"Rahasia," jawab Lynn dengan senyum yang terpaksa.
Steve menaikkan satu alisnya lalu tertawa kecil menggeleng-gelengkan kepala. Pesanan Steve dan Lynn baru saja datang, keduanya menyantapnya dalam diam.
"Biarkan aku membayarnya kali ini, Steve," ucap Lynn sembari menahan tangan Steve yang sedang menyodorkan kartu debit pada pelayan. Steve mengerutkan kening menatap Lynn.
"Kumohon!" pinta Lynn.
Steve hanya menghela napas lalu menatap sekilas pelayan yang menyaksikannya, lalu Steve menarik tangannya. Lynn lantas merogoh tas kecilnya tersenyum menyodorkan dua lembar uang seratus.
"Sisanya ambil saja!"
pelayan tersebut tersenyum menundukkan kepala lalu berbalik.
"Temani aku belanja nanti sepulang kerja. Tak ada penolakan!" titah Lynn.
"Kapan aku menolakmu? Menolak perintahmu!" balas Steve terkekeh kecil.
 
"Mau bermain game?" tawar Steve. Lynn mengangguk lalu keduanya berlari menuju ruang keluarga. Keduanya memainkan game yang sangat mudah dimenangkan. Namun Lynn tak pernah bisa memenangkannya. Lynn berdecak sebal, Steve benar-benar tak memberinya celah untuk menang. "Biarkan aku menang kali ini, Steve!" rajuk Lynn. Steve tertawa bahkan mengusap sudut matanya yang berair. Lalu membiarkan Lynn menang. Lynn bersorak senang bahkan melompat-lompat akhirnya menang juga. Steve tiba-tiba menarik tangan Lynn menyuruhnya diam. Keduanya menajamkan pendengarannya. Steve lantas bangkit menuju pintu, tampak terdengar suara seseorang yang mengetuk pintu padahal waktu sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Steve membuka pelan pintunya dan terkejut setelahnya. "Jessica?" Steve membatu di tempat mendapati Jessica yang berdiri menatapnya. Steve b
Jessica memang sedikit kesal karena Lynn menerobos masuk kamar Steve tanpa mengetuknya, merusak suasana panas antara Steve dan Jessica. Selain itu, kurang satu inci bibir keduanya akan bertemu.Jessica masih mengalungkan kedua lengannya di leher Steve tanpa berbalik sedikitpun melihat Lynn yang diam membatu. "Ma-maaf, mengganggu aktivitas kalian. Aku akan keluar, silahkan lanjutkan!" ujar Lynn gagu setelah mendapatkan pengendalian dirinya. Lynn segera keluar menutup pintu, bersandar dibalik pintu sebentar menahan degup jantungnya lalu berlari ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Steve. Lynn mengunci pintu kamarnya, mengusap-usap dadanya menenangkan debaran brutal jantungnya. Lynn memukul-mukul kepalanya, merutuki kebodohannya. Jessica kembali menyentuh lembut pipi kiri Steve, memberinya stimulus penyadar atas keterkejutan Steve yang ketahuan oleh Lynn. "Steve!" panggil Jessica menggoda seraya menangk
Lynn menghela napas, dadanya sesak antara perasaan lega dan kecewa. Lynn sendiri seolah menyalahkan Steve, seakan-akan pria tersebut memang sengaja memancing amarahnya. Terkadang, Lynn hanyut dalam buaian Steve, bagaimana Steve memperlakukannya layaknya ratu. Namun keduanya hanya sebatas sahabat. Disisi lain, Lynn menyalahkan dirinya sendiri kenapa harus dirinya harus jatuh cinta dengan Steve, sahabatnya. Jika saja Lynn mampu mengungkapkan perasaannya tanpa harus kehilangan Steve karena perasaan sepihak Lynn. Persahabatannya yang terjalin lama akan hancur hanya karena perasaan sepihak Lynn. Namun, itu semua hanya angan-angan belaka terbang terbawa angin. Jika memang bukan takdir yang menyatukannya, Steve dan Lynn tak akan pernah bersatu. Lynn akan tetap terpuruk dalam perasaannya. Satu hal yang disyukurinya ialah Lynn adalah teman paling dekat kedua Steve setelah keluarganya. Jika memang aku tak bisa menjadi pemilik hatinya, izinkan aku
"Minum?" tawar si bartender. Steve menggeleng-gelengkan kepala menolak tawaran lelaki bertubuh atletis di hadapannya. Sepuluh menit Steve duduk menyaksikan kerumunan orang-orang. Steve mengacak rambutnya, dia tak habis pikir, dari sekian banyak tempat kenapa kakinya justru masuk di tempat laknat ini. Steve beranjak dari duduknya hendak pulang, tapi langkahnya terhenti menatap sebuah punggung wanita yang nampak familier. Steve menajamkan penglihatannya. "Jessica?" terka Steve. Gaya pakaian dan kunciran tinggi rambutnya mirip dengan gaya Jessica waktu Jessica mengajak Steve ke klub dua bulan lalu. Steve memutuskan tak langsung pulang sebelum menuntaskan rasa penasarannya. Steve berjalan mendekati wanita yang membelakang tersebut. Steve langsung berbalik membelakang tiba-tiba, lantas mencondongkan ke bawah topi hitamnya. Jessica tadi berbalik u
"Maafkan aku, Lynn. Aku akan menemui Jessica nanti jam delapan. Tunda saja belanjanya jadi besok!" ujar Steve. "Kenapa kau tak mengatakan padaku jika kalian sudah baikan? Tak apa, aku akan berbelanja sendiri. Dah, semoga malammu menyenangkan," jelas Lynn tak memberikan celah bagi Steve untuk berbicara. Lynn melambai lalu berjalan menuju mobilnya. Steve menatap bahu Lynn. Aneh rasanya. Steve mengedikkan bahu tak peduli lalu melajukan mobilnya. Steve memerhatikan tatanan rambutnya di kaca spion tengah mobilnya lalu keluar. Dia kini berdiri di depan rumah Jessica, memencet bel rumahnya hingga Jessica muncul dengan senyum lebar. "Hai!" sapa Jessica menatap penampilan Steve yang masih utuh dalam setelan jasnya. Steve hanya tersenyum tipis membalasnya, menatap tampilan Jessica yang berbalut dress selutut dengan belahan dada yang rendah. "Aku sedari tadi menunggumu!" ujar Jess
"Kurasa kau harus ikut denganku nanti. Kau harus melihatnya langsung!" "Baiklah. Tunjukkan padaku nanti!" ujar Lynn lalu mendorong kursinya mundur kembali berhadapan dengan komputernya. Liliana si pengantar berkas baru saja masuk ke ruangan Lynn, menyerahkan sebuah dokumen terbungkus amplop cokelat. "O ya, undangan makan malam!" ingat Liliana membalikkan badan menyerahkan satu undangan untuk ruangan Lynn dan Leiss. Lynn menerimanya sembari berkerut kening. Liliana berbalik mendorong troli berkasnya menyeberang ke ruangan sebelah. Lynn buru-buru membuka amplop undangan tersebut. Leiss menatap Lynn bergantian menunggu isi undangan tersebut. "Makan malam perayaan menang proyek!"Leiss manggut-manggut mengerti. "Setelan hitam!" tambah Lynn. Setelahnya, kembali fokus menatap layar komputernya menunggu waktu istirahat makan siang. Leiss menyapu
Roy menuang alkohol di gelas Lynn. Lynn tak menghiraukan sorak ramai teman-temannya, Jeff hanya tersenyum kikuk. Di sisi lain, dalam hati Jeff berharap Lynn memilih menciumnya saja ketimbang minum. Lynn hanya tersenyum samar menatap lamat gelasnya. Tanpa peduli, jika gelas selanjutnya akan membuatnya mabuk. Lynn mengangkat tinggi gelasnya, sontak keriuhan di meja berangsur pelan dan berujar kecewa. Lynn menghela napas kasar, memejamkan mata menahan rasa yang tajam menusuk indera pengecapnya. Jeff menatap prihatin Lynn di samping kirinya. Jeff berdiri, tak kuasa melihat wajah masam Lynn lantas merebut gelas Lynn. Jeff menenggak habis minuman Lynn yang tersisa seperempat gelas. Leiss menatap Lynn yang nampak lunglai, wanita itu sudah mabuk. Pening di kepala Lynn menyerangnya. Bersamaan dengan Jeff yang menghentakkan gelas kosongnya di meja, Lynn tumbang, kepalanya terkantuk, untung tangan Yalte sigap menahan kepala Lynn sebelum membentur meja. &nbs
"Maafkan aku atas kejadian semalam!" ujar Lynn dalam satu tarikan napas. "Tak apa!" balas Jeff. "Apa aku ... mengatakan atau melakukan sesuatu semalam? Ya, aku tahu, aku mabuk. Tapi aku tak mengingat apapun selain mabuk!" tanya Lynn. "Ya ... kau memang mabuk! Kau memeluk pohon di pinggir jalan. Berlarian kesana kemari dan ...," gantung Jeff. Lynn mengusap mukanya merasa malu. Steve saja sering kewalahan jika Lynn mabuk, terlebih perilaku hiperaktifnya saat mabuk. Lynn tak bisa membayangkan bagaimana susahnya Jeff semalam membawanya pulang. Lynn merutuki perilaku anehnya itu, kenapa dia tak pingsang saja tak usah ditambah adegan-adegan penambah kacau suasana. Lynn tak menyukai membuat repot seseorang. "Dan apa?" tanya Lynn mengingat kalimat Jeff menggantung. Jeff menggaruk pelipisnya yang tak gatal sama sekali. Sesekali, ber