Share

Ulang Tahun Kelabu

Langit sudah gelap dan tugas penerangan telah digantikan oleh lampu jalanan. Antonio mengangkat koper kecilnya untuk dibawa masuk ke dalam kafe.

Mark menyambut kehadiran pelanggan yang baru saja masuk. "Selamat datang... Paman?"

"Lama tidak bertemu, Mark. Apa Thea ada di sini?" Antonio berdiri di depan meja kerja Mark dan mulai membaca deretan menu yang disediakan di atas meja.

"Iya, Paman. Sudah hampir dua tahun." Mark menghentikan aktivitas tangannya yang baru saja selesai memasukkan tomat ceri dan selada di atas piring kemudian kembali berbicara, "Kakak ada di halaman belakang."

Antonio menemukan beberapa menu minuman yang disisipi kata kopi dan langsung menentukan pesanannya. "Di sini ada kopi, kan? Tolong buatkan aku satu cangkir kopi yang pekat."

"Baik, Paman. Akan saya buatkan setelah mengantarkan pesanan pelanggan," kata Mark sambil tersenyum kemudian melanjutkan aktivitasnya lagi.

Antonio memilih untuk duduk di depan meja kerja Mark dibandingkan kursi pelanggan yang ada di belakangnya. Ia melirik jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh lebih.

Antonio melihat ke arah sekitar area kerja Mark kemudian bertanya, "Kamu bekerja sendirian di sini?"

"Kami bekerja bertiga setiap shift tapi kebetulan satu rekan saya tidak bisa datang dan satu lagi akan datang terlambat," jawab Mark. "Sebentar Paman," ujarnya lagi.

Lelaki muda itu membawa satu mangkok salad yang disangga dengan sebuah nampan putih dan berjalan mengantarkan makanan itu ke meja pelanggan.

"Salad salmon dengan ekstra tomat ceri?" kata Mark setelah sampai di meja tujuan, memastikan detail pesanan pelanggannya.

"Iya betul," sahut salah satu dari tiga perempuan yang duduk mengitari meja.

Mark tersenyum kemudian memindahkan semangkok salad dari nampan dan berkata, "Silakan, selamat menikmati."

"Terima kasih."

Mark kembali ke tempatnya semula dan mulai memproses pesanan Antonio.

Di bagian belakang kafe Thea sudah menghabiskan satu gelas minuman tetapi belum menyentuh satu piring besar makanan ringan yang Mark buatkan.

"Ayo pindah ke dalam saja. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan," ajak seorang pria kepada perempuan di depannya.

Pasangan itu duduk di samping kursi Thea saat ini. Thea tidak bergeming mendengar informasi bahwa hujan mungkin saja akan segera turun. Kedua telapak tangannya saling menggenggam untuk mengusir udara dingin di sana.

Setelah merasa lebih hangat, Thea menghadapkan telapak tangannya ke langit dan membayangkan bahwa hangat yang berada di sana bersumber dari genggaman tangan Julie. Pikiran gadis itu berusaha melemparkan raga Thea untuk terhanyut ke dalam imajinasi yang menggambarkan seolah ia sedang duduk bersama dengan Julie dengan tangan yang saling menggenggam.

Suara kaki yang berlarian dan dinginnya tetesan air di telapak tangan membuat imajinasi Thea berakhir. Hujan benar-benar datang tanpa dibuka dengan gerimis. Langsung tumpah ruah dengan deras hingga membuat para pelanggan yang duduk di luar ruangan panik dan berhamburan masuk ke dalam kafe.

"Ayo, Kak," kata Mark yang sudah mengangkat piring makanan di depan Thea dan siap berlari mengikuti para pelanggan lain.

Mark menarik tangan Thea agar gadis itu langsung ikut bergerak tanpa berpikir lebih lama. Hujan sudah membuat kepala mereka nyaris basah seluruhnya.

Mereka sampai di dalam kedai dan Mark langsung meletakkan sepiring makanan yang ia bawa tadi di atas meja kosong. "Harusnya aku mengajak Kakak masuk saat langit mulai bergemuruh tadi," sesal Mark.

"Tidak apa-apa. Kamu punya banyak pelanggan yang harus dilayani. Dan ini juga salahku sendiri karena terlalu lama melamun tadi," kata Thea.

"Rekanku sudah datang. Ah, Paman juga ada di depan."

"Paman? Maksudnya Papaku?"

Mark berusaha menghempaskan air dari rambutnya sembari menjawab, "Iya. Paman sedang minum kopi di depan."

"Ah begitu rupanya," Thea mendongakkan kepalanya untuk mencari sosok Antonio.

"Kakak sebaiknya segera pulang dan ganti baju. Kunci rumahnya sudah aku berikan kepada Paman tadi," saran Mark yang masih sibuk dengan bagian tubuhnya yang basah.

"Iya, aku akan ke rumah setelah ini. Sekali lagi terima kasih, Mark," kata Thea sembari merogoh sebuah kantong di tas jinjing kecilnya.

"Paman sudah membayar makanan dan minumannya. Silakan segera pergi ke rumah dan ganti baju Kakak," pinta Mark dengan mendorong bahu Thea dan berjalan ke depan menuju kursi yang diduduki Antonio.

Antonio menoleh saat menyadari ada langkah kaki yang mendekatinya. "Kenapa sampai basah kuyup begini?"

"Apanya yang basah kuyup, cuma kehujanan beberapa detik saja," elak Thea.

"Kamu tahu kalau hujan yang turun barusan itu sangat deras, kan?" kata Antonio sambil menatap tajam putrinya.

Mark sedikit tegang berada di tengah pembicaraan Antonio dan Thea, namun memberanikan diri untuk turut serta. "Paman, sebaiknya kalian segera pergi ke rumah dan mengganti baju. Aku akan bawakan kopi panas yang baru untuk Paman nanti. Mama juga sudah menyiapkan dua selimut tebal tadi siang," bujuk Mark.

"Terima kasih banyak, Mark." Antonio berdiri dari bangkunya dan melangkah menuju pintu kafe.

Mark meraih satu buah payung besar dari sebelah meja bar lalu menyerahkannya kepada Thea. "Ini, Kak. Hati-hati jalan licin."

"Terima kasih, Mark. Aku akan ke sini lagi nanti," Thea menerima payung dari Mark dan tersenyum.

"Yang penting Kakak harus mengganti baju dengan yang lebih hangat dan tebal. Dan jangan lupa untuk beristirahat. Selamat malam, Kak," kata Mark sambil kembali mendorong bahu Thea.

Ia tidak bermaksud untuk mengusir dua orang itu, tapi pengusiran halus akan menjadi solusi terbaik untuk mengatasi tubuh Thea yang kehujanan dan Antonio yang terlihat sangat lelah.

Thea membentangkan payung berwarna biru yang diberikan Mark sebelumnya dan berjalan menerobos hujan bersama Antonio. Di tengah perjalanan, Antonio mengambil alih payung itu agar bisa diangkat lebih tinggi dan mereka tidak terlalu basah oleh tetesan air dari bagian ujung payung.

Mark melambaikan melambaikan tangannya dan berteriak, "Selamat istirahat kalian berdua!"

Setelah menyaksikan kepergian Antonio dan Thea, Mark kembali ke dalam kafe untuk melanjutkan pekerjaannya yang baru akan selesai pada pukul setengah sepuluh malam nanti.

Salah seorang pelanggan yang duduk di sudut paling belakang melambaikan tangan untuk memanggil Mark. "Permisi, di sini," ujar laki-laki itu.

Mark menoleh dan langsung berjalan menuju pelanggan itu. Ia mengenakan kaos panjang rajut berwarna biru cerah dan celana jeans. Kacamata berlensa bening dan masker hitam melengkapi penampilan sekaligus menyembunyikan sebagian besar wajah lelaki itu.

"Iya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Mark setelah sampai tepat di depan meja lelaki itu.

"Saya mau menambah pesanan. Americano dengan double shot dan sedikit es," Juan, si pelanggan berkaos biru itu menyebutkan pesanan tambahannya.

Mark mengambil kertas dan pena dari kantong yang berada di bagian depan apron hitamnya untuk mencatat pesanan Juan. "Americano double shot dengan sedikit es. Ada tambahan lainnya?"

Juan menurunkan maskernya hingga dagu kemudian meneguk kopi hitam hangatnya. Sambil memegangi cangkir kopinya ia menjawab, "Tidak ada, itu saja."

"Baik. Pesanan Anda akan segera saya buat. Mohon ditunggu." Mark memberikan senyuman kepada pelanggan barunya itu kemudian berjalan kembali menuju bar.

***

Tik... tik... tik.. tik...

Suara detak jarum jam dan sisa hujan terus berbunyi bersahutan satu sama lain.

Thea merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur kayu yang dilapisi kasur busa. Tempat itu dulunya adalah markas persembunyian masa kecil Thea. Tempat bersembunyi dari amarah orang tuanya, tempat untuk diam-diam membaca komik kesukaannya, tempat untuk tidur siang, dan untuk bersembunyi dari teman-teman sebayanya ketika gadis itu sedang malas untuk bermain di luar.

Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas. Tepatnya sepuluh menit lagi. Thea sengaja menjaga kesadarannya agar bisa mengucapkan ulang tahun kepada Julie tepat pukul dua belas malam nanti.

"Thea, cepat bangun sekarang!" seru Antonio dari ruang tengah.

Thea mengangkat tubuhnya dengan malas lalu mendengus kesal, "Ah, apa lagi sekarang? Bukankah ini sudah malam?"

Sementara di luar kamar Antonio sudah berpakaian dengan rapi dan tengah mengenakan kaos kakinya. "Segera kemasi barang-barang lagi. Kita akan pulang dalam tiga puluh menit."

"Apa? Maksud Papa apa?" Dua bola mata Thea terbelalak.

"Papa ada janji penting besok pagi. Ini sangat mendadak jadi maaf sudah membangunkan kamu tengah malam begini," jelas Antonio.

"Tidak! Ulang tahun Mama itu besok, Pa! Kita sudah datang sejauh ini dan akan pergi begitu saja tanpa mengunjungi Mama dihari ulang tahunnya?" Thea menaikkan intonasi suaranya.

"Ini sangat mendesak. Papa juga baru tahu beberapa saat yang lalu. Penerbangan yang paling memungkinkan untuk kita sampai ke rumah sebelum pagi adalah pukul dua nanti," kata Antonio.

"Tahun lalu Papa sudah membohongi aku dan kita melewatkan ulang tahun Mama begitu saja. Aku tidak mau melewatkannya lagi tahun ini," tegas Thea.

Antonio berdiri dan meraih tangan Thea untuk membujuk, "Ayolah, Sayang. Lagipula kita sudah mengunjungi Mamamu tadi sore."

"Papa sebut itu kunjungan? Bahkan Papa tidak sama sekali menampakkan wajah di depan pusara Mama. Dan sekali lagi, hari ini bukan ulang tahun Mama!"

Antonio hampir mengeluarkan kalimat dari bibirnya namun ia urungkan. Ia mengambil napas panjang kemudian kembali membujuk, "Maafkan Papa karena tidak bisa menjadi suami dan ayah yang baik untuk kalian. Kali ini saja Papa memohon kepadamu, ya?"

Thea menarik tangannya dari genggaman sang ayah kemudian berkata, "Silakan pergi sendiri. Aku akan tetap di sini untuk merayakan ulang tahun Mama," ucap gadis itu sembari melirik jam dinding. "Sebentar lagi."

"Papa tidak mungkin meninggalkan kamu sendiri di sini, Thea."

"Aku sudah cukup dewasa untuk bertahan hidup sendiri di sini. Silakan pergi sendiri. Semoga perjalanan pulang Papa lancar dan selamat sampai tujuan," pungkas Thea yang kemudian kembali masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya.

Antonio memijat pelipisnya yang terasa pening. Ia berusaha mencari jalan keluar dari situasi yang terjadi saat ini.

Diawali dengan helaan nafas yang berat Antonio memberi izin untuk Thea, "Baiklah kalau itu mau kamu. Papa akan meminta Mark dan keluarganya untuk menjagamu selama kamu di sini. Tolong jangan pergi terlalu jauh dan selalu gunakan uang tunai untuk membayar apapun. Selamat tidur, Sayang."

Antonio mengangkat tas jinjingnya dan melangkah keluar dari rumah. Dalam setiap langkahnya ia berdoa semoga membiarkan Thea berada jauh di luar jangkauannya bukanlah sebuah keputusan yang salah.

Sementara itu di dalam kamar Thea sudah menangis sejadi-jadinya. Perasaan kecewa menjalar ke seluruh tubuh gadis itu. Di sela tangisannya ia mendongakkan kepala dan menemukan bahwa pukul dua belas sudah berlalu sejak lima menit yang lalu.

Gadis itu buru-buru mengambil sebuah bingkai dengan foto keluarga di dalamnya. Tangisnya kembali tumpah ruah.

"Selamat ulang tahun, Mama," lirih Thea sembari menyeka air matanya. "Maaf karena ulang tahun Mama bahkan jauh lebih buruk dibandingkan tahun lalu...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status