Share

Membereskan Sampah

Author: Metathea
last update Last Updated: 2022-05-24 13:20:54

"Persetan dengan benar atau salah. Yang aku inginkan hanya fakta. Sisanya, tinggal memanipulasi fakta itu menjadi hal yang kau anggap benar." —Louis Collard, ketua kelompok Collard

***

Asap rokok mengepul tiada henti dari sebuah cerutu berwarna senada tanah liat. Tangan penuh suntikan tinta dengan berbagai pola itu dengan lihai memainkan cerutu di genggamannya. Sesekali menyesap ujung lain dari cerutu dan menghembuskan asap putih pekat. Wajah arogan dilengkapi dengan alis tegas dan mata tajam mengentalkan suasana tegang di dalam ruangan.

"Sudah berapa lama kau bekerja padaku?" tanya sang tuan pemilik cerutu.

"Ampuni saya, Master. Ja... jangan sakiti anak saya...," kata seorang pria berwajah pucat pasi yang berdiri di atas lututnya.

Louis—tuan pemilik cerutu—mengangkat sebelah alisnya sembari mematik api, memanaskan ujung cerutu yang mulai layu. Kakinya yang dibalut sepatu hitam melangkah mendekati pria pucat tadi dan berhenti tepat di depan si pria. Telunjuk kanannya mengacung ke atas kemudian menunjuk si pria pucat, sebagai isyarat untuk beberapa orang yang berdiri di sudut ruangan.

Menerima pesan tersurat dari Louis, dua orang pria berbadan kekar dengan pakaian serba hitam kini berpindah posisi ke belakang si pria pucat. Keduanya menahan tangan pria kecil itu ke belakang hingga si pria terbatas geraknya.

"Beri saya satu kali kesempatan lagi! Saya akan mengirim ba... Aakkhhh!!!!" si pria pucat berteriak ketika ujung merah cerutu Louis mendarat di atas belikatnya.

"Tidak ada kesempatan kedua dalam kamusku dasar bodoh," kali ini giliran leher si pria yang menjadi sasaran cerutu Louis. Salah satu dari dua lelaki kekar yang merupakan bodyguard Louis menahan kepala si pria agar tidak menunduk, mempermudah kinerja Louis untuk menggambar di atas leher sang pria.

"Arghh... Apa yang kkhhh... kau lakukan?!" teriakan lelaki itu melengking memenuhi ruangan. Ia mengerang kesakitan. Cerutu berdiameter besar itu menerobos cukup dalam ke dalam kulitnya.

"Aku tidak bisa mendengar omongan seorang penipu sepertimu," Louis membuat beberapa cekungan di atas leher pria yang masih menggeliat kesakitan.

"Akhhh... k-kau... Aghh... Kau manusia brengsek... hhh...." amarah disertai kesakitan mewarnai kalimat pria yang tengah menjadi sasaran kekejaman Louis itu.

Louis memanaskan kembali cerutunya beberapa kali. Matanya mencari garis hijau di atas leher pria yang telah terengah-engah menahan rasa sakit. Saat berhasil bertemu dengan tujuannya, Louis kembali menempelkan ujung cerutu yang terbakar tepat di atas garis hijau kebiruan pada leher pria tadi. Raungan kembali terdengar. Cairan merah pekat mulai membanjiri leher pria itu.

"Aku pasti terlahir sebagai seorang pelukis yang jenius," Louis tersenyum bangga melihat hasil karya melukisnya di atas leher pria di depannya sebagai kanvas.

Aroma serupa daging bakar dan amis darah menyeruak dari leher pria yang sudah tidak berdaya. Louis menarik segenggam rambut pria itu dengan kasar hingga merenggangkan kulit leher si pria. Lelehan darah kembali keluar. Louis meraih ponselnya dan menghubungi salah satu kontak di sana.

"Ambil barangnya dan bunuh target W13 dua jam dari sekarang." ujar Louis kepada seseorang di seberang telepon.

Pria berwajah garang itu langsung mematikan sambungan telepon dan melangkah mundur. Alasannya adalah untuk membuat jarak yang pas.

Bugh!!!

Sebuah tendangan yang sangat keras menampar wajah lelaki yang sebelumnya mendapatkan sentuhan cerutu panas di lehernya. Pria itupun pingsan seketika.

"Singkirkan kotoran ini jauh-jauh dari pandanganku," Louis kembali menduduki kursi kulit berwarna cokelat padam di ujung ruangan.

Tubuh lelaki paruh baya yang menjadi sasaran Louis tadi diseret oleh dua orang berbadan kekar menuju keluar ruangan. Mereka kemudian 'membereskan' pria yang hampir mati tadi dengan membuangnya ke hutan belantara yang terletak beberapa kilometer dari markas utama.

Sementara itu, mobil SUV biru tengah melaju kencang dengan Juan sebagai pemegang kemudi. Kacamata berlensa bening ia ganti dengan hitam. Mobil itu berhenti di depan sebuah bangunan semacam rumah susun. Lingkungannya kotor dan sedikit kumuh, cukup menggambarkan kehidupan para penghuninya.

Juan menyiapkan sebuah pistol yang dilengkapi dengan peredam. Seperti biasa, ia akan melayangkan nyawa seseorang dengan senyap. Ia kemudian menghubungi salah satu kontak di ponselnya dengan nama "W13".

"Aku sudah di depan," ucap Juan singkat dan langsung memutuskan sambungan. Tidak berapa lama sesosok lelaki berperawakan kurus mendekati mobil Juan.

"Udara cerah pagi ini," ucap lelaki itu sambil mengetuk kaca mobil beberapa kali. Ia kemudian masuk ke dalam mobil setelah Juan mengisyaratkan dengan tangannya.

"Mana sample barangnya?" tanya Juan seketika setelah lelaki itu masuk ke dalam mobilnya.

Lelaki kecil itupun mengambil sebilah senjata api kecil dari saku mantelnya. "Raging Bull 454 sesuai pesanan Anda," ujarnya sembari menyodorkan pistol tadi kepada Juan.

"Berapa jumlah yang asli dan yang palsu?" Juan mengambil pistol dengan gagang bercorak merah itu dan memeriksanya.

"Ap... Apa maksud Anda? Semuanya 15 buah da... dan asli," peluh mulai membanjiri pelipis lelaki itu.

"Ah, benarkah? Kalau begitu mari kita lakukan uji coba," Juan mengarahkan moncong pistol ke arah mulut si lelaki.

"Tidak, se... semuanya asli," ucap si lelaki terbata-bata.

"Satu... Dua..." telunjuk Juan berada di atas pelatuk pistol.

"Ampuni saya, Tuan. Saya akan segera mengganti yang palsu dengan yang asli," lelaki itu bergetar hebat ketika kedua telapak tangannya bertemu untuk memohon.

"Rupanya benar kau dan ayahmu menipu kami," Juan menjejalkan ujung pistol ke dalam mulut si lelaki.

Pemuda itu gemetar dan tersudut di pintu mobil. Ia tidak lagi bisa memundurkan kepalanya. Sedikit demi sedikit ujung pistol masuk semakin dalam ke mulutnya.

"Ungg... Arghh!" si pemuda tersedak ujung senjata api yang mulai menyentuh tenggorokannya.

"Harus aku apakan penipu sepertimu?" Juan mulai menggerakan telunjuk yang berada tepat pada pelatuk.

Mata pemuda itu berair. Masih dengan rongrongan disela senjata yang menjejelai mulutnya, ia berharap kesalahannya kali ini diampuni dan nyawanya terselamatkan.

Tring...

Suara ponsel Juan sepertinya mengganggu suasana pagi itu. Juan menarik kembali pistol di tangannya dari mulut si pemuda dan membuka pesan yang masuk.

"Sepertinya kau sedikit beruntung," Mata Juan kembali pada pemuda tadi. "Siapa namamu?"

"Hadian. Sa-saya Hadian. Saya berjanji akan segera mengganti semua barang yang palsu," jawab Hadian, si pemuda itu dengan suara bergetar.

"Baiklah, Hadian. Sampai berapa hitunganku tadi?" kali ini ujung pistol Juan mengarah tepat di kening Haidan.

"A-aku mohon Tuan, jangan bunuh aku...."

"Tiga... empat... lima...."

"Akan kami ganti dua kali lipat! Ya, dua kali lipat!" Haidan mengajukan sebuah penawaran.

"Enam...."

"Baiklah lima kali lipat! Aku berjanji akan menggantinya...,"

"Kau lebih ingin mengganti rugi dibandingkan menyusul ayahmu ke surga?" mata Juan menusuk tajam ke dalam mata Haidan.

"A-apa maksud Tuan? Aku akan mengganti senjatanya bahkan sepuluh kali lipat! Bebaskan aku dan ayahku," suara Haidan mulai meninggi.

"Sepuluh. Kau terus mengoceh hingga membuatku melupakan hitungannya," Telunjuk Juan menarik pelatuk pistol di tangannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love Between Blood and Tears   Lukas dan Lilly (II)

    "Sekali lagi terima kasih banyak," kata Lilly yang akhirnya menerima pemberian laki-laki di depannya.Lukas terus berkata di dalam hati bahwa mereka hanyalah teman. Hanya teman. Tidak ada hal lain yang perlu dicemaskan. Hanya teman. Hanya teman. Lelaki itu pergi dengan sebuah mobil. Lukas menunggu mobil itu telah benar-benar jauh dan Lilly telah masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan keberadaan Lilly di dalam rumah, Lukas segera menyiapkan kue dan lilin di tempat ia bersembunyi sejak tadi. Karena tidak memerhatikan posisi kotak kue, Lukas membuat kue di dalam kotak menjadi sedikit penyok pada satu sisi. "Bagaimana ini," Lukas panik. Ia berusaha memperbaiki bentuk kuenya, tapi tidak berhasil. Pada akhirnya Lukas terpaksa membawa sebuah kue yang sedikit rusak ke dalam rumah. Lukas mulai melewati area pekarangan rumah, berhenti sejenak di depan pintu untuk mengatur napas, kemudian membuka pelan pintu rumahnya. Suara pintu yang terbuka membuat Lilly mendatanginya."Siapa yang...."

  • Love Between Blood and Tears   Lukas dan Lilly (I)

    Acara kelulusan berjalan dengan meriah. Berbanding lurus dengan riuh kegembiraan dari para siswa dan orang tua mereka.Meskipun Lilly telah memberi tahu bahwa Lukas tidak akan datang, Lucas masih terus menatap bangku kosong di samping ibunya. Acara hampir berakhir namun kursi itu tetap kosong. Lucas sempat tertipu ketika tiba-tiba saja kursi itu diduduki oleh seseorang. Sayang, dia bukanlah yang Lucas nantikan. Melainkan orang tua dari siswa lain yang menyapa Lilly. Acara sudah benar-benar resmi ditutup dan para orang tua menghambur dari kursi tamu menuju anak mereka, termasuk Lilly."Selamat, Sayang. Kamu lulus dengan nilai yang sangat memuaskan!" puji Lilly yang kemudian memeluk Lucas dengan erat.Sesekali Lilly juga menyapa dan berbasa-basi dengan orang tua serta siswa lainnya. Terlebih teman-teman yang sering bermain dengan Lucas.Lucas tersenyum bahagia, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Padahal ia sudah berjanji untuk tidak kecewa meskipun Lukas tidak datang. Ia tid

  • Love Between Blood and Tears   Lilly dan Lucas (II)

    Setelah melewati malam yang menegangkan, Lukas memutuskan untuk mulai memperbaiki kualitas hubungannya lagi. Bukan dengan Lilly, melainkan dengan Lucas putranya.Pasangan suami istri itu bersandiwara dengan begitu hebat di depan Lucas. Tersenyum dan saling bertegur sapa seperti hari-hari sebelum badai menyerang. Juga memberikan kecupan satu sama lain seperti sepasang kekasih baru yang tidak pernah mengenal pertengkaran.Beberapa hari berlalu seperti biasa. Bedanya hanya Lilly dan Lukas yang saling diam kecuali Lucas sedang berada bersama mereka."Lucas, kamu sudah memasukkan bahan kerajinan tangan yang telah disiapkan semalam?" tanya Lilly yang berteriak dari dapur. Ia tengah sibuk menyiapkan dua bekal untuk suami dan anaknya."Sudah, Ma.""Papa berangkat dulu, Sayang. Semoga sekolahmu hari ini menyenangkan," Lukas berpamitan kemudian mencium kening Lucas."Tolong berhenti mencium aku, Papa! Aku sudah besar dan tidak ada teman laki-laki sekelasku yang mendapatkan ciuman setiap pagi da

  • Love Between Blood and Tears   Lilly dan Lucas (I)

    "Jangan bicara omong kosong! Harusnya dia sendiri yang bilang begitu, bukan kamu," cetus Lilly.Lucas tersenyum dan berkata, "Iya, baiklah."Lilly segera melonggarkan pelukannya. "Segera mandi, makan lalu tidurlah. Jangan sampai kamu sakit."Lucas menurut. Ia segera menjalankan perintah ibunya—mandi.Sementara Lilly kembali ke dapur untuk mempersiapkan hidangan pagi yang seharusnya ia hidangkan dua jam lagi.Lucas keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah kuyup leher dan bahunya ikut basah terkena tetesan air yang terjun dari rambutnya."Lihat, lantainya jadi basah karena kamu tidak mengeringkan rambut dengan benar!"Ternyata ada yang masih tidak berubah meskipun dua puluh tahun sudah berlalu.***"Hei! Keringkan dulu badan kalian dengan handuk sebelum berjalan kemari," suruh Lilly. "lihat lantainya jadi basah karena kalian tidak mengeringkan rambut dan tubuh dengan beenar!" seru Lilly lagi. Lucas menatap ayahnya kemudian mereka sama-sama tersenyum dengan wajah bersalah.

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (III)

    Julie terkekeh tanpa merasa bersalah. "Lain kali jangan terlambat lagi. Ayo masuk." Satu keluarga kecil itu masuk ke dalam taksi dan meluncur ke bandara. Mereka tidak terlambat tiba di bandara dan semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Meskipun pagi mereka harus dihiasi dengan kegaduhan dan kepanikan karena terlambat bangun. "Sepasang suami istri itu sudah menikah selama delapan tahun. Putri mereka juga sudah berusia enam tahun. Tapi sepanjang perjalanan apabila salah satu tangan mereka sama-sama bebas dari tanggung jawab keduanya akan saling menggenggam satu sama lain dengan mesra. Untung saja Thea tertidur sepanjang perjalanan. Jadi ia tidak harus menyaksikan kemesraan apa saja yang kedua orang tuanya lakukan selama perjalanan. Antonio mengusap lembut pipi Thea untuk membangunkan putri kecilnya itu. "Sayang, kita sudah sampai." Mereka sudah sampai di penginapan setelah menempuh perjalanan darat selama satu jam dan satu jam perjalanan udara. "Humm...." Antonio mengecup pipi Ju

  • Love Between Blood and Tears   Jeda (II)

    "Tiba-tiba? Malam ini juga?" Thea mengernyitkan dahi, masih belum memercayai apa yang Antonio katakan."Lebih cepat lebih baik, bukan?" Antonio merespon pertanyaan Thea kemudian berkata kepada dua karyawan yang masih berdiri canggung, "Hei kalian, ayo kita makan dulu sebelum mulai membereskan barang-barang. Lagipula tidak banyak yang harus dibawa jadi pasti akan selesai dengan cepat."Antonio menikmati makan tengah malamnya—lagi—bersama Thea, Lucas, dan dua karyawannya. "Kamu tidak mau ayamnya, Thea? Atau kentang?" Antonio menawari Thea yang hanya mengambil tumisan buatan Lucas saja tanpa menyentuh ayam ataupun kudapan lain yang Antonio telah beli."Tidak. Ini sudah cukup," tukas Thea singkat.Hanya Antonio yang makan dengan lahap. Thea menyuapkan nasi dan lauk dengan malas, sementara tiga laki-laki lainnya makan dengan canggung dan sesekali saling melirik."Aku sudah selesai," cetus Thea. Ia memang hanya mengambil sedikit sekali makanan. Meski begitu ia bahkan tidak menghabiskan is

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status