Share

Ketakutan Lynn

Steve menyaksikan punggung Jessica yang berlalu dan mulai menerka-nerka yang mana mobil Jessica.

Steve menganga di tempat melihat Jessica dengan mobil Porsche putihnya, sangat kontras di malam yang pekat. Steve tersadar kala Jessica membunyikan klakson untuknya, tangan Steve terangkat melambai ke arah Jessica.

Steve berbalik menuju mobilnya yang masih berdecak mengagumi mobil Jessica. Dalam hati, Steve merasa tidak sepadan dengan Jessica jelas bahwa perbedaan gaya kehidupan dan selera keduanya. Steve memang berasal dari kalangan atas. Namun Steve tak memegang prinsip untuk memamerkan hartanya. Steve lebih menyimpan uangnya yang menurutnya akan berguna untuk masa depan. Rumah Steve bahkan bisa dibilang sederhana dengan gaya interior klasik. Ayah Steve pernah menyuruh Steve mengubah gaya rumahnya, tapi Steve menolaknya mentah-mentah, selain menghamburkan uang, Steve juga sudah merasa nyaman dengan rumahnya. Berbeda dengan rumah orang tuanya yang glamor. 

Steve memutuskan untuk mampir di rumah Lynn. Namun, kembali diurungkannya. Barangkali, Lynn sudah tidur, pikir Steve. 

*****

Senin, pukul 7.00

Steve hendak menjemput Lynn namun mobil Lynn sudah tidak ada di halaman rumah Lynn. Steve menghela napas kemudian melajukan mobilnya. Steve buru-buru masuk men-scan kartu identitasnya. Lalu, Steve langsung berjalan cepat menuju meja Lynn mengabaikan panggilan Fianne.

"Lynn," sapa Steve. 

Lynn yang sedang berbincang dengan Leiss lantas berbalik.

"Hai, Steve!" balas Lynn.

"Kau baik-baik saja, kan?" tanya Steve.

"Ya, seperti yang kau lihat!" Lynn tersenyum.

 Steve memandang Lynn yang memang nampak seperti biasa, senyum ceria, dan cekikikannya.

"Maafkan aku membuatmu khawatir malam itu," ujar Lynn dengan suara rendah seolah takut jika Leiss mendengar ucapannya. 

Steve hanya mengangguk.

"Kau punya waktu nanti malam?" tanya Lynn.

"Tentu," balas Steve kemudian berlalu meninggalkan ruangan Lynn.

Steve yang baru saja mendaratkan diri di kursi terkejut akan suara histeris yang berasal dari luar ruangannya. Fianne saja langsung berdiri, "Ada apa? Apa yang terjadi?" 

Steve melangkah keluar dari ruangannya dan hampir saja bertubrukan dengan karyawan lain yang berlari lewat hadapannya. Steve melihat satu persatu karyawan berlari keluar meninggalkan mejanya. Steve sontak menatap pintu keluar yang sesak dengan manusia, lagi-lagi suara histeris karyawan wanita menggema. Kemudian, Steve ikut mengamati apa yang terjadi di luar. Namun terhalang dengan kepala-kepala orang lain. Samar-samar Steve mendengar ucapan histeris seorang wanita dan bisik-bisikan karyawati.

"Lantai 20?"

"Ugh, menjijikkan!"

"Apa yang terjadi?" tanya Steve tiba-tiba menangkap bahu seseorang yang sepertinya sudah menyaksikan peristiwa di luar.

"Bobin melompat dari lantai 20," jawab pria tersebut.

Mata Steve langsung membelalak kemudian menerobos kerumunan tak dihiraukannya kalimat umpatan karyawan lain.

Steve menganga di tempat, tubuh gempal Bobin berlumur darah dengan mata yang melotot tepat menatap Steve yang kini sudah berdiri kaku. Steve mendongak ke atas melihat semua balkon gedung dipenuhi karyawan. Tak menutup kemungkinan organ-organ vital Bobin hancur seketika. Terlebih, Bobin justru mendarat di taman gedung lantai satu. Bunga-bunga yang bermekaran hancur tertimpa tubuh Bobin dan berlumuran darah. Netra Steve menatap cabang pohon yang penuh dengan darah, berarti Bobin tersangkut di pohon kemudian mendarat lagi ke tanah. Bunyi sirene ambulan yang beberapa menit lalu samar-samar terdengar kian mendekat dan diikuti mobil polisi.

"Minggir! Minggir!" teriak polisi tersebut sembari memasang pita garis polisi di area Bobin. Dua polisi masuk dengan seorang detektif berlari masuk menuju lantai 20. Di sisi lain, petugas medis mengangkat tubuh gempal Bobin dan petugas lain mulai membawa brankar dorong memasuki ambulan lalu mobil itu kembali melaju menuju rumah sakit.

"Silahkan bubar!!" teriak Yosen, atasan Steve. Kerumunan di area taman berangsur-angsur hening. Steve sendiri sedari tadi masuk menyaksikan Fianne yang masih menganga dan tak berkedip.

"Terdengar mustahil jika Bobin bunuh diri, aku bertemu dengannya di ruang Pak Yosen kemarin. Mukanya nampak berseri dengan celoteh khasnya," ujar Fianne mengingat pertemuan terakhirnya dengan Bobin.

Steve hanya mengedikkan bahu tak membalas ucapan Fianne. Jemarinya kembali mengetik laporan yang tertunda. Diluar ruangan sudah nampak biasa-biasa saja, seolah sedang tak terjadi apa-apa tadi pagi.

"Tidak makan diluar?" tanya Steve merebut jas kantornya, melirik bekal Fianne yang lagi-lagi hanya sayur.

"Tidak ada kata makan diluar selama Fianne bawa bekal!" balas Fianne menyendok salad sayurnya. 

Steve memaksakan senyumnya lalu keluar dari ruangannya langsung berbelok menuju ruangan Lynn.

"Lynn izin pulang beberapa jam lalu," ucap Leiss kala mendapati Steve yang masuk memanggil nama Lynn.

"Kenapa?" tanya Steve.

"Dia merasa tak enak badan dan merasa mual," jelas Leiss lalu beranjak keluar. 

Steve berbalik hendak keluar juga, tapi netranya tak sengaja menangkap botol pil kaca di atas meja Lynn dengan tutup yang terbuka. Steve langsung berlari keluar, menuju parkiran kemudian melajukan mobilnya dalam kecepatan tinggi.

**

"Lynn?" Steve langsung memasuki rumah Lynn kala mendapati rumah itu dalam keadaan tak terkunci. Steve mengetuk pelan pintu kamar Lynn yang kemudian menampakkan sosok pucat Lynn yang masih mengenakan setelan kantornya. Steve langsung menerobos masuk tanpa izin dahulu oleh Lynn, mengamati tubuh lemas Lynn.

"Kenapa kau kemari?" balas Lynn yang kini tengah berdiri di depan jendelanya.

"Aku mengkhawatirkanmu." 

"Aku baik-baik saja. Kembalilah ke kantor," jawab Lynn yang masih menatap pemandangan luar jendela.

"Kau tentu tak baik-baik saja!" ujar Steve memperlihatkan botol pil kaca milik Lynn.

Lynn membuang muka setelah melihat botol pil kaca di telapak tangan Steve. Lynn masih terdiam.

"Kau menyembunyikan sesuatu dariku," lanjut Steve 

lembut meraih tangan Lynn,  seketika hening mengudara. Lynn lantas melepaskan tangannya berbalik duduk di ranjangnya.

"Trauma," jawab Lynn menunduk. 

Steve mendekati Lyn, duduk di sampingnya. Dilihatnya Lynn yang nampak gusar, kedua tangannya meremas-remas sprei. Mata Lynn mulai memerah, deru napasnya mengencang.

"Tidak perlu." Lynn menggelengkan kepala menolak tawaran Steve yang menyodorkan pil penenang. Lynn kembali menghela napas.

"Mobil kami kecelakaan ...." Lynn terdiam.

Steve meraih tangan Lynn, menggenggamnya.

"Aku membunuh kakakku, aku memaksanya menemaniku ke taman hiburan ... Mobil kami mengalami kecelakaan di perempatan ...." Lynn menunduk lesu, bulir-bulir air matanya mulai runtuh satu-persatu.

"Kakakku Cassandra meninggal di tempat, dia melindungiku dari serpihan kaca. Aku masih berumur 14 tahun."

"Tapi, kau–"

"Benar, aku memang anak tunggal sekarang," potong Lynn seolah mengerti pertanyaan Steve.

"Aku menjalani terapi hampir dua tahun, kecelakaan hari itu berpengaruh besar terhadap psikis dan mentalku, bahkan aku hampir dititpkan di rumah sakit jiwa. Orang tuaku kalang kabut  ...." Ucapan Lynn menggantung tak kuasa melanjutkan kembali, kedua matanya kembali bergenang air mata, tangannya yang bebas genggaman mengepal. 

Tangan kanan Steve terangkat menarik Lynn dalam pelukannya dan Lynn mulai terisak, bahu Lynn bergetar. Steve menepuk-nepuk pelan punggung Lynn. Hanya ada suara isakan Lynn dalam keheningan keduanya. Isakan Lynn bertahan kurang lebih dua belas menit tetiba Lynn jatuh tertidur dalam dekapan Steve. Steve langsung panik mengira Lynn pingsan, tapi melihat deru napas Lynn yang teratur membuatnya menghela napas.

Steve pelan membaringkan tubuh Lynn, melepas sandal rumah Lynn lalu menaikkan kedua kaki Lynn di atas ranjang. Steve menatap wajah sembab Lynn, masih terdengar isakan kecilnya. Tangan Steve tetiba terangkat mengelus wajah Lynn. Entah kenapa Steve juga ikut merasa hancur terlebih melihat wajah penderitaan Lynn yang selalu Lynn tutupi dengan kecerewetannya.

Steve kemudian mengecup kening Lynn lalu beranjak keluar dari kamar Lynn, kembali menuju kantornya, Steve sudah melewati batas waktu istirahat sepuluh menit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status