Share

Ruang Bawah Tanah

Tak!

Seorang pria berkaos hitam dan celana panjang warna senada menekan saklar hingga deretan lampu kecil yang tersebar di langit-langit ruangan menyala secara serempak. Ruangan itu dibangun di bawah permukaan tanah, berukuran lima kali tujuh meter dan dibuat tanpa sekat. Diisi dengan satu meja besar utama dan tujuh meja kerja yang dilengkapi dengan komputer.

"Huft...," pria itu menghela napas kemudian duduk di sebuah kursi kerja berwarna hitam.

David, pria itu memeriksa lengan kirinya yang terlihat lebam dan mulai membiru. Meskipun terlihat begitu menyakitkan namun wajahnya tampak begitu datar. Tidak ada ekspresi tertentu seperti kesakitan atau semacamnya. Ia mengambil perban di saku celananya dan menutup luka lebamnya.

Setelah luka itu terbalut seluruhnya, David menyalakan komputer di depannya dan berniat untuk menjalankan tahap akhir dari pekerjaannya hari ini.

"Kamu sudah tiba?" tanya sebuah suara yang bersumber dari dalam elevator.

Seorang wanita berambut panjang dan terikat keluar dari balok elevator dan langsung berjalan menghampiri David.

"Baru lima menit lalu mungkin? Kamu datang pagi sekali," kata David dengan kedua tangan yang merentang lebar.

Wanita itu menyambut rentangan tangan David dengan sebuah pelukan. Ia membuat posisi tubuhnya lebih nyaman dengan duduk di atas pangkuan David lalu berkata, "Aku harus menyelesaikan transaksi sebelum pukul delapan. Padahal aku baru bisa tidur jam lima pagi tadi," keluh wanita itu.

"Kasihan sekali pacarku ini. Kalau begitu aku akan menyelesaikan pekerjaanku secepatnya supaya bisa menemani kamu beristirahat di rumah. Bagaimana?" ucap David sembari membelai surai kekasihnya.

"Kamu yakin tidak akan ada tugas tambahan dari Master?"

"Aku sudah mengambil tugas dadakan kemarin, Ellie. Jadi hari ini tidak akan ada pekerjaan lagi setelah pukul sembilan."

Ellie melepaskan pelukannya dan beralih duduk di kursi samping David. Ia menyentuh permukaan perban yang membalut lengan kiri David.

"Hm?" David menatap wajah kekasihnya yang tampak murung.

"Apakah ini sakit?" tanya Ellie sambil menekan lengan David yang diperban.

David meringis tanpa suara lalu berkata, "Sedikit sakit," sahut lelaki itu. Ia menahan tangan Ellie dan mendorong tangan itu menjauh. "Ayo kita kerjakan tugas masing-masing agar bisa segera selesai dan bisa beristirahat," lanjut David.

Ellie memberikan senyum palsu kemudian beranjak dari tempat duduknya untuk menuju meja kerjanya.

Dua sejoli itu segera memulai pekerjaan masing-masing. Berbeda dengan atmosfer sebelumnya yang penuh cinta dan kasih, ketika memasuki mode bekerja keduanya akan sama-sama fokus. Bola mata yang bergerak tiada henti untuk membaca setiap detail tulisan di layar, jemari yang menekan tuts huruf dan angka dengan begitu cekatan, serta otak yang bekerja berkali-kali lipat untuk menghindari kesalahan yang bisa jadi mengancam nyawa mereka.

Ting!

Pintu lift terbuka setelah satu suara dentingan berbunyi. Louis keluar dari sana bersama dua orang penjaga pribadinya.

David dan Ellie seketika menghentikan pekerjaannya dan berdiri tegap untuk menyambut kedatangan bos besar mereka itu.

"Selamat pagi, Master," sapa David sembari menundukkan pandangannya.

"Lanjutkan saja pekerjaan kalian. Tidak usah hiraukan aku." Louis mengisyaratkan dengan tangannya agar mereka kembali dengan pekerjaannya.

"Baik, Master."

Louis mengingat sesuatu di kepalanya kemudian menoleh ke arah David dan bertanya, "Ah iya. Bagaimana dengan A11?"

"Dia pergi ke luar kota bersama dengan putrinya untuk mengunjungi makam istrinya. Saya sudah mengirimkan pesan kepada A11 tentang pertemuan mendadak pagi ini," jelas David kepada tuannya.

Louis mengangguk kecil kemudian melipat tangannya di depan dada. "Lalu? Dia sudah kembali ke sini?"

"Dia mengambil penerbangan tengah malam dan kemungkinan sudah sampai sekitar pukul lima pagi tadi. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda A11 akan kabur," lanjut David lagi.

"Baiklah kalau begitu suruh Juan segera ke sini untuk melakukan transaksi dengan klien baru kita."

"Soal itu... dia masih belum kembali ke kota ini. A11 meninggalkan putrinya di sana, jadi saya meminta Juan untuk mengawasi putri A11 sekitar satu hari lagi."

Louis menaikkan salah satu alisnya. "Apa aku pernah memerintahkan hal semacam itu?" tanya Louis nyaris berbisik.

"Maaf karena sudah melakukan perintah diluar persetujuan Master," mohon David sembari membungkukkan tubuhnya semakin rendah.

Tangan kanan Louis menarik segenggam rambut David hingga wajah lelaki itu menghadap ke arahnya. Dengan mata yang tajam ia berkata, "Keputusan yang bagus. Beri tahu Juan untuk bersiap menjadikan gadis itu tawanan jika sewaktu-waktu A11 bertingkah diluar kendali kita," tukas Louis, diakhiri dengan sebuah senyuman.

Ellie mengepalkan kedua tangannya karena tegang. Ia khawatir David akan mendapatkan luka baru sebagai hukuman atas keputusannya untuk melangkahi perintah Master.

Louis melepaskan rambut David kemudian menepuk pundak lelaki itu dengan lembut. "Bukankah kamu sudah sangat cocok untuk menggantikan aku? Hahahaha... anak emasku yang satu ini," puji Louis. "Tapi karena Juan tidak ada di sini, jadi kamu yang akan menggantikan dia bertransaksi siang ini."

"Baik, Master."

Louis berjalan meninggalkan David untuk menduduki kursi kebesarannya di ujung ruangan. David melirik ke arah Ellie lalu tersenyum, berusaha menenangkan kekasihnya yang sudah memperlihatkan wajah yang begitu khawatir.

"Ellie, bagaimana dengan pembelian emasnya?" tanya Louis saat melewati meja kerja Ellie.

Wajah penuh kekhawatiran Ellie seketika berubah. Ia menyampaikan informasi yang diinginkan sang Master tanpa melupakan senyuman di akhir penyampaian. "Semuanya sudah beres, Master. Saya tinggal mengirimkan detail lokasi pertemuan untuk kita mengambil barangnya."

"Kerja bagus, cantik. Ah... sepertinya hari ini akan menjadi hari yang begitu menyenangkan. Anak-anak emasku menjalankan tugasnya dengan baik bahkan ketika matahari baru terbit, dan klien baru yang sangat loyal," ungkap Louis dengan wajah yang berseri-seri.

David menyeringai kecil. Bola matanya melirik ke bagian ujung ruangan tepatnya meja besar yang baru saja dilewati oleh Louis.

***

"Jadi daripada kamu mati sia-sia di jalanan lebih baik kamu mati nanti setelah membantu aku menghasilkan banyak uang. Bukan begitu?"

Lelaki dewasa berjaket kulit itu duduk di atas sebuah kursi dengan tangan kanan yang membelai lembut kepala seorang anak laki-laki yang berusia sekitar delapan tahun. Anak itu berlutut di lantai dengan tubuh yang gemetar hebat. Satu dari dua matanya bengkak dan membiru hingga sulit untuk dibuka.

"Bagaimana? Kamu terima tawaranku atau mau mati lebih cepat saja? Jika tidak mau terlalu menderita aku bisa membantu kamu agar mati lebih cepat dan tanpa rasa sakit," Louis melemparkan satu tawaran.

Bibir anak laki-laki itu turut bergetar hingga kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata. Air matanya yang justru keluar dengan deras tanpa kesulitan.

"Ja.. janga... ampun... ja... jangan....," ucap anak lelaki itu terbata-bata.

Buk!

Sebuah pukulan dari tangan Louis mendarat ke pipi anak laki-laki itu hingga tubuh kecilnya terdorong ke samping. Ia meraung kesakitan sekaligus menangis ketakutan hingga suara pria kecil itu menjadi serak.

"Aku beri satu kesempatan terakhir untuk memohon dengan benar," kata Louis dengan suara yang penuh dengan intimidasi.

Anak laki-laki itu buru-buru mengembalikan posisinya untuk berlutut, bahkan hingga bersujud di depan kaki Louis. Dua telapak tangannya menempel di atas sepatu Louis hingga sepatu mengilap itu menjadi kotor oleh keringat dan sedikit darah di beberapa bagian.

"Satu... dua...,"

"Tolong jangan bunuh saya. Saya akan melakukan apa saja tapi jangan bunuh saya," mohon anak laki-laki itu dengan suara yang parau dan nyaris hilang. Kehabisan daya akibat telah berteriak berkali-kali hari ini.

"Kalau begitu bangun. Berdiri dari situ. Kemari," perintah Louis. Ia kemudian merentangkan kedua tangannya.

Dengan napas yang masih tersendat dan air mata yang terus mengalir anak laki-laki itu berdiri terpincang-pincang. Kepalanya masih tertunduk karena takut.

"Tidak apa-apa, lebih mendekat ke sini supaya aku bisa memelukmu," kata Louis dengan bibir yang terus tersenyum.

Anak laki-laki itu mendekat perlahan-lahan kemudian menerima pelukan dari Louis. Tangisnya kembali pecah di dada Louis.

Louis memeluk anak itu dengan penuh kasih sayang seolah tidak pernah terjadi kekerasan yang ia lakukan sebelumnya. "Berhenti menangis sebelum air matamu mengotori pakaianku lebih banyak lagi."

Seketika tangisan anak laki-laki itu berhenti. Ia menahan air mata dan suara tangisnya dengan berlandaskan ketakutan. Berusaha mati-matian agar tidak membuat Louis kesal lalu akan membunuhnya tanpa ragu-ragu saat itu juga.

"Bagus. Anakku memang harus patuh dan tumbuh menjadi laki-laki yang hebat," puji Louis yang masih terus membelai lembut tubuh bagian belakang si anak laki-laki di dekapannya. "Kamu mengerti?"

"Iya, saya mengerti," jawab anak itu. Kali ini suaranya sudah mulai stabil dari sebelumnya, meski serak masih mendominasi.

Louis melepaskan pelukannya kemudian mengangkat tubuh anak lelaki itu untuk didudukkan di atas meja. Louis menyeka sisa air mata di wajah si anak dan merapikan rambutnya yang berantakan dengan sebuah sisir kecil yang ia ambil dari saku jaket bagian dalam.

"Mulai sekarang panggil aku dengan sebutan Ayah." Louis mengangkat dagu anak itu agar mata mereka bisa bertemu.

"A...,"

"Ayo coba panggil aku. A-yah," bimbing Louis.

Si anak memberanikan diri untuk menatap Louis kemudian dengan mantap ia mengatakan, "Ayah."

Tawa bangga Louis keluar seketika ia mendengar anak di depannya memanggil dirinya dengan sebutan Ayah. "Hahaha... bagus. Begitu, aku sudah mulai menyukaimu. Ah, aku hampir lupa," Louis menarik kenop laci meja dan mencari sesuatu dari dalam sana. "Hewan apa yang kamu suka?"

"Beruang?"

Louis menatap anak itu dengan mata yang tajam. "Beruang? Kamu bercanda?"

Anak laki-laki itu langsung menundukkan pandangan dan kedua mata yang ia pejamkan. Kedua tangannya saling meremas dengan kuat, bersiap-siap untuk menahan rasa sakit jika Louis akan kembali memukulnya karena jawaban barusan.

"Bagaiman kamu bisa menyukai hewan yang sama denganku? Hahaha...," cetus Louis, kali ini ia berhasil mengambil sebuah barang dari laci dan telah menggenggamnya di tangan kanan.

Si anak membuang napas yang sebelumnya ia tahan. Ia lega karena tidak akan mendapatkan hantaman di tubuhnya.

"Kamu tahu? Waktu masih di sekolah dasar aku adalah pemilik nilai menggambar paling tinggi di kelas setiap tahunnya. Aku mungkin akan jadi seorang pelukis jika saja tidak masuk ke pekerjaan saat ini," ucap Louis sembari mengotak-atik benda di tangannya agar dapat segera ia gunakan.

Hanya anggukan yang diberikan oleh anak laki-laki itu sebagai jawaban. Perlahan-lahan perasaan takut dan terancamnya berkurang saat mendengar cerita Louis.

Louis menyambungkan alat yang ia pegang dengan saluran listrik kemudian memberikan perintah, "Aku akan menunjukkan kepada anak laki-laki tercintaku ini kemampuan menggambar yang aku punya. Buka bajumu."

Anak itu memandang Louis dan benda di tangannya dengan bingung. Ia segera menuruti perintah Louis untuk membuka bajunya.

"Hewan apa tadi? Beruang? Ya, kamu memang harus bisa tumbuh seganas beruang. Jangan bergerak, ya?" ujar Louis.

Masih belum mengerti dengan apa yang akan dilakukan Louis, anak laki-laki itu hanya menurut. Louis memegang sebuah benda kecil yang mampu digenggam dengan satu tangan. Ujung benda itu begitu runcing—jarum. Louis memegang benda itu seperti sedang memegang pena kemudian perlahan mendekatkan ujung jarumnya ke bagian dada kiri anak laki-laki di depannya.

"Kamu tahu satu keahlian lain yang aku punya? Aku tidak perlu membuat sketsa atau semacamnya. Cukup langsung mulai menggambar saja...."

Suara mesin kecil itu mulai terdengar. Ia mendesis seperti siap untuk mengerjakan tugasnya. Louis mempertemukan bagian ujung jarum dengan kulit dada kiri anak laki-laki itu.

"Akh!" Anak itu memekik dengan suara yang tertahan.

Permukaan kulitnya seperti disuntik ratusan kali tanpa henti. Ia menggenggam ujung meja untuk menahan rasa sakit di permukaan dada kirinya. Rasanya jarum itu akan segera menembus hingga jantung.

"Bagus, kamu sangat patuh. Ini adalah hadiahku untukmu. Hadiah yang harus kamu jaga seumur hidup."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status