Ruangan yang dipenuhi oleh pakaian maupun aksesoris itu biasanya terlihat rapi, tetapi kali ini ruangan itu tampak berantakan dengan gaun-gaun yang tercecer di atas lantai. Bella kembali menghela napas lelah, ia melirik ke arah jam dinding. Sudah lebih dari dua puluh menit, dirinya berkutat di depan lemari besar ini. Alasannya hanya satu, Bella tengah mencari gaun yang sekiranya cocok dikenakan untuk malam ini.
Meskipun tidak mengetahui ada acara apa malam ini, tetapi perintah Dave tidak dapat ia tolak. Akan tetapi, hal yang menjadi permasalahannya sekarang ialah di mana Bella mendapatkan gaun dengan lengan panjang selain gaun yang kini berada di tangannya.
Tanpa perlu bertanya, ia mengerti mengapa Dave memintanya mengenakan gaun lengan panjang. Namun, benda itu tidak kunjung dirinya dapatkan. Bella kembali membentangkan gaun di tangannya, gaun indah dan terlihat indah ini memang memiliki lengan panjang, tetapi sayangnya berpotongan leher rendah. Bella
Suasana pesta yang meriah dan dinikmati oleh para tamu undangan, nyatanya berbanding terbalik dengan dua hati yang tengah diterpa rasa gundah. Suasana di meja itu sungguh mencekam, bahkan terasa mencekik untuk Bella. Perempuan itu tak jua mendongak, terlebih sejak kehadiran dua sosok yang kini duduk di meja yang sama dengannya. Bella masih tidak percaya bahwa sosok yang selama ini dirinya cari, ternyata berada di satu kota yang sama dengannya. Ia tidak berani bersuara, sekalipun perempuan di depannya terus mengaja berbicara. Bella tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk saat ini, ia terlalu syok dan masih mencerna dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Pesta masih terus berlangsung, semua orang menikmati, kecuali dirinya. Bella tidak nyaman dalam situasi seperti ini, rasanya ia ingin berlari dan melupakan semua hal yang terjadi. Bella masih tidak percaya bahwa Ed kini berada di depannya, duduk dengan tenang seraya menikmati anggur. Meskipun m
Dave melangkah dengan santai memasuki rumah pribadinya, ruang tamu tanpa pencahayaan menyambutnya ketika dia tiba di sana. Suasana sepi seolah membuat rumah ini tampak tak berpenghuni, Dave mengernyit. Dia memang memerintahkan dua orang Maid untuk membantu Bella, tetapi mereka akan pulang sebelum pukul tiga sore. Kekhawatiran sontak saja memenuhi hatinya, perempuan itu sendirian di rumah. Beberapa hal bisa saja terjadi, salah satunya adalah melarikan diri. Dave membulatkan matanya, kemudian berlari menuju lantai dua. Bila hal yang dia takutkan ini benar, Dave tidak akan memaafkan dirinya. Kosong dan gelap, dua hal itulah yang menjadi gambaran begitu Dave membuka pintu kamar Bella. Rasa panik perlahan menguasainya, Dave bergegas memasuki kamar. Dia menyalakan sakelar lampu, keadaan kamar masih sama seperti semalam. Bahkan ranjang pun masih terlihat rapi, seolah si empunya tidak menempati benda tersebut. Dave mengambil napas pelan, di situasi seperti ini dia tid
Bella memandang lurus ke depan, tatapan mata kosongnya seolah membuktikan bahwa begitu banyak beban di kepalanya. Sayup-sayup terdengar suara memanggil namanya, matanya kini sedikit lebih fokus ketika seorang pria berjalan cepat menuju mobil yang tengah ditumpanginya. Bella mengernyit, kemudian matanya membulat saat mengetahui siapa gerangan pria itu. Ia menahan napas, kaca mobil diketuk diikuti suara yang memanggil namanya. “Bella, aku tahu kau di dalam! Bolehkah kita bicara sebentar? Kumohon,” suara lirih itu sarat akan putus asa. Bella menurunkan kaca mobil, ia tidak mengerti dengan jalan pikirannya saat ini. Mereka baru saja bertemu semalam, tetapi kali ini Bella merasa pertemuannya begitu membuat hatinya menghangat. Ed tersenyum lega, “Hai? Apa kabar?” sapaan itu sudah sering dirinya dengar, tetapi kali ini terasa menenangkan. “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Bella. Meskipun dalam hati perempuan itu merutuki mulutnya, mengapa di antara banya
Cengkeraman kuat pada sabuk pengaman seolah menjadi satu-satunya cara agar sesuatu yang buruk tidak terjadi, sekalipun Bella tahu harapannya itu tidak akan pernah terjadi. Meskipun ketakutan merasuki, ia tidak dapat menghentikan atau setidaknya meminta Dave menurunkan kecepatan mobil. Pria itu tengah kalap, terlihat dari wajahnya yang memerah.Bahkan di saat emosi mengusai, Dave tetap bisa mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Beberapa kendaraan lain mencoba menghindar agar tidak terjadi kecelakaan, tak jarang ada yang menghentikan kendaraannya ketika mobil Dave melintas dengan cepat.Bella sungguh takut, seperti dalam adegan film laga. Dave mengendarai mobil dengan kegilaan, Bella tidak bisa lagi menahan ketakutannya. Ia harus menghentikan Dave, terlebih ketika seorang pejalan kaki yang hendak menyeberang hampir tertabrak.“Dave, hentikan mobilnya. Sadarlah!” sebisa mungkin dirinya berteriak, meskipun yang keluar hanya seruan yang tercekat. Dave
Arah matanya tak pernah lepas dari pintu masuk kedai, tak berapa lama senyuman manis terbit di bibir merah meronanya. Seorang pria dalam balutan mantel hitam tengah mendekat dengan buket bunga di tangannya, senyumnya terukir indah ketika matanya menangkap sang terkasih. “Maaf, sudah membuatmu menunggu lama,” ujar pria tersebut seraya mendudukkan dirinya di depan perempuan itu. Bella menggeleng, senyum tak jua lepas dari bibirnya. “Tak apa, kau pasti sangat sibuk. Eum.. apa bunga itu untukku?” tanyanya seraya menunjuk buket bunga di tangan pria di depannya.Ed terkekeh geli, kemudian mengangguk. “Untuk perempuan istimewa yang menempati seluruh ruang dihatiku,” sahutnya seraya menyodorkan buket berisi bunga anyelir putih. Bella menerimanya, senyumnya semakin lebar ketika menghirup aroma bunga anyelir yang harum. “Terima kasih, Ed. Padahal kau tidak perlu repot-repot membawakannya untukku, kau datang saja aku sudah sangat bahagia.&
“Bella!” suara tak asing yang memanggil namanya, sontak membuat Bella dan Ed sama-sama menoleh ke asal suara. Mata mereka membulat, kehadiran Dave dan Clara juga sekitar lima orang pria berbadan besar dalam balutan pakaian serba hitam, mengejutkan mereka. Bella terlebih dahulu berdiri, ekspresi wajahnya berubah panik.“Dave?’ gumamnya. Dave melangkah menghampiri, diikuti Clara dan kelima pria itu. “Jadi, ini yang kau lakukan di belakangku saat aku sibuk bekerja? Kau mengkhianatiku?!” sentak Dave. Ekspresi dingin yang kentara di wajah Dave, tanpa sadar membuat tubuh Bella bergetar. Karena dibandingkan dengan ekspresi itu, Bella lebih memilih Dave berekspresi marah.“Ed,” suara lirih itu berasal dari satu-satunya perempuan selain Bella. Clara memandang Ed dan Bella bergantian, tatapan mata yang terluka itu sontak membuat Bella diliputi rasa bersalah. Ia mendekat ke arah Clara, kemudian berdiri di depanny
Pemandangan di sore hari ini tampak indah, pantulan cahaya jingga menerpa kaca besar ruangan yang terlihat gelap itu. Bella memandang lurus pada pemandangan langit sore dari balik kaca kamarnya yang membentang luas, sekalipun pandangan itu tidak benar-benar menikmati apa yang tersaji. Di tengah lamunan, suara gemercik air sesekali terdengar dan memecahkan keheningan ruangan itu.Empat belas hari sudah berlalu semenjak kejadian besar itu, hingga saat ini Bella tidak pernah mengetahui kabar Ed. Apakah pria itu baik-baik saja? Bagaimana kehidupannya sekarang? Pertanyaan yang beberapa hari terakhir mengganggu pikirannya itu terus menghantui, Bella bahkan tidak dapat tidur nyenyak.Tidak ada hal berarti yang dilakukannya, setiap hari ia selalu melamun di kursi yang menghadap ke arah kaca. Sudah dua minggu itu pula, Bella terkurung dalam rumah mewah Dave. Pria itu benar-benar tidak membiarkan dirinya melangkah sejengkal pun keluar dar
Bella tidak dapat memercayai penglihatannya sekarang, matanya tak pernah lepas pada layar laptop di depannya. Sebuah video sedang di putar, terdapat seorang anak laki-laki dengan seorang wanita berpakaian dokter. Wanita tersebut tampak mengajak bicara anak itu, tetapi respons yang diperlihatkan anak laki-laki itu sungguh membuatnya terkejut.Tanpa diberitahu, Bella dapat menebak bahwa anak itu adalah Dave kecil. Video enam menit itu akhirnya berakhir, Bella masih mencoba mencerna apa yang dirinya lihat tadi. Ia melirik ke arah kertas-kertas yang kini berada dalam pangkuannya, Bella telah selesai membaca beserta dokumen-dokumen lain yang kini tercecer di atas lantai.Tangannya terangkat untuk meraih sebuah foto usang dengan bergetar, foto yang memperlihatkan seorang anak laki-laki tengah menatap ke arah kamera dengan tatapan hampa. Tanpa sadar air matanya jatuh, lihatlah tubuh yang tampak seperti hanya tulang berbalut kulit.Bahkan perban yang