina tertawa lagi. “Ya juga. Mungkin mereka juga baru berusaha.” Lalu ia pun berbisik pada dirinya sendiri, “u
Bukan pernikahan seperti ini yang Kinan inginkan. Ia hanya ingin bahagia bersama orang yang ia cintai sampai maut memisahkan. Namun malah tangisan yang ia dapatkan.Mereka berdua masih saling memandang tetapi Alan menatap Kinan dengan penuh ceria.Dok dok dokSeketika suara ketukan pintu itu membuyarkan kesedihan Kinan.Alan mengkerutkan dahinya dan langsung membuka pintu depan. Siapa pagi-pagi begini datang?“Mama?” Alan kaget.Setelah saling menyapa, Vina masuk ke dalam rumah.Harapannya datang ke rumah ini untuk melihat kedua anaknya berbahagia sebagai pasangan baru. Namun bukan itu yang ia pandang sekarang.“Kinan kenapa nangis!?” tanya Vina. Melihat mata sembab menantunya itu.Alan datang dan kembali tertawa lagi.
Kinan sangat paham bahwa ini tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Mengharap sesuatu yang sepertinya susah untuk didapatkan yaitu hati suaminya sendiri.Sebab sejak tadi Alan memanggilnya, belum ada secercah ucapan lagi yang keluar dari mulut sang suami.Menunduklah Kinan karena merasa kecewa lagi. Sepertinya memang Alan masih berada di alam bawah sadarnya sehingga ia tak merasa benar-benar memanggil nama istrinya.Mungkinkah Mas Alan bukan memanggilku? Melainkan wanita lain? ‘Nan?’ Siapa dia? Nanda? Nana? Nancy?“Kinan? Udah baikan?”Pertanyaan yang mampu membuat mulut Kinan bungkam. Rupanya memang namanya yang dipanggil.Entah mengapa Kinan sering merasa tidak perlu sulit-sulit untuk menjelaskan hal yang ada di pikirannya. Alan selalu bisa membacanya. Namun mungkin semua hany
Selamat membaca…***Setelah selesai mengunci pintu rumah, Alan masuk ke dalam kamarnya. Ia pun berbaring di kasur.Niatnya untuk beristirahat. Namun apa daya jika otaknya tidak bisa diajak bekerja sama? Sama sekali? Iya. Sama sekali.Sebetulnya ini tidak terlalu larut malam. Lamun bukankah overthinking tidak mengenal waktu?Alan berbaring ke sana ke mari. Ia merasa tidak nyaman tidur di ranjang sendiri. Mengecek ponselnya berkali-kali. Berharap malam ini sama seperti malam yang lalu sebelum ia menyandang status menjadi seorang suami. Kinan mengiriminya pesan, inginnya.“Kinan baik-baik saja, kan?” Berulang kali ia ucapkan dalam hati. Mengapa terlihat sangat cemas? Bukankah ia berniat mendiamkan Kinan sejak awal menikah?Ia masih berusaha memejamkan mata tetapi bukannya semakin berlabuh di pulau m
Sepanjang hari Kinan merasa tak ada harapan. Semua keoptimisannya telah sirna.Setelah melihat-lihat furnitur, Kinan dan Alan duduk berdua di sebuah restoran Thailand. Di hadapan mereka sudah tertata panci rebus berisi kuah tomyam dan pemanggang. Serta beberapa sayuran dan daging-dagingan yang telah dibumbui.Aroma kuah itu semerbak. Meski begitu, Kinan seolah tak bernafsu untuk memakannya segera. Reaksinya sangat berbeda saat berada di rumah mertuanya kala itu. Ia sangat semangat untuk mengambil makan.“Bentar lagi mereka datang,” kata Alan. Namun tak mendapat respon dari Kinan.Diam seribu bahasa. Itu yang dilakukan Kinan setelah sampai di restoran ini.“Kamu kenapa diam aja?”Alan berusaha menghidupkan suasana yang memang sudah tampak mati ini semenjak mereka menikah.