Matahari pagi merayap di atas perbukitan hijau yang subur, memandikan sawah dengan cahaya keemasan saat Rinjani menjemur pakaian yang masih basah. Sembilan bulan telah berlalu sejak ia tiba di rumah sederhana yang jauh dari kota ini, disambut oleh pelukan tanpa syarat dari Bibi Sari.
Kurang tidur setelah melewati malam yang gelisah, Rinjani menyeka keringat di dahinya. Minggu-minggu pertama di desa, ia selalu tersentak bangun saat mendengar kokok ayam dan tikus-tikus yang berlarian. Kini, ritme kehidupan pedesaan telah melekat di kulitnya.
Tiga minggu kemudian, Rinjani mengepalkan tangan di atas bak cuci piring, muntah-muntah. Tidak ada yang keluar-dia tidak bisa menahan diri untuk tidak sarapan selama berhari-hari. Ia menyiramkan air ke wajahnya dan mencengkeram pinggiran meja, sebuah kecurigaan yang tak bisa ia abaikan.
Bibi Sari masuk membawa sekeranjang sayur, menjatuhkannya ketika melihat wajah pucat Rinjani.
“Bi,” bisik Rinjani, air matanya berlinang. “Kayaknya aku hamil.”
Keheningan memenuhi dapur kecil itu. Tangan Rinjani bergetar di atas meja dapur.
“Bagaimana ini, Bi? Bayi ini akan membuat semua jadi lebih rumit,” katanya, suaranya pecah di kata terakhir.
Bibi Sari meletakkan mangkuk yang ia cuci, mengelap tangannya dengan celemek, lalu membimbing Rinjani duduk. Ia menggenggam tangan Rinjani yang dingin.
“Nak,” katanya, matanya lembut tapi tegas. “Banyak yang tidak pasti dalam hidup, tapi ada dua hal penting. Selalu ada berkah dari setiap kejadian–baik yang kelihatan atau yang tersembunyi. Dan cinta tak pernah salah. Ego kita mungkin bisa, tapi cinta tidak.”
Wanita tua itu meremas pelan tangan Rinjani dengan tangannya yang hangat dan lapuk.
“Bayi ini adalah bagian dari hidupmu sekarang. Cintai dia. Kamu selalu lebih kuat dari yang kamu tahu.”
Dengan tangan gemetar, Rinjani mengusap wajahnya. “Bagaimana aku bisa jadi ibu yang baik? Aku bahkan tidak tahu apa yang akan kulakukan dengan hidupku.”
Bibi Sari bergerak di belakangnya, melingkarkan tangannya di pundak Rinjani. “Kamu akan belajar, Rin. Semua terasa sulit jika kita tidak tahu. Dan Bibi di sini untuk membantu.” Senyum kecil tersungging di bibirnya. “Lagipula, siapa lagi yang mau mengajari anak ini menanak nasi tanpa gosong?”
Sebuah suara yang terjebak di antara tawa dan isak tangis keluar dari Rinjani. “Bibi, ini bukan lelucon. Aku takut.”
“Tentu saja ini serius. Tapi kamu tahu, keberanian yang sejati bukanlah tidak merasa takut. Rasa takut adalah langkah awal untuk menjadi berani.”
Bibi Sari melepaskannya dan berjalan ke rak piring. “Sekarang kita fokus pada apa yang bisa kita lakukan. Pertama, kita pastikan kamu makan dengan cukup. Setan akan muncul saat kelaparan melanda!” Ia tertawa kecil karena ucapannya sendiri.
Di bulan-bulan berikutnya, ikatan mereka semakin kuat. Bibi Sari membantu Rinjani mempersiapkan kelahiran sang bayi, menyulap salah satu kamar menjadi kamar bayi dengan apa yang mereka miliki.
Suatu sore, Bibi Sari mengangkat sebuah panci aluminium. “Rin, kalau kamu bisa menanak nasi dengan panci ini tanpa gosong, kamu sudah lulus ujian pertama menjadi ibu sejati.”
Ia memutar panci itu dengan dramatis.
“Ini bukan hanya sebuah panci. Ini adalah pusaka dapur. Kalau kamu gagal, Bibi akan lapor ke kepala desa agar membatalkan ijin domisimu di sini.”
Rinjani menggelengkan kepalanya, tertawa sambil menggenggam sendok kayu. Momen-momen humor seperti ini menjadi penyemangat hidupnya.
Bagi Bibi Sari, yang tinggal sendiri sejak meninggalkan keluarga Wardhani, kehadiran Rinjani memberinya hidup baru.
***
Fajar menyingsing dingin dan cerah di hari Rinjani melahirkan. Jemarinya meraba-raba tepi tempat tidur saat gelombang rasa sakit menerjang tubuhnya. Keringat membasahi rambut dan baju tidurnya saat Bibi Sari berusaha dengan peralatan seadanya.
Berjam-jam berlalu dalam kabut rasa sakit dan tekad yang kuat. Lalu sebuah tangisan. Dan beberapa menit kemudian, tangisan yang lain.
Kembar.
Teror Kembali mencengkeram Rinjani saat tangisan kedua bayi itu memenuhi ruangan. “Bagaimana aku bisa melindungi mereka dari kerasnya hidup ini?” Air matanya menetes saat menatap dua wajah mungil dan sempurna itu. Sekilas bayangan senyum ibunya muncul di benak Rinjani.
Pintu berderit terbuka. Bibi Sari masuk sambil membawa baskom besar berisi air hangat. “Sudah bangun?” tanyanya lirih.
Rinjani menoleh, menawarkan senyuman lelah. “Mereka tidak mengizinkan aku tidur lama,” jawabnya sambil mengelus-elus bayi-bayi di sampingnya. Bibi Sari tertawa pelan, mendekat untuk menyeka kening Rinjani.
“Itu pertanda baik. Mereka kuat, seperti ibunya.”
Kata ‘kuat’ itu bergema di benak Rinjani–sebuah tantangan. Ia menarik napas dalam-dalam, seakan mengisi dirinya dengan harapan baru.
“Kita akan memulai hidup baru bersama,” bisiknya sambil mencium kening kedua bayi ajaibnya - seorang anak laki-laki dan perempuan.
***
Sementara itu, di ibu kota, lampu-lampu kristal memancarkan cahaya hangat di sebuah pertemuan kelas atas. Zora Wardhani berdiri di aula megah, mengamati ruangan dengan tatapan menilai. Dia sedang terlibat dalam percakapan ringan ketika sebuah diskusi di kelompok sebelah menarik perhatiannya.
“Sudah dengar?” tanya seorang wanita bergaun sutra berwarna teal gelap.
“Pangeran Wiyasa Nawasena sedang mencari Cinderella-nya –wanita yang ia temui di Royal Ravelle.”
Seorang sosialita lainnya ikut bicara, tawanya kental dengan rasa penasaran.
“Benarkah? Itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Siapa pun dia, pasti istimewa bagi Ray. Aku cukup mengenalnya. Ray tak pernah terlibat dengan wanita manapun–setidaknya, tidak seperti ini.”
Zora memiringkan kepalanya dengan elegan, bahasa tubuhnya terlatih untuk menunjukkan keingintahuan yang halus. Pikirannya berkecamuk. Raynar, pewaris dinasti WN Group yang terkenal, jarang sekali menjadi bahan gosip. Jika dia mencari seseorang, orang tersebut memiliki kekuasaan atas dirinya. Pikiran itu membuat rahang Zora mengeras.
“Tapi bagaimana kau yakin Raynar benar-benar mencarinya?” seorang wanita lain bertanya dengan gaya bicara menyelidiki.
“Suamiku bekerja untuk tim hukum perusahaannya. Ada arahan pribadi untuk menemukan seorang wanita. Mereka sudah memeriksa rekaman CCTV dan menggunakan metode lain untuk menemukan petunjuk jelas tentang identitasnya.”
Wanita itu berhenti sejenak–meneguk anggur dari gelasnya. “Ini seharusnya rahasia. Sejauh ini, hanya beberapa petunjuk yang telah ditemukan-gaun hijau yang dia kenakan dan salah satu antingnya,” katanya sambil mengaduk anggurnya perlahan. “Maksudku, ini romantis, tapi juga agak gila, bukan?”
Jari-jari Zora mengencang pada tangkai gelasnya. Ia segera pamit kepada teman-temannya dan melangkah ke balkon untuk mengatur nafasnya. Dengan mudah Zora bisa menyimpulkan bahwa wanita yang dimaksud adalah Rinjani.
Berita itu cukup membuatnya ketakutan. Tangannya lemas membayangkan jika Raynar sampai menemukan Rinjani. Namun, beberapa saat kemudian, sebuah rencana mulai terbentuk di benaknya.
Malam itu juga, Zora mengunjungi ibunya, yang sedang berbaring nyaman dengan mata terpejam saat seorang pemijat profesional dari layanan spa kelas atas memijat pundaknya. Aroma lembut lavender semerbak di ruangan.
Zora masuk dengan langkah terarah. “Ma, kita harus bicara.”
Citra membuka sebelah matanya, mengangkat alis ke arah putrinya. “Ada apa, sayang?”
Zora duduk, mencondongkan badannya ke depan. “Ma, dengarkan. Raynar, pewaris dan CEO Wiyasa Nawasena Group, sedang mencari wanita yang bersamanya di Royal Ravelle waktu itu. Dan aku tahu persis itu Rinjani.”
Dengan tangannya, Citra memberi isyarat kepada terapis pijatnya untuk pergi. Ia lalu duduk. Zora tak bisa lagi menahan pikirannya. “Ma, kalau Rin ditemukan, Mama tahu apa yang akan terjadi pada kita, ‘kan?”
Citra mengangguk. Tidak butuh waktu lama baginya untuk memahami dampaknya. Rinjani akan kembali dengan pengaruh yang besar, dan semua usaha Citra untuk menyusup ke dalam keluarga Wardhani demi mendapatkan kekuasaan, uang, dan pengaruh akan lenyap. Hal itu juga akan menghancurkan masa depan Zora yang cerah. Citra menatap putri kesayangannya yang gelisah.
“Seminggu yang lalu, dia melahirkan anak kembar, laki-laki dan perempuan,” kata Citra tiba-tiba. “Kamu punya rencana?”
Tanpa sadar Zora membuka bibirnya, penuh dengan kekaguman akan kemampuan intelijen ibunya. Dengan riang, Zora mendekat ke ibunya dan menyipitkan mata.
“Aku bisa meyakinkan Raynar bahwa akulah wanita yang dia cari. Kuncinya, anak Rinjani.”
Citra ragu-ragu. “Bagaimana? Dia jelas takkan memberikan anaknya dengan sukarela.”
Zora melipat kedua lengannya, dan dengan percaya diri yang berbatasan dengan kesombongan, senyumnya mengembang. “Serahkan saja bagian itu padaku, Ma.”
“Kalau begitu, segera lakukan. Jangan sampai kehilangan momentum.”
Kalimat itu adalah segel resmi atas rencana Zora. Citra menatap putrinya yang penuh semangat. Zora tersenyum puas dan mengangguk kecil.
Suara jangkrik dan binatang kecil lain bermusik di kejauhan, menemani rembulan yang berjingkat di atas perbukitan. Rinjani berbaring dekat kedua bayi kembarnya. Jemari bayi perempuannya bergerak-gerak, bermain dengan selimut, sementara bayi lelakinya tidur dengan pulas, dadanya naik turun dengan irama yang teratur.Rinjani tersenyum tipis, beban di pikirannya tersapu oleh harapan akan kedua bayinya. Kedua makhluk mungil itu kini menjadi pondasi hidupnya, alasan kuat baginya untuk meredam semua penolakan dan bisikan ambisinya. Dalam kehidupan sederhana bersama Bibi Sari di desa, ia telah menemukan pelipur lara. Mimpinya tentang karir sebagai perancang busana kelas dunia menjadi gema dari dunia lain yang melemah seiring waktu.Tidak satu pun dari mereka yang mengira jika keheningan malam itu akan berubah drastis. Zora mengamati rumah itu dari kejauhan, matanya yang tajam tertuju pada jendela yang remang-remang. Dia menyesuaikan tudung mantelnya, melindungi wajahnya dari cahaya bulan. Du
Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut warna-warna pastel alami yang hangat di ruang tamu kediaman megah Wiyasa Nawasena memancarkan keanggunan yang tenang. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk Zethra dalam pelukannya. Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar.Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah dengan pasti ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne dari wol lembut dan rok selutut berwarna khaki menyampaikan kesan membumi yang bersahaja, dipasangkan dengan kalung dan sepasang anting mutiara untuk melekatkan kesan keanggunan. Setiap gerakannya dilakukan dengan hati-hati, talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah ia latih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan yang santai, kemeja
Selama lima belas menit mobil itu menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya mereka tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Areal luas membentang di hadapan mereka, tenang dan asri. Titik embun menempel di ujung rerumputan, dan aroma samar bunga-bunga segar berbaur dengan aroma tanah yang lembab.Raynar keluar lebih dulu, melangkah dengan hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora, yang biasanya percaya diri, berjalan menggendong bayinya dengan langkah keraguan, wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya seakan tempat itu tak layak baginya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang, eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta e
Sebuah aula berkilauan seperti permata hidup malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, dengan mudah menyatu dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang memenuhi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora, wanita cantik yang kini menjadi istri sahnya, bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Bagi orang lain yang hadir disana, Zora mungkin tampak
Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Namun kini, jejak kebakaran itu telah lenyap sepenuhnya, berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi. Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggu
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara. Besarnya stasiun ini seakan menelan segalanya, mulai dari langit-langitnya yang menjulang tinggi hingga arus manusia yang tak henti-hentinya bergerak ke segala arah.Rinjani Wardhani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Mengapa di sini begitu bising? Apakah kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita ti
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku mencobanya?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-
Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus dari seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting pagkas di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit dikuasai kelamnya awan. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge
Awan mendung yang bergelayut di cakrawala Muliakarta pagi ini nampak kontras dengan keceriaan seorang lelaki muda. Rawindra membetulkan kaca spion tengah mobilnya ketika berhenti di salah satu lampu merah perempatan besar, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Di kursi penumpang terdapat sebuah portofolio kulit yang penuh dengan foto-foto permata - zamrud, safir, rubi - yang dikatalogkan dengan teliti. Setiap batu mewakili potensi untuk bisnis istrinya.“Delapan bulan menikah, dan sudah membangun sesuatu bersama,” gumamnya, membayangkan tanggapan antusias Lila Anindya terhadap sampelnya. Salah satu pemimpin tim rancangan busana ingin melihat kemungkinan untuk bekerjasama, berbicara tentang penyematan permata pada rancangannya, tentu saja itu membuat Rawindra dan istrinya gembira. Sebuah kolaborasi yang dapat menempatkan bisnis permata istrinya di peta strategis, dan yang lebih penting bagi Rawindra adalah kebanggan pribadi sebagai suami atas kontribusi terhada
Beberapa menit yang lalu, Vivian telah memindai kantor pusat WN Group seakan baru pertama kali melihatnya. Matanya berkelana pada staf kantor yang melakukan rutinitas mereka, petugas keamanan berjaga di pos-pos tertentu, termasuk posisi-posisi kamera CCTV di sepanjang rute perjalanannya masuk ke studio.Kini, Vivian bersandar di jendela besar ruang studionya. Hiruk pikuk jalanan ibukota Muliakarta bermandikan warna keemasan lembut matahari pagi, membentang dari bawah lantai dua belas kantor pusat WN Group. Ia merasa berbeda, bukan hanya karena udara terasa lebih segar atau karena kopinya terasa lebih aromatik. Mata Vivian menatap hari ini dengan optimisme, dimana hal-hal akan berjalan sesuai keinginannya.Kuku telunjuknya mengetuk-ngetuk cangkir keramik saat ia memandangi gambar latar layar ponselnya–sebuah tulisan terpampang di sana: “If nothing goes right, goes left.” Ia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap di benak
Malam di ibukota menyebarkan hawa sejuk seiring lalu lintas yang berangsur-angsur lengang. Rinjani dan Lila melangkah meninggalkan Sweet Spot Cafe. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya temaram kekuningan, sementara angin melagukan gemerisik dedaunan di sepanjang jalan. Mereka melintasi minimarket di sudut jalan."Hei, kau ada waktu?" tanya Rinjani tiba-tiba, menoleh ke arah Lila di sampingnya.Lila mengangkat alis. "Tentu. Kenapa?""Aku teringat membeli cokelat dan es krim untuk Aruna. Seharusnya aku membelinya tadi, tapi telepon itu terlalu mendesak."Rinjani telah menggenggam keranjang belanja saat selesai bicara.Lila tersenyum. "Tak masalah. Aku juga akan melihat-lihat."Keduanya santai menyusuri lorong-lorong. Rinjani memilih beberapa batang cokelat dan satu kotak es krim, sementara Lila mengambil sebungkus permen penyegar mulut untuk dirinya sendiri."Aruna pasti akan senang." Lila berkomentar lirih dari belakang melihat semua yang Rinjani beli di meja kasir.Rinjani terg
Cahaya pagi yang menembus panel kaca di studio desain lantai dua belas kantor pusat WN Group seakan membelah ruang itu dengan siluet-siluet. Ruangan itu nampak rapi, namun sejuknya pendingin ruangan tak bisa meredakan ketegangan mereka yang ada di dalamnya.Vivian duduk seperti ratu di atas singgasana, postur tubuhnya menampilkan ketenangan dominan. Tepi bibirnya mengerucut saat mengamati wajah ketiga rekannya. Ia baru saja mengumumkan bahwa mereka kehilangan dukungan dari Aditya, sang direktur pemasaran, dan membiarkan keheningan meregang sebelum akhirnya berbicara.“Beberapa orang memang pandai, tapi tidak sanggup dengan tekanan. Sangat ironis.” Napas Vivian berhembus lambat.Fayra, yang bertumpu di salah satu sandaran tangan kursi, meregangkan kaki lalu memiringkan kepalanya. Ia mencerna beratnya kata-kata itu.“Mungkin seharusnya begini.” Suaranya lirih, sambil memintal benang yang terl
Dari teras griya tawangnya, Miriam Wiyasa Nawasena menggenggam cangkir porselen di antara jari-jarinya, membiarkan kehangatan teh earl grey meresap ke dalam kulitnya. Udara pagi terasa segar, dan Paris selalu menjadi kota impian Miriam–elegan dalam ekspresi dan sarat ketenangan, mirip dirinya. Miriam menemukan kenyamanan di saat-saat seperti ini, di mana keindahan dan kendali terjalin dengan mulus.Pagi ini situasi sedikit berbeda. Miriam menyesap teh earl grey sementara matanya menatap cakrawala kota, mengembara di sekeliling menara Eiffel dan American Cathedral yang tak jauh dari tempat ia duduk. Semalam, Raynar telah menghubunginya, mengabarkan hal penting yang harus segera ia tindak lanjuti.Lila Anindya. Miriam selalu benar tentang gadis itu. Ambisius, cerdas, dan memiliki kompas moral yang membedakannya dari para lintah di industri mereka. Lila melaporkan sebuah konspirasi yang mengancam untuk menodai kompetisi desain yang tel
Selama berhari-hari, Lila telah melatih momen ini dalam pikirannya-membayangkan setiap hasil yang mungkin terjadi, setiap variasi responsnya. Namun kini, berdiri di hadapannya, dengan beban bertahun-tahun yang menekan dadanya, semua kata-kata yang telah dilatih itu berserakan seperti debu.Raynar menatapnya penuh harap. Lila menelan ludah dengan keras, jari-jarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kemudian, hampir tidak terdengar seperti bisikan, dia akhirnya mengatakannya.“Aku selalu menyukaimu, Ray.”Kata-kata itu membuat bibirnya gemetar, terasa berat karena emosi yang telah terpendam selama bertahun-tahun. Ia mencoba melunakkan pengakuannya, memaksakan sebuah senyuman, tapi kelu. “Sejak aku menumpahkan kopi di jaketmu.”Lila tertawa kecil, berharap Raynar akan tertawa, bahwa ia akan mengingat momen kecil itu dengan penuh cinta seperti dirinya.Tapi Raynar tak tertawa.
Kampus Universitas Pragya Dharma di ibukota Muliakarta pagi itu penuh dengan energi semester baru. Hiruk pikuk para mahasiswa yang saling bertukar cerita tentang pengalaman liburan dan persiapan mereka untuk semester mendatang menjadi pemandangan menarik, terutama bagi Lila Anindya.Di tengah keramaian, ia berjalan menyusuri koridor-koridor kampus, mendekap buku-buku di dada, dan berbincang bersama dua orang temannya, Trista dan Fiona.Sebagai penerima beasiswa, Lila sadar bahwa dibalik keistimewaannya di universitas bergengsi ini, ia memikul tanggung jawab dua kali lebih besar yang menuntut kesempurnaan langkahnya.Lalu, dalam satu momen yang kikuk, sesuatu terjadi.Sebuah tabrakan pada lengan kirinya membuat tubuh Lila terguncang. Benturan itu membuat tutup cangkir kopinya terlepas dan isinya terciprat ke blazer biru tua milik seseorang. Hawa panas yang tajam merembes ke dalam sweternya, dan aroma biji kopi yang dipanggang merebak di udara.Sial! pria di hadapannya yang sangat menco
Purnama jingga menggantung rendah di atas cakrawala ibukota, menawarkan hangat pada kelelahan seisi kota. Di balik jendela ruang tamu apartemennya, Aruna larut dalam kegiatan menggambar, sementara Bibi Sari sibuk merapikan perabotan dapur.“Bagaimana pekerjaanmu, Rin? Apa ada masalah hari ini?”Rinjani menangkap kekhawatiran dari pertanyaan itu saat mengeringkan tubuhnya di kamar mandi.“Baik, Bi. Masalah pasti ada, tapi sejauh ini kami bisa mengatasinya.” Bibi Sari mendengarkan Rinjani dari antara uap air ketika ia menyeduh dua cangkir teh untuk mereka.“Kami berhasil membuat desain untuk kompetisi yang diadakan perusahaan. Kemajuan yang cukup baik sejauh ini.” Beberapa saat kemudian, ia keluar.Setelah selesai, Bibi Sari lalu duduk di dekat jendela. Tangannya meraih sebuah jarum rajut dan benang sambil tersenyum penuh pengertian.“Kamu selalu pandai sejak kecil, Rin. Tap
“Sepertinya kita dalam masalah besar.”Gusti menggigit pelan bibirnya, lalu mencodongkan badan ke meja gambar. Matanya terpaku pada foto-foto konsep desain yang Rhea ambil dari studio Vivian. Paduan warnanya sungguh sesuai dengan siluetnya yang tajam, dan yang paling mencemaskan—desain itu tampak seperti sesuatu yang berpotensi tinggi untuk viral di majalah mode bergengsi.“Kupikir begitu,” komentar Rhea, ekspresi skeptisnya melembut menjadi kekaguman yang enggan. “Ini... trendi, Lila. Mereka tidak main-main.” Rhea menoleh pada pemimpin timnya.Lila bersandar di kursinya, ekspresinya tetap datar—terlalu datar. Seolah-olah jika ia membiarkan pikirannya meresap terlalu dalam, ia akan mulai mengagumi pesaingnya sendiri. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk ujung ponsel dengan ritme pelan. Matanya sekilas menoleh ke arah Rinjani.Di sampingnya, Rinjani masih men