Share

Ruang Bawah Tanah

Author: Metathea
last update Last Updated: 2022-05-31 15:39:44

Tak!

Seorang pria berkaos hitam dan celana panjang warna senada menekan saklar hingga deretan lampu kecil yang tersebar di langit-langit ruangan menyala secara serempak. Ruangan itu dibangun di bawah permukaan tanah, berukuran lima kali tujuh meter dan dibuat tanpa sekat. Diisi dengan satu meja besar utama dan tujuh meja kerja yang dilengkapi dengan komputer.

"Huft...," pria itu menghela napas kemudian duduk di sebuah kursi kerja berwarna hitam.

David, pria itu memeriksa lengan kirinya yang terlihat lebam dan mulai membiru. Meskipun terlihat begitu menyakitkan namun wajahnya tampak begitu datar. Tidak ada ekspresi tertentu seperti kesakitan atau semacamnya. Ia mengambil perban di saku celananya dan menutup luka lebamnya.

Setelah luka itu terbalut seluruhnya, David menyalakan komputer di depannya dan berniat untuk menjalankan tahap akhir dari pekerjaannya hari ini.

"Kamu sudah tiba?" tanya sebuah suara yang bersumber dari dalam elevator.

Seorang wanita berambut panjang dan terikat keluar dari balok elevator dan langsung berjalan menghampiri David.

"Baru lima menit lalu mungkin? Kamu datang pagi sekali," kata David dengan kedua tangan yang merentang lebar.

Wanita itu menyambut rentangan tangan David dengan sebuah pelukan. Ia membuat posisi tubuhnya lebih nyaman dengan duduk di atas pangkuan David lalu berkata, "Aku harus menyelesaikan transaksi sebelum pukul delapan. Padahal aku baru bisa tidur jam lima pagi tadi," keluh wanita itu.

"Kasihan sekali pacarku ini. Kalau begitu aku akan menyelesaikan pekerjaanku secepatnya supaya bisa menemani kamu beristirahat di rumah. Bagaimana?" ucap David sembari membelai surai kekasihnya.

"Kamu yakin tidak akan ada tugas tambahan dari Master?"

"Aku sudah mengambil tugas dadakan kemarin, Ellie. Jadi hari ini tidak akan ada pekerjaan lagi setelah pukul sembilan."

Ellie melepaskan pelukannya dan beralih duduk di kursi samping David. Ia menyentuh permukaan perban yang membalut lengan kiri David.

"Hm?" David menatap wajah kekasihnya yang tampak murung.

"Apakah ini sakit?" tanya Ellie sambil menekan lengan David yang diperban.

David meringis tanpa suara lalu berkata, "Sedikit sakit," sahut lelaki itu. Ia menahan tangan Ellie dan mendorong tangan itu menjauh. "Ayo kita kerjakan tugas masing-masing agar bisa segera selesai dan bisa beristirahat," lanjut David.

Ellie memberikan senyum palsu kemudian beranjak dari tempat duduknya untuk menuju meja kerjanya.

Dua sejoli itu segera memulai pekerjaan masing-masing. Berbeda dengan atmosfer sebelumnya yang penuh cinta dan kasih, ketika memasuki mode bekerja keduanya akan sama-sama fokus. Bola mata yang bergerak tiada henti untuk membaca setiap detail tulisan di layar, jemari yang menekan tuts huruf dan angka dengan begitu cekatan, serta otak yang bekerja berkali-kali lipat untuk menghindari kesalahan yang bisa jadi mengancam nyawa mereka.

Ting!

Pintu lift terbuka setelah satu suara dentingan berbunyi. Louis keluar dari sana bersama dua orang penjaga pribadinya.

David dan Ellie seketika menghentikan pekerjaannya dan berdiri tegap untuk menyambut kedatangan bos besar mereka itu.

"Selamat pagi, Master," sapa David sembari menundukkan pandangannya.

"Lanjutkan saja pekerjaan kalian. Tidak usah hiraukan aku." Louis mengisyaratkan dengan tangannya agar mereka kembali dengan pekerjaannya.

"Baik, Master."

Louis mengingat sesuatu di kepalanya kemudian menoleh ke arah David dan bertanya, "Ah iya. Bagaimana dengan A11?"

"Dia pergi ke luar kota bersama dengan putrinya untuk mengunjungi makam istrinya. Saya sudah mengirimkan pesan kepada A11 tentang pertemuan mendadak pagi ini," jelas David kepada tuannya.

Louis mengangguk kecil kemudian melipat tangannya di depan dada. "Lalu? Dia sudah kembali ke sini?"

"Dia mengambil penerbangan tengah malam dan kemungkinan sudah sampai sekitar pukul lima pagi tadi. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda A11 akan kabur," lanjut David lagi.

"Baiklah kalau begitu suruh Juan segera ke sini untuk melakukan transaksi dengan klien baru kita."

"Soal itu... dia masih belum kembali ke kota ini. A11 meninggalkan putrinya di sana, jadi saya meminta Juan untuk mengawasi putri A11 sekitar satu hari lagi."

Louis menaikkan salah satu alisnya. "Apa aku pernah memerintahkan hal semacam itu?" tanya Louis nyaris berbisik.

"Maaf karena sudah melakukan perintah diluar persetujuan Master," mohon David sembari membungkukkan tubuhnya semakin rendah.

Tangan kanan Louis menarik segenggam rambut David hingga wajah lelaki itu menghadap ke arahnya. Dengan mata yang tajam ia berkata, "Keputusan yang bagus. Beri tahu Juan untuk bersiap menjadikan gadis itu tawanan jika sewaktu-waktu A11 bertingkah diluar kendali kita," tukas Louis, diakhiri dengan sebuah senyuman.

Ellie mengepalkan kedua tangannya karena tegang. Ia khawatir David akan mendapatkan luka baru sebagai hukuman atas keputusannya untuk melangkahi perintah Master.

Louis melepaskan rambut David kemudian menepuk pundak lelaki itu dengan lembut. "Bukankah kamu sudah sangat cocok untuk menggantikan aku? Hahahaha... anak emasku yang satu ini," puji Louis. "Tapi karena Juan tidak ada di sini, jadi kamu yang akan menggantikan dia bertransaksi siang ini."

"Baik, Master."

Louis berjalan meninggalkan David untuk menduduki kursi kebesarannya di ujung ruangan. David melirik ke arah Ellie lalu tersenyum, berusaha menenangkan kekasihnya yang sudah memperlihatkan wajah yang begitu khawatir.

"Ellie, bagaimana dengan pembelian emasnya?" tanya Louis saat melewati meja kerja Ellie.

Wajah penuh kekhawatiran Ellie seketika berubah. Ia menyampaikan informasi yang diinginkan sang Master tanpa melupakan senyuman di akhir penyampaian. "Semuanya sudah beres, Master. Saya tinggal mengirimkan detail lokasi pertemuan untuk kita mengambil barangnya."

"Kerja bagus, cantik. Ah... sepertinya hari ini akan menjadi hari yang begitu menyenangkan. Anak-anak emasku menjalankan tugasnya dengan baik bahkan ketika matahari baru terbit, dan klien baru yang sangat loyal," ungkap Louis dengan wajah yang berseri-seri.

David menyeringai kecil. Bola matanya melirik ke bagian ujung ruangan tepatnya meja besar yang baru saja dilewati oleh Louis.

***

"Jadi daripada kamu mati sia-sia di jalanan lebih baik kamu mati nanti setelah membantu aku menghasilkan banyak uang. Bukan begitu?"

Lelaki dewasa berjaket kulit itu duduk di atas sebuah kursi dengan tangan kanan yang membelai lembut kepala seorang anak laki-laki yang berusia sekitar delapan tahun. Anak itu berlutut di lantai dengan tubuh yang gemetar hebat. Satu dari dua matanya bengkak dan membiru hingga sulit untuk dibuka.

"Bagaimana? Kamu terima tawaranku atau mau mati lebih cepat saja? Jika tidak mau terlalu menderita aku bisa membantu kamu agar mati lebih cepat dan tanpa rasa sakit," Louis melemparkan satu tawaran.

Bibir anak laki-laki itu turut bergetar hingga kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata. Air matanya yang justru keluar dengan deras tanpa kesulitan.

"Ja.. janga... ampun... ja... jangan....," ucap anak lelaki itu terbata-bata.

Buk!

Sebuah pukulan dari tangan Louis mendarat ke pipi anak laki-laki itu hingga tubuh kecilnya terdorong ke samping. Ia meraung kesakitan sekaligus menangis ketakutan hingga suara pria kecil itu menjadi serak.

"Aku beri satu kesempatan terakhir untuk memohon dengan benar," kata Louis dengan suara yang penuh dengan intimidasi.

Anak laki-laki itu buru-buru mengembalikan posisinya untuk berlutut, bahkan hingga bersujud di depan kaki Louis. Dua telapak tangannya menempel di atas sepatu Louis hingga sepatu mengilap itu menjadi kotor oleh keringat dan sedikit darah di beberapa bagian.

"Satu... dua...,"

"Tolong jangan bunuh saya. Saya akan melakukan apa saja tapi jangan bunuh saya," mohon anak laki-laki itu dengan suara yang parau dan nyaris hilang. Kehabisan daya akibat telah berteriak berkali-kali hari ini.

"Kalau begitu bangun. Berdiri dari situ. Kemari," perintah Louis. Ia kemudian merentangkan kedua tangannya.

Dengan napas yang masih tersendat dan air mata yang terus mengalir anak laki-laki itu berdiri terpincang-pincang. Kepalanya masih tertunduk karena takut.

"Tidak apa-apa, lebih mendekat ke sini supaya aku bisa memelukmu," kata Louis dengan bibir yang terus tersenyum.

Anak laki-laki itu mendekat perlahan-lahan kemudian menerima pelukan dari Louis. Tangisnya kembali pecah di dada Louis.

Louis memeluk anak itu dengan penuh kasih sayang seolah tidak pernah terjadi kekerasan yang ia lakukan sebelumnya. "Berhenti menangis sebelum air matamu mengotori pakaianku lebih banyak lagi."

Seketika tangisan anak laki-laki itu berhenti. Ia menahan air mata dan suara tangisnya dengan berlandaskan ketakutan. Berusaha mati-matian agar tidak membuat Louis kesal lalu akan membunuhnya tanpa ragu-ragu saat itu juga.

"Bagus. Anakku memang harus patuh dan tumbuh menjadi laki-laki yang hebat," puji Louis yang masih terus membelai lembut tubuh bagian belakang si anak laki-laki di dekapannya. "Kamu mengerti?"

"Iya, saya mengerti," jawab anak itu. Kali ini suaranya sudah mulai stabil dari sebelumnya, meski serak masih mendominasi.

Louis melepaskan pelukannya kemudian mengangkat tubuh anak lelaki itu untuk didudukkan di atas meja. Louis menyeka sisa air mata di wajah si anak dan merapikan rambutnya yang berantakan dengan sebuah sisir kecil yang ia ambil dari saku jaket bagian dalam.

"Mulai sekarang panggil aku dengan sebutan Ayah." Louis mengangkat dagu anak itu agar mata mereka bisa bertemu.

"A...,"

"Ayo coba panggil aku. A-yah," bimbing Louis.

Si anak memberanikan diri untuk menatap Louis kemudian dengan mantap ia mengatakan, "Ayah."

Tawa bangga Louis keluar seketika ia mendengar anak di depannya memanggil dirinya dengan sebutan Ayah. "Hahaha... bagus. Begitu, aku sudah mulai menyukaimu. Ah, aku hampir lupa," Louis menarik kenop laci meja dan mencari sesuatu dari dalam sana. "Hewan apa yang kamu suka?"

"Beruang?"

Louis menatap anak itu dengan mata yang tajam. "Beruang? Kamu bercanda?"

Anak laki-laki itu langsung menundukkan pandangan dan kedua mata yang ia pejamkan. Kedua tangannya saling meremas dengan kuat, bersiap-siap untuk menahan rasa sakit jika Louis akan kembali memukulnya karena jawaban barusan.

"Bagaiman kamu bisa menyukai hewan yang sama denganku? Hahaha...," cetus Louis, kali ini ia berhasil mengambil sebuah barang dari laci dan telah menggenggamnya di tangan kanan.

Si anak membuang napas yang sebelumnya ia tahan. Ia lega karena tidak akan mendapatkan hantaman di tubuhnya.

"Kamu tahu? Waktu masih di sekolah dasar aku adalah pemilik nilai menggambar paling tinggi di kelas setiap tahunnya. Aku mungkin akan jadi seorang pelukis jika saja tidak masuk ke pekerjaan saat ini," ucap Louis sembari mengotak-atik benda di tangannya agar dapat segera ia gunakan.

Hanya anggukan yang diberikan oleh anak laki-laki itu sebagai jawaban. Perlahan-lahan perasaan takut dan terancamnya berkurang saat mendengar cerita Louis.

Louis menyambungkan alat yang ia pegang dengan saluran listrik kemudian memberikan perintah, "Aku akan menunjukkan kepada anak laki-laki tercintaku ini kemampuan menggambar yang aku punya. Buka bajumu."

Anak itu memandang Louis dan benda di tangannya dengan bingung. Ia segera menuruti perintah Louis untuk membuka bajunya.

"Hewan apa tadi? Beruang? Ya, kamu memang harus bisa tumbuh seganas beruang. Jangan bergerak, ya?" ujar Louis.

Masih belum mengerti dengan apa yang akan dilakukan Louis, anak laki-laki itu hanya menurut. Louis memegang sebuah benda kecil yang mampu digenggam dengan satu tangan. Ujung benda itu begitu runcing—jarum. Louis memegang benda itu seperti sedang memegang pena kemudian perlahan mendekatkan ujung jarumnya ke bagian dada kiri anak laki-laki di depannya.

"Kamu tahu satu keahlian lain yang aku punya? Aku tidak perlu membuat sketsa atau semacamnya. Cukup langsung mulai menggambar saja...."

Suara mesin kecil itu mulai terdengar. Ia mendesis seperti siap untuk mengerjakan tugasnya. Louis mempertemukan bagian ujung jarum dengan kulit dada kiri anak laki-laki itu.

"Akh!" Anak itu memekik dengan suara yang tertahan.

Permukaan kulitnya seperti disuntik ratusan kali tanpa henti. Ia menggenggam ujung meja untuk menahan rasa sakit di permukaan dada kirinya. Rasanya jarum itu akan segera menembus hingga jantung.

"Bagus, kamu sangat patuh. Ini adalah hadiahku untukmu. Hadiah yang harus kamu jaga seumur hidup."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love Between Blood and Tears   Lukas dan Lilly (II)

    "Sekali lagi terima kasih banyak," kata Lilly yang akhirnya menerima pemberian laki-laki di depannya.Lukas terus berkata di dalam hati bahwa mereka hanyalah teman. Hanya teman. Tidak ada hal lain yang perlu dicemaskan. Hanya teman. Hanya teman. Lelaki itu pergi dengan sebuah mobil. Lukas menunggu mobil itu telah benar-benar jauh dan Lilly telah masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan keberadaan Lilly di dalam rumah, Lukas segera menyiapkan kue dan lilin di tempat ia bersembunyi sejak tadi. Karena tidak memerhatikan posisi kotak kue, Lukas membuat kue di dalam kotak menjadi sedikit penyok pada satu sisi. "Bagaimana ini," Lukas panik. Ia berusaha memperbaiki bentuk kuenya, tapi tidak berhasil. Pada akhirnya Lukas terpaksa membawa sebuah kue yang sedikit rusak ke dalam rumah. Lukas mulai melewati area pekarangan rumah, berhenti sejenak di depan pintu untuk mengatur napas, kemudian membuka pelan pintu rumahnya. Suara pintu yang terbuka membuat Lilly mendatanginya."Siapa yang...."

  • Love Between Blood and Tears   Lukas dan Lilly (I)

    Acara kelulusan berjalan dengan meriah. Berbanding lurus dengan riuh kegembiraan dari para siswa dan orang tua mereka.Meskipun Lilly telah memberi tahu bahwa Lukas tidak akan datang, Lucas masih terus menatap bangku kosong di samping ibunya. Acara hampir berakhir namun kursi itu tetap kosong. Lucas sempat tertipu ketika tiba-tiba saja kursi itu diduduki oleh seseorang. Sayang, dia bukanlah yang Lucas nantikan. Melainkan orang tua dari siswa lain yang menyapa Lilly. Acara sudah benar-benar resmi ditutup dan para orang tua menghambur dari kursi tamu menuju anak mereka, termasuk Lilly."Selamat, Sayang. Kamu lulus dengan nilai yang sangat memuaskan!" puji Lilly yang kemudian memeluk Lucas dengan erat.Sesekali Lilly juga menyapa dan berbasa-basi dengan orang tua serta siswa lainnya. Terlebih teman-teman yang sering bermain dengan Lucas.Lucas tersenyum bahagia, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Padahal ia sudah berjanji untuk tidak kecewa meskipun Lukas tidak datang. Ia tid

  • Love Between Blood and Tears   Lilly dan Lucas (II)

    Setelah melewati malam yang menegangkan, Lukas memutuskan untuk mulai memperbaiki kualitas hubungannya lagi. Bukan dengan Lilly, melainkan dengan Lucas putranya.Pasangan suami istri itu bersandiwara dengan begitu hebat di depan Lucas. Tersenyum dan saling bertegur sapa seperti hari-hari sebelum badai menyerang. Juga memberikan kecupan satu sama lain seperti sepasang kekasih baru yang tidak pernah mengenal pertengkaran.Beberapa hari berlalu seperti biasa. Bedanya hanya Lilly dan Lukas yang saling diam kecuali Lucas sedang berada bersama mereka."Lucas, kamu sudah memasukkan bahan kerajinan tangan yang telah disiapkan semalam?" tanya Lilly yang berteriak dari dapur. Ia tengah sibuk menyiapkan dua bekal untuk suami dan anaknya."Sudah, Ma.""Papa berangkat dulu, Sayang. Semoga sekolahmu hari ini menyenangkan," Lukas berpamitan kemudian mencium kening Lucas."Tolong berhenti mencium aku, Papa! Aku sudah besar dan tidak ada teman laki-laki sekelasku yang mendapatkan ciuman setiap pagi da

  • Love Between Blood and Tears   Lilly dan Lucas (I)

    "Jangan bicara omong kosong! Harusnya dia sendiri yang bilang begitu, bukan kamu," cetus Lilly.Lucas tersenyum dan berkata, "Iya, baiklah."Lilly segera melonggarkan pelukannya. "Segera mandi, makan lalu tidurlah. Jangan sampai kamu sakit."Lucas menurut. Ia segera menjalankan perintah ibunya—mandi.Sementara Lilly kembali ke dapur untuk mempersiapkan hidangan pagi yang seharusnya ia hidangkan dua jam lagi.Lucas keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah kuyup leher dan bahunya ikut basah terkena tetesan air yang terjun dari rambutnya."Lihat, lantainya jadi basah karena kamu tidak mengeringkan rambut dengan benar!"Ternyata ada yang masih tidak berubah meskipun dua puluh tahun sudah berlalu.***"Hei! Keringkan dulu badan kalian dengan handuk sebelum berjalan kemari," suruh Lilly. "lihat lantainya jadi basah karena kalian tidak mengeringkan rambut dan tubuh dengan beenar!" seru Lilly lagi. Lucas menatap ayahnya kemudian mereka sama-sama tersenyum dengan wajah bersalah.

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (III)

    Julie terkekeh tanpa merasa bersalah. "Lain kali jangan terlambat lagi. Ayo masuk." Satu keluarga kecil itu masuk ke dalam taksi dan meluncur ke bandara. Mereka tidak terlambat tiba di bandara dan semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Meskipun pagi mereka harus dihiasi dengan kegaduhan dan kepanikan karena terlambat bangun. "Sepasang suami istri itu sudah menikah selama delapan tahun. Putri mereka juga sudah berusia enam tahun. Tapi sepanjang perjalanan apabila salah satu tangan mereka sama-sama bebas dari tanggung jawab keduanya akan saling menggenggam satu sama lain dengan mesra. Untung saja Thea tertidur sepanjang perjalanan. Jadi ia tidak harus menyaksikan kemesraan apa saja yang kedua orang tuanya lakukan selama perjalanan. Antonio mengusap lembut pipi Thea untuk membangunkan putri kecilnya itu. "Sayang, kita sudah sampai." Mereka sudah sampai di penginapan setelah menempuh perjalanan darat selama satu jam dan satu jam perjalanan udara. "Humm...." Antonio mengecup pipi Ju

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (II)

    "Tiba-tiba? Malam ini juga?" Thea mengernyitkan dahi, masih belum memercayai apa yang Antonio katakan."Lebih cepat lebih baik, bukan?" Antonio merespon pertanyaan Thea kemudian berkata kepada dua karyawan yang masih berdiri canggung, "Hei kalian, ayo kita makan dulu sebelum mulai membereskan barang-barang. Lagipula tidak banyak yang harus dibawa jadi pasti akan selesai dengan cepat."Antonio menikmati makan tengah malamnya—lagi—bersama Thea, Lucas, dan dua karyawannya. "Kamu tidak mau ayamnya, Thea? Atau kentang?" Antonio menawari Thea yang hanya mengambil tumisan buatan Lucas saja tanpa menyentuh ayam ataupun kudapan lain yang Antonio telah beli."Tidak. Ini sudah cukup," tukas Thea singkat.Hanya Antonio yang makan dengan lahap. Thea menyuapkan nasi dan lauk dengan malas, sementara tiga laki-laki lainnya makan dengan canggung dan sesekali saling melirik."Aku sudah selesai," cetus Thea. Ia memang hanya mengambil sedikit sekali makanan. Meski begitu ia bahkan tidak menghabiskan is

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status