Share

L.A.M - 3

Satu jam sudah mereka semua menunggu. Menunggu sang putri keluar menyambut sang pangeran.

Ya, hari ini tiba. Rupanya bukan pertunangan yang diadakan.

Waktu sudah berjalan sangat cepat setelah pertemuan itu. Kinan masih tak menyangka bahwa hari ini merupakan hari lamaran. Hari di mana Alan melamar Kinan seperti yang sesuai dengan adat mereka berdua.

Cakrawala yang berwarna abu itu menyelimuti kota Klaten. Kota kecil dengan segala kenangannya. Ditambah hari ini, semoga hari ini menjadi kenangan manis bagi pasangan tersebut.

Semua rangkaian acara telah terlewati. Sejak dari penyerahan seserahan, doa, hingga penyerahan seserahan balik ke calon mempelai lelaki. Hingga kini mereka semua berdiri di depan panggung dekor.

Mereka semua berfoto bersama. Hanya dihadiri oleh keluarga besar dan teman dekat Kinan.

Setelah semua usai, Kinan menghampiri temannya.

“Cie? Mimpinya jadi kenyataan?”

Kinan mencibir. “Apanya?”

“Itu? Kan kamu dulu suka sama Alan bertahun-tahun?”

Kinan memberi tanda ke temannya agar bungkam suara. “Ssst! Itu dulu! Sekarang mah nggak! Sikapnya dingin ngapain aku suka sama dia? Mantan playboy pula!”

Dari kejauhan saat mengambil minum, Alan diam-diam memerhatikan gerak-gerik Kinan. Matanya tajam seperti elang yang siap memangsa.

Lalu Alan membuang tatapannya tersebut dan berjalan menuju mamanya.

“Udah kan, Ma? Alan mau pulang. Capek,” katanya sembari berpamitan.

Vina dengan senang hati mempersilakan Alan untuk pulang ke rumah. Ia sudah cukup bahagia ketika acara demi acara terlewati dengan baik. Dan Alan sudah merelakan dirinya untuk bisa bekerja sama kali ini.

Sedangkan Kinan juga berjalan menyusul mamanya yang ada di dekat Vina. Seiring matanya menilapkan Alan yang sudah masuk ke dalam mobil menuju pulang.

“Mas Alan pulang, Tante?” Mulai sekarang Kinan membiasakan dirinya memanggil calon suaminya itu dengan “Mas” sesuai permintaan mamanya karena memang Alan sejatinya lebih tua dari Kinan.

“Iya, katanya capek. Biarin aja. Besok dia masuk kerja, kan?!” sahut Vina.

Lalu Kinan menarik lengan mamanya dengan lembut. “Ma? Pernikahan ini bisa dibatalin nggak? Hehe.”

Tentu saja rupa Rita menjadi masam. Perkataan macam apa itu? Di depan besannya pula.

“Kinan ngomong apa, sih?!”

“Habisnya Alan … eh, Mas Alan, cuek banget. Aku nggak mau menghabiskan hidupku sama orang sedingin dia,” papar Kinan.

Vina dengan tangan sedikit gemetar mencoba mengikis rasa cemas Kinan. Mengelus kedua lengan Kinan dengan pelan.

“Eh? Alan cuma capek aja kok itu? Makanya dia pulang. Bukan berarti dia nggak peduli sama acara ini. Jangan khawatir ya?”

“Iya. Nggak mungkin Alan secuek itu. Pasti dia seperti mamanya yang hangat kayak gini.” Rita menambahkan.

Kedua ibu itu sudah mulai cemas apabila pernikahan yang sebentar lagi diadakan ini akan gagal. Mau taruh di mana muka keluarga mereka nanti?

Kinan menunjukkan wajah cemberutnya. “Ya deh, Ma. Kinan ngikut.”

Setelah Kinan hengkang dari hadapan mereka berdua, Rita mengajak Vina berbicara.

“Kinan nggak pernah pacaran. Dia nggak pernah pede buat berbicara sama laki-laki.”

Vina mengangguk. “Aku tau. Pasti gara-gara dia nggak dekat sama papanya, kan? Dari dulu papanya cuma pergi berlayar.”

Rita tersenyum menunjukkan rasa terima kasih sebab perasaannya sudah dipahami.

“Oh, iya. Kemarin aku bangga.”

“Kenapa, Vin?”

“Alan sudah DP rumah di Jogja. Katanya gini ‘masa nanti aku biarin istriku tinggal satu rumah sama mertua? Kasihan nanti dia stress dengerin omelan mama.’ Agak menyebalkan sebenarnya. Secara tidak langsung mengatakan aku cerewet. Tapi aku senang ternyata dia bisa memikirkan Kinan juga,” tawa Vina.

Sedangkan Kinan sedang berbincang bersama temannya. Semua geraknya terbatas karena jarik—rok ketat dengan batik lukis. Dibalik ketatnya kebaya itu, Kinan selalu mengambil napas setiap kali harus berbicara.

“Kalian nggak usah upload, ya?”

“Mmm,” jawab Stevi. Sambil melempar pandang ke Hana.

Hana lantas berucap dengan sedikit terpatah-patah. “Mmm ki-kita udah upload dari tadi? Hehe,” balasnya seiring menggaruk tengkuknya yang terasa kaku.

“Ih kalian! Aku kan jadi nggak enak sama temen-temen. Masa tiba-tiba aku yang nikah sama Alan? Padahal mereka yang lebih dekat sama Alan.”

“Nggak apa, kan? Apa masalahnya?”

“Ya … nggak enak aja. Mereka kan waktu kuliah ngejar-ngejar Alan. Secara Alan kan tampan dan pintar?”

Eh, apa? Barusan Kinan memuji Alan? Sengaja atau nggak sengaja, tuh?

“Ya udah, sih, Nan. Kan sekarang kamu yang jadi calon istrinya Alan. Biarin mereka mau bilang atau secemburu apa,” kata Julia.

Mereka berdiri di samping meja seserahan. Sejenak berhenti berbincang.

Kinan pun langsung terpaku di salah satu bingkisan seserahan itu. Ada sesuatu yang menyelinap di sana.

“Astaga! Apa ini?” sontak Kinan kaget.

“Apaan?”

Kedua temannya juga terheran oleh Kinan yang seketika seolah kaget karena bersamaan dengan petir yang bersuara di awan.

***

Mau lanjut? Komen yang banyak dulu yah! ^^

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status