Perempuan yang memiliki manik coklat itu, kembali mengeratkan ikatan pada rambutnya. Sesekali ia menggerakan lehernya ke kanan-kiri untuk sekedar mengurangi rasa pegal. Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam, restoran tempatnya bekerja telah memasuki waktunya tutup.
Setelah kegiatan mengelap mejanya selesai, perempuan itu tersenyum lebar sembari mengelap keringat di keningnya. Ia berbalik dan bersiap menuju dapur, tetapi pintu restoran kembali terbuka dan menampakkan seorang pria dewasa dengan setelan kerjanya yang terlihat mahal. Bella menghela napas pelan, ia berjalan menghampiri pria itu.
“Maaf, Tuan. Restoran akan segera tutup,” ujarnya. Pria itu menoleh, ia terdiam beberapa saat. Bella mengernyit, “Tuan?” kelopak mata pria itu berkedip beberapa kali, dia tersenyum canggung. “Ah, tetapi menurut tulisan di depan, restoran buka sampai pukul sebelas.” Kerutan di kening Bella semakin terlihat, perempuan itu terlihat berpikir keras sebelum embusan napas pelan keluar dari mulutnya. “Sepertinya ini kesalahan kami, tetapi tulisan itu sudah tidak berlaku. Sekarang kami hanya buka sampai pukul sepuluh,” jawab Bella sopan.
"Tidak bisakah saya mendapatkan semangkuk sup? Di luar sedang turun salju dan saya membutuhkan sesuatu untuk menghangatkan tubuh,” ujar pria itu. “Maaf, Tuan. Tetapi semua bahan masakan telah habis, Anda bisa pergi ke restoran yang masih buka.” “Tidak bisakah kau membuatkan apa pun? Aku akan membayarmu lebih,” tawar pria itu. Bella mencoba menekan rasa kesalnya, ia melirik jam tangannya yang telah menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh menit. Pria itu telah menghabiskan waktu sepuluh menit berharganya. Kapan lagi coba ia mendapatkan hari libur di tempat kerjanya yang lain. “Saya tidak punya hak apa pun di restoran ini, tugas saya adalah menjadi pelayan di tempat ini. Tetapi karena waktu bukanya sudah habis, itu artinya semua persediaan bahan makanan juga dihentikan. Apakah Anda mengerti? Atau saya perlu menghubungi bos saya?” Bella mencoba memberikan pengertian. Pria itu menampilkan senyum geli yang membuat Bella semakin tak mengerti dibuatnya. “Boleh, kau bisa menghubunginya sekarang, 'kan?”Dengan wajah masam, Bella mulai mengeluarkan ponsel lamanya dari dalam celemek bunga yang dirinya kenakan. Tangannya baru saja menempelkan ponsel itu ke telinga, sebelum suara lonceng khas terdengar dari arah pintu masuk. Matanya memandang lurus, seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu dengan heran. “Ada apa ini, Bella? Kenapa restoran masih belum tutup?” tanya wanita tersebut.“Madam, pria ini ingin memesan sesuatu, tetapi restoran sudah waktunya tutup bukan? Tapi pria ini terus memaksa,” jawab Bella. Bos restoran yang biasa di panggil Madam Choo itu mengernyit heran, dia menghampiri pria yang di maksud Bella. Seperti binar bintang muncul di bola matanya, ketampanan pria di depannya seolah membuat dia senang. Jangan di tanya, Madam Choo adalah pencinta pria tampan dan kaya. “Wah, kau begitu tampan dan seksi. Siapa namamu?”
Bella menghembuskan napas kasar, ia mengantuk dan ingin segera menempel dengan kasur kecilnya yang sama sekali tidak nyaman. Tapi pria di depannya ini malah merepotkannya, dan kenapa pula bosnya harus muncul. Pria itu tersenyum tipis, “Saya Dave Orlando Lay.” “Dave Orlando Lay?” ulang Madam Choo yang merasa tidak asing dengan nama tersebut. “Jangan bilang kau...!” seruan tertahan keluar dari bibir merahnya. Wajah Madam Choo seolah memancarkan cahaya, jika bisa di imajinasikan mungkin matanya sudah tergambar ribuan dolar. “Astaga.. Bella!” Madam Choo memegang lengan Bella erat, dia terlihat begitu antusias di mata Bella. “Kau.. kau harus membuatkan sesuatu! Makanan yang mewah!” serunya lagi membuat Bella harus menahan suara lengkingan di telinganya."Tapi Madam, bukankah sekarang waktunya restoran tutup?” protes Bella yang mendapat delikan tajam dari mata dengan eyeliner tebal itu. “Kau ini hanya bekerja 8 jam saja. Cepat buatkan sesuatu yang istimewa! Kau pandai memasak, 'kan?” Bella mencoba mengatur napasnya agar tetap tenang, ia tersenyum malas sebelum berbalik dan berlalu menuju dapur. Pekerjaannya menjadi dua kali lipat malam ini, dan lelahnya pun akan semakin bertambah. Jam operasional bus adalah sampai pukul sebelas malam, dan mungkin ia harus rela mengeluarkan uang lebih untuk naik taksi.“Tuan Dave, kau bisa duduk dulu. Tenang saja, percayakan semuanya pada pelayan itu. Meskipun dandanannya tidak meyakinkan, makanannya bisa aku jamin,” ujar Madam Choo sembari menarik lengan kekar pria bernama Dave itu ke kursi.
Dave mengangguk sembari tersenyum tipis, matanya terus memandang ke arah perginya Bella. “Ada apa gerangan orang super sibuk seperti Tuan Dave, pergi ke daerah terpencil seperti ini?” Madam Choo bertanya. “Sebenarnya saya mencari restoran yang masih buka, karena tulisan di pintu restoran buka sampai pukul sebelas. Karena itu saya berada di sini,” jawab Dave.Madam Choo menutup bibir bergincu merahnya dengan telapak tangan, “Astaga! Sepertinya aku harus mengganti jadwal restoran, jika Anda kemari lagi, jangan sungkan untuk langsung masuk ke restoran. Karena pintu akan selalu terbuka untuk Tuan Dave.”
“Ah, ya aku tidak pernah melewatkan satu pun berita tentang Anda. Menurut berita, Anda sedang dekat dengan model cantik itu. Apakah benar?” pertanyaan-pertanyaan itu diajukan oleh Madam Choo. Dia terus bertanya tanpa memperhatikan perubahan ekspresi Dave. “Siapa namanya?” tanya Dave menyela. “Ah, apa?” tanya Madam Choo memastikan. “Siapa nama perempuan tadi?” ulang Dave. “Namanya Bella, tapi untuk apa Tuan Dave ingin mengetahuinya?” Madam Choo bertanya. Tidak ada jawaban dari Dave, pria itu terus memperhatikan area dapur.
Di dapur restoran, tampak Bella yang sedang memberengut sambil terus memotong beberapa sayur untuk supnya. Karena pria itu, dirinya harus tertahan di restoran. Padahal besok pagi, ia harus kembali bekerja. “Semoga saja Madam memberikan bonus untukku,” gumamnya. Kemudian dengan energi yang mulai bertambah, Bella mulai menuangkan sup yang telah jadi ke dalam mangkuk. Ia mengambil dua buah toast dari dalam rak dapur, lalu meletakkannya di piring kecil. Bella keluar dari dapur dengan nampan berisi cream soup buatannya, ia berjalan menuju dua orang yang sudah menatapnya dari kejauhan.Bella baru saja akan beranjak kembali ke dapur begitu makanan yang dibuatnya telah tersaji di meja, tetapi seseorang menahan lengannya, dan ia yakin bukan Madam Choo yang melakukan. Bella menoleh, benar dugaannya jika bukan Madam Choo yang melakukannya.“Kau bisa duduk di sini, 'kan? Kau tidak mau mendengar komentarku?” pertanyaan bernada perintah itu keluar dari mulut Dave. Madam Choo membulatkan matanya dengan ekspresi terkejut, terlebih ketika mengetahui Dave Orlando Lay melakukannya kepada seorang pelayan. Bella mendengus, ia melirik ke arah Madam Choo yang turut menatapnya dengan tatapan yang mengatakan turuti pria itu.
Ia menghela napas lelah sebelum memutuskan untuk duduk di kursi lainnya, Bella tidak ingin berdebat yang akan membuat waktunya semakin berkurang. Dave tersenyum puas, tangannya terangkat untuk mengambil sendok di samping mangkuk berisi sup. Satu suapan berhasil masuk ke dalam perutnya, ia tersentak ketika merasakan sesuatu yang tak asing kala memakan sup tersebut. Perasaan hangat yang telah lama ia rasakan, Madam Choo yang melihat Dave terdiam begitu lama setelah memakan sesuap sup, membuatnya menoleh cepat pada Bella. Wanita 35 tahun itu melotot padanya seolah bertanya tentang rasa masakan, hal yang sama dirasakan Bella. Perempuan itu ikut khawatir mengenai rasa sup buatannya, apa mungkin kekesalannya membuat masakan itu ikut tidak enak. “Tu.. tuan Dave, bagaimana rasa makanannya?” tanya Madam Choo gugup. Dave tersentak, pria itu tersenyum tipis. “Sesuai seleraku,” jawabnya membuat Madam Choo dan Bella menghembuskan napas lega. Dave melanjutkan makannya dengan cepat, ia tidak perlu mengunyah sup yang memang sudah lembut teksturnya.Bella merasakan ponselnya bergetar, ia mengeceknya dan senyum terbit di bibirnya. Sebuah pesan dengan nada khawatir itu membuatnya tidak kuat untuk segera pulang, seseorang sepertinya telah menyambutnya di rumah kecil mereka. Dave menghentikan suapan terakhirnya sambil memandang Bella, perhatiannya terkalihkan oleh senyum dan semangat Bella ketika mendapat pesan di ponsel.Rasa penasaran membuat Dave tak kuat untuk bertanya, “Siapa?” Bella tersentak, perempuan itu kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. “Madam, bolehkah aku pulang sekarang?” tanya Bella tanpa berniat menjawab pertanyaan pria di depannya.
Madam Choo melirik ke arah Dave, ia dapat melihat wajah mengeras pria itu. Ia meringis, sepertinya pria itu tidak suka pertanyaannya diabaikan. Kini matanya beralih menatap Bella, “Kau boleh pulang ketika Tuan Dave selesai dengan makanannya.”“Kenapa kau ingin cepat pulang? Siapa memangnya yang menunggumu? Si berandal itu?” tanya Madam Choo mewakili rasa penasaran Dave. Tampak pria itu menoleh ke arah Bella menanti jawaban perempuan itu, Bella memasang wajah datar. Sepertinya perempuan itu mencoba menahan emosinya, bosnya itu memang memiliki mulut yang pedas.
Bella memasang senyum yang terlihat sekali dipaksakan. “Ah, kurasa itu bukan urusan Anda.” Suasana hening seketika, Dave berdiri kemudian mengeluarkan dompet hitamnya dari dalam saku jas. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang lalu meletakkannya di meja, “Saya permisi. Terima kasih atas makanannya.” Usai mengatakan hal itu, Dave beranjak pergi keluar restoran. Madam Choo memperhatikan hingga pintu kembali tertutup, kini matanya tertuju pada lembaran uang dengan nominal besar yang diberikan Dave. Tangannya begitu cepat mengambil uang tersebut, binar bahagia tampak jelas di kedua bola mata itu.Bella mendengus samar, ia melirik jam tangan usangnya. 10 menit lagi pukul sebelas malam tiba, “Madam. Bolehkah aku pulang sekarang?” Madam Choo mengangguk tanpa meliriknya. Bella menggigit bibir bawahnya, ia teringat sesuatu kala melihat lembaran uang ditangan bosnya. “Eum.. bolehkah aku mendapatkan bonus?” akhirnya Madam Choo menoleh cepat padanya, ia memutar bola matanya. Bella tersenyum ketika Madam Choo mengeluarkan sesuatu dalam sakunya, tetapi senyumnya menghilang saat 2800 won yang baru saja diletakkan di atas meja. Bella tersenyum kaku, ia mengambil uang yang bahkan untuk membeli semangkuk mie pasta kacang hitam saja kurang. "Aku akan memberimu bonus di waktu gajian, kau boleh pergi. Biar aku yang menutup restoran,” ujar Madam Choo. Bella mengangguk, ia berdiri kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil tas serta mantel. Tak berapa lama ia keluar dari dapur dengan mantel cokelat panjang, sebuah Tote bag tersampir di lengan kirinya. Sebelum kakinya melangkah menuju pintu, Bella kembali menoleh ke arah Madam Choo.Wanita itu masih terlihat sibuk menghitung uang, Bella menghembuskan napas kasar. Mungkin ia harus mengeluarkan uang sedikit lebih banyak kali ini, setidaknya ia harus bersyukur untuk uang pemberian bosnya itu.
Udara dingin menyambut Bella kala pintu restoran ia buka, sejauh matanya memandang, hanya hamparan tanah putih yang telah terkena salju yang terlihat. Bella mengeratkan mantel usangnya sebelum melangkah meninggalkan restoran, langkahnya begitu hati-hati karena terhalang oleh licinnya salju. Beruntung baginya karena taksi melintas tepat di depan, dengan senyum lebar Bella memasuki taksi yang telah berhenti untuknya.Setelah memberikan alamat tujuan, taksi pun melaju meninggalkan daerah itu. Perjalanan melelahkan yang menempuh waktu 25 menit akhirnya selesai, taksi berhenti tepat di sebuah gang kecil. Bella turun dari taksi, kemudian berjalan lurus menuju rumah.
Tak jauh dari sana, terlihat sebuah mobil mewah biru kehitaman terparkir usai taksi berhenti. Sepasang mata tampak memperhatikan Bella mulai dari keluar taksi, sampai ia memasuki sebuah rumah kecil. Dave memandang sekitar, gang kecil itu hanya diterangi sebuah lampu yang terlihat akan padam.Meskipun area sekitar itu tampak bersih, tetapi ia tidak yakin gang itu muat untuk mobilnya. Rasa penasaran membuat Dave mengikuti Bella sejak perempuan itu keluar dari restoran, pria itu tersenyum miring. Perlahan mobilnya melaju meninggalkan daerah itu, pandangannya lurus ke depan. Begitu dingin dan tak tersentuh.
“Apa-apaan ini?!” terdengar jelas nada emosi yang pria muda itu keluarkan, tangannya menyentak berkas-berkas berisi laporan karyawan hingga berhamburan di lantai. “Aku memberikan kalian libur, dan ini hasilnya?! Apa waktu seminggu tidak cukup membuat otak kalian berfungsi?!” bentak pria itu kembali. Dua orang karyawan laki-laki dan seorang perempuan yang menjadi sasaran kemurkaan pimpinan mereka, hanya mampu menunduk dengan tubuh bergetar. Dave Orlando Lay, seorang CEO ALF CORP. Sebuah perusahaan yang merupakan produsen otomotif terbesar di Asia, sudah berdiri selama hampir 23 tahun. Dave mengatur napasnya, ia merasa kepalanya akan meledak. “Keluar!” titahnya yang langsung membuat ketiga karyawan itu beranjak dari ruang tersebut dengan cepat. Bertepatan dengan itu, seorang pria memasuki ruangan. Matanya mengikuti ketiga karyawan yang baru saja keluar dari ruangan pimpinan, ia menoleh ke arah Dave yang tengah duduk dengan punggu
Dave tersenyum puas, perdebatan tidak berguna itu dimenangkan oleh dirinya. Kedatangan seorang wanita yang sepertinya adalah pemilik restoran, mampu membuat perempuan bernama Bella itu tak berkutik. Akan tetapi, masalah baru sepertinya datang. Wanita yang mungkin seusia ibunya itu terus mengoceh, wajahnya mengeras ketika wanita itu bertanya hal yang sama seperti ibunya. “Siapa namanya?” tanya Dave menyela, sebenarnya ia sudah tau, ia melakukannya untuk menghentikan mulut berisik itu. “Ah, apa?” tanya wanita itu memastikan. “Siapa nama perempuan tadi?” ulang Dave. “Namanya Bella, tapi untuk apa Tuan Dave ingin mengetahuinya?” Madam Choo bertanya. Tidak ada jawaban dari Dave, pria itu terus memperhatikan area dapur. Beberapa menit kemudian, perempuan yang sedari tadi mendapatkan perhatiannya, keluar dari dapur dengan nampan di kedua tangan. Dave rasa ia harus mengganti panggilan perempuan itu m
Ponsel yang berdering terus menerus membuat Dave terusik dalam tidurnya, hingga mau tidak mau, ia membuka matanya. Dave mengambil ponsel di atas nakas samping tempat tidur, dengan malas ia pun mengangkatnya. “Dave, bagaimana kabarmu?” Suara yang tak asing di telinganya, membuat Dave terduduk seketika. Ia menjauhkan ponselnya untuk melihat siapa si penelepon, unknown number. Seperti dugaannya, Dave kembali menempelkan ponsel tersebut. Namun, ingatan yang melintas di kepalanya membuat dia mematikan sambungan telepon itu. Rahangnya mengeras, matanya terlihat memancarkan aura penuh dendam, jangan lupakan tangannya yang terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dave... Ayo kita pergi ke pantai. Dave, kau mau membelikanku ini? &nb
Theo memandang bangunan sederhana di hadapannya, dari ekspresinya terlihat sekali pria itu tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. “Kenapa di antara restoran mewah, kau mengajakku makan siang di sini? Jika tau seperti ini, aku lebih baik makan dengan layanan apartemen,” keluh Theo.“Kau terlalu banyak mengoceh,” cibir Dave. “Aku sudah memberikanmu tumpangan jadi, turuti saja apa yang kukatakan.” Theo memutar bola matanya malas, “Lalu apa yang tuan Dave ini inginkan?” dari nadanya terdengar jika Theo malas melakukan apa yang Dave inginkan. “Kita akan makan siang di restoran itu, selama di dalam, jangan pernah mengoceh yang aneh-aneh!” papar Dave. Theo mengernyit, tetapi ia memilih diam. Lagi pula di mana pun tempat makannya, paling penting adalah tempat itu bersih dan menyediakan makanan yang layak. Dave membuka pintu restoran, suasana di dalam siang ini lumayan ramai. Dan itu adalah s
Theo keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil mengalung di lehernya, dia melirik ke arah Dave yang terlihat sibuk berkutat dengan laptopnya. Pria itu bergidik saat matanya tanpa sengaja melihat lengan berotot milik Dave yang tengah memakai kaos lengan pendek, Theo kini ingat penyebab rahangnya sakit waktu itu. Bukan karena tamparan pelayan restoran itu, tetapi pukulan mentah dari Dave. Theo meneguk ludahnya kasar, di tengah ambang kesadaran waktu itu, Dave tanpa aba-aba memberinya pukulan. Tubuhnya bergidik, meskipun kejadian sudah berlalu seminggu. Tetapi dia akan mengingat rasa sakitnya, hal itu akan berguna untuk Theo agar lebih hati-hati ketika bersama dengan Dave. Sebenarnya Theo tidak mengerti alasan Dave memukulnya, dari yang dirinya ingat, dia hanya mabuk. Theo memakai kaos lengan pendeknya, lalu melirik ke arah laptop yang menjadi fokus Dave. “Apa kau yakin akan tetap dengan rencanamu? Kau juga tau bukan, seperti
“Kau tidak mau membantunya?” tanya Theo. “Tidak,” balas Dave. Keduanya sama-sama melihat Ed yang tampak kewalahan menghadapi empat orang pria yang tiba-tiba menyerang, Theo meringis mendengar suara pukulan-pukulan itu. Hanya mendengarnya saja, Theo sudah yakin pukulan-pukulan itu sangat keras. Tetapi dirinya dibuat kagum oleh kemampuan bela diri Ed, bahkan untuk orang awam sekalipun pasti dapat menebak jika pria itu sudah terbiasa menghadapi keadaan seperti sekarang. “Sebenarnya kenapa pria itu diserang?” gumam Theo. “Akh!!” sebuah teriakan membuatnya terkejut. Di depan sana, Ed terlihat kesakitan setelah salah satu pria berbadan besar itu berhasil menginjak lengan kanannya. Wajah Ed memang hanya dihiasi beberapa luka, pria itu sepertinya tidak akan kalah jika melawan 1 atau 2 orang. Theo melirik Dave, pria itu tidak menampilkan ekspresi apa pun. Lalu Theo memandang ke sekeliling lewat kaca mobil, “Apa di sekitar sin
Suasana canggung tercipta di dalam rumah sederhana itu, Bella tidak mengerti apa yang terjadi di sini sebenarnya. Ketika mereka tiba di rumahnya, pria yang menolongnya itu tidak pergi dan terus berdiam di depan pintu. Bella terlihat bingung saat itu harus melakukan apa, akhirnya setelah meminta pendapat Ed. Ia menawarkan kedua pria itu masuk, dan tanpa di sangka dengan mudahnya pria yang pergi ke toko bunga pagi tadi itu, begitu saja menyetujui. Dave diam-diam memperhatikan kondisi di dalam rumah kecil itu, tidak banyak perabotan maupun ruang. Ruangan tempatnya berada saat ini hanya diisi oleh karpet dengan sebuah dapur kecil di depannya, matanya memandang dinding bercat putih dengan hiasan foto-foto Bella dan pria itu. Sebuah ruangan dengan pintu tertutup, menarik perhatiannya. Satu tebakan yang membuat dia benci memikirkannya, ruangan tersebut adalah kamar. Tidak masalah jika ada dua ruangan seperti itu di sini, tetapi itu hanya satu yang artinya mereka berbagi kamar.
Udara pagi ini, sama saja dengan hari-hari sebelumnya. Satu hal yang membedakan adalah ketika Theo terbangun dan melihat Dave telah bersiap dengan pakaian yang rapi, pria itu bahkan sesekali memperbaiki penampilan di depan cermin. Hal itu tentu saja mengundang rasa penasarannya, Theo duduk di sofa. “Kau memperhatikan penampilan ternyata,” katanya. Dave melirik tajam ke arahnya, “Apa aku terlihat aneh?” Theo mengernyit, “Kau meminta pendapatku?! Tentu saja penampilanmu tetap keren seperti biasa, dan aku benci mengakuinya.” Dave menoleh sekilas, lalu berjalan menuju lemari tanpa menghiraukan ucapan teman kecilnya. “Kau akan pergi? Ke mana?” tanya Theo. Dave mendengus, “Jangan mengikutiku.” Theo mendengus, “Siapa juga yang mau mengikutimu. Aku hanya ingin mengatakan pulanglah sebelum jam makan siang, ayahmu kemarin menelepon dan meminta kita kembali ke Seoul.” Dave terdiam, dia melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Dave keluar dari apartemen.