Share

Pagi Berdarah

Juan masuk ke dalam mobil SUV berwarna biru yang terparkir tidak jauh darinya. Setelah menyalakan penerangan di dalam mobil, kedua tangan Juan membuka lipatan kertas dari Antonio tadi.

Bola matanya menyapu seluruh tulisan yang tertera di sana. Beberapa detik kemudian, ia menyalakan mesin mobilnya. Dering ponsel di saku Juan berbarengan dengan deru mesin mobil yang ia tumpangi.

"Ya?" Juan mendekatkan ponselnya ke telinga setelah menggeser ikon telepon berwarna hijau pada layar.

"Segera ambil barangnya sebelum Master kembali ke markas pusat sore ini," ujar seseorang dari seberang telepon.

"Tenang saja, aku sudah mendapatkan alamat dan kata sandinya dari Tuan Antonio." tukas Juan sembari melirik kertas di tangannya.

"Ah iya, jangan lupakan tugas tambahanmu, Tuan Muda."

"Hampir saja aku lupa," Juan langsung mematikan sambungan telepon sebelum lawan bicaranya menjawab.

Ia tertegun sejenak, mengamati jalanan lengang yang mulai terang karena hari hampir mencapai pagi. Juan menyimpan kertas lusuh tadi di dalam saku dan menggantikan genggamannya dengan sebuah kotak berwarna biru muda dengan ukuran sedang.

Lelaki tinggi semampai itu keluar dari mobil dan masuk ke dalam apartemen yang terletak tepat di seberang jalan. Bak mata elang, pengelihatannya selalu jeli mengawasi sekitar. Demi memuaskan hati sang Master, ia harus menjalankan tugasnya dengan mulus.

Juan naik ke lantai delapan melalui tangga darurat. Langkahnya terus melaju hingga sampai di depan sebuah pintu dengan nomor 288. Telunjuknya memencet bel beberapa kali.

'Peter benar, aku hanya perlu melakukan perintah saja.' ia bergumam di dalam hati.

Dari dalam ruangan Thea yang mendengar suara bel berjalan mendekati pintu. Ia melihat layar kecil yang menempel di tembok. Wajah asing terlihat dari layar itu. Tubuhnya urung bergerak untuk membukakan pintu. Tubuh kecil Thea kembali menuju ke kamarnya dan merebahkan diri.

Juan sudah menduga jika wanita itu tidak akan membukakan pintu. Ditambah lagi, ini masih terlalu pagi untuk seseorang bertamu. Ia memutuskan untuk duduk di sebelah pintu sambil menunggu matahari agak meninggi.

Di sisi lain, Thea masih dirundung rasa penasaran. Siapa yang memencet bel sepagi ini? Gadis itu menggeleng, mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran kalutnya.

"Wajahnya terlihat asing, tapi kalau aku pikir lagi sepertinya aku pernah melihat dia," pintanya.

Rasa penasaran mengalahkan pertahanan putri Antonio itu. Dengan langkah seribu ia kembali ke depan pintu dan memutar gagang pintu. Namun, Thea tidak menemukan sosok lelaki tadi.

"Akhirnya dibukakan juga," sebuah suara dari belakang pintu membuat Thea melonjak kaget.

"Si... Siapa kamu? Sepagi ini sudah memencet bel rumah orang dan juga membuat tuan rumah kaget!" suara Thea sedikit bergetar, tubuhnya nyaris terhuyung akibat terkejut.

"Maaf saya tidak bermaksud mengagetkanmu, Nona," tangan kekar Juan menangkup lengan Thea dengan sigap.

Thea yang merasa tidak aman dengan keberadaan lelaki berkaos hitam itu langsung menarik kembali tangannya dan menjauhkan diri dari jangkauan orang di depannya. Matanya mengitari sosok Juan dari ujung kepala hingga kaki.

"Saya bukan orang jahat, saya tetangga sebelah apartemenmu yang baru pindah beberapa hari yang lalu." ujar Juan yang juga member jarak antara mereka. "Dan ini bingkisan kecil untuk Anda," lanjutnya lagi.

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Thea masih dengan tatapan menyelidik.

"Tentu saja, saya rasa sudah beberapa kali. Tapi Nona mungkin tidak sadar karena Anda terlihat sangat cuek," Juan tertawa kecil sambil menyodorkan kotak di tangannya.

"Berhenti memanggilku Nona dan jangan berbicara formal terus menerus," kali ini Thea mengambil kotak biru muda dari tangan Juan.

"Baiklah kalau begitu. Apakah tamu ini tidak dipersilakan untuk masuk?" ucap Juan, kini dengan badan yang sedikit condong ke arah Thea.

Thea membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan lelaki itu masuk. Juan masuk disertai Thea di belakangnya. Thea membiarkan pintu tetap terbuka untuk berjaga-jaga. Juan duduk di atas sofa abu-abu dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.

"Ternyata kamu cukup ceroboh. Bahakan kamu tidak menanyakan namaku dan sudah memperbolehkan aku masuk ke dalam rumahmu?" Juan menganyam jemari tangannya dan tersenyum kecil.

Thea hampir melayangkan kotak di tangannya ke arah Juan. Beruntung lelaki berkacamata itu dengan tangkas beranjak dan menahan lengan Thea.

"Tenang, Nona. Aku sungguh bukan orang jahat," kata Juan menenangkan. Ia mengambil kotak biru dari tangan Thea dan berkata, "dan jangan sembarangan melempar makanan. Nona menyukai muffin, bukan?"

Thea melepas paksa genggaman Juan dan masih menatap lekat ke arah lelaki itu. Ia perlahan melangkah menuju partisi kaca. Tangan kirinya menarik pelan laci yang telah diisi dengan berbagai macam senjata tajam hingga tumpul.

"Saya Juan. Maksud kedatangan saya hanya untuk memberikan sedikit camilan. Bentuk rasa sopan seorang tetangga baru," ekor mata Juan mengikuti pergerakan Thea, sementara bibirnya tersenyum kecil.

"Apakah aku pernah memintamu untuk membawakanku makanan?" saat ini Thea berhasil meraih sebilah belati yang kemudian ia sembunyikan di balik tubuhnya.

"Saya hanya ingin menyapa Nona sebagai tetangga baru, siapa tahu kita bisa berteman?" Juan menyunggingkan senyuman. Ia kemudian meletakkan kotak biru muda di atas meja dan membukanya.

"Tidakkah terlalu mencurigakan jika seorang asing bertamu sepagi ini dan memberikan makanan?" Thea memangkas jarak antara dirinya dan Juan.

"Saya tidak akan meracuni makanan Nona. Saya hanya menjaga sopan santun layaknya penghuni baru," tukas Juan yang tengah membelakangi Thea.

Jarak keduanya saat ini kurang dari satu meter. Gemetar tangan gadis itu menyuratkan seberapa takutnya ia saat ini. Ia menggenggam erat gagang belati dan mengarahkannya ke arah punggung Juan.

Mata Juan menangkap bayangan gadis di belakangnya. Sebilah belati sudah siap mendarat ke punggung lelaki tinggi itu.

"Bukankah sudah kubilang berhenti menyebutku Nona?" fokus Juan lebih tertuju pada gerakan Thea dibandingkan suaranya. Juan mengubah arah berdirinya enam puluh derajat ke kanan. Tangan kanannya terangkat dan menghampiri pisau yang dari awal sudah menentukan tujuan ke tubuhnya.

Sinar matahari masuk dari ventilasi dan celah lain di ruangan kecil milik Thea. Menghasilkan bayangan dua tubuh milik Thea dan Juan yang tengah berselisih paham.

Crash...

"Akhh..." lelaki itu mengagkat tangan kanannya sedetik setelah goresan pertama mendarat di lengannya.

Tubuh Thea bergetar hebat. Ia berhasil merobek baju hingga kulit milik lelaki yang ia curigai itu. Bukannya puas, ia justru bingung dengan keputusan yang baru saja ia lakukan.

'Dia orang jahat, kan? Jadi bukan salahku kalau dia terluka. Aku hanya mencoba membela diri,' ujar Thea dalam hati.

"Wah, aku tidak menyangka balasan atas sekotak muffin adalah sebuah tusukan?" Juan menutup lukanya dengan telapak tangan sembari membungkuk kesakitan.

"Kenapa? Mau membalasku? Coba saja kalau berani!" lantang Thea, masih dengan belati di tangan.

Juan tersenyum disela erangannya. Ia kembali menegakkan badan dan menghadap lurus ke arah Thea. Matanya kini menatap intens menuju mata wanita di depannya.

"A-apa?" Thea melangkah mundur sambil terus mengacungkan ujung belati ke arah Juan.

"Kau boleh menusukku sampai mati. Tapi jangan sekarang," Juan kembali memangkas jarak keduanya.

Thea terus menuntun kakinya menjauh dari Juan. Naas, tubuhnya sudah tersudut. Juan melangkah lemah ke arah Thea. Tangan sang lelaki kini melingkar di pergelangan tangan si perempuan yang wajahnya terlihat begitu pucat.

Kepala lelaki itu bergerak menuju samping wajah Thea. "Benda ini tidak cocok berada di genggaman cantikmu," Juan berbisik sembari mengambil belati dari tangan Thea.

"Jangan macam-macam," genggaman Thea pada belati masih kuat.

"Aku bersedia kau bunuh dengan belati, senjata api, ataupun racun," pinta Juan. Ia menatap lekat ke dalam mata Thea dan berkata, "tapi tolong tunda pembunuhanku, masih ada hal yang harus aku lakukan sebelum mati," pungkasnya, diakhiri dengan senyuman.

Thea melepaskan pisau dari genggamannya. Belati itupun lolos dan beralih ke tangan Juan. Lelaki itu meletakkan logam tajam bergagang kayu tadi di atas laci.

"Jadi? Bisakah Nona cantik yang tidak mau dipanggil Nona ini bertanggung jawab atas luka saya?" ujar Juan sambil terus memangkas jarak antara tubuhnya dan Thea.

Wanita bermata besar di depan Juan itu akhirnya sadar dengan ruangan antara dia dan lelaki di depannya yang semakin sempit. Ia bergeser ke kanan dan meraih kotak Pertolongan Pertama (PP), membuang pandangan dari tubuh Juan.

"Uhm, aku tidak terlalu mengerti tentang merawat luka. Jadi lebih baik kamu pergi ke rumah sakit. Biar aku yang membayar ongkosnya," kata Thea yang nampak bingung dengan peralatan di depannya.

Juan yang melihat Thea hanya mengacak-acak isi kotak PP akhirnya turun tangan. Ia menepuk bahu Thea dan berkata, "Biar aku sendiri yang obati lukanya," Juan mengambil alih kotak berbahan plastik itu dari Thea.

"Tapi...."

"Sebagai gantinya jangan mencurigaiku lagi, deal?" Juan berjalan ke dapur dan menyalakan wastafel untuk membasuh lukanya.

Thea hanya diam. Memandangi tubuh lelaki yang baru saja ia lukai. Pikirannya berkecamuk, antara rasa bersalah sekaligus rasa tidak aman. Matanya bergetar basah serupa air yang hampir meluap, namun tertahan dan tak ada setetespun yang lolos.

Sementara Thea sibuk dengan pergulatan dalam hati, Juan mulai membersihkan lukanya dan mengaplikasikan obat cair di atas lukanya. Keningnya membentuk kerutan beberapa kali, berusaha menahan perih dari hasil sayatan Thea.

"Nona, sudah selesai melamunnya? Saya butuh pertolongan," Juan memecah keheningan dalam ruangan.

Thea terkesiap dan buru-buru menghampiri Juan. Matanya memandangi acak beberapa benda di atas meja. Bingung apa yang harus ia lakukan.

"Ini, tempelkan ini lalu rekatkan dengan ini." Juan menunjuk kain kasa yang telah ia potong serta segulung plester.

Wanita itu bekerja dalam diam. Ia mengikuti instruksi dari Juan dan menutup luka yang sepertinya cukup panjang dan dalam.

"Terima kasih, Nona." ucap Juan dibarengi senyuman.

"Berhenti memanggilku Nona!" Thea melirik Juan skeptis.

"Kalau begitu beri tahu namamu agar saya tidak memanggilmu Nona lagi." Juan mengulurkan tangannya.

"Theana." jawab Thea singkat tanpa menyambut tangan Juan.

Juan menarik kembali tangannya dengan agak canggung. Tangan Thea kini sibuk membereskan perlengkapan PP.

"Bolehkah saya mendapatkan secangkir teh hijau atau susu hangat?" tanya Juan berusaha menghilangkan kecanggungan.

"Berhenti berbicara formal dan silakan segera pulang," Thea berlalu meninggalkan Juan menuju dapur.

Dengan mantap Juan mengikuti tubuh Thea melangkah. Thea yang sadar bahwa lelaki itu tengah mengekor sengaja menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba.

Juan hampir saja menabrak tubuh wanita yang lebih pendek darinya itu. Beruntung refleksnya masih bagus dan berhasil berhenti sebelum mencapai kontak fisik.

Thea berbalik dan hendak mendaratkan pukulan ke arah Juan sebelum getar ponsel lelaki itu menghentikannya. Juan mengacak rambut Thea dan tersenyum sebelum mengangkat telepon yang masuk.

"Hah! Dasar tidak sopan!" Thea mati-matian menahan amarah dengan mengepalkan kedua tangannya sembari terus menatap Juan dengan tajam.

"Ambil barangnya dan bunuh target W13 dua jam dari sekarang." kata seorang pria dari seberang telepon.

Juan langsung mematikan sambungan telepon tanpa membalas ucapan orang yang baru saja menghubunginya. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku dan kembali beradu pandang dengan Thea.

"Sudah selesai? Jadi, aku bisa memukulmu sekarang?" kata Thea ketus sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Maaf sa ... maksudnya aku sudah membuatmu terkejut tadi," Juan berbalik dan kembali ke ruang tengah

"Ah, terserah saja. Yang penting kamu segera pergi dari sini," ucap Thea yang kemudian melanjutkan aktivitasnya untuk menyeduh secangkir teh hijau tanpa gula.

Sementara itu, Juan tengah berdiri tepat di depan laci yang di atasnya terletak belati yang melukainya tadi. Lelaki itu mengambil belati tadi dan memasukkannya ke dalam kantong sebelum Thea kembali.

"Kalau caramu menggunakan senjata seperti tadi, bisa-bisa kamu sendiri yang akhirnya akan terluka," kata Juan menyambut kedatangan Thea dengan secangkir teh yang masih mengepulkan asap.

"Apakah aku terlihat peduli?" Thea meletakkan cangkir berisi teh di atas meja.

"Aku serius...," Juan melangkah mendekati teh hijau yang aromanya sudah menguasai indera penciuman lelaki itu. "..., jangan sampai terluka ketika ingin melindungi diri."

Thea masih terlihat tidak peduli. Manik matanya enggan menatap Juan yang kali ini telah meraih cangkir bening yang menampilkan warna kehijauan dari teh yang Thea seduh beberapa saat lalu.

"Aku bisa mengajarimu sedikit ilmu beladiri dengan atau tanpa senjata," tukas Juan, kemudian menyesap habis teh dari dalam cangkir.

"Berhenti berbicara denganku dan segera pergi!" Suara Thea sedikit bergema di dalam ruangan itu.

Juan hanya tersenyum kecil. Ia meletakkan cangkir yang telah kosong dan menghampiri Thea yang mukanya sudah memerah padam akibat amarah.

"Aku serius. Aku hanya ingin kamu benar-benar bisa melakukan pembelaan diri tanpa harus terluka."

"Tidak perlu ikut campur dengan urusanku. Aku bisa bertahan hidup sendiri tanpa harus bergantung kepada orang asing sepertimu!" Mata Thea membulat sempurna, menatap tajam mata Juan.

"Ah, baiklah aku menyerah," Juan menganggukkan kepala.

"Sudah sepantasnya kamu menyerah dan segera pergi dari sini."

"Sesuai dengan permintaanmu. Aku pamit dulu," Juan menatap jarum jam di pergelangan tangannya. "Selamat menikmati muffin. Aku tidak meracuni makanan itu jadi jangan khawatir," lanjutnya.

Thea menatap ragu ke arah Juan. Matanya menemukan aliran kecil berwarna merah dari lengan kanan Juan. Thea menahan Juan dengan menarik bagian sudut bawah jaket yang dikenakan lelaki itu. Juan menghentikan langkahnya sebelum mencapai pintu.

"Apakah saat ini aku sedang ditahan untuk tidak pergi?" kata Juan, memiringkan kepala untuk bertemu pandang dengan perempuan yang lebih pendek darinya itu.

"Ehm, lukamu berdarah lagi. Apakah tidak sebaiknya kita ke rumah sakit?" Thea berusaha menghindari pandangan Juan.

Juan terkekeh dan berkata, "Khawatir? Hahaha, luka sekecil ini tidak terlalu berarti bagiku."

"Bukan begitu, aku sudah melukaimu. Ba-bagaimana kalau kamu tiba-tiba melaporkanku ke polisi?" Thea melepaskan tangannya dari jaket Juan dan menunduk gelisah.

"Tidak apa, No... Maksudku Theana." Juan tersenyum dan mengacak rambut Thea sekali lagi. 'Karena senjata dan darah sudah menjadi keseharianku,' batin lelaki itu.

"Ya sudah terserah saja. Silakan pergi," kata Thea sambil menepis tangan Juan.

Kaki Juan melangkah menuju pintu dan meninggalkan Thea. Ia kembali memikirkan perkataan Peter beberapa waktu lalu. Ia tidak boleh melibatkan Thea dalam urusan ini. Juga tidak boleh ikut campur dalam hal apapun—kecuali memastikan bahwa perempuan itu aman.

'Aku hanya akan melakukan semuanya sesuai instruksi.' batin Juan yang kini berhenti di ambang pintu.

"Apa lagi?"

"Ah, benar juga. Mungkin lebih baik aku melaporkanmu ke polisi," Juan berucap tanpa membalikkan badan.

"Apa maksudnya? Bukankah tadi kamu yang bilang tidak apa-apa? Dan kamu juga yang menolak untuk pergi ke rumah sakit. Ternyata kamu hanya mau mengan...,"

Juan membalikkan tubuhnya dan langsung memotong kalimat Thea. "Kecuali kamu menyetujui syarat dariku. Biarkan aku mengajarimu beladiri."

"A-apa? Jangan laporkan aku ke polisi, aku mohon!"

"Aku anggap permohonan barusan sebagai bentuk persetujuan. Aku pergi dulu."

Tanpa melanjutkan perbincangan lagi, Juan meninggalkan kediaman Thea. Raut wajah ramahnya berubah garang seketika. Langkah panjangnya terus berjalan menuju luar apartemen.

'Ya, aku tidak melanggar apapun. Aku melakukan ini demi memperlancar pekerjaanku menghadapi perempuan ini.'

Thea buru-buru menutup pintu apartemennya setelah tamu tak diundang tadi keluar. Badannya bergetar hebat dan terduduk di lantai. Nafasnya memburu, berlomba dengan pikirannya yang kalut.

"Gila, aku hampir saja membunuh orang!" rutuk Thea kesal. Dengan sedikit gontai ia bangun dari lantai dan duduk di sofa sembari mengistirahatkan punggungnya.

'Bagaimana ini? Apakah berarti aku akan bertemu lagi dengannya?' batin Thea. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status