Suara jangkrik dan binatang kecil lain bermusik di kejauhan, menemani rembulan yang berjingkat di atas perbukitan. Rinjani berbaring dekat kedua bayi kembarnya. Jemari bayi perempuannya bergerak-gerak, bermain dengan selimut, sementara bayi lelakinya tidur dengan pulas, dadanya naik turun dengan irama yang teratur.
Rinjani tersenyum tipis, beban di pikirannya tersapu oleh harapan akan kedua bayinya. Kedua makhluk mungil itu kini menjadi pondasi hidupnya, alasan kuat baginya untuk meredam semua penolakan dan bisikan ambisinya. Dalam kehidupan sederhana bersama Bibi Sari di desa, ia telah menemukan pelipur lara. Mimpinya tentang karir sebagai perancang busana kelas dunia menjadi gema dari dunia lain yang melemah seiring waktu.
Tidak satu pun dari mereka yang mengira jika keheningan malam itu akan berubah drastis. Zora mengamati rumah itu dari kejauhan, matanya yang tajam tertuju pada jendela yang remang-remang. Dia menyesuaikan tudung mantelnya, melindungi wajahnya dari cahaya bulan. Dua pria berdiri di sampingnya. Mereka dipilih karena kepiawaian dan sikap mereka yang tak diragukan.
“Lakukan sekarang,” kata Zora dengan suara rendah dan mendesak. Mereka saling bertukar pandang tanpa suara, lalu mengangguk pada komandonya. Ketika orang-orang itu mendekati rumah, Rinjani merasakan kegelisahan yang belum bisa ia sebutkan. Sebuah retakan samar dari kayu mengagetkannya. Matanya melesat ke arah pintu yang ditendang terbuka, merobek keheningan malam itu.
Jantung Rinjani berdegup kencang. Ia meraih dan menarik kedua bayinya mendekat. “Siapa kalian?” tanyanya, suaranya kuat dan tegas.
Para penyusup itu tetap diam, dan salah satu dari mereka melangkah maju. Di hadapan Rinjani sosoknya menjulang bagaikan iblis. Dia mencengkeram pergelangan tangannya dengan keras, sementara yang satunya lagi menyusul dan meraih salah satu bayinya, yang secara refleks memberontak lalu menangis nyaring, menusuk hati Rinjani.
“Jangan! Jangan ambil anakku!” jeritnya, meronta-ronta melawan cengkeraman pria itu. Ia mencakar lengan pria itu, meninggalkan luka merah. Tapi perlawanan itu tak sepadan dengan kekuatan brutal mereka.
Bibi Sari yang terbangun oleh keributan itu bergegas masuk ke dalam kamar, tubuhnya yang sudah renta berusaha menghalangi pintu. “Lepaskan mereka!” teriaknya, suaranya lantang namun gemetar. Salah satu pria mendorongnya ke samping, membuatnya tersungkur ke lantai.
Ruangan itu dengan cepat dipenuhi dengan aroma asap yang samar dan tajam. Orang-orang sewaan itu telah membakar dapur, sebuah instruksi lain dari Zora untuk memastikan tidak ada saksi mata atas kejadian itu. Api berkobar-kobar, rakus menjilati dinding dan balok-balok kayu rumah.
“Anakku..!!” Rinjani menjerit, emosinya meluap ketika Zora membawa bayi lelakinya pergi. Sementara itu, bayinya yang perempuan meraung-raung di tempat tidur, suaranya berbaur dengan hawa panas yang makin menyesakkan. Punggung Rinjani seakan ditekan panas dari api saat ia berusaha menerjang maju untuk merebut kembali anaknya.
Zora telah menghilang ke dalam malam bersama para pengikutnya. Bibi Sari bangkit berdiri, batuk-batuk karena asap. “Rin! Kita harus pergi sekarang!” desaknya sambil menarik lengan Rinjani.
Rinjani tetap tak bergerak. Lututnya lemas, dan ia terjatuh ke lantai, sambil memeluk bayi perempuannya erat-erat. Beban kehilangannya lebih berat dari kepulan asap tebal yang menyesakkan. Bibi Sari terus mengguncang tubuhnya agar Rinjani tersadar sementara api menderu semakin keras, melahap apa saja yang ada di rumah itu.
Penghuni desa yang terbangun bergegas menuju tempat kejadian dengan membawa ember berisi air dan kain. Sudah terlambat untuk menyelamatkan rumah dan bayi lelakinya.
Rinjani duduk bersimpuh di jalan setapak, jelaga melumuri wajahnya. Api besar yang berkobar di hadapannya menyalakan api lain di balik matanya. Sebuah tekad sedang ditempa dalam dirinya. “Aku akan menemukanmu, Nak. Aku akan membawa kamu pulang.”
Dari samping, Bibi Sari memeluknya, menangis tersedu bersama bayi perempuan Rinjani yang didekapnya. Tak ada sepatah kata pun terlontar dari mulut mereka. Kepedihan Bibi Sari akan kemalangan besar ini hanya bisa membuatnya berseru lirih, “Ya Tuhan!”
***
Raynar Wiyasa Nawasena duduk di ruang kerjanya yang luas pada lantai teratas gedung WN Group. Cakrawala yang terbentang di belakangnya, melukis keindahan sore ibu kota. Sebagian besar pekerjaannya untuk hari itu sudah selesai, kecuali beberapa dokumen persetujuan yang menunggu ditandatangani.
Pandangannya tertuju pada pantulan di kaca-matanya yang lelah menatap balik ke arahnya. Meskipun penampilan luarnya tenang, pikirannya bergejolak di bawah permukaan, gelisah dan tidak terselesaikan.
Wanita dari klub Royal Ravelle yang tetap menjadi misteri, masih merambat di pikirannya. Pada saat-saat hening yang langka, ia mempertanyakan hubungan singkat malam itu dan emosi yang belum mampu ia terjemahkan dan terus melekat.
Interkom berdengung, membuyarkan lamunannya. Suara asistennya terdengar tenang dan profesional. “Pak, Zora Wardhani ingin bertemu dengan Anda. Dia bilang ini penting.” Alis Raynar berkerut. Nama belakang itu tidak asing baginya. Siapa pun di ibukota Muliakarta pasti mengetahui nama besar keluarga Wardhani, meskipun tak sebanding dengan kemasyhuran dinasti keluarga Wiyasa Nawasena. Tapi nama Zora sendiri asing baginya.
“Bawa dia masuk,” jawabnya, menutupi rasa ingin tahunya dengan ketenangan. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, dan Zora masuk dikawal dua petugas keamanan pribadi Raynar. Zora bergerak anggun, menggendong bayi kecil yang terbungkus rapi di lengannya. Pandangan Raynar beralih ke bayi itu, sekelebat keterkejutan menembus sikap tenangnya.
“Inilah alasan aku kemari,” Zora memulai, suaranya lembut namun tegas. Dia melangkah mendekat, ekspresinya mencerminkan kerentanan sekaligus keteguhan hati. “Temui anakmu.” Raynar berdiri, tubuhnya yang tinggi membentuk bayangan panjang di atas meja.
Kata-kata Zora tadi berulang di telinganya, hampir tidak bisa ia pahami. Matanya yang tajam mempelajari wajahnya, mencari petunjuk adanya kepalsuan. Beragam emosi membuatnya sesak--kesangsian, kebingungan, dan harapan yang samar-samar dan terpendam. “Anakku?” dia menggema, nadanya terukur namun bercampur dengan keraguan.
Zora mengangguk, ekspresinya goyah agar terlihat tulus. “Aku pikir bisamenyembunyikan hal ini dari darimu,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Kukira aku bisa menangani ini sendiri, tapi setelah lama kupertimbangkan, anak ini berhak untuk tahu siapa papanya.” Zora mengatur selimutnya, memperlihatkan lebih banyak raut kepolosan bayi itu. Wajah bayi itu sangat menggemaskan, namun justru itu yang membuat napas Raynar seketika terasa sesak. Ada peraasaan takut yang membuatnya gelisah. Namun Raynar Wiyasa Nawasena bukanlah orang yang bertindak semata karena dorongan hati.
“Kamu berharap aku percaya kata-katamu begitu saja?” tanyanya, nadanya tenang dan terjaga. “Bahwa anak ini adalah anakku?”
“Aku paham kalau kau ragu,” jawab Zora, sambil menundukkan pandangannya pada sang bayi. “Tapi aku takkan kemari menemuimu untuk berbohong, tidak untuk hal sepenting ini. Kalau kau perlu bukti, lakukanlah. Tes DNA takkan mengubah kenyataan bahwa ini anakmu.”
Bayi itu bergerak, mengeluarkan rengekan pelan. Tatapan Raynar lembut tertuju pada bayi itu. Untuk sesaat, ketenangan yang telah dibangunnya dengan baik kini goyah. Kerentanan bayi itu, begitu kecil dan begitu menggemaskan, menyentuh hati Raynar. Rasa hati ia ingin meraih dan menggendongnya, tetapi entah bagaimana, ia merasa perlu menahannya.
Raynar menegakkan tubuh, mendapatkan lagi kendali atas emosinya. “Baiklah,” katanya, suaranya mantap. “Aku akan atur tesnya. Sampai saat itu, kuharap kita tak bertemu dulu.”
Bibir Zora melengkung membentuk senyuman tipis, meskipun genggamannya pada bayi itu mengencang tanpa terasa. “Tentu saja,” jawabnya. “Aku hanya menginginkan yang terbaik untuknya-dan untuk kita.” Saat ia berbalik untuk pergi, secercah kemenangan terpancar di matanya. Namun, jauh di lubuk hatinya, benih keraguan masih tersisa. Dia telah memainkan perannya dengan baik, namun Raynar yang selalu waspada meyakinkannya agar tidak lengah. Jalan untuk mengukuhkan posisi di keluarga Wiyasa Nawasena akan penuh dengan tantangan, dan satu kesalahan langkah dapat mengacaukan segalanya.
Raynar sedikit bersandar di kursinya, matanya yang tajam menyipit saat mengamati Zora. Nada bicaranya terukur, tenang, namun dibumbui dengan maksud yang halus. “Satu hal lagi,” katanya, sambil mengatupkan kedua tangannya. “Malam itu di Royal Ravelle, masih ingat dengan gaun yang kamu kenakan?”
Zora diam sedetik, kemudian membalikkan badan sambil tersenyum lembut, seakan sedang menghidupkan kembali kenangan indah. “Maksudmu gaun hijau zamrud itu?” tanyanya penuh percaya diri. “Itu rancanganku sendiri, tentu aku menyimpannya dengan baik di lemari.” Ekspresi Raynar tidak goyah, meski sekelebat pengakuan muncul di matanya. “Dan anting-antingnya?”
Kali ini, Zora berhenti sejenak untuk membuatnya tampak sungguh-sungguh berusaha mengingat-ingat. Dia menatap bayi dalam gendongannya, lalu kembali ke Raynar. “Aku membuangnya,” jawabnya ringan. “Salah satu anting itu hilang, mungkin di kamar kecil malam itu. Apa gunanya menyimpan hanya sebelah.” Raynar mengangguk. Ia merasa jawaban Zora bisa dipercaya, bahkan masuk akal.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Zora melangkah keluar dari kantor Raynar. Dalam keheningan setelah kepergian Zora dan pengawal pribadinya, Raynar kembali duduk. Kedua tangannya menggenggam erat. Matanya melayang ke cakrawala, ketegangan di dadanya tetap ada, berpadu antara antisipasi dan kegelisahan. Untuk pertama kalinya sejak ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu, Raynar merasakan ketidakpastian. Ia sadar momen ini akan mengubah hidupnya.
Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut warna-warna pastel alami yang hangat di ruang tamu kediaman megah Wiyasa Nawasena memancarkan keanggunan yang tenang. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk Zethra dalam pelukannya. Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar.Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah dengan pasti ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne dari wol lembut dan rok selutut berwarna khaki menyampaikan kesan membumi yang bersahaja, dipasangkan dengan kalung dan sepasang anting mutiara untuk melekatkan kesan keanggunan. Setiap gerakannya dilakukan dengan hati-hati, talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah ia latih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan yang santai, kemeja
Selama lima belas menit mobil itu menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya mereka tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Areal luas membentang di hadapan mereka, tenang dan asri. Titik embun menempel di ujung rerumputan, dan aroma samar bunga-bunga segar berbaur dengan aroma tanah yang lembab.Raynar keluar lebih dulu, melangkah dengan hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora, yang biasanya percaya diri, berjalan menggendong bayinya dengan langkah keraguan, wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya seakan tempat itu tak layak baginya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang, eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta e
Sebuah aula berkilauan seperti permata hidup malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, dengan mudah menyatu dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang memenuhi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora, wanita cantik yang kini menjadi istri sahnya, bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Bagi orang lain yang hadir disana, Zora mungkin tampak
Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Namun kini, jejak kebakaran itu telah lenyap sepenuhnya, berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi. Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggu
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara. Besarnya stasiun ini seakan menelan segalanya, mulai dari langit-langitnya yang menjulang tinggi hingga arus manusia yang tak henti-hentinya bergerak ke segala arah.Rinjani Wardhani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Mengapa di sini begitu bising? Apakah kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita ti
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku mencobanya?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-
Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus dari seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting pagkas di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit dikuasai kelamnya awan. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge
“Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim pada sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu be
Awan mendung yang bergelayut di cakrawala Muliakarta pagi ini nampak kontras dengan keceriaan seorang lelaki muda. Rawindra membetulkan kaca spion tengah mobilnya ketika berhenti di salah satu lampu merah perempatan besar, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Di kursi penumpang terdapat sebuah portofolio kulit yang penuh dengan foto-foto permata - zamrud, safir, rubi - yang dikatalogkan dengan teliti. Setiap batu mewakili potensi untuk bisnis istrinya.“Delapan bulan menikah, dan sudah membangun sesuatu bersama,” gumamnya, membayangkan tanggapan antusias Lila Anindya terhadap sampelnya. Salah satu pemimpin tim rancangan busana ingin melihat kemungkinan untuk bekerjasama, berbicara tentang penyematan permata pada rancangannya, tentu saja itu membuat Rawindra dan istrinya gembira. Sebuah kolaborasi yang dapat menempatkan bisnis permata istrinya di peta strategis, dan yang lebih penting bagi Rawindra adalah kebanggan pribadi sebagai suami atas kontribusi terhada
Beberapa menit yang lalu, Vivian telah memindai kantor pusat WN Group seakan baru pertama kali melihatnya. Matanya berkelana pada staf kantor yang melakukan rutinitas mereka, petugas keamanan berjaga di pos-pos tertentu, termasuk posisi-posisi kamera CCTV di sepanjang rute perjalanannya masuk ke studio.Kini, Vivian bersandar di jendela besar ruang studionya. Hiruk pikuk jalanan ibukota Muliakarta bermandikan warna keemasan lembut matahari pagi, membentang dari bawah lantai dua belas kantor pusat WN Group. Ia merasa berbeda, bukan hanya karena udara terasa lebih segar atau karena kopinya terasa lebih aromatik. Mata Vivian menatap hari ini dengan optimisme, dimana hal-hal akan berjalan sesuai keinginannya.Kuku telunjuknya mengetuk-ngetuk cangkir keramik saat ia memandangi gambar latar layar ponselnya–sebuah tulisan terpampang di sana: “If nothing goes right, goes left.” Ia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap di benak
Malam di ibukota menyebarkan hawa sejuk seiring lalu lintas yang berangsur-angsur lengang. Rinjani dan Lila melangkah meninggalkan Sweet Spot Cafe. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya temaram kekuningan, sementara angin melagukan gemerisik dedaunan di sepanjang jalan. Mereka melintasi minimarket di sudut jalan."Hei, kau ada waktu?" tanya Rinjani tiba-tiba, menoleh ke arah Lila di sampingnya.Lila mengangkat alis. "Tentu. Kenapa?""Aku teringat membeli cokelat dan es krim untuk Aruna. Seharusnya aku membelinya tadi, tapi telepon itu terlalu mendesak."Rinjani telah menggenggam keranjang belanja saat selesai bicara.Lila tersenyum. "Tak masalah. Aku juga akan melihat-lihat."Keduanya santai menyusuri lorong-lorong. Rinjani memilih beberapa batang cokelat dan satu kotak es krim, sementara Lila mengambil sebungkus permen penyegar mulut untuk dirinya sendiri."Aruna pasti akan senang." Lila berkomentar lirih dari belakang melihat semua yang Rinjani beli di meja kasir.Rinjani terg
Cahaya pagi yang menembus panel kaca di studio desain lantai dua belas kantor pusat WN Group seakan membelah ruang itu dengan siluet-siluet. Ruangan itu nampak rapi, namun sejuknya pendingin ruangan tak bisa meredakan ketegangan mereka yang ada di dalamnya.Vivian duduk seperti ratu di atas singgasana, postur tubuhnya menampilkan ketenangan dominan. Tepi bibirnya mengerucut saat mengamati wajah ketiga rekannya. Ia baru saja mengumumkan bahwa mereka kehilangan dukungan dari Aditya, sang direktur pemasaran, dan membiarkan keheningan meregang sebelum akhirnya berbicara.“Beberapa orang memang pandai, tapi tidak sanggup dengan tekanan. Sangat ironis.” Napas Vivian berhembus lambat.Fayra, yang bertumpu di salah satu sandaran tangan kursi, meregangkan kaki lalu memiringkan kepalanya. Ia mencerna beratnya kata-kata itu.“Mungkin seharusnya begini.” Suaranya lirih, sambil memintal benang yang terl
Dari teras griya tawangnya, Miriam Wiyasa Nawasena menggenggam cangkir porselen di antara jari-jarinya, membiarkan kehangatan teh earl grey meresap ke dalam kulitnya. Udara pagi terasa segar, dan Paris selalu menjadi kota impian Miriam–elegan dalam ekspresi dan sarat ketenangan, mirip dirinya. Miriam menemukan kenyamanan di saat-saat seperti ini, di mana keindahan dan kendali terjalin dengan mulus.Pagi ini situasi sedikit berbeda. Miriam menyesap teh earl grey sementara matanya menatap cakrawala kota, mengembara di sekeliling menara Eiffel dan American Cathedral yang tak jauh dari tempat ia duduk. Semalam, Raynar telah menghubunginya, mengabarkan hal penting yang harus segera ia tindak lanjuti.Lila Anindya. Miriam selalu benar tentang gadis itu. Ambisius, cerdas, dan memiliki kompas moral yang membedakannya dari para lintah di industri mereka. Lila melaporkan sebuah konspirasi yang mengancam untuk menodai kompetisi desain yang tel
Selama berhari-hari, Lila telah melatih momen ini dalam pikirannya-membayangkan setiap hasil yang mungkin terjadi, setiap variasi responsnya. Namun kini, berdiri di hadapannya, dengan beban bertahun-tahun yang menekan dadanya, semua kata-kata yang telah dilatih itu berserakan seperti debu.Raynar menatapnya penuh harap. Lila menelan ludah dengan keras, jari-jarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kemudian, hampir tidak terdengar seperti bisikan, dia akhirnya mengatakannya.“Aku selalu menyukaimu, Ray.”Kata-kata itu membuat bibirnya gemetar, terasa berat karena emosi yang telah terpendam selama bertahun-tahun. Ia mencoba melunakkan pengakuannya, memaksakan sebuah senyuman, tapi kelu. “Sejak aku menumpahkan kopi di jaketmu.”Lila tertawa kecil, berharap Raynar akan tertawa, bahwa ia akan mengingat momen kecil itu dengan penuh cinta seperti dirinya.Tapi Raynar tak tertawa.
Kampus Universitas Pragya Dharma di ibukota Muliakarta pagi itu penuh dengan energi semester baru. Hiruk pikuk para mahasiswa yang saling bertukar cerita tentang pengalaman liburan dan persiapan mereka untuk semester mendatang menjadi pemandangan menarik, terutama bagi Lila Anindya.Di tengah keramaian, ia berjalan menyusuri koridor-koridor kampus, mendekap buku-buku di dada, dan berbincang bersama dua orang temannya, Trista dan Fiona.Sebagai penerima beasiswa, Lila sadar bahwa dibalik keistimewaannya di universitas bergengsi ini, ia memikul tanggung jawab dua kali lebih besar yang menuntut kesempurnaan langkahnya.Lalu, dalam satu momen yang kikuk, sesuatu terjadi.Sebuah tabrakan pada lengan kirinya membuat tubuh Lila terguncang. Benturan itu membuat tutup cangkir kopinya terlepas dan isinya terciprat ke blazer biru tua milik seseorang. Hawa panas yang tajam merembes ke dalam sweternya, dan aroma biji kopi yang dipanggang merebak di udara.Sial! pria di hadapannya yang sangat menco
Purnama jingga menggantung rendah di atas cakrawala ibukota, menawarkan hangat pada kelelahan seisi kota. Di balik jendela ruang tamu apartemennya, Aruna larut dalam kegiatan menggambar, sementara Bibi Sari sibuk merapikan perabotan dapur.“Bagaimana pekerjaanmu, Rin? Apa ada masalah hari ini?”Rinjani menangkap kekhawatiran dari pertanyaan itu saat mengeringkan tubuhnya di kamar mandi.“Baik, Bi. Masalah pasti ada, tapi sejauh ini kami bisa mengatasinya.” Bibi Sari mendengarkan Rinjani dari antara uap air ketika ia menyeduh dua cangkir teh untuk mereka.“Kami berhasil membuat desain untuk kompetisi yang diadakan perusahaan. Kemajuan yang cukup baik sejauh ini.” Beberapa saat kemudian, ia keluar.Setelah selesai, Bibi Sari lalu duduk di dekat jendela. Tangannya meraih sebuah jarum rajut dan benang sambil tersenyum penuh pengertian.“Kamu selalu pandai sejak kecil, Rin. Tap
“Sepertinya kita dalam masalah besar.”Gusti menggigit pelan bibirnya, lalu mencodongkan badan ke meja gambar. Matanya terpaku pada foto-foto konsep desain yang Rhea ambil dari studio Vivian. Paduan warnanya sungguh sesuai dengan siluetnya yang tajam, dan yang paling mencemaskan—desain itu tampak seperti sesuatu yang berpotensi tinggi untuk viral di majalah mode bergengsi.“Kupikir begitu,” komentar Rhea, ekspresi skeptisnya melembut menjadi kekaguman yang enggan. “Ini... trendi, Lila. Mereka tidak main-main.” Rhea menoleh pada pemimpin timnya.Lila bersandar di kursinya, ekspresinya tetap datar—terlalu datar. Seolah-olah jika ia membiarkan pikirannya meresap terlalu dalam, ia akan mulai mengagumi pesaingnya sendiri. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk ujung ponsel dengan ritme pelan. Matanya sekilas menoleh ke arah Rinjani.Di sampingnya, Rinjani masih men