Share

Rindu

Bangku taman sepanjang satu meter menjadi tempat Antonio merebahkan tubuhnya. Setengah bagian kakinya menggantung karena tidak tertampung oleh panjangnya kursi.

"Besok ya? Bagaimana ini, apa aku boleh melewatkan pertemuan kita lagi tahun ini?" Antonio berbicara kepada dompet di tangannya.

Lebih tepatnya kepada selembar foto perempuan berambut panjang ikal dengan warna kecokelatan yang ia simpan di dalam dompetnya. Ada beberapa bagian foto yang mulai rusak karena terlalu lama menempel pada lapisan bening pada dompet lelaki itu.

"Anak kita sudah sangat marah pagi ini. Kamu... jangan marah juga, ya? Aku tidak sanggup kalau harus menghadapi kemarahan kalian berdua...."

Beberapa pasang mata milik pejalan kaki yang kebetulan lewat di depan Antonio memberikan tatapan yang memiliki arti negatif. Menatap dengan aneh, keheranan, dan ketakutan.

Antonio tidak menggubris satupun tatapan. Kali ini ia sibuk menciumi kemudian mendekap dompetnya di dada. Air matanya meleleh kemudian mengalir semakin deras ketika lelaki itu mengatupkan matanya.

"Kita lewat jalan lain saja. Aku takut orang gila itu akan bangun lalu mengejar kita," bisik salah seorang perempuan pejalan kaki kepada rekannya.

"Kita akan terlambat kalau harus berjalan memutar. Kita jalan pelan-pelan saja," sahut rekannya.

Dua orang perempuan itu berjalan mengendap-endap selagi Antonio menutup matanya.

"Ahh...," Antonio tiba-tiba saja bangun dari rebah.

"Tidak!"

"Tolong jangan kejar kami!"

Kedua perempuan itu memekik ketakutan kemudian lari tunggang langgang karena terkejut sekaligus takut Antonio akan melakukan sesuatu yang buruk kepada mereka.

Antonio beranjak kemudian mulai berjalan di atas jalur berbatu yang membelah taman. Pria itu tidak berjalan dengan stabil karena pengaruh minuman pemabuk yang ia teguk beberapa jam yang lalu.

"Aku harus pulang," gumam Antonio.

Pepohonan tinggi yang rindang melindungi Antonio dari sinar matahari. Bintang siang hari itu sudah terbit semakin tinggi.

Perjalanan kembali menuju apartemen memakan waktu yang lebih lama dari biasanya karena tubuh Antonio yang tidak bugar. Ia mengandalkan kesadaran yang sedikit tersisa untuk mencapai tempat tinggalnya.

Antonio mengetuk pintu apartemen beberapa kali. Thea sedikit terkejut melihat sosok ayahnya yang sedang berdiri tidak tegap di depan pintu. Tidak biasanya dia pulang secepat ini.

Thea memutar kenop pintu dan menariknya.

"Putri cantik Papa. Maafkan perilaku Papa tadi pagi," kata Antonio. Tubuhnya mendekap Thea dengan erat dan kembali berkata, "aku sangat menyayangimu."

Thea tidak menjawab. Ia membiarkan Antonio memeluknya tanpa memberikan dekapan balik kepada pria itu.

Setelah beberapa menit berlalu begitu saja tanpa percakapan, Antonio melepaskan dekapannya dan masuk ke dalam ruang apartemen. Kakinya melangkah ke arah dapur untuk meraih segelas air minum dingin dari kulkas.

"Ayo mengunjungi Mama besok," ujar Antonio.

Setelah meneguk habis satu gelas penuh air dingin, ia berjalan meninggalkan dapur.

"Apa maksud Papa?" tanya Thea bingung.

"Kita sudah lama sekali ...," kalimat Antonio terhenti ketika matanya menemukan bercak darah di lantai.

Meski masih dalam pengaruh minuman keras, tapi Antonio masih punya beberapa persen kesadaran yang membuat akal sehatnya terus berjalan.

Ia menelusuri bercak merah itu hingga sampai di atas meja laci. Sebilah belati tergeletak bersimbah darah di sana. Degup jantungnya bersorak panik.

"Darah siapa ini!" sebuah seruan pertanyaan begitu keras dilontarkan dari mulut Antonio.

Thea terkejut hingga tubuhnya nyaris jatuh. Gadis itu baru menyadari bahwa ia belum membersihkan bekas kerusuhan kecil pagi buta tadi. Berpikir bahwa Antonio baru akan pulang setelah satu minggu atau sepuluh hari sejak kepergiannya pagi itu.

"Itu... aku tida—"

Antonio menghambur ke arah Thea dan memeriksa tubuh putrinya dari kepala hingga kaki. Menggulung lengan baju Thea hingga menyibak paksa baju yang gadis itu kenakan demi memastikan tidak ada korelasi antara bercak darah dengan tubuh Thea.

Thea mendorong tubuh Antonio dengan sekuat tenaga. "Cukup, Papa! Aku tidak terluka sama sekali. Tadi ada orang asing yang masuk lalu aku...," gadis itu menggigit bibir bawahnya kencang.

"Apa dia menyusup masuk kemari? Bagaimana dia bisa...," mata Antonio menyelidik wajah Thea dengan tajam kemudian melanjutkan, "..., kamu yang membukakan pintu begitu saja?"

Kepala Thea menunduk lesu. Ia memutar tubuhnya membelakangi sang ayah dan melangkah pergi begitu saja.

"Kenapa masih ceroboh membukakan pintu untuk orang asing? Kamu mau aku kehilangan wanita lain dalam hidupku? Dasar bodoh!" teriak Antonio hingga menggema di seluruh ruangan.

"Iya aku memang bodoh," sahur Thea dengan tangan yang mengepal kuat hingga bergetar.

Nafas Antonio masih memburu akibat kemarahannya.

"Apa aku harus menunggu Papa pulang dalam kondisi mabuk atau harus melanggar perintah Papa supaya kita bisa mempunyai waktu untuk sebuah percakapan?" Thea melontarkan kalimatnya dengan suara parau dan bergetar hebat.

Perasaan bersalah mulai memenuhi tubuh Antonio. Ia memijit pelipisnya dan berusaha mencari kata-kata yang bisa menenangkan putrinya. Tetapi rasa khawatir dan marah membuat kepalanya tidak berhasil menemukan jalan keluar.

"Thea ayolah. Ini semua demi keselamatanmu sendiri," sebuah jawaban klise yang selalu menjadi andalan Antonio ketika tidak berhasil menyusun solusi.

"Aku bosan mendengar itu semua." Thea kembali memutar tubuhnya menghadap Antonio. "Tidak pernah bisa berkomunikasi dengan keluarga dan kerabat. Selalu berpindah sekolah dan tempat tinggal. Tidak punya satupun teman bahkan setelah dua puluh dua tahun hidup. Aku selamat dari kematian tapi hidup seperti orang yang tidak punya nyawa."

Air muka Antonio meredup. Matanya memanas hingga mengeluarkan air mata.

"Papa tahu seberapa ingin aku menyusul Mama tetapi tidak bisa karena Papa mungkin akan gila kalau aku ikut mati?" Thea terus menghujani Antonio dengan kalimat-kalimat kekecewaan dan kehampaan.

Antonio menekan deretan gigi atas dan bawahnya sekuat mungkin hingga urat leher pria itu muncul semakin jelas. Hasil dari campuran perasaan marah, kecewa, dan sedih.

"Aku tidak tahu apakah ada bentuk kasih sayang yang seperti ini? Ahh, pasti aku saja yang tidak tahu terima kasih," pungkas Thea.

Gadis itu tertawa bersama air mata yang terus terjun dengan deras. Ia menatap sebentar Antonio yang terlihat samar akibat air mata yang mengganggu pandangannya, kemudian pergi ke kamarnya dan mengunci diri di dalam sana.

Antonio tumbang dengan kedua lututnya yang dengan keras menghantam lantai. Ia menangis tanpa suara dan tanpa menampilkan wajah yang sedih. Pria itu hanya menatap kosong ke arah lantai dengan otot wajah yang terus tegang.

Dari ruangan itu Antonio bisa mendengar isak tangis putrinya. Bahkan jarak dan sekat berupa pintu tidak bisa meredam suara kesedihan Thea.

"Tiket pesawat...," ucap Antonio yang kemudian dengan cepat menyeka air mata di wajahnya dengan kasar.

Pria itu beranjak dan mendekati pintu kamar Thea kemudian mengetuknya beberapa kali. "Papa akan cari penerbangan paling cepat hari ini. Kita akan pergi ke makam Mamamu hari ini juga, jadi cepat mandi dan siapkan beberapa baju ganti."

Tangis Thea terhenti ketika ia mendengar kata "Mamamu". Meski masih sesenggukan dan belum bisa bernapas dengan benar, gadis itu segera membuka lemari pakaiannya dan mengeluarkan beberapa potong untuk ia pakai dan ia jadikan bekal ganti.

***

Wajah lusuhku menengadah

iri kepada atap langit nun jauh di sana

yang dengan bebas memandangmu lekat.

Kaki lemahku berlutut tanpa daya

cemburu pada hembus angin itu

yang bisa membelaimu kapan saja ia mau.

Seberapa keraspun pitaku memekik

tiada mampu menembus dimensimu.

Serakahku semakin meninggi,

mau surgaku kembali tanpa menyadari

bahwa di sanalah tempat paling indah untuknya.

Maaf, aku hanya mau berbagi derita.

Padahal kau pasti sudah sangat bahagia di sana.

Teruntuk muara surga yang tak terjangkau.

Percayalah, sejati cintaku adalah kau.

Ia titipkan hidupku padamu

dan kutitipkan rindu melalui-Nya untukmu.

"Kamu sudah siap?" pekik Antonio dari balik pintu kamar Thea.

Mendengar panggilan itu Thea segera menutup buku catatannya. Ia memang sudah selesai mencurahkan rasa rindunya kepada sang ibu melalui beberapa baris tulisan.

"Iya, aku keluar sekarang."

Dengan gaun putih tulang sepanjang lutut beraksen garis-garis vertikal samar, Thea keluar dari kamar sembari menarik satu koper kecil di tangan kanannya.

Antonio terkesima dengan kecantikan putrinya. Rambut panjang yang diikat sebagian dan sapuan makeup tipis di wajah mempertegas bahwa gadis kecilnya yang lucu rupanya sudah tumbuh dewasa.

'Berapa lama waktu yang aku lewatkan hingga aku baru menyadari putri kecilku sudah tumbuh menjadi secantik ini?'

"Kita akan pergi sekarang?" tanya Thea.

"Ah, iya. Ayo kita pergi sekarang. Taksinya akan tiba di depan dalam lima menit," sahut Antonio yang sudah bangun dari renungan singkatnya.

Pria itu mengambil alih koper dari tangan putrinya dan mengangkat benda itu agar perjalanan mereka menuju lantai dasar apartemen lebih mudah.

Perjalanan menuju bandara diiringi dengan gerimis. Selama berada di dalam taksi tidak ada percakapan yang terjadi selain antara dua orang penyiar radio.

"Pada siang hari yang gerimis ini kami akan menemani para pendengar setia selama satu jam kedepan dengan lagu-lagu bertema rindu...," ucap salah seorang penyiar perempuan.

"Betul sekali. Sepertinya cuaca siang ini cukup mendukung untuk tema kita siang ini. Ailee, kapan terakhir kali kamu merindukan seseorang atau sesuatu?" penyiar lainnya, seorang pria bertanya kepada pasangan siarannya.

"Terakhir kali sepertinya tadi sebelum siaran tiba-tiba saja aku rindu dengan kucing kesayanganku, Brown. Waktu itu dia lahir siang hari saat gerimis, sama persis dengan hari ini. Brown, Mama sangat rindu kepada kamu!"

Thea sesekali tersenyum menyimak siaran siang itu. Sama seperti Brown, Thea juga lahir pada hari yang sedang gerimis. Bedanya ia turun dari rahim ibunya pada pagi hari, tepatnya pukul 06:18.

"Untuk para pendengar setia yang sedang rindu dengan seseorang yang tidak lagi bersama kalian lagi saat ini. Lagu selanjutnya datang dari Adele dengan Hello," pungkas penyiar pria sebelum lagu terputar.

Lagu milik penyanyi terkenal tingkat dunia itu mulai melantun dan memenuhi seluruh ruangan di dalam taksi termasuk telinga Antonio. Mendengarkan beberapa baris lirik membuat ingatan Antonio berlarian menuju masa ketika berbagai pertengkaran mewarnai kehidupan pernikahannya dengan Julie, sang mendiang istri.

Di pertengahan lagu Antonio menoleh ke arah Thea yang tampak menikmati lagu sembari memandang gerimis di luar kaca jendela mobil.

'Jika saja aku berkepala dingin saat itu, mungkin aku sedang bersama dengan dua orang Julie dan hidup dengan bahagia.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status