Masih hening. Aiko merenungkan apa yang dikatakan Mic barusan.
"Kau juga masih muda, pasti banyak pria di luar sana yang akan tertarik padamu, jika kau sedikit saja mengubah penampilanmu. Aku pikir sudah seharusnya kau meninggalkan kacamata burung hantu itu. Bagaimana kalau kita sedikit berbelanja besok?", Mic menatap Aiko dengan tatapan penuh harap. "Kau tahu jika minus-ku ini cukup mengganggu, aku tidak bisa meninggalkannya", Mic memutar bola matanya jengah mendengar kalimat yang Aiko ucapkan. "Kau bisa menggantinya dengan model yang baru, atau kau bisa menggunakan kontak lens. Bagaimana kau tahu kau bisa jika tidak mencobanya? Itu adalah kebiasaan burukmu", Mic mulai menyendokkan makanan ke piring lalu memberikannya pada Aiko dan dibalas dengan senyuman padanya. "Terima kasih Mic. Kau memang selalu yang paling mengerti. Aku mencintaimu", Aiko dengan gerakan tiba tiba mencium pipi Mic, membuatnya menghapus bekas ciuman tersebut dengan keras. Bagi Aiko kehadiran Mic sudah lebih dari cukup, Aiko sangat bersyukur dengan kenyataan itu karena walaupun orang tuanya sudah tiada, Aiko tidak merasa kesepian. *** "Aku sudah bilang, kita akan menghabiskan sisa sore ini dengan belanja. Kenapa kamu harus selalu mengeluh sih?!" Mic menggamit lengan Aiko dengan kuat, menyeretnya memasuki sebuah etalase khusus kacamata dan kontak lens. Aiko hanya bisa pasrah, setelah pulang kerja tadi Mic langsung menyeretnya menuju pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari kantor. Mic dengan antusias memilihkan frame kacamata yang dirasa cocok untuk Aiko. Segala macam bentuk dan warna sudah Mic coba pasangkan pada Aiko, namun belum ada satupun yang membuatnya terlihat berbeda dan menarik, sampai akhirnya Mic melihat sebuah frame oval yang tidak terlalu besar dan tidak pula terlalu kecil. "Kita ambil yang ini! Aku yakin kau akan terlihat sangat berbeda besok," senyum Mic tidak berhenti merekah di wajahnya. Aiko hanya mendengus malas mendengar kata kata Mic. "Walau bagaimanapun, aku masih tetap gadis burung hantu", Aiko melongos pergi meninggalkan Mic yang berjalan menuju meja kasir. Sebenarnya bukan karena tidak ingin terlihat berbeda, hanya saja Aiko takut jika perubahan yang akan terjadi pada dirinya nanti justru akan menjadi bumerang. Terkadang, Aiko juga menginginkan perubahan, namun rasa tidak percaya diri ini lebih menguasai dirinya. Buk! Pandangan Aiko kabur, Aiko berusaha meraba tempatnya jatuh untuk mencari kacamatanya yang terjatuh entah di mana. Namun Aiko justru meraba ujung sepatu seseorang yang berdiri tepat di depannya, dan pandangannya seketika jernih saat kacamata type lama ini Aiko gunakan kembali. Aiko kaget, ketika ternyata pria di depannya adalah Ivander. Dari jauh Aiko bisa melihat Mic berlari dengan tergesa, dan menghampirinya. "Kau seharusnya menggunakan dengan baik pandanganmu saat berjalan, bahkan kau sudah menggunakan kacamata tapi tetap tidak bisa melihat dengan baik", Aiko terenyuh, hatinya sakit. Aiko meminta maaf pada Ivander untuk membuat situasi ini segera berakhir, Aiko sungguh tidak ingin berdebat saat ini. Setelah mengucapkan permintaan maaf, Aiko segera berjalan sambil menggamit lengan Mic. Air mata siap jatuh dari pelupuk matanya, Aiko benar benar sudah menahannya sejak Ivander mengatakan kata kata kejam tadi. Aiko tidak bisa berjalan dengan baik karena air mata menutupi pandanganny, kacamatanya dipenuhi uap. Mic mengajak Aiko ke tempat sepi untuk menenangkan diri. "Ai, bagaimana kalau kita ke pusat pakaian favoritku dan membeli beberapa pasang untuk mendukung kontak lens yang sudah kita beli tadi," Mic memperbaiki posisinya di depan Aiko. Aiko hanya mengerutkan alis menanggapinya. "Kau harus tampil berbeda agar tidak dipandang rendah lagi, dan membuat mereka semua bertekuk lutut di hadapanmu. Bisa saja seorang pengusaha kaya raya yang baik hati jatuh cinta pada pandangan pertama padamu." "Hei, itu terlalu berlebihan. Aku mau melakukan perubahan bukan untuk mencari jodoh, tapi membuat orang lain menyadari bahwa kita punya kesempatan yang sama untuk tidak dipandang rendah, seburuk apapun penampilan kita", Mic mengangguk setuju dan menggamit lengan Aiko untuk berjalan menuju outlet pakaian favoritnya. *** Keesokan harinya Aiko bangun dengan kondisi bugar karena istirahat yang lebih dari cukup. Aiko mencoba beberapa baju yang dibeli bersama Mic. Ada sepasang baju yang menurut Aiko lumayan, tapi itu tidak terlihat begitu cocok ditubuhnya, atau perasaannya saja? Brak! Pintu kamar Aiko terbuka lebar , Mic sudah siap dengan pakaian modisnya seperti biasa. "Astaga Aikoo!! Ini sudah jam berapa? Kenapa kau belum selesai bersiap?!" Mic menggelengkan kepalanya tidak percaya. Kemudian menyadari bahwa pakaian yang Aiko kenakan adalah pakaian yang mereka beli kemarin. "Apakah ini tidak terlalu mencolok? Maksudku, apakah aku benar benar cocok memakainya?" Aiko memegang setelan baju yang dikenakannya kemudian menunduk lesu. Bersiap masuk ke kamar mandi sebelum tangan Aiko kembali ditahan oleh Mic. "Tuhan! Bagaimana bisa kau bilang pakaian ini mencolok? Yang mencolok itu, kalau kau pakai bikini ke kantor, tahu!! Cepat selesaikan, aku akan membantumu memakai kontak lens-mu," Mic mengambil sepasang kontak lens dari meja rias Aiko dan membantu memakaikannya. Aiko menuruti kata-kata Mic dan mencoba mengesampingkan rasa tidak percaya dirinya. Memangnya kapan Aiko hidup dengan rasa percaya diri yang tinggi? Aiko tidak percaya bahwa orang yang dia lihat di depan cermin adalah dirinya sendiri. Bagaimana bisa orang terlihat berbeda drastis hanya karena sepasang pakaian dan kontak lens? "Aku tahu kau cantik, tapi kita akan terlambat jika kau terus berdiri di depan cermin seperti itu," tanpa babibu Mic langsung menarik Aiko keluar dari kamar dan bersiap menuju kantor. *** Aiko merasakan beberapa pasang mata memperhatikannya, bukan, bukan beberapa tapi puluhan pasang mata memperhatikannya. Seorang Aiko yang terkenal introvert dan hanya menganggap Mic sebagai temannya kini benar benar tampil berbeda dari biasanya yang selalu mengenakan setelan kuno dan kacamata burung hantu. "Kau benar Aiko?! Astaga aku hampir tidak mengenalimu jika bukan karena ID Card yang kau kenakan," Steve mengajak Aiko bicara disaat orang lain hanya melihatnya dengan tatapan tidak biasa diikuti dengan bisikan bisikan kecil. "Apa aku terlihat sangat aneh mengenakan setelan ini?" Aiko kembali mencoba melihat penampilannya. Memastikan tidak ada yang aneh. "Astaga! Tidak seperti itu Aiko, kau terlihat sangat luar biasa, kau cantik. Apakah kau tidak merasakan tatapan iri para wanita karena merasa tersaingi dengan penampilanmu saat ini? Apakah kau tidak melihat tatapan laki laki yang akan memakanmu saat ini juga?! Berhentilah hidup dalam rasa tidak percaya diri. Kau cantik, dan kau berhak melakukan apapun yang kau inginkan," Steve mencoba menyemangati Aiko bukan sebagai atasan tapi sebagai teman. *** Aiko masih tidak terbiasa dengan perubahan ini, bukannya tidak senang, hanya saja ini terlalu berlebihan. Handphone-nya menjadi berisik karena banyaknya pesan dan telepon yang masuk. Bunyi panggilan telepon meja membuyarkan lamunannya. Steve meminta Aiko ke ruangannya karena sesuatu yang mendesak. Aiko berjalan meninggalkan meja dan menuju ruangan Steve. Tok tok tok... "Masuk!" suara Steve menyambut Aiko yang memasuki ruangannya. "Tolong rapihkan sketch ini. Kerjakan semampumu saja, jangan dipaksakan. Tapi kira-kira apa yang membuatnya begitu marah padamu? Baru kali ini dia bersikap seperti itu. Atau dia memiliki sentimen tertentu padamu? " Steve menatap khawatir pada Aiko, namun Aiko berusaha mengabaikannya, ini bukan hal yang harus Aikko ceritakan.Sepanjang perjalanan kembali ke rumah, terlihat raut wajah bahagia dari Aiko dan Ivander. Ternyata di balik begitu banyak kejadian yang tidak mengenakkan, ada hadiah besar yang Tuhan siapkan untuk mereka. Aiko kembali melihat foto hasil USG yang diberikan oleh Cass padanya, lalu menyentuh perutnya. Akan ada seseorang yang hidup bergantung padanya. Dan memikirkan hal itu membuatnya sangat terharu sekaligus bahagia. "Sepertinya aku harus meminta Peter kembali mejadi sekertarisku. Aku tidak bisa membuatmu menghandle semua pekerjaan yang harus dilakukan di luar kantor." Ivander mengelus perut Aiko dengan tangan kirinya. Beberapa bulan lagi perut Aiko akan membesar, membayangkannya saja membuat Ivander tersenyum. "Aku masih bisa melakukannya. Aku tidak ingin karena kehamilan ini, aktifitasku jadi terbatas. Aku akan memberitahukannya padamu jika aku merasa tidak enak badan." Aiko mencoba membujuk Ivander, walau bagaimanapun kehamilan ini adalah berkat bagi keluarga mereka. Ivander men
Ivander telah siap dengan penampilan kasualnya. Aiko tidak memberitahukan akan ke mana sehingga Ivander memilih pakaian yang tidak terlalu resmi. Sudah hampir jam 8 pagi namun Aiko masih enggan untuk berpisah dengan kasur di kamar tersebut. "Sayang, sudah hampir jam 8. Kau ingatkan hari ini ingin mengajakku ke mana?" Aiko membuka matanya lalu duduk secara perlahan. Ivander lalu membantunya berjalan ke kamar mandi. "Mandilah dulu, aku akan ke bawah mengambilkan air hangat untukmu." Aiko mengangguk mengiyakan dan tidak lupa memberikan morning kiss singkat untuk Ivander. Ivander terkadang tidak menyangka bahwa seorang Aiko juga bisa menggodanya, dan saat ini desiran halus dari inti tubuhnya membuatnya merasa panas. Ivander dengan kuat mengelengkan kepalanya. Saat ini bukan waktu yang tepat. Saat turun dari tangga kamarnya, Ivander melihat Jade, Jay dan Cass sarapan bersama di ruang makan. "Mana Aiko? Kenapa tidak turun bersama?" Cass mencoba mencairkan suasana saat tatapan I
Aiko teringat dengan kata kata Cass tadi. "Jika benar kau hamil, hindari gaya bercinta yang ekstrem. Dan pada awal kehamilan, kurangi intensitas bercinta karena bisa berbahaya bagi ibu dan calon janin kalian. Informasikan hasil tesmu nanti padaku, jangan sungkan menghubungiku kapan saja. Kau mengerti?" Aiko mengangguk paham. Begitu banyak hal yang berputar di pikirannya. Rasanya baru kemarin dirinya dan Ivander akan melakukan konsultasi ke dokter kandungan, namun karena banyak hal yang terjadi, akhirnya konsultasi tersebut tidak pernah terjadi. "Jangan mengkhawatirkan apapun Ai, jika Tuhan memberikanmu kehamilan ini, artinya kau sudah siap. Aku yakin, Nico juga akan sangat senang mendengar kabar ini nantinya. Hm, apalagi bibi Hannah dan paman Braxton. Aku tidak bisa membayangkan betapa bahagianya mereka." Kata kata yang dilontarkan oleh Cass tadi bagaikan lagu yang terputar di dalam kepalanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam, namun Aiko sama sekali belum bisa tidur. Ivande
Setelah acara resepsi sepekan yang lalu, ini adalah makan malam pertama yang dihadiri oleh Aiko dan Ivander. Hanah dan Braxton sengaja membuat acara makan malam dengan jarak sepekan untuk membiarkan Aiko beristirahat setelah rangkaian peristiwa yang terjadi padanya. Hannah dan Braxton sangat antusias menyiapkan acara makan malam ini, karena akan ada sepupu Ivander yang jauh jauh datang dari Singapore. Ivander dan Aiko diantar oleh Peter menuju kediaman Braxton. Dalam perjalanan, Ivander dalam meeting online untuk membahas mengenai kerjasamanya dengan perusahaan jam tangan terkenal di New York. Aiko sesekali memberikan gagasan dan membuat Ivander tersenyum bangga. "Ternyata istriku memang cerdas. Tidak salah aku memilihnya menjadi sekertaris." Aiko terkekeh pelan menanggapinya. Obrolan obrolan kecil membuat suasana malam itu terasa lebih lama, Aiko sangat menikmati bagaimana Ivander merespon setiap ceritanya. Tak terasa hampir 30 menit perjalanan, Hannah dan Braxton suda
Aiko telah selesai dirias dan siap menuju lokasi resepsi pernikahannya berlangsung. Ivander tidak berhenti menatap sang istri yang semakin memukau saat menggunakan gaun pernikahan rancangannya sendiri. "Rasanya aku tidak rela memperlihatkan kecantikanmu sore ini pada orang lain. Apakah bisa kita berdiam di kamar saja?" Rita terkekeh pelan saat mendengar sang tuan mengatakan hal tersebut, benar benar definisi cinta bisa mengubah segalanya. Ivander yang awalnya selalu kaku dan egois, benar benar bisa menjadi sosok pria yang lembut dan murah senyum. "Jangan tertawa Rita! Aku hampir saja menghabiskan waktu sore ini dengan Aiko jika tadi kau tidak membangunkan kami. Iyakan Ai?" Aiko menggeleng pelan mendengar ocehan Ivander yang sejak tadi tak berhenti. Ivander dan Aiko akhirnya sampai di halaman outdoor sebuah hotel. Aiko begitu takjub dengan dekorasi nuansa peach putih yang begitu manis dan elegan. Mic sudah bersiap dengan buket bunga di tangannya dan segera menghampiri Aiko.
Aiko dan Ivander telah tiba di mansion hampir jam 2 pagi. Rita dan beberapa pelayan rumah dengan antusias menyambut kedatangan tuan rumahnya. Ivander menggandeng tangan Aiko berjalan menuju kamar tidur. Rasanya kembali bisa bernafas lega saat kamar ini sudah tidak diisi oleh Aiko sendiri, namun ada Ivander yang bisa kembali berbaring bersamanya di tempat tidur. Aiko membantu Ivander melepaskan kemeja dan celananya. Ivander tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya dan mengikuti setiap gerak gerak Aiko. Sakit seperti ini menyenangkan juga, batinnya. "Aku tahu milikku besar, bahkan sebelum kondisi 'on'. Tapi saat ini aku sedang sakit dan tidak bisa mendengar suara desahanmu yang begitu memabukkan." Semburat merah menghiasi pipi Aiko, Ivander dengan bibir nakalnya selalu saja berhasil membuat Aiko mati kutu dan sangat malu bahkan untuk menatap sang suami. "Kau selalu menyimpulkan semuanya sendiri. Aku padahal hanya melepaskan pakaianmu. Ayo!" Aiko berdiri dan meraih tangan Ivander, me