Share

L.A.M - 2

Seorang pria sedang duduk di bangku santai. Aroma tanah yang dibasahi oleh air hujan cukup menyita perasaannya. 

Entah apa yang sedang ada di benaknya. Namun pria itu terlihat sangat tenang memandangi tanaman hijau dengan rintik hujan yang memperindah setiap helai daun itu, baginya.

Tak ada satupun yang bisa mengganggunya menikmati momen ini. Dengan headset yang terpasang di telinganya. Ia hanyut dalam alunan musik menenangkan.

On your lips just leave it, if you don’t mean it,” rintihnya mengikuti lagu tersebut.

“Alan?”

Tentu saja ia tak menggubris hal yang lain karena sekarang yang ia pedulikan hanya aroma hujan dan musik. Sembari memejamkan mata saat lagu kesukaannya diputar. Surga sementara baginya.

“Alan!”

Cubitan itu membangungkan lamunannya. Ah, merusak suasana saja, sih? Siapa yang berani mengganggunya?

“Eh? Mama,” ucap Alan pelan seiring melepaskan satu headset-nya.

“Gimana kemarin ketemu sama Kinan? Cantik, kan? Kalian sudah nggak ketemu berapa lama?”

Sederet pertanyaan seperti gerbong kereta api menubruk Alan. 

Lantas Alan mengambil napas panjang. Kembali menatap layar ponselnya.

“Cantik gimana, Ma? Dia aja kayak ART. Aku sampai malu. Cewek-cewek di mall pada liatin kita berdua,” cibir Alan.

“Hah? Kok kayak ART?”

“Aku udah rapi. Dianya nggak dandan sama sekali. Gimana aku mau suka sama dia?”

“Lho? Mama udah minta buat dia dandan cantik juga.”

Alan menggidikkan bahunya cuek.

Kemudian Vina terkekeh dan menepuk bahu anaknya. “Nggak apa! Kinan kan udah cantik dari dasarnya.”

“Hmm,” balas Alan kesal. Ia kembali bersantai sambil menggerakkan kakinya sesuai irama lagu yang sedang diputarnya.

Lantas Vina kembali masuk ke rumah. Malam ini sangat syahdu ketika ia tahu bahwa Alan dan Kinan sudah jalan berdua.

Vina pun mengambil ponselnya yang ada di meja makan sejak tadi.

Ia tersenyum ketika memilih nama kontak di ponselnya. 

“Ta?”

Sebelum lawan bicaranya menjawab, Vina menerocos terus. 

“Aku senang. Akhirnya mereka jalan berdua! Coba kalau kamu tidak menemukan surat Alan jaman dulu? Pasti kamu nggak akan menghubungi aku kan bulan lalu!?”

“Iya! Aku hanya iseng buka kotak peralatan Kinan jaman SMP! Lho? Ternyata ada surat dari Alan kalau Alan suka sama anakku!”

Obrolan itu tetap berlangsung seiring Vina memakan kerupuk. Membuat mulutnya penuh dan bicara tak jelas.

“Kasian Alan. Cintanya ditolak sama Kinan waktu SMP,” tawa Vina.

“Keadaan udah beda, Ma! Waktu itu aku khilaf.”

Vina sontak terhuyung ketika mendengar suara pria yang tiba-tiba ikut nimbrung di ruang makan.

“Aku laper, Ma? Ada makan apa?”

“Bentar ya, Ta. Nanti aku telpon lagi,” ucap Vina pada Rita. Sembari memandangi anaknya yang mencari-cari makanan di dapur.

Lalu Vina menaruh ponsel itu.

“Cowok seumuranmu itu harusnya kalau makan yang nyiapin istri bukan mama lagi,” resah Vina. Menyindir anaknya.

“Aduh, laper,” keluh Alan. Semakin malas ketika mamanya mencibirnya seperti itu.

Alan mengerti. Cibirannya selalu seperti itu saja. Terus menerus tak ada hentinya. Maka dari itu, Alan berusaha membungkam mamanya dengan menerima percomblangan ini.

“Kerja melulu. Kapan nikahnya?” sindir Vina lagi.

Sentimen itu selalu keluar dari bibir Vina. Menyebabkan Alan ingin selalu menjauh dari rumah. 

***

Sedangkan Kinan sedang bersenandung di kamar. Membuka memorinya yang lalu. Ketika mereka berdua keluar dari ruang bioskop itu.

Semua mata wanita tertuju pada dirinya dan Alan.

“Kok mereka liatin kita?!” tanya Kinan polos. 

Dari tadi ia hanya diam. Selama hidupnya ia tak pernah berani mengajak Alan berbicara. Ia selalu merasa Alan adalah orang yang cerdas sehingga Kinan merasa tak pantas mendekati Alan.

“Liatin kamu kali?” Alan menjawab dengan juteknya. Sembari jalan menjauhi Kinan.

Kinan kemudian berjalan di belakang Alan. Tak terlalu jauh. Cukup untuk mereka bercakap-cakap.

“Aku kayak jalan sama ART,” cerca Alan.

Alan menghentikan langkahnya. Lalu menoleh ke Kinan. Memperhatikan setiap inci badan Kinan yang mungil itu.

Sandal jepit dengan celana jeans, kaos berwarna biru dongker yang simpel, rambut dikuncir kuda dan tak ada make-up sama sekali. Mungkin Kinan juga belum mandi!

“Kamu belum mandi sore, ya!?”

Pertanyaan yang sebenarnya langsung tepat sasaran. Perkiraannya tidak salah!

“Mmm,” deham Kinan. Kemudian ia berjalan cepat melewati Alan sambil menundukkan kepala.

“Astaga! Belum mandi?”

“Ya … aku niatnya sampai rumah baru mandi terus tidur,” jawab Kinan mencari alasan yang benar adanya. Ia memilih kotor terlebih dahulu lalu mandi sebelum tidur.

Sejujurnya juga, Kinan saat akan bertemu dengan Alan, keringatnya sangat dingin. Hingga ia mempertanyakan dirinya sendiri.

Kenapa masih gugup kalau udah nggak suka sama Alan?! Lagian udah beberapa tahun berlalu!

Dalam sekejap Kinan menarik selimutnya hingga menutupi seluruh wajah dan tubuhnya.

“Ya ampun! Mama kaget!”

“Kenapa, Ma?!” Kinan membuka selimut tebalnya itu lagi setelah mendengar celoteh mamanya yang sedang terkoyak hatinya itu.

“Kamu nakut-nakutin mama, lho?”

Kinan hanya terkekeh. 

“Gimana? Kamu senang, kan? Mama bisa bantuin comblangin kamu sama Alan. Kamu kan suka sama dia?”

“Ma! Aku harus bilang berapa kali, sih? Aku suka sama dia waktu kuliah! Lagian hampir semuanya nge-fans sama dia! Tapi habis itu aku sadar. Ngapain aku suka sama orang yang sama sekali nggak melihatku?” sergah Kinan.

Rita melambaikan tangannya seakan tak menyetujui pernyataan anaknya.

“Ah, bisa diatur itu mah! Nyatanya Alan juga mau nonton sama kamu kan kemarin?”

“Lah? Dia mah sama siapa-siapa juga mau! Tuh terkenal playboy sejak SMP!”

“Tapi dia cerdas kan? Juara terus, lhoh? Ada sesuatu yang bisa dibanggakan,” bela Rita.

Wah, kalau Alan dengar ini dia bisa semakin besar kepala!

Lalu Rita mendekati anaknya. Mengamati wajahnya dengan detil. Wajah mungil dengan mata yang besar. Bibirnya berwarna merah muda imut. Seperti barbie!

“Kan kamu juga cantik. Sudah, ya. Percaya sama mama. Kalian bisa saling cinta,” rayunya.

“Apaan, sih, Ma? Kayak nggak ada cowok lain aja.”

“Emang nggak ada, kan? Kalau ada sudah pasti kamu kenalin ke mama.”

“Hmmm.” Kinan menyunggingkan senyum paksanya.

“Bulan depan tunangan, ya? Tenang! Mama yang siapkan semuanya!”

“APAAA?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status