Satu jam sudah mereka semua menunggu. Menunggu sang putri keluar menyambut sang pangeran.
Ya, hari ini tiba. Rupanya bukan pertunangan yang diadakan.
Waktu sudah berjalan sangat cepat setelah pertemuan itu. Kinan masih tak menyangka bahwa hari ini merupakan hari lamaran. Hari di mana Alan melamar Kinan seperti yang sesuai dengan adat mereka berdua.
Cakrawala yang berwarna abu itu menyelimuti kota Klaten. Kota kecil dengan segala kenangannya. Ditambah hari ini, semoga hari ini menjadi kenangan manis bagi pasangan tersebut.
Semua rangkaian acara telah terlewati. Sejak dari penyerahan seserahan, doa, hingga penyerahan seserahan balik ke calon mempelai lelaki. Hingga kini mereka semua berdiri di depan panggung dekor.
Mereka semua berfoto bersama. Hanya dihadiri oleh keluarga besar dan teman dekat Kinan.
Setelah semua usai, Kinan menghampiri temannya.
“Cie? Mimpinya jadi kenyataan?”
Kinan mencibir. “Apanya?”
“Itu? Kan kamu dulu suka sama Alan bertahun-tahun?”
Kinan memberi tanda ke temannya agar bungkam suara. “Ssst! Itu dulu! Sekarang mah nggak! Sikapnya dingin ngapain aku suka sama dia? Mantan playboy pula!”
Dari kejauhan saat mengambil minum, Alan diam-diam memerhatikan gerak-gerik Kinan. Matanya tajam seperti elang yang siap memangsa.
Lalu Alan membuang tatapannya tersebut dan berjalan menuju mamanya.
“Udah kan, Ma? Alan mau pulang. Capek,” katanya sembari berpamitan.
Vina dengan senang hati mempersilakan Alan untuk pulang ke rumah. Ia sudah cukup bahagia ketika acara demi acara terlewati dengan baik. Dan Alan sudah merelakan dirinya untuk bisa bekerja sama kali ini.
Sedangkan Kinan juga berjalan menyusul mamanya yang ada di dekat Vina. Seiring matanya menilapkan Alan yang sudah masuk ke dalam mobil menuju pulang.
“Mas Alan pulang, Tante?” Mulai sekarang Kinan membiasakan dirinya memanggil calon suaminya itu dengan “Mas” sesuai permintaan mamanya karena memang Alan sejatinya lebih tua dari Kinan.
“Iya, katanya capek. Biarin aja. Besok dia masuk kerja, kan?!” sahut Vina.
Lalu Kinan menarik lengan mamanya dengan lembut. “Ma? Pernikahan ini bisa dibatalin nggak? Hehe.”
Tentu saja rupa Rita menjadi masam. Perkataan macam apa itu? Di depan besannya pula.
“Kinan ngomong apa, sih?!”
“Habisnya Alan … eh, Mas Alan, cuek banget. Aku nggak mau menghabiskan hidupku sama orang sedingin dia,” papar Kinan.
Vina dengan tangan sedikit gemetar mencoba mengikis rasa cemas Kinan. Mengelus kedua lengan Kinan dengan pelan.
“Eh? Alan cuma capek aja kok itu? Makanya dia pulang. Bukan berarti dia nggak peduli sama acara ini. Jangan khawatir ya?”
“Iya. Nggak mungkin Alan secuek itu. Pasti dia seperti mamanya yang hangat kayak gini.” Rita menambahkan.
Kedua ibu itu sudah mulai cemas apabila pernikahan yang sebentar lagi diadakan ini akan gagal. Mau taruh di mana muka keluarga mereka nanti?
Kinan menunjukkan wajah cemberutnya. “Ya deh, Ma. Kinan ngikut.”
Setelah Kinan hengkang dari hadapan mereka berdua, Rita mengajak Vina berbicara.
“Kinan nggak pernah pacaran. Dia nggak pernah pede buat berbicara sama laki-laki.”
Vina mengangguk. “Aku tau. Pasti gara-gara dia nggak dekat sama papanya, kan? Dari dulu papanya cuma pergi berlayar.”
Rita tersenyum menunjukkan rasa terima kasih sebab perasaannya sudah dipahami.
“Oh, iya. Kemarin aku bangga.”
“Kenapa, Vin?”
“Alan sudah DP rumah di Jogja. Katanya gini ‘masa nanti aku biarin istriku tinggal satu rumah sama mertua? Kasihan nanti dia stress dengerin omelan mama.’ Agak menyebalkan sebenarnya. Secara tidak langsung mengatakan aku cerewet. Tapi aku senang ternyata dia bisa memikirkan Kinan juga,” tawa Vina.
Sedangkan Kinan sedang berbincang bersama temannya. Semua geraknya terbatas karena jarik—rok ketat dengan batik lukis. Dibalik ketatnya kebaya itu, Kinan selalu mengambil napas setiap kali harus berbicara.
“Kalian nggak usah upload, ya?”
“Mmm,” jawab Stevi. Sambil melempar pandang ke Hana.
Hana lantas berucap dengan sedikit terpatah-patah. “Mmm ki-kita udah upload dari tadi? Hehe,” balasnya seiring menggaruk tengkuknya yang terasa kaku.
“Ih kalian! Aku kan jadi nggak enak sama temen-temen. Masa tiba-tiba aku yang nikah sama Alan? Padahal mereka yang lebih dekat sama Alan.”
“Nggak apa, kan? Apa masalahnya?”
“Ya … nggak enak aja. Mereka kan waktu kuliah ngejar-ngejar Alan. Secara Alan kan tampan dan pintar?”
Eh, apa? Barusan Kinan memuji Alan? Sengaja atau nggak sengaja, tuh?
“Ya udah, sih, Nan. Kan sekarang kamu yang jadi calon istrinya Alan. Biarin mereka mau bilang atau secemburu apa,” kata Julia.
Mereka berdiri di samping meja seserahan. Sejenak berhenti berbincang.
Kinan pun langsung terpaku di salah satu bingkisan seserahan itu. Ada sesuatu yang menyelinap di sana.
“Astaga! Apa ini?” sontak Kinan kaget.
“Apaan?”
Kedua temannya juga terheran oleh Kinan yang seketika seolah kaget karena bersamaan dengan petir yang bersuara di awan.
***
Mau lanjut? Komen yang banyak dulu yah! ^^
Kepala Alan terasa pening ketika diseruduk oleh pertanyaan tersebut. Makanan yang ia kunyah tadi juga tak kunjung ia telan. Mengapa demikian? Mungkinkah memang Alan memiliki wanita lain yang memang dicintainya?“Kenapa nanya gitu, Ra?” Rupanya pertanyaan tadi datang dari Nara.Nara pun terkekeh. “Ah! Aku cuma bercanda. Soalnya … kalian nggak keliatan kayak pasangan menikah. Nggak bucin!”Kinan berdeham kecil. Tenggorokannya tiba-tiba terasa gatal. “Gitu, ya?”Lantas Nara kembali memandang Kinan dengan tatapan candanya. “Kalian cuma malu kan kalau di depan umum?” ledeknya.“Ah, nggak! Kata siapa?” ucap Alan.Sesuatu menyita momen Kinan. Ketika Alan membalas Nara. Tak hanya dengan perkataan. Ia juga langsung merangkul pinggangnya. Sehingga Kinan t
“Lho? Anakmu ke mana? Kok nggak ikutan kita aja?”Lantas Vina menjawab pertanyaan salah satu temannya itu. “Ohh … iya, biarin aja mereka berdua. Kita senang-senang aja.”Vina dan teman-temannya yang sesama sudah menjadi ibu maupun nenek itu segera memasuki restoran ala jawa tersebut.Saat sudah memesan makanan, mereka pun mengobrol.“Kamu kapan gendong cucu, Jeng?” tanya satu orang pada Vina.Vina terkekeh tanpa jawaban.Rupanya malah membuat bibir temannya itu semakin menjadi. “Cucumu yang di Jakarta kan nggak pernah diajakin pulang ke Klaten?”“Iya lho, Jeng. Kapan? Suruh Alan cepet-cepet punya anak,” sambung teman satunya.Vina tertawa lagi. “Ya juga. Mungkin mereka juga baru berusaha.” Lalu ia pun berbisik pada dirinya sendiri, “u
Bukan pernikahan seperti ini yang Kinan inginkan. Ia hanya ingin bahagia bersama orang yang ia cintai sampai maut memisahkan. Namun malah tangisan yang ia dapatkan.Mereka berdua masih saling memandang tetapi Alan menatap Kinan dengan penuh ceria.Dok dok dokSeketika suara ketukan pintu itu membuyarkan kesedihan Kinan.Alan mengkerutkan dahinya dan langsung membuka pintu depan. Siapa pagi-pagi begini datang?“Mama?” Alan kaget.Setelah saling menyapa, Vina masuk ke dalam rumah.Harapannya datang ke rumah ini untuk melihat kedua anaknya berbahagia sebagai pasangan baru. Namun bukan itu yang ia pandang sekarang.“Kinan kenapa nangis!?” tanya Vina. Melihat mata sembab menantunya itu.Alan datang dan kembali tertawa lagi.
Kinan sangat paham bahwa ini tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Mengharap sesuatu yang sepertinya susah untuk didapatkan yaitu hati suaminya sendiri.Sebab sejak tadi Alan memanggilnya, belum ada secercah ucapan lagi yang keluar dari mulut sang suami.Menunduklah Kinan karena merasa kecewa lagi. Sepertinya memang Alan masih berada di alam bawah sadarnya sehingga ia tak merasa benar-benar memanggil nama istrinya.Mungkinkah Mas Alan bukan memanggilku? Melainkan wanita lain? ‘Nan?’ Siapa dia? Nanda? Nana? Nancy?“Kinan? Udah baikan?”Pertanyaan yang mampu membuat mulut Kinan bungkam. Rupanya memang namanya yang dipanggil.Entah mengapa Kinan sering merasa tidak perlu sulit-sulit untuk menjelaskan hal yang ada di pikirannya. Alan selalu bisa membacanya. Namun mungkin semua hany
Selamat membaca…***Setelah selesai mengunci pintu rumah, Alan masuk ke dalam kamarnya. Ia pun berbaring di kasur.Niatnya untuk beristirahat. Namun apa daya jika otaknya tidak bisa diajak bekerja sama? Sama sekali? Iya. Sama sekali.Sebetulnya ini tidak terlalu larut malam. Lamun bukankah overthinking tidak mengenal waktu?Alan berbaring ke sana ke mari. Ia merasa tidak nyaman tidur di ranjang sendiri. Mengecek ponselnya berkali-kali. Berharap malam ini sama seperti malam yang lalu sebelum ia menyandang status menjadi seorang suami. Kinan mengiriminya pesan, inginnya.“Kinan baik-baik saja, kan?” Berulang kali ia ucapkan dalam hati. Mengapa terlihat sangat cemas? Bukankah ia berniat mendiamkan Kinan sejak awal menikah?Ia masih berusaha memejamkan mata tetapi bukannya semakin berlabuh di pulau m
Sepanjang hari Kinan merasa tak ada harapan. Semua keoptimisannya telah sirna.Setelah melihat-lihat furnitur, Kinan dan Alan duduk berdua di sebuah restoran Thailand. Di hadapan mereka sudah tertata panci rebus berisi kuah tomyam dan pemanggang. Serta beberapa sayuran dan daging-dagingan yang telah dibumbui.Aroma kuah itu semerbak. Meski begitu, Kinan seolah tak bernafsu untuk memakannya segera. Reaksinya sangat berbeda saat berada di rumah mertuanya kala itu. Ia sangat semangat untuk mengambil makan.“Bentar lagi mereka datang,” kata Alan. Namun tak mendapat respon dari Kinan.Diam seribu bahasa. Itu yang dilakukan Kinan setelah sampai di restoran ini.“Kamu kenapa diam aja?”Alan berusaha menghidupkan suasana yang memang sudah tampak mati ini semenjak mereka menikah.