Share

Banyak Hujan Hari Ini

"Kita sudah masuk area bandara. Bapak akan turun di terminal berapa?" tanya sang sopir Taksi.

Thea menoleh ke arah Antonio dan menemukan lelaki itu sedang menatapnya dengan air wajah secerah mendung.

"Terminal berapa, Pa?" kali ini giliran Thea yang bertanya.

Air mata Antonio hampir saja menetes tetapi tangannya bergerak lebih cepat menyekanya. "Oh iya. Tolong antar kami ke terminal tujuh."

"Baik," sahut supir taksi.

Thea kembali mengalihkan perhatiannya ke luar jendela dan memilih untuk tidak memperpanjang pikirannya tentang raut wajah sang ayah.

Kendaraan roda empat itu berhenti tepat di titik di mana Antonio menginstruksikan sebelumnya. Gerimis turun semakin deras hingga berubah menjadi hujan ketika Antonio dan Thea sampai. Akibatnya mereka harus bergerak lebih cepat agar tubuh mereka tidak terlalu basah saat berpindah dari taksi menuju terminal bandara.

Meski tidak kuyup, namun bagian kepala Antonio dan Thea menjadi basah.

"Papa akan ke toilet sebentar. Kamu tunggu di sini ya," pinta Antonio kepada putrinya.

Thea hanya membalas dengan kepala yang mengangguk kecil tanpa bersuara. Ia duduk bersama puluhan calon penumpang lainnya sebelum masuk ke dalam pesawat beberapa saat lagi. Sembari menunggu Thea membaca detail informasi perjalan mereka yang tertera di tiket penerbangan.

"Kamu tidak mau membeli makanan atau sesuatu lainnya?" Antonio menawari putrinya untuk makan begitu ia kembali dari toilet.

"Aku tidak lapar," tolak Thea.

Antonio duduk di bangku yang kosong di depan Thea. Selanjutnya, seperti suasana sebelumnya mereka tidak saling bertukar kata.

"Mereka melakukan penerbangan dalam negeri dan saya sudah membeli satu tiket dengan tujuan yang sama. Atas nama Juan seperti instruksi Master sebelumnya," kata seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah yang tertutup oleh masker berwarna hitam kepada seseorang di sambungan telepon genggamnya.

"Pukul berapa penerbangannya?" tanya seorang lelaki yang dipanggil master oleh pria bermasker hitam itu.

"Sekitar satu jam lagi, Master."

"Baiklah. Beri hukuman satu sayatan di punggung jika bocah itu tidak sampai dalam sepuluh menit."

"Baik, Master."

Sambungan telepon diputus oleh sang tuan.

"Kamu datang lebih cepat dari dugaan," ujar si lelaki bermasker hitam kepada lelaki yang telah berdiri di depannya beberapa detik lalu.

"Jadi? Apakah kamu kecewa aku tidak datang terlambat?"

Lelaki bermasker itu tertawa sembari mengulurkan satu lembar tiket pesawat kepada lawan bicaranya. "Hahaha... mana mungkin aku kecewa? Syukurlah adikku tidak harus menerima hukuman kali ini. Mau makan dulu sebelum pergi, Juan?"

"Aku tidak sedang napsu makan. Aku baru saja mengunjungi pusat kotoran sapi sebelum ke sini," Juan memijit tengkuknya.

"Ah, kamu membuang target di sana?"

"Kurang lebih begitu."

David, si laki-laki bermasker itu memijit bahu adiknya. "Jadi kamu belum sempat bertemu Master tadi?"

Juan menggeleng lalu memutar tubuhnya agar David bisa lebih leluasa memijat pundaknya. "Aku sudah hampir sampai tapi tiba-tiba saja diminta untuk pergi ke sini. Ahh, lebih kencang lagi, Kak," kata Juan yang bercerita sekaligus menikmati layanan pijat gratis dari kakaknya.

"Dasar bocah ini!" David menekan bahu kanan Juan dengan keras.

"Akhh! Sakit, Kak!" Juan memekik kesakitan.

Juan menahan tangan David dan berusaha melepaskannya.

"Kembali saja dengan selamat dan jangan buat kesalahan sekecil apapun. Aku akan carikan perempuan cantik untuk memijat kamu setelah kamu kembali." David melepaskan tangannya dari bahu Juan.

Juan masih meringis kesakitan sambil memegangi bahu kanannya. "Wah, tenaga Kakak ternyata sekuat ini."

David menatap sang adik tajam kemudian berkata, "Hanya ikuti mereka dan jangan sampai ketahuan. Mereka akan pergi ke kampung halaman, jadi mungkin saja Antonio akan melakukan sesuatu dengan gudangnya di sana."

"Memangnya Kakak pernah mendengar aku tertangkap basah saat membuntuti target? Tenang saja, Kak," kata Juan yang sembari berbicara tangannya melepaskan masker dari wajah David dan memakaikan kain hitam itu ke wajahnya. "Terima kasih maskernya."

Setelah menunggu beberapa saat, Antonio menarik koper kecil milik Thea dan mengajak gadis itu untuk beranjak. "Ayo."

Antonio dan Thea sudah menyiapkan satu tiket dan kartu identitas di tangan sebelumnya. Mereka berada di lima baris antrean terdepan dan hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk petugas bandara selesai memeriksa kelengkapan berkas penerbangan di lima barisan itu.

***

Matahari sudah hampir pulang dari peraduan setelah hampir dua belas jam tampil di langit sebagai panggung. Tetapi tanah yang Thea pijak saat ini masih hangat dan kering. Bumi bagian ini tidak diguyur hujan seperti kota seberang tempat Thea dan ayahnya memulai perjalanan.

"Hai, Ma. Aku datang bersama Papa, tapi dia tidak mau mendekat ke sini," sapa Thea di depan salah satu dari ratusan gundukan tanah berlapis semen di tempat itu.

Kedua kaki Thea tiba-tiba saja bergetar lemas hingga ia memutuskan untuk duduk dengan lutut sebagai tumpuan. Ia ingin tetap memperlihatkan gaun cantiknya kepada Julie, perempuan yang ia panggil Mama.

"Tahun ini aku pindah rumah dua kali dan jaraknya semakin jauh dari sini. Mengunjungi Mama menjadi semakin sulit," kata Thea yang sudut bibirnya menurun, menyiratkan rasa kecewa. "Maafkan aku... dan... Papa juga. Maafkan Papa juga, Ma."

Berdiri sekitar lima meter dari tempat Thea, Antonio tidak sedikitpun menoleh. Tetapi telinganya mampu menangkap sayup-sayup kalimat Thea karena suasana yang sangat sepi.

"Aku tidak akan mengucapkan selamat hari ini. Tadi aku memaksa Papa untuk ke sini hari ini juga karena aku sudah sangat rindu dengan Mama. Anggap saja ini bayaran untuk ketidakhadiran kami tahun lalu, ya?"

Antonio mencengkeram besi pegangan pada koper. Ia menengadahkan kepala, menatap langit luas demi menahan air matanya agar tidak keluar.

"Aku juga tidak membawa bunga. Tapi besok Papa akan membawakan rangkaian bunga yang sangat besar ke sini," Thea sedikit menaikkan volume suaranya.

Antonio tidak pernah berubah. Selalu menahan perasaannya dan enggan untuk mengungkapkan rasa cinta di depan orang lain termasuk kepada Julie dan Thea. Lelaki paling keras kepala yang sesungguhnya adalah anggota keluarga yang paling lemah hatinya.

"Mama bisa lihat, kan? Suami Mama itu orang yang paling pemalu. Padahal dia pasti yang lebih rindu dengan Mama, tapi dia pura-pura kuat dan menggunakan wajah garangnya itu untuk menyembunyikan air mata," ujar Thea. Ia begitu menikmati waktu bercerita bersama makam Mamanya, seperti seorang perempuan yang bertemu dengan sahabat bergosip terbaiknya. Selalu ada saja yang menjadi bahan pergunjingan.

Masih dengan kepala yang mendongak ke langit, Antonio menghela napas begitu panjang. Seberapapun kerasnya usaha lelaki itu untuk menahan matanya agar tidak berair tapi lagi-lagi hari ini beberapa tetes air mata meluncur hingga membasahi pelipisnya.

"Ma, aku harus pergi sekarang. Laki-laki tua di sebelah sana pasti sudah lelah berdiri. Mama dengar suara napasnya barusan, kan?" kata Thea. Ia memeluk kemudian mencium ukiran nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian Julie sebelum berpamitan, "Sampai jumpa besok. Aku sayang Mama."

Thea mengusap lututnya yang ditempeli beberapa butiran tanah dan rumput akibat berlutut. Setelah kedua lututnya bersih, gadis itu meninggalkan pusara Julie dan menghampiri Antonio yang masih menghadapkan punggungnya sejak awal tiba hingga saat ini.

"Kita akan pulang ke rumah, kan?" tanya Thea kepada sang ayah.

"Kamu sudah selesai? Ah itu... kita akan menginap di hotel di dekat sini kar—"

"Papa menginap saja sendiri. Aku akan tidur di rumah." Thea memotong kalimat Antonio dan melangkah pergi dari pemakaman tanpa menunggu Antonio melangkah terlebih dahulu.

"Jangan main-main! Rumah itu sudah kosong lebih dari setahun lamanya!" Antonio berlari menyusul langkah Thea yang sudah tiga meter lebih jauh di depan.

"Aku sudah menghubungi Mark tadi siang. Aku bisa tidur di lantai dua karena masih ada kasur bekas pengontrak tiga bulan lalu."

Antonio meraih pergelangan Thea dan menyentaknya. "Berhenti bertindak gegabah dan turuti saja perkataan Papa!" tegas Antonio.

Thea menoleh dan menatap lurus ke arah mata Antonio. "Papa yang akan menuruti kemauanku hingga hari ulang tahun Mama berakhir," kata Thea tidak kalah tegas.

Antonio tidak membalas tatapan mata Thea dan justru menggerakkan bola matanya ke kanan dan kiri. Sepertinya hari ini ia memang harus mengalah dan menuruti putrinya. Genggaman tangan lelaki itupun melonggar hingga tangan Thea mampu lolos dengan mudah.

Thea kembali meninggalkan Antonio di belakang. Kakinya sudah tidak sabar untuk melangkah ke tempat-tempat yang ia rindukan. Salah satunya adalah sebuah kafe kecil di sebelah rumah lamanya.

Kedua kaki Thea berjalan semakin cepat hingga berubah menjadi lari. Tanpa menghentikan langkahnya Thea menoleh kepada Antonio dan berteriak, "Aku akan ke tempat Mark dulu. Papa boleh menyusul ke sana untuk mengambil kunci atau pergi ke penginapan sesuai dengan rencana awal Papa. Aku pergi dulu."

Antonio belum menggerakkan kakinya dan hanya menyaksikan Thea berlari menjauh hingga ujung jalan raya menelan gadis itu.

Thea menumpukan tangannya di lutut dan berusaha mengatur napasnya yang memburu akibat berlari. Ia sudah berada di depan kafe yang ia tuju.

Setelah degup jantungnya tidak lagi berirama cepat, gadis itu membuka pintu cafe dan menyapa seorang laki-laki muda yang berdiri di belakang meja kasir. "Selamat sore, Mark."

"Selamat da... Kakak!" laki-laki muda itu berseru riang ketika melihat siapa yang baru saja datang.

"Mark!"

Mark—pemuda yang bekerja di kafe—segera membuka pintu setinggi perut dan berlari menghampiri Thea. Dengan wajah berseri ia menyambut kedatangan Thea dengan kalimat, "Selamat datang kembali. Sudah lama sekali sejak Kakak terakhir kali datang."

"Hampir dua tahun?" Thea ikut berjalan mendekati Mark.

"Dua puluh dua bulan," kata Mark yang kemudian memeluk tubuh Thea untuk melepaskan rindu.

Thea melingkarkan tangannya ke tubuh Mark dengan kaki berjinjit dan berkata, "Padahal dulu kamu dua senti lebih pendek daripada aku."

"Sekarang aku sudah dua puluh senti lebih tinggi, kan? Hahaha," canda Mark.

Pelukan antara Mark dan Thea berakhir dan Mark kembali ke belakang meja kasir.

Thea berjalan ke depan meja kasir lalu berkata, "Boleh saya memesan sesuatu?"

'"Selamat sore, Kakak. Pesanan seperti biasa? Atau mungkin Kakak punya selera baru setelah hampir dua tahun berhenti menjadi pelanggan di sini?" tanya pria dengan tubuh tinggi semampai itu yang disambut senyuman oleh Thea.

"Sepertinya dulu aku terlalu sering ke sini hingga kamu tahu apa yang ingin aku pesan. Aku pesan yang seperti biasa," Thea mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan hingga berhenti di mata lelaki yang ia panggil Mark itu.

Mark hanya terkekeh kemudian bak mesin ia mengupas bagian hijau dari buah mangga, memotong daging oranye yang tadinya tertutup lapisan hijau untuk masuk ke dalam tabung kaca di depannya, menambahkan sedikit air, dan menekan sebuah tombol di bagian bawah tabung kaca itu. Dalam sekejap daging mangga tadi hancur dan menyatu dengan air.

"Kakak mau duduk di luar seperti biasa?" tanya Mark disela pekerjaannya.

Thea mengangguk lalu berkata, "Masih ada tempat di belakang, kan?"

"Justru lebih luas dibandingkan dengan terakhir kali Kakak ke sini."

"Benarkah?" Thea menoleh ke arah belakang kafe untuk melihat kondisi halaman belakang bangunan itu.

"Sebaiknya Kakak tidak terlalu lama berada di luar karena perkiraan cuaca hari ini meramalkan hujan akan mengguyur deras seluruh bagian kota," ujar Mark sambil memindahkan jus mangga ke dalam penampung yang lebih kecil bernama gelas.

Thea mengangguk dan kembali tersenyum. Ia menatap ubin dan menyembunyikan mata cokelat mudanya. Tidak masalah jika hujan turun. Hari ini ia sudah kehujanan dan 'menghujani' beberapa kali. Air hujan setelah ini mungkin akan terasa hangat di tubuhnya.

"Kakak mau mencoba menu baru yang baru saja aku buat?" Mark meletakkan segelas penuh jus yang dilengkapi dengan sedotan di depan Thea.

"Menu baru buatan kamu? Maksudku, kamu yang menciptakannya?"

"Hanya mengembangkan resep dasar yang sudah ada," Mark merendah.

"Sepertinya kamu harus segera menyisipkan kata chef di depan namamu," Thea menempelkan telapak tangannya pada permukaan luar gelas dan kembali mengarahkan pandangannya kepada Mark.

"Mana bisa pria berusia 18 tahun sepertiku ... ah, lagipula aku sepertinya terlalu berlebihan menyebut 'menu' untuk makanan seperti ini...," Mark menggembungkan pipinya.

"Buatkan aku satu porsi untuk menemaniku di halaman belakang. Jangan lama-lama, ya?" Thea menggenggam segelas jus dengan kedua tangannya.

Sambil berlalu dari hadapan Mark, ia mengembangkan senyuman untuk menyalurkan semangat kepada lelaki muda itu. Kemudian, kakinya melangkah melewati partisi kaca yang memisahkan teritorial kerja Mark dengan bangku dan meja untuk tamu. Sepasang kaki itu tidak berhenti hingga betul-betul keluar dari bangunan kedai—tepatnya kebun belakang kafe.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status