Bangku taman sepanjang satu meter menjadi tempat Antonio merebahkan tubuhnya. Setengah bagian kakinya menggantung karena tidak tertampung oleh panjangnya kursi."Besok ya? Bagaimana ini, apa aku boleh melewatkan pertemuan kita lagi tahun ini?" Antonio berbicara kepada dompet di tangannya.Lebih tepatnya kepada selembar foto perempuan berambut panjang ikal dengan warna kecokelatan yang ia simpan di dalam dompetnya. Ada beberapa bagian foto yang mulai rusak karena terlalu lama menempel pada lapisan bening pada dompet lelaki itu."Anak kita sudah sangat marah pagi ini. Kamu... jangan marah juga, ya? Aku tidak sanggup kalau harus menghadapi kemarahan kalian berdua...."Beberapa pasang mata milik pejalan kaki yang kebetulan lewat di depan Antonio memberikan tatapan yang memiliki arti negatif. Menatap dengan aneh, keheranan, dan ketakutan.Antonio tidak menggubris satupun tatapan. Kali ini ia sibuk menciumi kemudian mendekap dompetnya di dada. Air matanya meleleh kemudian mengalir semakin d
"Kita sudah masuk area bandara. Bapak akan turun di terminal berapa?" tanya sang sopir Taksi.Thea menoleh ke arah Antonio dan menemukan lelaki itu sedang menatapnya dengan air wajah secerah mendung."Terminal berapa, Pa?" kali ini giliran Thea yang bertanya.Air mata Antonio hampir saja menetes tetapi tangannya bergerak lebih cepat menyekanya. "Oh iya. Tolong antar kami ke terminal tujuh.""Baik," sahut supir taksi.Thea kembali mengalihkan perhatiannya ke luar jendela dan memilih untuk tidak memperpanjang pikirannya tentang raut wajah sang ayah. Kendaraan roda empat itu berhenti tepat di titik di mana Antonio menginstruksikan sebelumnya. Gerimis turun semakin deras hingga berubah menjadi hujan ketika Antonio dan Thea sampai. Akibatnya mereka harus bergerak lebih cepat agar tubuh mereka tidak terlalu basah saat berpindah dari taksi menuju terminal bandara.Meski tidak kuyup, namun bagian kepala Antonio dan Thea menjadi basah. "Papa akan ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini ya,"
Langit sudah gelap dan tugas penerangan telah digantikan oleh lampu jalanan. Antonio mengangkat koper kecilnya untuk dibawa masuk ke dalam kafe. Mark menyambut kehadiran pelanggan yang baru saja masuk. "Selamat datang... Paman?" "Lama tidak bertemu, Mark. Apa Thea ada di sini?" Antonio berdiri di depan meja kerja Mark dan mulai membaca deretan menu yang disediakan di atas meja."Iya, Paman. Sudah hampir dua tahun." Mark menghentikan aktivitas tangannya yang baru saja selesai memasukkan tomat ceri dan selada di atas piring kemudian kembali berbicara, "Kakak ada di halaman belakang."Antonio menemukan beberapa menu minuman yang disisipi kata kopi dan langsung menentukan pesanannya. "Di sini ada kopi, kan? Tolong buatkan aku satu cangkir kopi yang pekat.""Baik, Paman. Akan saya buatkan setelah mengantarkan pesanan pelanggan," kata Mark sambil tersenyum kemudian melanjutkan aktivitasnya lagi.Antonio memilih untuk duduk di depan meja kerja Mark dibandingkan kursi pelanggan yang ada di
Tak!Seorang pria berkaos hitam dan celana panjang warna senada menekan saklar hingga deretan lampu kecil yang tersebar di langit-langit ruangan menyala secara serempak. Ruangan itu dibangun di bawah permukaan tanah, berukuran lima kali tujuh meter dan dibuat tanpa sekat. Diisi dengan satu meja besar utama dan tujuh meja kerja yang dilengkapi dengan komputer."Huft...," pria itu menghela napas kemudian duduk di sebuah kursi kerja berwarna hitam.David, pria itu memeriksa lengan kirinya yang terlihat lebam dan mulai membiru. Meskipun terlihat begitu menyakitkan namun wajahnya tampak begitu datar. Tidak ada ekspresi tertentu seperti kesakitan atau semacamnya. Ia mengambil perban di saku celananya dan menutup luka lebamnya.Setelah luka itu terbalut seluruhnya, David menyalakan komputer di depannya dan berniat untuk menjalankan tahap akhir dari pekerjaannya hari ini."Kamu sudah tiba?" tanya sebuah suara yang bersumber dari dalam elevator.Seorang wanita berambut panjang dan terikat kelu
"Wah, aku disengat lebah atau apa?" Aroma pagi hari ini bagi Thea adalah aroma penyesalan. Wangi embun dan udara bersih masih kalah jika dibandingkan dengan dua mata gadis itu yang nyaris tidak bisa terbuka karena bengkak. Bagian kelopak dan kantong mata Thea membesar hingga menghambat matanya untuk terbuka sempurna."Harusnya aku tidur saja tadi malam. Kenapa harus menangis semalaman dasar bodoh!" kutuk gadis itu kepada dirinya sendiri.Mata Thea bengkak karena menangis nyaris semalaman. Bahkan ia tidak tidur sama sekali. Sesekali ia hanya beristirahat dari tangisnya dengan melamun, kemudian kembali menangis sampai beberapa belas kali.Muak dengan pantulan wajahnya di cermin yang sangat mengenaskan, Thea memutuskan untuk segera membersihkan tubuhnya agar bisa cepat-cepat mengunjungi Julie. Ia mau menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya di depan pusara ibunya.Ketika waktu untuk memilih baju tiba, Thea baru sadar bahwa yang ia masukkan ke dalam kopernya adalah baju-baju santai. Tidak a
Selesai saling serang dengan melempar godaan dan membuka aib satu sama lain, Mark memutuskan untuk memberi jarak antara dirinya dan Thea agar gadis itu bisa punya waktu berdua dengan Julie."Aku harap Kakak tidak menetap di sini sampai sore. Cuaca sedang tidak menentu akhir-akhir ini," kata Mark sebelum tubuhnya benar-benar pergi jauh dari Thea.Thea tersenyum kepada Mark lalu bertanya, "Kamu bisa menunggu beberapa menit, kan?" "Aku tunggu di tepi jalan sana. Aku pamit dulu, Bibi. Jangan lupa menjaga langkah supaya tidak masuk kubangan lumpur, Kak." Satu pesan terakhir Mark sampaikan sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Thea sendirian di depan pusara Julie.Tangan kanan Thea melambai mengantarkan badan Mark yang berjalan semakin jauh. Selanjutnya, waktunya gadis berusia dua puluh dua tahun itu mengambil beberapa menit untuk berduaan dengan tulang belulang ibunya yang terkubur beberapa meter di bawah tanah."Apa lagi, ya? Sepertinya semua yang mau aku beri tahu kepada Mama su
"Bisa-bisanya sepagi ini sudah membuat pacarmu menangis sampai seperti itu!" bentak perempuan itu sambil terus menatap Mark dengan mata yang besar. "Bukan begitu, kami cuma...," Mark memotong kalimatnya setelah melihat kepala bus yang akan ia dan Thea naiki sudah terlihat. Dengan secepat kilat Mark melepaskan peluka Thea dan menyeka air mata yang melumuri wajah gadis itu dengan ujung bawah bajunya. "Ayo bersiap, bus kita sudah datang. Berhenti menangis, ya?" minta Mark sambil menatap mata merah Thea. Gadis itu mengangguk. Tangisannya berhenti bertepatan dengan bus yang juga tiba tepat di depan halte.Mark menggenggam tangan Thea dan mereka naik bersama ke atas bus. Mark merasa beruntung karena perempuan yang salah paham tadi tidak menaiki bus yang sama dengannya dan Thea. Meskipun hingga akhir mata perempuan paruh baya itu memelototi Mark yang sudah berada di atas bus. Mereka memilih dua kursi di bagian kiri belakang untuk duduk. Mark memberikan tempat duduk di sebelah kaca kepad
"Ternyata kota ini sudah banyak berubah, ya."Dua lembar keripik kentang masuk ke dalam mulut Mark dan rasa gurih langsung menyebar ke seluruh sudut mulutnya. Saliva terproduksi cukup banyak akibat rasa yang kuat dari keripik kentang tadi.Dengan mata yang menyipit akibat rasa asin yang menyerang mulut, Mark memberikan jawaban. "Benarkah? Bagiku tetap sama saja.""Bukankah itu sudah sangat jelas? Kamu tidak pernah pergi dari sini," ujar Thea."Begitukah? Hehehe...."Mark menyerahkan satu bungkus keripik kentang yang baru ia makan dua atau tiga lembar kepada Thea. Pemuda itu mengambil makanan lainnya dari dalam kantong plastik dan pilihannya jatuh pada satu kardus kecil biskuit berisi selai cokelat.Setelah keripik kentang sampai di tangannya, Thea kembali memastikan kepada Mark dengan bertanya, "Kamu sudah tidak mau ini?" Mark menggeleng. Seleranya tidak pernah berubah sejak kecil. Camilan manis akan selalu menjadi kesukaannya."KJalau kamu tahu tidak akan menghabiskannya lalu kenapa