Share

2. Pengkhianatan

Tidak.. Tidak mungkin.

Aku sudah bekerja dengan sangat keras. Atasanku juga dengan jelas mengatakan untuk menaikkan jabatanku menjadi wakil direktur setelah event besar kali ini.

Setelah event selesai, para karyawan yang bertugas berkumpul untuk evaluasi dilanjutkan dengan penunjukkan wakil direktur baru.

Coba tebak siapa direktur baru itu? Yang pasti bukan aku, meski sudah melakukan berbagai pekerjaan yang setara dengan pekerjaan direkturku.

Tapi Si Anak Baru, yang setahuku masih memiliki pengetahuan yang sangat minim mengenai bisnis EO ini, yang merupakan anak dari pengusaha lain. Bangsat.

Benar-benar nepotisme busuk.

“Ck.. Benar-benar keterlaluan,” kata sebuah suara yang tidak asing.

Aku mendongakkan kepala cukup tinggi agar bisa melihat orang yang ada di depanku. Wajahnya disinari lampu jalan yang temaram.

“Bagaimana sekarang kau akan menjelaskan keadaan ini? Pertemuan karena takdir?” Tanya orang itu sambil berdiri di pinggiran trotoar tempatku berhenti setelah berjalan tanpa arah selama beberapa waktu.

“Ah.. Anda yang tadi siang di kamar saya. Maksud saya, yang saya kira kamar saya,” kataku meracau.

“Saya hampir tidak bisa mengenali Anda kalau berpakaian lengkap seperti ini,” lanjutku.

“Maksudmu, kau lebih suka melihatku telanjang?” Tanyanya dengan nada menghina.

“Yah, pemandangan tadi tidak begitu buruk juga. Meskipun saya lebih memilih untuk melihatnya sekarang. Sebagai penghiburan,” kataku asal.

“Kau pikir aku ini laki-laki penghibur?” Katanya tidak terima.

“Yah..,” aku memandangi penampilannya dari atas ke bawah. Wajah maskulin yang tampan, rambut yang jatuh sampai batas telinga, tubuh tinggi seperti model, pakaian yang terlihat seperti berandalan namun merupakan keluaran merk-merk mewah, selain itu dia bilang kalau sudah tinggal di kamar suite selama lebih dari setahun. Apalagi kalau dia bukan pria simpanan tante girang kaya-raya.

“Saya tidak mau menghakimi gaya hidup Anda,” kataku pada akhirnya.

“Sudahlah. Berhenti menguntitku, aku sudah muak,” jawab orang itu.

“Nama Anda Aldo, bukan?” Tanyaku. “Tuan Aldo yang terhormat, saya tidak punya ketertarikan untuk menguntit Anda. Penampilan seperti itu bukan tipe saya,” tambahku.

“Penampilan yang seperti apa maksudmu?” Tanyanya sedikit tersinggung.

“Yah.. Tidak rapi,” jawabku enggan.

“Penampilan yang seperti berandalan,” jawabnya seolah menegaskan kata-kataku. Dia sudah tampak sangat tersinggung.

“Mungkin..,” katanya sambil mendekatkan tubuhnya kepadaku, “lain kali kalau kita bertemu lagi, aku tidak akan mengenakan pakaian apa pun. Sesuai seleramu,” lanjut Aldo, kali ini dia menempelkan tubuhnya erat-erat ke tubuhku.

Lalu dia pergi setelah mendorong tubuhku dengan sedikit kasar.

Dia punya masalah apa, sih? Celebrity syndrom? Kenapa dia mengira aku menguntitnya?

Benar-benar menambah kacau perasaanku saja.

***

Beberapa hari kemudian, aku mendatangi Hotel Grand Luxy. Berdiri memandangi huruf-huruf besar yang membentuk kata “Grand Luxy” di taman depan hotel mewah ini.

Kali terakhir kesini beberapa hari lalu, aku dikhianati oleh perusahaan tempat aku mencurahkan waktu dan jerih payah selama bertahun-tahun.

Waktu itu aku masih belum bisa mencerna apa yang terjadi dan hanya kabur begitu Si Anak Baru naik ke panggung dengan diiringi tepuk tangan canggung oleh beberapa kolegaku. Bagaimanapun, mereka juga mengira bahwa akulah yang akan naik ke panggung itu.

Untuk itulah aku datang ke hotel ini, untuk meminta penjelasan kepada direkturku, setelah sekretaris direktur berkata bahwa beliau sedang mengunjungi ayahnya, pemilik Hotel Grand Luxy.

***

Aku sampai di depan pintu ruang kerja CEO setelah menunjukkan id card perusahaan. Sekretaris itu hendak memberitahukan kedatanganku namun kutolak dengan halus. Kemudian dia pamit undur diri meninggalkanku di depan pintu.

“Papa berencana mundur dari jabatan CEO,” kata suara berat dari dalam ruangan yang menerobos lewat celah pintu yang sedikit terbuka. Sepertinya itu adalah suara ayah dari direktur perusahaanku.

“Tentu tidak dalam waktu dekat. Tapi sesegera mungkin,” lanjut suara berat itu.

"Papa minta kamu harus segera memperbaiki sikap. Anak laki-laki seharusnya bisa diandalkan untuk kujadikan penerus. Bukannya hidup seenaknya dan bersikap seperti preman," lanjutnya.

Anak laki-laki? Ah, mungkin dia kakak laki-laki atasanku. Yang gosipnya gemar hidup berfoya-foya.

"Ck ck.. Bahkan menjawab saja tidak bisa. Sia-sia aku punya anak lelaki sepertimu,” lanjut si suara berat.

“Um.. Papa, baru-baru ini perusahaanku sudah semakin berkembang,” sahut suara yang kuyakini adalah suara atasanku.

“Aku sudah bekerja dengan sangat keras untuk mendapatkan event Beauty Peagant beberapa waktu lalu,” Lanjutnya dengan semangat.

Hatiku mencelos.

“Ah, bukan itu saja. Tender besar dengan Aro Entertainment juga adalah salah satu pencapaian terbesarku! Aku bersusah-payah menyenangkan orang-orang di Aro Entertainment sehingga mereka akhirnya luluh,” kata atasanku berapi – api.

Membuat hatiku serasa terbakar.

Event Beauty Peagant.. tender Aro Entertaiment.. Semua itu adalah pekerjaan yang aku tangani, sementara atasanku pergi bersenang-senang dengan suaminya di Bali, meninggalkan aku sendirian untuk menangani pekerjaannya sebagai direktur.

Jadi memang benar aku dikhianati oleh orang yang kuhormati. Dia adalah orang terakhir yang bakal aku curigai. Orang yang selalu berkata bahwa aku adalah tangan kanannya, bahwa tanpa aku perusahaannya tidak akan sesukses sekarang.

Perutku serasa diaduk - aduk dan kepalaku serasa berputar.

Dikuasai oleh emosi, aku menerjang masuk ke dalam ruangan CEO tanpa pikir panjang.

Brak! Pintu terbanting ketika aku mendorongnya dengan keras.

“Apa-apaan ini?!” Seru sang CEO, yang sedang duduk di singgasananya.

Semua orang di dalam ruangan melihatku dengan bingung.

Tanpa kuketahui, ada sosok familiar yang lebih terkejut karena kedatanganku yang tiba-tiba.

“Wah wah..," kata seseorang dengan suara yang familiar. "Sayang sekali, sepertinya aku mengecewakanmu. Tapi kali ini pun aku juga tidak sedang telanjang,” aku mencari ke arah sumber suara, Aldo sedang duduk di sisi terjauh dari kursi di hadapan meja kerja CEO, menatapku dengan senyuman sinis di wajahnya. Kemudian berganti melempar tatapan benci kepada atasanku—yang masih terkejut atas kehadiranku.

Kenapa Aldo ada di sini?

Aku menggelengkan kepala untuk mengembalikan konsentrasi. Kemudian menatap tegas ke arah orang yang menghancurkan integritasku.

“Bu Jasmine, saya mengajukan resign," kataku dengan susah - payah menahan sumpah serapah.

"Dan saya meminta bonus yang layak atas kontribusi besar saya menangani dan memenangkan tender  Beauty Peagant dan Aro Entertainment," semburku dengan amarah yang berkobar.

“Fiona! Apa kamu tahu tempat apa ini?!” Pekik Jasmine histeris.

“Ya, saya tahu ini bukan tempat yang pantas untuk saya berkata seperti ini,” jawabku.

“Tapi, pak CEO,” lanjutku berganti menatap wajah ayah Jasmine. “Kalau Anda berniat menunjuk orang ini sebagai penerus Anda..” kataku sambil mengarahkan telunjuk ke arah Jasmine, “Anda harus berpikir ulang seratus kali.”

“Kau wanita jalang!” Teriak Jasmine, mukanya merah padam.

“Diam!” Hardik sang CEO. “Jasmine, duduklah!” Perintahnya pada Jasmine. “Kau, siapa kau dengan tidak sopan menerobos masuk ke dalam ruangan saya?” Tanya CEO dengan nada tajam.

“Sa..,”

“Dia pacarku,” sahut Aldo, tiba – tiba melingkarkan tangannya di pinggangku.

“Dia pacarku, Pa,” ulang Aldo setelah sang CEO menatapnya dengan wajah tidak percaya.

Aku menatap wajah Aldo dengan tidak percaya. Aldo memanggil pak CEO 'papa'?

Lalu, apa pula omong kosong soal pacar ini?

Aku baru akan membuka mulut untuk protes ketika lengannya memeluk tubuhku lebih erat.

"Tipu muslihat apa lagi yang sekarang kamu lakukan, Aldo?" Tanya CEO sedikit geram.

"Apakah Papa sebegitu tidak percaya padaku?" Aldo membalas pertanyaan ayahnya.

"Sekarang kau menganggap wanita - wanita murahan itu sebagai pacar, hah?!" Bentaknya.

"Di mata papa aku hanyalah bajingan, bukan?" Tanya Aldo terbersit kesedihan dalam suaranya. "Percuma saja aku mengatakan apapun. Papa tidak akan percaya," tangan Aldo yang melingkar di pinggangku terasa menegang.

"Sepertinya Papa bisa menilai sendiri, siapa di sini yang berbohong pada Papa," tantang Aldo. "Tapi tentu saja, Papa pasti akan lebih memilih mempercayai perkataan anak kesayangan Papa. Aku pergi dulu," Aldo menarik tanganku untuk meninggalkan ruangan CEO.

Dari belakangku terdengar suara CEO berteriak memanggil Aldo yang sudah pergi tanpa menoleh.

Juga suara Jasmine yang histeris berusaha meredam amarah ayahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status