Pintu kamar mandi terbuka dengan hentakan yang membuat ubin bergetar. Cahaya koridor menyusup masuk, memproyeksikan bayangan panjang seorang pria jangkung yang memenuhi ambang pintu. Wajahnya tersembunyi dalam siluet gelap, namun postur tubuhnya menegaskan otoritas yang tak perlu diucapkan.
Raynar Wiyasa Nawasena melangkah masuk—Langkah terukurnya bertentangan dengan aroma alkohol yang samar dari pakaiannya. Dua pengawal berjas hitam mengikuti di belakangnya, siap untuk apa pun.
Matanya menyipit ketika memindai ruangan, lalu terkunci pada pemandangan di hadapannya. Rahangnya mengeras, urat di lehernya menonjol. Ketika ia berbicara, suaranya rendah dan dingin seperti es yang retak.
"Aku tak mau lihat yang seperti ini."
Tanpa penekanan khusus, kata-kata itu cukup mengisi ruangan dengan ancaman. Kedua pengawalnya bergerak seketika—sebuah koreografi yang sering mereka lakukan. Satu pukulan mendarat di tengkuk penyerang Rinjani, membuat pria itu terhuyung,
kemudian pengawal kedua mencengkeram kerah kemejanya.
"Serahkan dia ke keamanan," lanjut Raynar, matanya tak pernah meninggalkan sosok Rinjani yang bersandar di dinding.
Penyerang itu diseret keluar, sepatunya berdecit di lantai, meninggalkan keheningan yang berdenging. Raynar menutup jarak di antara mereka dengan langkah-langkah panjang, kemudian berjongkok di depan Rinjani. Parfumnya—campuran kayu mahoni dan jeruk bergamot—mengalahkan aroma alkohol yang sebelumnya terendus.
"Hei," panggilnya, suaranya kini melembut seperti beludru. "Apa kau terluka?"
Cahaya di atas mereka memperlihatkan wajah Rinjani yang pucat. Matanya mengerjap perlahan, mencoba menyesuaikan fokus, seakan dunia di sekitarnya adalah kaleidoskop warna yang berputar. Napasnya pendek dan tidak beraturan—udara terasa berat di paru-parunya.
"Aku–" Suaranya terdengar asing di telinganya sendiri, seperti bisikan dari kejauhan. "Ya, kurasa–" Kata-katanya terputus, tertelan oleh gemuruh detak jantungnya sendiri yang berdentum di telinga.
Raynar mengerutkan kening, matanya yang tajam meneliti wajah Rinjani dengan cermat. Meski dunia di sekitarnya masih berputar, Rinjani dapat melihat otot di rahang pria itu mengencang, menahan amarah yang diarahkan pada seseorang yang tak lagi berada di ruangan itu.
"Tidak, tidak," ucapnya tegas. "Kamu tidak baik-baik saja." Ia menjulurkan tangan, jari-jarinya berhenti beberapa sentimeter dari wajah Rinjani—sebuah permintaan izin tanpa kata. Kemudian, dengan kelembutan yang tak terduga dari tangan kekar itu, ia menyibakkan rambut yang menutupi wajah Rinjani.
"Kau mau kuantar pulang?"
Rinjani membuka mulutnya, kata-kata penolakan sudah di ujung lidah—penjelasan tentang Zora, tentang bagaimana ia tidak sendiri malam ini. Namun, saat matanya bertemu dengan mata Raynar, sesuatu dalam dirinya terdiam. Alih-alih berkata-kata, ia mengangguk pelan—sebuah gerakan kecil yang akan mengubah segalanya.
***
Mobil hitam itu terparkir dalam kegelapan, nyaris menyatu dengan bayangan gedung Royal Ravelle. Raynar membaringkan Rinjani di kursi penumpang seakan ia terbuat dari kaca tipis. Kulit jok yang dingin terasa kontras dengan suhu tubuh Rinjani yang meningkat. Aroma kulit asli dan parfum maskulin mengisi paru-parunya, mengusir sisa-sisa bau alkohol dan keringat dari klub.
Raynar memutar kunci, dan mesin menyala dengan dengung halus yang merembes ke dalam tubuh Rinjani. Ia mencengkeram kemudi dengan kedua tangan, buku-buku jarinya memutih di bawah tekanan. Kepalanya tertunduk, bayangan menutupi ekspresinya. Keringat menetes dari pelipisnya, jatuh tanpa suara ke pangkuannya.
Rinjani mengamatinya dari sudut matanya—garis rahang yang tegas, bekas luka tipis di bawah telinga kanannya, dan caranya menarik napas dalam-dalam seakan berusaha mengendalikan sesuatu di dalam dirinya. Ia melihat getaran halus di tangan pria itu, dan menyadari bahwa di balik penampilannya yang tenang, ada badai yang nyaris tak terkendali.
"Terima kasih," bisik Rinjani, suaranya serak dan lemah. Raynar menoleh, matanya bertemu dengan mata Rinjani dalam keremangan. Tatapannya melembut, seperti es yang mencair di bawah sinar matahari pertama.
"Istirahatlah," sahutnya. "Kamu sudah aman sekarang."
Waktu seakan meregang dan menyusut di sekitar mereka. Jari-jari Rinjani bergerak tanpa perintah, terulur untuk menyentuh lengan Raynar. Kain jasnya kasar di bawah jemarinya, hangat dari panas tubuh di bawahnya. Ketegangan di antara mereka bergeser, berubah menjadi sesuatu yang lain—sesuatu yang terasa seperti gravitasi yang menarik mereka berdua ke pusaran yang sama.
"Kau tak semestinya ada di sana sendirian," kata Raynar, suaranya hampir tak terdengar.
Jarak di antara mereka menipis, udara di dalam mobil terasa tebal dengan sesuatu yang tak terucapkan. Rinjani menunduk, pandangannya teralih ke bibir pria itu. Ada bekas luka kecil di sudut bibirnya—detail yang tak akan ia perhatikan dari kejauhan.
"A–Aku–" Kata-kata Rinjani terputus, tertelan oleh dentum jantungnya sendiri.
Napas mereka berpadu dalam keheningan, menciptakan ritme yang intim. Waktu seakan berhenti, mobil itu menjadi dunia tersendiri yang terpisah dari kenyataan di luar. Cahaya lampu jalan yang menyusup masuk melalui jendela membuat segalanya terlihat seperti lukisan yang setengah jadi—garis-garis wajah, siluet tubuh, dan bayangan yang bermain di antara mereka.
Ciuman pertama mereka seperti gelombang kejut yang lembut—ragu-ragu, penuh tanya, dan penasaran. Bibir Raynar terasa seperti wiski dan janji manis yang belum terucapkan. Jari-jarinya menelusuri garis rahang Rinjani, seakan ingin memetakannya dalam ingatannya.
"Ini konyol," bisiknya di antara ciuman. "Aku seharusnya mengantarmu pulang."
Rinjani tersenyum ke dalam ciuman itu, jari-jarinya tenggelam dalam rambut Raynar yang tebal. "Siapa namamu?" tanyanya. "Aku bahkan tak mengenalmu."
Raynar menangkap jemarinya, mengangkatnya ke bibirnya. Dalam kegelapan, matanya berkilat dengan emosi yang tak terbaca. "Aku juga," balasnya dengan senyum yang tidak sepenuhnya mencapai matanya—sebuah pengakuan dan penyesalan dalam satu napas.
Mobil itu seperti kepompong yang melindungi mereka dari dunia luar—ruang sempit di mana waktu berhenti dan hanya ada mereka berdua. Sentuhan mereka semakin berani, seperti penari yang belajar gerakan baru. Ciuman mereka semakin dalam, menjelajahi rahasia yang belum diucapkan.
Kursi kulit berderit pelan saat Rinjani bergeser, tubuhnya mencari kedekatan, mencari kehangatan. Jari-jari Raynar meluncur ke lehernya, menelusuri tulang selangkanya dengan kelembutan yang membuat Rinjani gemetar. Telapak tangannya perlahan menangkup pipi Raynar, kulit yang kasar oleh janggut tipis yang belum tumbuh.
Di dalam mobil yang gelap itu, mereka menemukan keintiman yang tak terduga—dua orang asing yang terhubung oleh benang takdir yang tak terlihat. Kerinduan asing yang seketika menjadi candu, rasa lapar yang tak pernah mereka sadari sebelumnya.
Ketika akhirnya mereka terpisah, napas mereka terengah-engah dan tidak teratur. Raynar menyandarkan dahinya ke dahi Rinjani, tangannya tetap berada di tengkuknya—seakan takut jika ia melepaskannya, momen ini akan lenyap bagai mimpi.
"Kamu–" bisiknya, suaranya bergetar oleh emosi yang tak terkendali. Rinjani tak mampu menjawab. Matanya terasa berat, pandangannya mengabur di tepi. Kehangatan menyelimuti tubuhnya seperti selimut tebal, menariknya ke dalam kegelapan yang menenangkan. Kesadarannya memudar perlahan, seperti cahaya yang dipadamkan satu per satu. Terakhir yang ia lihat adalah wajah Raynar yang khawatir, sebelum kegelapan menelannya sepenuhnya.
***
Cahaya menyusup melalui tirai yang setengah tertutup, menciptakan pola-pola abstrak di lantai kamar Rinjani. Ia duduk di depan meja rias, jari-jarinya menekan pelipis yang berdenyut. Fragmen memori dari malam sebelumnya berputar samar di benaknya—wajah pria tanpa nama, kehangatan tangannya, dan aroma parfumnya yang masih tersisa samar di kulitnya.
"Apa ini disengaja?" bisiknya pada refleksi pucatnya di cermin. "Apa Zora menjebakku?"
Pusing dan mual bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam—rasa terima kasih yang aneh kepada pria asing yang telah menyelamatkannya. Bibirnya masih terasa kebas dari ciuman mereka, dan jantungnya berdegup kencang setiap kali ia mengingat sentuhan lembutnya. Namun, di sela-sela memori indah itu, bayangan pria yang menyerangnya di klub muncul seperti noda tinta hitam di kain putih.
Gagang pintu kamarnya berputar dengan suara klik yang tajam. Rinjani berbalik, tubuhnya menegang saat pintu terbuka dengan hentakan keras. Ayahnya masuk dengan langkah-langkah berat. Garis-garis di wajahnya tampak lebih dalam, dan kulitnya memerah.
Tanpa sepatah kata pun, ia melemparkan amplop coklat besar ke arah Rinjani. Amplop itu mendarat di lantai dengan suara pat yang teredam, isinya berhamburan seperti daun-daun kering musim gugur. Foto-foto berkilau di bawah cahaya pagi—gambar-gambar yang diambil dari sudut tertentu, merekam momen-momen rentan di klub.
"Kau pasti tahu apa artinya itu!" Suara Daryata menggelegar memenuhi ruangan.
Rinjani menunduk, matanya melebar saat mengenali dirinya sendiri di foto-foto itu. Perutnya mulas, dan rasa mual naik cepat ke tenggorokannya. Sudut pengambilan gambar—memperlihatkan skenario yang sama sekali berbeda dari kenyataan.
"Pa, aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi semalam!" Rinjani bangkit, tubuhnya gemetar menahan amarah. "Aku bersama Zora—"
Seolah mendengar namanya disebut, Zora melangkah masuk dengan anggun, diikuti oleh Citra yang menjaga jarak aman di belakangnya. Wajah Zora memancarkan kepolosan yang diperhitungkan, matanya yang lebar berpura-pura terkejut.
"Aku?" Suaranya naik satu oktaf, menepuk dadanya dengan dramatis. "Tidak! Aku sedang lembur di kantor semalam."
Tangan Rinjani mengepal kencang. Ia menatap Zora tajam, menembus topeng kepolosannya. Samar-samar, di sudut bibir Zora, tersungging senyum tipis yang hampir tak kentara—sebuah pengakuan tanpa ada kata.
"Ini ulahmu," pikir Rinjani, kemarahan menggelegak dalam dadanya seperti air yang mendidih.
"Kamu egois dan sembrono," lanjut Daryata, suaranya rendah dan dipenuhi kekecewaan. "Kamu menentang ketika aku memintamu mengurus perusahaan. Dan sekarang ini?" Ia menunjuk ke arah foto-foto yang berserakan. "Sebagai seorang anak, kamu sudah membuat mamamu malu, tahu kamu?!"
Nama mendiang ibunya bagaikan pisau tajam yang menembus jantung Rinjani. Air mata seketika menggenang di pelupuk matanya, panas dan pedih. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena kemarahan yang nyaris tak terbendung.
"Jangan berani bicara tentang Mama!" Suaranya pecah, bergetar dengan emosi yang meluap. "Papa yang tak punya integritas. Aku tahu semua tentang papa dan Citra. Aku tahu apa yang kalian lakukan sebelum Mama meninggal."
Kata-kata Rinjani seakan hujan pecahan kaca yang jatuh di kepala ketiga orang di hadapannya. Ruangan seketika sunyi, selain detak jam dinding yang terdengar mencekam. Wajah Citra memucat, kontras dengan rona merah yang menjalar cepat di leher Daryata.
Tamparan itu datang tanpa peringatan—keras dan tajam di pipi Rinjani.
“Ahh–!”
Kulit di bawah matanya terasa terbakar, dan anyir darah terasa di lidahnya. Ia terhuyung–nyaris tersungkur. Wajah Rinjani tertutup oleh rambutnya sendiri.
"Keluar dari sini!" Teriakan Daryata serak oleh kemarahan.
Rinjani menegakkan tubuhnya, sungai air matanya terlihat jelas saat ia mengangkat dagunya.
"Baik! Dengan senang hati."
Daryata berbalik dan melangkah cepat keluar dari kamar putrinya. Citra ikut di belakangnya, matanya menghindari tatapan Rinjani. Zora yang terakhir keluar, berhenti sejenak di ambang pintu. Ketika ia berbalik, topeng kepolosannya telah ia lepas, berganti senyum kemenangan yang sedari tadi disembunyikan.
Air mata Rinjani jatuh ke pakaian yang ia kemas, meninggalkan bercak-bercak gelap di kain. Tangannya gemetar saat memasukkan barang-barangnya ke koper—setiap gerakan adalah keputusan final yang tak bisa ditarik kembali.
Ketika ia akhirnya melangkah keluar, kopernya terasa lebih berat dari yang seharusnya. Di ruang keluarga, Daryata duduk tegak di kursi favoritnya, menatap lurus ke depan—seolah Rinjani tak lebih dari bayangan yang melintas.
Di dekat pintu keluar, Rinjani berhenti dan menoleh. Air matanya menetes untuk yang terakhir kali, tetapi kini tulang punggungnya lurus seperti baja, dan kepalanya tegak,. Tanpa sepenggal kalimat perpisahan, ia menutup pintu di belakangnya—sebuah sentakan halus menandai akhir dari satu babak hidupnya.
Di luar, udara terasa lebih ringan dari kopernya. Dering ponsel memecah keheningan—nama ayahnya muncul di layar. Rinjani menatapnya sejenak sebelum menggeser untuk menolak panggilan.
"Apa pentingnya?" bisiknya pada diri sendiri, suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. "Semua sudah tidak berarti sekarang."
Matahari pagi merayap di atas perbukitan hijau yang subur, memandikan sawah dengan cahaya keemasan saat Rinjani menjemur pakaian yang masih basah. Sembilan bulan telah berlalu sejak ia tiba di rumah sederhana yang jauh dari kota ini, disambut oleh pelukan tanpa syarat dari Bibi Sari.Kurang tidur setelah melewati malam yang gelisah, Rinjani menyeka keringat di dahinya. Minggu-minggu pertama di desa, ia selalu tersentak bangun saat mendengar kokok ayam dan tikus-tikus yang berlarian. Kini, ritme kehidupan pedesaan telah melekat di kulitnya.Tiga minggu kemudian, Rinjani mengepalkan tangan di atas bak cuci piring, muntah-muntah. Tidak ada yang keluar-dia tidak bisa menahan diri untuk tidak sarapan selama berhari-hari. Ia menyiramkan air ke wajahnya dan mencengkeram pinggiran meja, sebuah kecurigaan yang tak bisa ia abaikan.Bibi Sari masuk membawa sekeranjang sayur, menjatuhkannya ketika melihat wajah pucat Rinjani.“Bi,” bisik Rinjani, air matanya berlinang. “Kayaknya aku hamil.”Kehen
Suara jangkrik dan binatang kecil lain bermusik di kejauhan, menemani rembulan yang berjingkat di atas perbukitan. Rinjani berbaring dekat kedua bayi kembarnya. Jemari bayi perempuannya bergerak-gerak, bermain dengan selimut, sementara bayi lelakinya tidur dengan pulas, dadanya naik turun dengan irama yang teratur.Rinjani tersenyum tipis, beban di pikirannya tersapu oleh harapan akan kedua bayinya. Kedua makhluk mungil itu kini menjadi pondasi hidupnya, alasan kuat baginya untuk meredam semua penolakan dan bisikan ambisinya. Dalam kehidupan sederhana bersama Bibi Sari di desa, ia telah menemukan pelipur lara. Mimpinya tentang karir sebagai perancang busana kelas dunia menjadi gema dari dunia lain yang melemah seiring waktu.Tidak satu pun dari mereka yang mengira jika keheningan malam itu akan berubah drastis. Zora mengamati rumah itu dari kejauhan, matanya yang tajam tertuju pada jendela yang remang-remang. Dia menyesuaikan tudung mantelnya, melindungi wajahnya dari cahaya bulan. Du
Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut warna-warna pastel alami yang hangat di ruang tamu kediaman megah Wiyasa Nawasena memancarkan keanggunan yang tenang. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk Zethra dalam pelukannya. Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar.Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah dengan pasti ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne dari wol lembut dan rok selutut berwarna khaki menyampaikan kesan membumi yang bersahaja, dipasangkan dengan kalung dan sepasang anting mutiara untuk melekatkan kesan keanggunan. Setiap gerakannya dilakukan dengan hati-hati, talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah ia latih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan yang santai, kemeja
Selama lima belas menit mobil itu menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya mereka tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Areal luas membentang di hadapan mereka, tenang dan asri. Titik embun menempel di ujung rerumputan, dan aroma samar bunga-bunga segar berbaur dengan aroma tanah yang lembab.Raynar keluar lebih dulu, melangkah dengan hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora, yang biasanya percaya diri, berjalan menggendong bayinya dengan langkah keraguan, wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya seakan tempat itu tak layak baginya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang, eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta e
Sebuah aula berkilauan seperti permata hidup malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, dengan mudah menyatu dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang memenuhi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora, wanita cantik yang kini menjadi istri sahnya, bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Bagi orang lain yang hadir disana, Zora mungkin tampak
Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Namun kini, jejak kebakaran itu telah lenyap sepenuhnya, berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi. Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggu
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara. Besarnya stasiun ini seakan menelan segalanya, mulai dari langit-langitnya yang menjulang tinggi hingga arus manusia yang tak henti-hentinya bergerak ke segala arah.Rinjani Wardhani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Mengapa di sini begitu bising? Apakah kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita ti
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku mencobanya?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-
Awan mendung yang bergelayut di cakrawala Muliakarta pagi ini nampak kontras dengan keceriaan seorang lelaki muda. Rawindra membetulkan kaca spion tengah mobilnya ketika berhenti di salah satu lampu merah perempatan besar, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Di kursi penumpang terdapat sebuah portofolio kulit yang penuh dengan foto-foto permata - zamrud, safir, rubi - yang dikatalogkan dengan teliti. Setiap batu mewakili potensi untuk bisnis istrinya.“Delapan bulan menikah, dan sudah membangun sesuatu bersama,” gumamnya, membayangkan tanggapan antusias Lila Anindya terhadap sampelnya. Salah satu pemimpin tim rancangan busana ingin melihat kemungkinan untuk bekerjasama, berbicara tentang penyematan permata pada rancangannya, tentu saja itu membuat Rawindra dan istrinya gembira. Sebuah kolaborasi yang dapat menempatkan bisnis permata istrinya di peta strategis, dan yang lebih penting bagi Rawindra adalah kebanggan pribadi sebagai suami atas kontribusi terhada
Beberapa menit yang lalu, Vivian telah memindai kantor pusat WN Group seakan baru pertama kali melihatnya. Matanya berkelana pada staf kantor yang melakukan rutinitas mereka, petugas keamanan berjaga di pos-pos tertentu, termasuk posisi-posisi kamera CCTV di sepanjang rute perjalanannya masuk ke studio.Kini, Vivian bersandar di jendela besar ruang studionya. Hiruk pikuk jalanan ibukota Muliakarta bermandikan warna keemasan lembut matahari pagi, membentang dari bawah lantai dua belas kantor pusat WN Group. Ia merasa berbeda, bukan hanya karena udara terasa lebih segar atau karena kopinya terasa lebih aromatik. Mata Vivian menatap hari ini dengan optimisme, dimana hal-hal akan berjalan sesuai keinginannya.Kuku telunjuknya mengetuk-ngetuk cangkir keramik saat ia memandangi gambar latar layar ponselnya–sebuah tulisan terpampang di sana: “If nothing goes right, goes left.” Ia terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu mengendap di benak
Malam di ibukota menyebarkan hawa sejuk seiring lalu lintas yang berangsur-angsur lengang. Rinjani dan Lila melangkah meninggalkan Sweet Spot Cafe. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya temaram kekuningan, sementara angin melagukan gemerisik dedaunan di sepanjang jalan. Mereka melintasi minimarket di sudut jalan."Hei, kau ada waktu?" tanya Rinjani tiba-tiba, menoleh ke arah Lila di sampingnya.Lila mengangkat alis. "Tentu. Kenapa?""Aku teringat membeli cokelat dan es krim untuk Aruna. Seharusnya aku membelinya tadi, tapi telepon itu terlalu mendesak."Rinjani telah menggenggam keranjang belanja saat selesai bicara.Lila tersenyum. "Tak masalah. Aku juga akan melihat-lihat."Keduanya santai menyusuri lorong-lorong. Rinjani memilih beberapa batang cokelat dan satu kotak es krim, sementara Lila mengambil sebungkus permen penyegar mulut untuk dirinya sendiri."Aruna pasti akan senang." Lila berkomentar lirih dari belakang melihat semua yang Rinjani beli di meja kasir.Rinjani terg
Cahaya pagi yang menembus panel kaca di studio desain lantai dua belas kantor pusat WN Group seakan membelah ruang itu dengan siluet-siluet. Ruangan itu nampak rapi, namun sejuknya pendingin ruangan tak bisa meredakan ketegangan mereka yang ada di dalamnya.Vivian duduk seperti ratu di atas singgasana, postur tubuhnya menampilkan ketenangan dominan. Tepi bibirnya mengerucut saat mengamati wajah ketiga rekannya. Ia baru saja mengumumkan bahwa mereka kehilangan dukungan dari Aditya, sang direktur pemasaran, dan membiarkan keheningan meregang sebelum akhirnya berbicara.“Beberapa orang memang pandai, tapi tidak sanggup dengan tekanan. Sangat ironis.” Napas Vivian berhembus lambat.Fayra, yang bertumpu di salah satu sandaran tangan kursi, meregangkan kaki lalu memiringkan kepalanya. Ia mencerna beratnya kata-kata itu.“Mungkin seharusnya begini.” Suaranya lirih, sambil memintal benang yang terl
Dari teras griya tawangnya, Miriam Wiyasa Nawasena menggenggam cangkir porselen di antara jari-jarinya, membiarkan kehangatan teh earl grey meresap ke dalam kulitnya. Udara pagi terasa segar, dan Paris selalu menjadi kota impian Miriam–elegan dalam ekspresi dan sarat ketenangan, mirip dirinya. Miriam menemukan kenyamanan di saat-saat seperti ini, di mana keindahan dan kendali terjalin dengan mulus.Pagi ini situasi sedikit berbeda. Miriam menyesap teh earl grey sementara matanya menatap cakrawala kota, mengembara di sekeliling menara Eiffel dan American Cathedral yang tak jauh dari tempat ia duduk. Semalam, Raynar telah menghubunginya, mengabarkan hal penting yang harus segera ia tindak lanjuti.Lila Anindya. Miriam selalu benar tentang gadis itu. Ambisius, cerdas, dan memiliki kompas moral yang membedakannya dari para lintah di industri mereka. Lila melaporkan sebuah konspirasi yang mengancam untuk menodai kompetisi desain yang tel
Selama berhari-hari, Lila telah melatih momen ini dalam pikirannya-membayangkan setiap hasil yang mungkin terjadi, setiap variasi responsnya. Namun kini, berdiri di hadapannya, dengan beban bertahun-tahun yang menekan dadanya, semua kata-kata yang telah dilatih itu berserakan seperti debu.Raynar menatapnya penuh harap. Lila menelan ludah dengan keras, jari-jarinya mengepal di sisi tubuhnya. Kemudian, hampir tidak terdengar seperti bisikan, dia akhirnya mengatakannya.“Aku selalu menyukaimu, Ray.”Kata-kata itu membuat bibirnya gemetar, terasa berat karena emosi yang telah terpendam selama bertahun-tahun. Ia mencoba melunakkan pengakuannya, memaksakan sebuah senyuman, tapi kelu. “Sejak aku menumpahkan kopi di jaketmu.”Lila tertawa kecil, berharap Raynar akan tertawa, bahwa ia akan mengingat momen kecil itu dengan penuh cinta seperti dirinya.Tapi Raynar tak tertawa.
Kampus Universitas Pragya Dharma di ibukota Muliakarta pagi itu penuh dengan energi semester baru. Hiruk pikuk para mahasiswa yang saling bertukar cerita tentang pengalaman liburan dan persiapan mereka untuk semester mendatang menjadi pemandangan menarik, terutama bagi Lila Anindya.Di tengah keramaian, ia berjalan menyusuri koridor-koridor kampus, mendekap buku-buku di dada, dan berbincang bersama dua orang temannya, Trista dan Fiona.Sebagai penerima beasiswa, Lila sadar bahwa dibalik keistimewaannya di universitas bergengsi ini, ia memikul tanggung jawab dua kali lebih besar yang menuntut kesempurnaan langkahnya.Lalu, dalam satu momen yang kikuk, sesuatu terjadi.Sebuah tabrakan pada lengan kirinya membuat tubuh Lila terguncang. Benturan itu membuat tutup cangkir kopinya terlepas dan isinya terciprat ke blazer biru tua milik seseorang. Hawa panas yang tajam merembes ke dalam sweternya, dan aroma biji kopi yang dipanggang merebak di udara.Sial! pria di hadapannya yang sangat menco
Purnama jingga menggantung rendah di atas cakrawala ibukota, menawarkan hangat pada kelelahan seisi kota. Di balik jendela ruang tamu apartemennya, Aruna larut dalam kegiatan menggambar, sementara Bibi Sari sibuk merapikan perabotan dapur.“Bagaimana pekerjaanmu, Rin? Apa ada masalah hari ini?”Rinjani menangkap kekhawatiran dari pertanyaan itu saat mengeringkan tubuhnya di kamar mandi.“Baik, Bi. Masalah pasti ada, tapi sejauh ini kami bisa mengatasinya.” Bibi Sari mendengarkan Rinjani dari antara uap air ketika ia menyeduh dua cangkir teh untuk mereka.“Kami berhasil membuat desain untuk kompetisi yang diadakan perusahaan. Kemajuan yang cukup baik sejauh ini.” Beberapa saat kemudian, ia keluar.Setelah selesai, Bibi Sari lalu duduk di dekat jendela. Tangannya meraih sebuah jarum rajut dan benang sambil tersenyum penuh pengertian.“Kamu selalu pandai sejak kecil, Rin. Tap
“Sepertinya kita dalam masalah besar.”Gusti menggigit pelan bibirnya, lalu mencodongkan badan ke meja gambar. Matanya terpaku pada foto-foto konsep desain yang Rhea ambil dari studio Vivian. Paduan warnanya sungguh sesuai dengan siluetnya yang tajam, dan yang paling mencemaskan—desain itu tampak seperti sesuatu yang berpotensi tinggi untuk viral di majalah mode bergengsi.“Kupikir begitu,” komentar Rhea, ekspresi skeptisnya melembut menjadi kekaguman yang enggan. “Ini... trendi, Lila. Mereka tidak main-main.” Rhea menoleh pada pemimpin timnya.Lila bersandar di kursinya, ekspresinya tetap datar—terlalu datar. Seolah-olah jika ia membiarkan pikirannya meresap terlalu dalam, ia akan mulai mengagumi pesaingnya sendiri. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk ujung ponsel dengan ritme pelan. Matanya sekilas menoleh ke arah Rinjani.Di sampingnya, Rinjani masih men