Share

Membereskan Sampah

"Persetan dengan benar atau salah. Yang aku inginkan hanya fakta. Sisanya, tinggal memanipulasi fakta itu menjadi hal yang kau anggap benar." —Louis Collard, ketua kelompok Collard

***

Asap rokok mengepul tiada henti dari sebuah cerutu berwarna senada tanah liat. Tangan penuh suntikan tinta dengan berbagai pola itu dengan lihai memainkan cerutu di genggamannya. Sesekali menyesap ujung lain dari cerutu dan menghembuskan asap putih pekat. Wajah arogan dilengkapi dengan alis tegas dan mata tajam mengentalkan suasana tegang di dalam ruangan.

"Sudah berapa lama kau bekerja padaku?" tanya sang tuan pemilik cerutu.

"Ampuni saya, Master. Ja... jangan sakiti anak saya...," kata seorang pria berwajah pucat pasi yang berdiri di atas lututnya.

Louis—tuan pemilik cerutu—mengangkat sebelah alisnya sembari mematik api, memanaskan ujung cerutu yang mulai layu. Kakinya yang dibalut sepatu hitam melangkah mendekati pria pucat tadi dan berhenti tepat di depan si pria. Telunjuk kanannya mengacung ke atas kemudian menunjuk si pria pucat, sebagai isyarat untuk beberapa orang yang berdiri di sudut ruangan.

Menerima pesan tersurat dari Louis, dua orang pria berbadan kekar dengan pakaian serba hitam kini berpindah posisi ke belakang si pria pucat. Keduanya menahan tangan pria kecil itu ke belakang hingga si pria terbatas geraknya.

"Beri saya satu kali kesempatan lagi! Saya akan mengirim ba... Aakkhhh!!!!" si pria pucat berteriak ketika ujung merah cerutu Louis mendarat di atas belikatnya.

"Tidak ada kesempatan kedua dalam kamusku dasar bodoh," kali ini giliran leher si pria yang menjadi sasaran cerutu Louis. Salah satu dari dua lelaki kekar yang merupakan bodyguard Louis menahan kepala si pria agar tidak menunduk, mempermudah kinerja Louis untuk menggambar di atas leher sang pria.

"Arghh... Apa yang kkhhh... kau lakukan?!" teriakan lelaki itu melengking memenuhi ruangan. Ia mengerang kesakitan. Cerutu berdiameter besar itu menerobos cukup dalam ke dalam kulitnya.

"Aku tidak bisa mendengar omongan seorang penipu sepertimu," Louis membuat beberapa cekungan di atas leher pria yang masih menggeliat kesakitan.

"Akhhh... k-kau... Aghh... Kau manusia brengsek... hhh...." amarah disertai kesakitan mewarnai kalimat pria yang tengah menjadi sasaran kekejaman Louis itu.

Louis memanaskan kembali cerutunya beberapa kali. Matanya mencari garis hijau di atas leher pria yang telah terengah-engah menahan rasa sakit. Saat berhasil bertemu dengan tujuannya, Louis kembali menempelkan ujung cerutu yang terbakar tepat di atas garis hijau kebiruan pada leher pria tadi. Raungan kembali terdengar. Cairan merah pekat mulai membanjiri leher pria itu.

"Aku pasti terlahir sebagai seorang pelukis yang jenius," Louis tersenyum bangga melihat hasil karya melukisnya di atas leher pria di depannya sebagai kanvas.

Aroma serupa daging bakar dan amis darah menyeruak dari leher pria yang sudah tidak berdaya. Louis menarik segenggam rambut pria itu dengan kasar hingga merenggangkan kulit leher si pria. Lelehan darah kembali keluar. Louis meraih ponselnya dan menghubungi salah satu kontak di sana.

"Ambil barangnya dan bunuh target W13 dua jam dari sekarang." ujar Louis kepada seseorang di seberang telepon.

Pria berwajah garang itu langsung mematikan sambungan telepon dan melangkah mundur. Alasannya adalah untuk membuat jarak yang pas.

Bugh!!!

Sebuah tendangan yang sangat keras menampar wajah lelaki yang sebelumnya mendapatkan sentuhan cerutu panas di lehernya. Pria itupun pingsan seketika.

"Singkirkan kotoran ini jauh-jauh dari pandanganku," Louis kembali menduduki kursi kulit berwarna cokelat padam di ujung ruangan.

Tubuh lelaki paruh baya yang menjadi sasaran Louis tadi diseret oleh dua orang berbadan kekar menuju keluar ruangan. Mereka kemudian 'membereskan' pria yang hampir mati tadi dengan membuangnya ke hutan belantara yang terletak beberapa kilometer dari markas utama.

Sementara itu, mobil SUV biru tengah melaju kencang dengan Juan sebagai pemegang kemudi. Kacamata berlensa bening ia ganti dengan hitam. Mobil itu berhenti di depan sebuah bangunan semacam rumah susun. Lingkungannya kotor dan sedikit kumuh, cukup menggambarkan kehidupan para penghuninya.

Juan menyiapkan sebuah pistol yang dilengkapi dengan peredam. Seperti biasa, ia akan melayangkan nyawa seseorang dengan senyap. Ia kemudian menghubungi salah satu kontak di ponselnya dengan nama "W13".

"Aku sudah di depan," ucap Juan singkat dan langsung memutuskan sambungan. Tidak berapa lama sesosok lelaki berperawakan kurus mendekati mobil Juan.

"Udara cerah pagi ini," ucap lelaki itu sambil mengetuk kaca mobil beberapa kali. Ia kemudian masuk ke dalam mobil setelah Juan mengisyaratkan dengan tangannya.

"Mana sample barangnya?" tanya Juan seketika setelah lelaki itu masuk ke dalam mobilnya.

Lelaki kecil itupun mengambil sebilah senjata api kecil dari saku mantelnya. "Raging Bull 454 sesuai pesanan Anda," ujarnya sembari menyodorkan pistol tadi kepada Juan.

"Berapa jumlah yang asli dan yang palsu?" Juan mengambil pistol dengan gagang bercorak merah itu dan memeriksanya.

"Ap... Apa maksud Anda? Semuanya 15 buah da... dan asli," peluh mulai membanjiri pelipis lelaki itu.

"Ah, benarkah? Kalau begitu mari kita lakukan uji coba," Juan mengarahkan moncong pistol ke arah mulut si lelaki.

"Tidak, se... semuanya asli," ucap si lelaki terbata-bata.

"Satu... Dua..." telunjuk Juan berada di atas pelatuk pistol.

"Ampuni saya, Tuan. Saya akan segera mengganti yang palsu dengan yang asli," lelaki itu bergetar hebat ketika kedua telapak tangannya bertemu untuk memohon.

"Rupanya benar kau dan ayahmu menipu kami," Juan menjejalkan ujung pistol ke dalam mulut si lelaki.

Pemuda itu gemetar dan tersudut di pintu mobil. Ia tidak lagi bisa memundurkan kepalanya. Sedikit demi sedikit ujung pistol masuk semakin dalam ke mulutnya.

"Ungg... Arghh!" si pemuda tersedak ujung senjata api yang mulai menyentuh tenggorokannya.

"Harus aku apakan penipu sepertimu?" Juan mulai menggerakan telunjuk yang berada tepat pada pelatuk.

Mata pemuda itu berair. Masih dengan rongrongan disela senjata yang menjejelai mulutnya, ia berharap kesalahannya kali ini diampuni dan nyawanya terselamatkan.

Tring...

Suara ponsel Juan sepertinya mengganggu suasana pagi itu. Juan menarik kembali pistol di tangannya dari mulut si pemuda dan membuka pesan yang masuk.

"Sepertinya kau sedikit beruntung," Mata Juan kembali pada pemuda tadi. "Siapa namamu?"

"Hadian. Sa-saya Hadian. Saya berjanji akan segera mengganti semua barang yang palsu," jawab Hadian, si pemuda itu dengan suara bergetar.

"Baiklah, Hadian. Sampai berapa hitunganku tadi?" kali ini ujung pistol Juan mengarah tepat di kening Haidan.

"A-aku mohon Tuan, jangan bunuh aku...."

"Tiga... empat... lima...."

"Akan kami ganti dua kali lipat! Ya, dua kali lipat!" Haidan mengajukan sebuah penawaran.

"Enam...."

"Baiklah lima kali lipat! Aku berjanji akan menggantinya...,"

"Kau lebih ingin mengganti rugi dibandingkan menyusul ayahmu ke surga?" mata Juan menusuk tajam ke dalam mata Haidan.

"A-apa maksud Tuan? Aku akan mengganti senjatanya bahkan sepuluh kali lipat! Bebaskan aku dan ayahku," suara Haidan mulai meninggi.

"Sepuluh. Kau terus mengoceh hingga membuatku melupakan hitungannya," Telunjuk Juan menarik pelatuk pistol di tangannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status