Ronald dengan wajah tanpa dosa menatap ke arah kedua majikannya tersebut. Zeroun mendelik, tatapan Axelle juga tidak kalah menyeramkan. Ia pantas mendapatkan lantaran dengan sadar menginjak alat tersebut hingga rusak. Pemuda itu bangkit dari duduk setelah mematikan komputer di meja kerja Zeroun. Dia berdiri ketiganya kini terlihat tegang. Ronald seperti menantang perang para singa yang telah terjaga. Ia kemudian mendengkus kesal.
"Berhentilah menatap intimidasi saya, itu hanya gps bukan alat penyadap. Terlihat raut kelegaan di hati Zeroun dan Axelle.
"Lalu kenapa kamu langsung menuju komputerku?" telisik Zeroun.
"Untuk memastikan sistem keamanan kita tidak diretas," jawab Roland singkat
Luapan emosi membelenggunya hingga ia tidak lagi paham, mana yang benar dan salah. Erangan kesakitan dan ucapan minta ampun seolah tidak berguna, rungunya menuli. Tatapan mata melebar, matanya memerah seperti kesetanan, tanpa gemetar sedikitpun. Emosi membludak merajai jiwa. Dia berteriak lantang menancapkan serpihan vas yang runcing ke leher lelaki di bawahnya. Darah mengucur, erangan sang pria tidak lagi terdengar. Sebagian darah itu terciprat, ke wajah dan mengenai tangannya juga. Axelle bangkit dia berdiri dalam samar kilatan petir menggelegar. Gorden berterbangan tersapu angin di mana jendela tidak lagi tertutup lantaran di jebol. Pikirannya kosong, yang teringat sosok sang bunda. Wanita yang ia hormati dan sayangi jatuh tersungkur dalam sekali tembak. Axelle lunglai berjalan menuruni tangga. Zeroun yang masih menangisi sang istri mendongak ketika melihat kali telanjang Axelle. Lelaki itu meletakkan pelan tubuh kaku sang istri.
Stella telah usai menjalankan sholat sunnah malam. Dia kemudian bangkit melepas mukena. Gadis itu terlihat mengenakan lingerie warna merah jambu, berbahan satin setinggi lutut. Rambut panjangnya tergerai basah. Axelle melihat itu tersenyum, dia memeluk Stella dari belakang ketika gadis itu meletakkan mukena di depan meja rias. Keduanya saling menatap lewat pantulan kaca. Axelle pundak Stela yang terpampang mulus. Stella memejamkan mata, menerima setiap gerakan-gerakan Axelle yang membuatnya semakin melayang dan panas."Berhenti mempermainkan saya Om," keluh Stella tidak berdaya.Axelle membopong tubuh gadis itu kembali ke ranjang. Pagi yang begitu menggelora, Axelle tidak henti-hentinya mengagumi sosok tubuh mungil yang sedang ia selami. Begitu juga dengan Stella yang merasakan
Hanya dengan sebuah ucapan orang "terkasih" sudah dapat menebak kedatangan Zayn adalah untuk menemui Stela. Roland nengacungkan pistol tepat di kepala Zayn. Tidak tinggal diam, Zayn juga mengambil pistol miliknya dan mengarahkan tepat ke arah Axelle. Zeroun kemudian berdiri dia berkacak pinggang. Meatap ke arah ketiga orang yang tengah menegang tersebut."Hentikan!" teriak Zeroun.Mereka bertiga menoleh ke arah Zeroun. Lelaki tua itu memijat keningnya dengan jemari tangan kanan. "Apa yang kalian lakukan pagi-pagi, ingin sok kuat dengan mengintimidasi?" pekik Zeroun. "Kalian semua duduk!" perintahnya kemudian.Zayn menyembunyikan kembali pistol di balik jas yang ia kenakan. Begitu juga dengan Roland, Axelle menghela napas berat,
Stela duduk manis setelah menyiapkan sarapan untuk suami dan ayah mertuanya. Ketiga orang tersebut menikmati sarapan dengan nyaman dan juga tenang. Axelle sesekali melirik ke arah sang istri. Betapa manisnya ia kini, mengenakan dress motif sabrina setinggi di bawah lutut, berwarna kuning. Terlihat cerah ceria, sangat kontras dengan kulit putih mulus dan juga rambutnya yang tergerai panjang, indah. Bando warna putih menghias pucuk kepalanya. Axelle seolah melihat putri raja. Rasanya Axelle sudah kenyang hanya dengan menatap sang istri. Leher jenjang dan juga dadanya yang terekspos membuat Axelle menelan saliva. Baru beberapa jam lalu ia merengkuh tubuh mungil itu. Namun, hasrat untuk menyentuhnya kembali lagi.Zeroun menatap sang putra sembari tersenyum simpul. Yah, lelaki tua itu seperti menatap dirinya di masa lalu, masa mudanya dulu. Sikap egois, arogan dan
Mobil mewah itu berhenti tepat di depan sebuah kantor penerbitan. Axelle memberi kode lewat lirikan mata pada Roland. Pemuda yang paham dengan kode tersebut tersenyum. Dia berpamitan keluar dengan berbohong membeli kopi panas di sebuah cafe seberang. Stela tersenyum, wanita muda lugu yang tidak tahu apa-apa itu mengangguk sembari merapikan tas jinjing. Dia mengecek sekali lagi, apakah naskahnya komplit atau ada yang salah. Naskah mentah dari lembaran kertas hvs tersebut, nantinya akan ia berikan pada Arsen atasannya. Axelle mengamati dengan sesekali membelai rambut panjang itu, rasanya bergairah sekali. Meski tidak rela Stela keluar rumah namun, setelah di pikirkan lagi berangkat ke kantor bersama seperti ini sangat menyenangkan. Tangan nakal Axelle meraba dada dan pundak yang tidak tertutup kain. Stela menerimanya dengan senyum, ia kemudian melempar tasnya ke arah samping. Stela merangkul ke leher Axelle. Lelaki itu terkekeh,
Stela tidak pernah membayangkan mendapati dirinya duduk manis di ruangan yang di sebut sebagai kantor. Dia bersama dengan dua orang lainnya di suatu ruangan khusus para ilustrator. Sambutan unik menyapanya. Seorang wanita yang mungkin berusia lebih dari tiga puluh tahu itu menyambut Rere, memberikan bando dengan telinga kelinci, sangat lucu, wanita tersebut bernama Laras. Seorang wanita lagi bertubuh gempal, rambutnya di gelung di belakang. Dia membawakan kue, yang dia kata buatannya sendiri, wanita tersebut bernama Marlin."Selamat datang anak manis, kami yang biasnya menangani dna meneliti naskah komik. Tidak di sangka kami akan kedatangan salah satu komikusnya, cantik lagi," tutur Bu Marlin.Ketiganya bercakap-cakap santai sebelum kembali sibuk ke mejanya sendiri-sendiri. Berkutat dengan
Tatapan mata lelaki itu tidak hentinya mengamati koran lawas yang telah usang. Sudah bertahun-tahun lamanya. Dia beringsut membenarkan duduk yang terasa tidak nyaman. Napas dihela dengan kasar dan berat. Dia meneguk gelas kecil berisi wine di meja kerjanya. Sakit kepala membuat dirinya pening, lelaki tersebut masih melirik sebentar sebelum beralih bangkit dari duduk. Tangannya masih memegang erat gelas wine tersebut. Koran usang itu memberitakan tentang kejadian kecelakaan yang merenggut nyawa sepasang suami istri. Itulah yang menjadi perhatiannya. Ketukan pintu membuat dia menoleh sebentar. Seorang lelaki menyembul masuk ke dalam ruangan. Lelaki paruh baya, dengan set jas warna hitam, dan rambutnya sudah banyak yang beruban. Dia berjalan ke arah meja kerja kemudian meletakkan beberapa dokumen. "Anda masih memikirkan kejadian itu Tuan Zayn?" tanya lelaki itu
Axelle beserta Zeroun tengah berada di ruang kerja Zeroun. Mereka tengah membahas hal penting tentang Zayn dan kemungkinan terburuk, juga mengenai pesta keluarga Marvel untuk menyambut Mirza di keluarga besar Marvel. Pintu di ketuk dari luar, tidak lama kemudian Roland menyembul masuk. Zeroun beserta Axelle menatap keduanya beraamaan. "Tuan," sapa Roland. "Dia sudah datang? Suruh masuk," ucap Zeroun. Roland mengangguk. Dia kembali membuka pintu. Seorang wanita yang Roland temui di lobi kantor tadi dipersilahkan masuk. Zeroun dan Axelle menyambut dengan senyum sumringah, lebih tepatnya terkekeh kecil. "Kalian puas, aku sudah lama tidak berdandan, bagaimana masih Ok?" tanya wanita bertubuh gempal tersebut.