"Karena aku sudah memakai lipstik, maka kamu harus ...." Lynn berjinjit di hadapan Steve, melupakan sambungan ucapannya. Sedangkan, Steve mematung di tempat mendapati Lynn tengah menyapu kuas lipgloss di bibir bawah Steve. Jarak keduanya hanya tersisa beberapa senti saja, seorang pelanggan yang lewat di hadapan Steve sontak kaget, Steve menduga bahwa pelanggan itu mendapat perspektif pandang yang salah, mengira Steve dan Lynn tengah berciuman.
"Wuah!" puji Lynn menatap warna softpink lipstik itu di bibir Steve. Lynn lantas mengambil lipstik baru yang sama. Steve masih dalam diamnnya sembari mengusap bibirnya, menghapus warna lipstik tadi.
"Aku lapar," ujar Lynn lantas menarik tangan Steve menuju restoran mal di lantai tiga. Lynn memang tampak terlihat biasa saja. Namun jantungnya sudah berdegup kencang, Lynn juga tak mengerti darimana dia mendapatkan keberanian untuk melakukan hal tadi, Lynn meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya tadi benar-benar gerakan refleks. Namun, melihat bibir Steve dalam jarak yang sangat dekat menimbulkan getaran aneh dalam tubuhnya. Lynn hanya berharap semoga Steve tak mendengar debaran jantungnya.
Keduanya tengah berjalan turun menuju lantai satu, hidangan restoran Mall memuaskan lidah keduanya. Tangan Lynn menenteng satu paper bag sedangkan Steve menenteng dua paper bag di tangan kanannya. Lynn tersenyum membalas sapaan pramuniaga mal. Steve mendorong pintu keluar Mall dengan tangan kirinya dan diikuti Lynn. Netra Steve menangkap butiran-butiran air hujan.
"Hujan," ujar Lynn.
Tiba-tiba petir menggelegar, bukan suara petir yang membuat Steve kaget. Namun, Lynn yang kini tengah meringkuk menutup kedua telinganya, menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya. Steve panik dan langsung membungkuk, menyentuh pelan pundak Lynn menyadari bahwa tubuh wanita itu bergetar.
"Kau takut petir?" tanya Steve pelan.
Wajah Lynn terangkat, Steve bisa melihat jelas wajah pucat Lynn dan bibirnya yang bergetar. Lynn melepas tangannya dari telinganya kemudian merogoh tas sampirnya. Namun, tangan Lynn terlalu bergetar membuat botol pil kaca kecil itu terlepas dari tangannya. Steve sigap menggapai botol kaca itu sebelum menggelinding lebih jauh lantas memberikan satu pil di tangan Lynn yang langsung dimakannya. Napas Lynn berangsur-angsur lebih teratur, getaran tubuhnya mulai mereda.
"Aku baik-baik saja," ujar Lynn tersenyum sekilas pada Steve.
Steve hanya manggut-manggut membantu Lynn berdiri. Hujan sudah reda menyisakan gerimis kecil. Steve memegang tangan Lynn berjalan di bawah gerimis.
Tak ada obrolan sepanjang jalan pulang, Steve juga tak menuntut penjelasan pada Lynn. Steve tahu Lynn akan bercerita padanya jika ingin. Steve melirik khawatir arah Lynn yang kini sedang tertidur.Mobil Steve mulai memasuki pelataran rumah Lynn. Diliriknya kembali wajah pulas Lynn, Steve merasa tak tega membangunkan wanita itu. Steve merogoh tas kecil Lynn mencari kunci pintu rumah Lynn. Lalu, Steve menuju pintu rumah Lynn dan membukanya, kemudian kembali ke mobil. Steve menatap Lynn dan menghela napas.
"Maafkan aku!" ujar Steve lalu menyelipkan tangannya di bawah tengkuk Lynn dan lekukan lututnya, mengangkat Lynn membawanya masuk ke kamarnya. Mendaratkan pelan Lynn di atas ranjangnya. Steve mengamati Lynn cukup lama. Lynn nampak sempurna di mata Steve. Namun, ia tak habis pikir kenapa Lynn betah menjomlo. Rupa Lynn sempurna, kulitnya berwarna kuning zaitun, bibirnya tipis yang terlihat menggemaskan saat cemberut, hidungnya mancung mungil –warisan gen ayahnya yang seorang Belanda–, jika berbicara fisik, Lynn sempurna. Lynn pernah bekerja sebagai model saat usianya masih belasan. Kepribadian? Lynn wanita yang tepat untuk membina hubungan. Lynn bagai paket komplit, menyenangkan dan menenangkan. Namun, kenapa Lynn betah dengan hidup sepinya? Kenapa Lynn justru menolak perasaan Justin saat itu, tak lihatkah Lynn bagaimana besar cinta Justin padanya.? Atau memang Lynn sedang mencintai orang lain? Siapa? Batin Steve.
Steve menyelimuti Lynn dan beranjak pergi dari kamarnya. Sepanjang perjalanan pulang, Steve mulai khawatir dengan Lynn. Steve menduga Lynn menyembunyikan sesuatu darinya, bukan hanya satu. Namun Lynn menyimpan banyak misteri walau keduanya sudah menjalin sahabat selama beberapa tahun. Lynn pula saksi atas menyatunya perasaan Steve dan Rose sekaligus saksi atas perpisahan keduanya.
Steve tengah menatap rembulan sembari menunggu air bath up-nya penuh. Merasakan hembusan angin malam menerpa wajahnya. Steve kembali masuk menuju kamar mandi, melihat bath up-nya yang sudah meluap. Steve melepas jubahnya lalu merendam tubuhnya, merasakan rendaman air hangat melemaskan otot-ototnya dan pikirannya.
****
Sabtu pukul 16.30Steve tengah menatap isi lemari pakaiannya, memilah baju yang menurutnya pas untuk malam nanti, pertemuannya dengan Jessica. Steve memilih menggunakan kemeja dipadukan celana yang senada. Steve menggulung lengan kemejanya hingga ke siku menampakkan urat-urat di lengan kekarnya. Terakhir, Steve melingkarkan jam tangan hitam di pergelangannya.
Steve tiba sepuluh menit lebih awal di restoran. Namun, Steve tiba-tiba teringat dengan hadiah kalung untuk Jessica. Dia lupa mengambil hadiah itu. Steve baru saja hendak beranjak dari kursinya, hendak pulang mengambil kalung itu. Namun, dilihatnya Jessica yang baru saja memasuki restoran. Lain kali, saja! Batin Steve.Steve berdiri menyambut kedatangan Jessica. Jessica tampak memukau dengan rambut di cat pirang bergelombangnya yang sudah di highlight.
"Akhirnya kita bertemu," ujar Jessica.
Steve baru saja memesan makanan sembari mengobrol dengan Jessica menunggu pesanannya tiba.
"Aku masih sedikit tak menyangka, aku benar-benar bertemu denganmu kembali."
Jessica hanya tertawa kecil mendengar ucapan Steve."Oh, ya, kamu tinggal dimana?"
Jessica menaikkan alis mendengar pertanyaan Steve."Aku kehilangan kartu namamu secara tidak sengaja!" jelas Steve seolah mengerti kebingungan Jessica.
Jessica manggut-manggut dan mengatakan alamat rumahnya. Steve baru saja hendak bertanya kembali. Namun pesanan mereka sudah tiba. Jessica wanita yang humoris, terbukti dia menyelipkan beberapa lelucon di sela-sela makan mereka. Alhasil, Steve tertawa begitupun dengan Jessica. Satu fakta yang ditemukan Steve pada diri Jessica malam itu selain sifat humorisnya ialah betapa menggemaskannya Jessica ketika tertawa terlebih matanya menyipit bagai bulan sabit."Oh ya, kamu sekarang kerja dimana?" tanya Steve mengingat pertanyaannya yang tertunda tadi.
"Model."
Sontak Steve berujar 'wow'. Steve memang sudah menduga demikian kala melihat style Jessica. Obrolan keduanya mengalir hingga waktu menunjukkan jam sepuluh malam.
"Maafkan aku, Steve. Aku tentu sangat senang bertemu denganmu. Namun, aku harus pergi," ujar Jessica.
"Tak masalah, malam ini sudah cukup. Kuharap kita bertemu kembali," balas Steve.
"Tentu. Dalam waktu dekat," tambah Jessica yang membuat senyum Steve kian lebar. Jessica lantas merebut clutch-nya lalu berjalan beriringan keluar dengan Steve.
"Perlu kuantar?" tawar Steve.
Jessica menoleh sebentar, tersenyum tipis.
"Makasih, tapi tak perlu, aku membawa mobil kemari. Kalau begitu, aku pergi duluan," ujar Jessica dibalas anggukan Steve.
Steve menyaksikan punggung Jessica yang berlalu dan mulai menerka-nerka yang mana mobil Jessica.Steve menganga di tempat melihat Jessica dengan mobil Porsche putihnya, sangat kontras di malam yang pekat. Steve tersadar kala Jessica membunyikan klakson untuknya, tangan Steve terangkat melambai ke arah Jessica. Steve berbalik menuju mobilnya yang masih berdecak mengagumi mobil Jessica. Dalam hati, Steve merasa tidak sepadan dengan Jessica jelas bahwa perbedaan gaya kehidupan dan selera keduanya. Steve memang berasal dari kalangan atas. Namun Steve tak memegang prinsip untuk memamerkan hartanya. Steve lebih menyimpan uangnya yang menurutnya akan berguna untuk masa depan. Rumah Steve bahkan bisa dibilang sederhana dengan gaya interior klasik. Ayah Steve pernah menyuruh Steve mengubah gaya rumahnya, tapi Steve menolaknya mentah-mentah, selain menghamburkan uang, Steve juga sudah merasa nyaman dengan rumahnya. Berbeda dengan rumah orang tuanya yang glamor.
"Lynn baik-baik saja, kan?" tanya Leiss kala mendapati Steve yang tengah melangkah masuk ruangannya. Steve hanya mengangguk sekilas dan tersenyum ke arah Leiss. Wanita itu langsung mengelus dada disertai helaan napas lega. "Aku tentunya akan menyalahkan diriku sendiri telah membiarkan Lynn pulang mengemudi sendiri. Syukurlah kalau dia baik-baik saja!. Aku terlalu khawatir saat melihatnya mual tadi pagi," jelas Leiss kemudian berbalik menuju mejanya. Steve menatap kursi kosong Lynn lalu menghela napas berat. Fianne yang cukup peka dengan situasi tak bertanya apapun pada Steve. Padahal, wanita itu biasanya tak berhenti mencerocos. Getaran di saku jas Steve mengintrupsinya, Steve merogoh sakunya mendapati pesan singkat dari Jessica. [Hai! Apa kabar?] Steve meletakkan ponselnya di meja tanpa niat membalasnya. Matanya berfokus di layar moni
"Kau pecinta seni?" tanya Jessica. "Hm, sepertinya begitu," jawab Steve.Hening kembali mengudara. "Aku ingin mengajakmu keluar!" ujar Jessica kemudian menatap manik mata Steve "Tentu. Kau punya tempat pilihan?" Senyum Jessica mengembang mendengar nada antusias Steve. "Tidak. Terserah saja kemana nantinya kita pergi!" jawab Jessica diakhiri kekehan kecilnya. Steve beranjak berdiri menuju kamarnya meraih jaket dan kunci mobil lalu Jessica menyampirkan tas kecilnya di bahu. Keduanya berjalan beriringan keluar pintu. "Maaf, tak se-mewah Porsche-mu!" ungkap Steve sembari membukakan pintu mobil untuk Jessica. "Jangan membandingkan, Steve! Aku tentu tak mempermasalahkan hal itu," ujar Jessica kemudian masuk dalam mobil. Mobil Steve pun melaju menuju alun-alun kota. "Kenapa kau tak ja
"Dua gelas wine," ujar Jessica. Steve menatap sekitar menyaksikan sekumpulan orang berjoget kesetanan, dentuman lagu terasa memecahkan kepala. Lalu, Steve bergeleng-geleng kepala melihat beberapa pasangan yang berhubungan intim secara buka-bukaan. Jessica menyodorkan segelas wine. Steve menatap bergantian wajah Jessica dan wine di tangannya. Jessica menatap balik Steve seolah menyiratkan kalimat, 'Ambillah!'. Steve mengambil wine tersebut. Steve meneguknya dan langsung berkecut muka. Dua hal yang paling dibenci Steve, klub malam dan kepopuleran. Namun, malam ini Steve terpaksa menginjakkan kaki di tempat laknat ini demi Jessica. "Pertama kalinya?" tanya Jessica lantas menenggak habis wine-nya. Steve mengerutkan kening tak dapat menangkap ucapan Jessica akibat ributnya suara musik. Jessica tertawa kecil lalu menjulurkan badannya ke arah Steve, mengalungkan kedua len
"Entahlah ... terkadang. Aku tak memahami Jessica, sebentar-sebentar dia tampak bagai wanita yang memang kuidamkan. Namun dia kadang bertingkah sebaliknya, wanita yang liar. Terkadang, aku jatuh hati padanya, terkadang pula aku merasa menyesal mendekatinya," jelas Steve. "Aku bahkan ragu akan perasaanku padanya," tambah Steve. Lynn menatap Steve, jelas sudah raut kebingungan di wajah Steve. Lynn hanya menghela napas, merasa lega dan gusar sekaligus. Dia bagai pecundang. "Kau sudah bertemu dengannya?"Steve hanya menatap Lynn tanpa membalasnya. "Belum. Dia hanya menelponku semalam, nada bicaranya sedikit marah."Lynn mengerutkan kening lalu tertawa. "Wanita siapa yang tak marah jika ditinggal sendiri di klub tanpa pamit?" sindir Lynn. Dalam hati, Lynn bersorak senang. Steve lebih memedulikan dirinya dibanding Jessica. "Ya
"Steve!" Lynn yang bediri di depan pintu rumah Steve, melihat Steve yang berjalan menunduk lesu. "Kau darimana?" Lynn mengamati raut muka Steve yang sudah murung di pagi itu. Steve tak menggubris pertanyaan Lynn lalu berlalu di hadapannya mendorong pintu. Lynn mengikut di belakangnya, Steve menghempaskan diri di sofa menerawang ke langit-langit rumahnya. Lynn hanya mengamati Steve, menunggunya membuka mulut. "Aku baru saja bertemu dengan Jessica!" Steve menghela napas, terdengar berat. "Dia benar-benar marah padaku. Bahkan mengataiku pria tak tahu diri, pria tak peka. Padahal selama ini aku terus mencoba memahaminya, memaklumi kegilaannya. Rose saja tak pernah mengeluh ...." Steve tersedak dengan omongannya sendiri, dia mengacak rambutnya. Dalam keadaan genting seperti ini mengapa Steve harus teringat dengan mantan kekasihnya, Rose. Dalam beberapa detik hening mengudara. &
"Kau mengagetkanku!" Lynn memegang dadanya. Dia memang berdiri membelakangi pintu masuk, tanpa tahu Steve sedari tadi berdiri mengamatinya dan mengisenginya dengan menepuk bahunya. "Maafkan aku!" ucap Steve sembari tertawa melihat kekagetan Lynn. Keduanya berjalan berdampingan keluar, Steve merogoh sakunya, mencari kunci mobilnya. Sore itu, Lynn pulang bersama dengan Steve, Lynn memang sengaja tak membawa mobil ke kantor. "Mampir makan?" tawar Steve. Lynn yang memang belum lapar hanya menggeleng membalasnya. Mobil Steve melaju menuju rumah Lynn. "Mau kujemput besok?" tawar Steve. "Tak perlu!" balas Lynn lalu beranjak turun dari mobil. Steve menurunkan kaca mobilnya, matanya mengikuti langkah Lynn memasuki halaman rumahnya. Steve mengerutkan kening melihat langkah Lynn terhenti. Tiba-tiba Lynn menjerit, jatuh terduduk di ha
"Rahasia," jawab Lynn dengan senyum yang terpaksa. Steve menaikkan satu alisnya lalu tertawa kecil menggeleng-gelengkan kepala. Pesanan Steve dan Lynn baru saja datang, keduanya menyantapnya dalam diam. "Biarkan aku membayarnya kali ini, Steve," ucap Lynn sembari menahan tangan Steve yang sedang menyodorkan kartu debit pada pelayan. Steve mengerutkan kening menatap Lynn. "Kumohon!" pinta Lynn. Steve hanya menghela napas lalu menatap sekilas pelayan yang menyaksikannya, lalu Steve menarik tangannya. Lynn lantas merogoh tas kecilnya tersenyum menyodorkan dua lembar uang seratus. "Sisanya ambil saja!" pelayan tersebut tersenyum menundukkan kepala lalu berbalik. "Temani aku belanja nanti sepulang kerja. Tak ada penolakan!" titah Lynn. "Kapan aku menolakmu? Menolak perintahmu!" balas Steve terkekeh kecil.