Ketegangan Britne dan Geena masih terus berlanjut hingga acara pernikahan sepupu mereka berlangsung. Dia sengaja menghindar dari keramaian dan menatap acara pernikahan tersebut dari kejauhan.
“Pernikahan yang sangat indah,” pujinya sedikit iri.
Berusaha mengurangi kegalauan hati, Britne mengambil minuman yang berada di pojok taman. Saat berbalik langkahnya terhenti melihat sosok pria yang dihindarinya selama ini. Jantungnya seketika berdetak sangat cepat dan tubuhnya gemetar tanpa alasan.
“Al-Alvaro ...” ucapnya gagap.
Mata pria itu menatap tajam tak bersahabat ke arahnya, tatapan lembut yang dulu sering Alvaro berikan, kini lenyap tak berbekas. Britne mendapati pria yang berbeda dari sahabatnya dulu, hal itu membuatnya semakin gugup.
“Kemana saja dirimu selama ini?” tanya Alvaro yang sama sekali tidak ingat hal terakhir yang dia lakukan pada Britne.
“Aku menyingkir untuk menenangkan diri,” jawab Britne.
“Menenangkan diri?” ulang Alvaro dengan seringai sinis. “Aku yang gagal menikah, kenapa kamu yang menenangkan diri? Kemana dirimu saat aku membutuhkan seorang sahabat yang aku percayai selama ini?”
“Apakah kamu tidak ingat apa yang terjadi diantara kita?” selidik Britne.
Alvaro memiringkan kepala mendengar pertanyaan Britne. “Apakah kamu ingin mengingatkanku bagaimana kamu menghilang begitu saja dan tidak bisa dihubungi?”
“A-aku …” gagap Britne tak sanggup menjelaskan apa yang terjadi, dia malah melangkah mundur berusaha menghindari Alvaro.
Dadanya terasa sesak menyadari jika pria itu sama sekali tidak mengingat apa yang terjadi diantara mereka. Mungkin bagi Alvaro, percintaan itu hanya sebuah mimpi.
Britne mengepalkan tangan kuat-kuat menahan luka yang kembali menganga. Dia harus menerima kenyataan jika dalam mimpi pria itu, Geena lah yang Alvaro pikirkan.
Bagaimana dirinya bisa berkata jujur tentang Cedric jika di hati Alvaro hanya ada Geena? Pria itu hanya akan menganggap Cedric sebagai sebuah kesalahan.
“Aku menerima perjodohan kita,” ucap Alvaro yang membuat Britne terperangah.
“Apa maksudmu? Bukankah dari dulu sudah aku katakan, aku tidak ingin menjadi pengganti Geena? Apakah kamu mencintaiku sehingga menerima perjodohan orang tua kita?” geram Britne.
Tubuh Alvaro membeku mendengar kata cinta yang terucap dari bibir Britne, namun dia segera mengendalikan diri dan berusaha bersikap normal.
“Cinta? Itu hanya sebuah kata tanpa arti. Pernikahan kita akan menjadi bisnis saling menguntungkan, aku tahu peternakan papamu sedang mengalami kesulitan mencari bibit kuda yang baik dan hanya peternakanku yang bisa menyuplainya. Sedangkan papaku butuh orang untuk mengembangkan bibit kudanya. Mereka berharap perjodohan kita bisa membuat peternakan membaik, serta menjalin kembali persahabatan mereka yang sempat retak.”
“Jangan bodoh Alvaro! Jika kamu menerima perjodohan ini, kita berdua akan sama-sama terluka. Kamu tidak mencintaiku dan hanya akan melihatku sebagai Geena, itu hanya akan membuat hubungan kita akan semakin rusak.”
“Aku tidak peduli, paling tidak kita berdua bisa berguna untuk keluarga.”
“Lalu siapa yang akan kamu lihat sebagai istrimu, aku atau Geena?” ucap Britne penuh emosi.
“Apakah itu penting? Mau dirimu atau Geena, kalian sama-sama putri Hogan.”
“Pikiranmu sangat picik!” geram Britne.
“Picik …? Berkacalah pada dirimu dan tiliklah hatimu! Maka kamu akan temukan jika kita berdua tidak jauh berbeda.”
Britne menghela nafas panjang menahan rasa marah, wajahnya melembut berusaha membujuk Alvaro agar menolak perjodohan yang baginya sangat tidak masuk akal.
“Marilah kita berteman kembali seperti dulu, pernikahan diantara kita hanya akan membuat hubungan kita rusak.”
“Hubungan kita memang sudah rusak ketika kamu pergi begitu saja dan aku tidak bisa berteman lagi denganmu seperti dulu. Namun hubungan papaku dan papamu bisa diperbaiki dengan pernikahan kita, aku ingin mengembalikan hubungan mereka seperti dulu lagi.”
“Aku tidak yakin dengan alasan yang kamu berikan,” sindir Britne dengan senyum sinis.
“Lalu apa yang kamu pikirkan?” pancing Alvaro.
“Kamu hanya mencari pelampiasan atas obsesimu dan hanya aku yang bisa menjadi tempat pelampiasanmu.”
Wajah Alvaro seketika memerah marah mendengar tuduhan Britne, rahangnya mengeras dengan tatapan elang yang membunuh. Alvaro baru akan membuka mulutnya, hendak menanggapi perkataan Britne, tetapi tertahan ketika terdengar suara memanggil Britne.
“Kemana saja dirimu, Britne? Aku mencarimu kemana-mana, Cedric mencarimu. Dia ingin ...”
Perkataan seketika Geena terhenti saat menyadari jika Britne sedang bersama Alvaro, tubuhnya membeku menatap pria itu.
“Maaf, aku tidak tahu jika kamu sedang bersama Alvaro.”
Alvaro hanya diam menatap wanita yang dicintainya yang kini telah menikah dan mendapatkan kebahagiaan. Britne yang melihat tatapan Alvaro semakin terluka karena dia tahu pria itu tidak pernah melupakan saudara kembarnya.
“Aku akan menemui Cedric,” ujar Britne yang kemudian melangkah pergi meninggalkan Alvaro dan Geena.
“Tunggu! Siapa Cedric?” tanya Alvaro mengabaikan perkataan Geena dan menuntut penjelasan dari Britne.
“Dia pria yang aku cintai saat ini.”
Tatapan dingin Alvaro berubah menegang dengan raut wajah tak terbaca, tetapi terlihat jelas jika pria itu tidak menyukai jawaban Britne.
Setelah Britne pergi, Geena berjalan mendekati Alvaro. “Jangan melampiaskan kesalahanku pada saudaraku! Aku yang pantas kamu benci bukan Britne.”
“Kamu dan Britne telah mempermalukan keluargaku.”
“Aku yang mempermalukanmu dan keluargamu, Britne tidak bersalah dalam hal ini.”
“Apakah kamu sedang melindunginya? Hatimu terlalu baik hingga rela mengorbankan pernikahan kita demi Britne karena kamu tahu perasaan Britne padaku.”
Kening Geena mengerut tajam merespon perkataan Alvaro. “Apakah kamu tidak mengerti juga? Aku membatalkan pernikahan kita bukan karena perasaan Britne kepadamu, tetapi tentang pilihanku sendiri. Aku kabur bukan karena berkorban demi Britne, aku pergi karena aku mencintai pria lain dan dia adalah suamiku sekarang.”
“Jika kamu tidak mengetahui Britne menyimpan perasaan padaku, apakah kamu akan kabur dari pernikahan kita? Keadaan akan berubah jika saja …”
“Cukup Alvaro! Jangan berandai-andai tentang keadaan yang tidak bisa kamu kendalikan. Aku harap kamu tidak menghukum Britne karena kesalahanku. Papa dan mama sangat mempercayaimu, mereka berharap kamu bisa membahagiakan Britne.”
Seringai sinis tergambar di wajah Alvaro, dia kembali mengambil minuman dan menenggaknya. “Kita lihat saja nanti,” ucapnya lalu pergi menjauh dari tempat Geena berdiri.
Geena kemudian menyusul Britne masuk ke rumah dan mendapati orang tuanya sedang berbicara pada saudara kembarnya itu. Dia tidak langsung masuk, tetapi memilih berdiri di ambang pintu menguping pembicaraan mereka.
“Alvaro dan papanya datang ke pesta, ini adalah kesempatan bagimu untuk memperbaiki hubunganmu dengan mereka!” suara Axton terdengar mengintimidasi putrinya.
“Bukan aku yang merusak hubungan keluarga kita dengan keluarga Cooper, untuk apa aku memperbaikinya? Suruh saja Geena yang bertanggung jawab atas perbuatannya,” sanggah Britne menahan rasa marah.
“Alvaro dan Geena tak ada urusan lagi, kamu adalah teman Alvaro dan hanya kamu yang mengerti karakternya.”
“Aku sudah bertemu dan bicara dengan Alvaro, dia bukan pria yang aku kenal dulu. Sikapnya dingin dan perkataannya sinis, kini aku sama sekali tak mengenalnya.”
Terlihat keterkejutan di wajah Axton mengetahui jika putrinya sudah bertemu dengan Alvaro. “Papa yakin masih ada kelembutan dan kebaikan dalam diri Alvaro. Dia adalah pria yang paling sopan yang pernah papa kenal dan selama ini hanya dia yang bisa menjagamu.”
“Sudah terlambat papa menyadari hal itu, jika papa menyadarinya dari dulu, papa tidak akan menjodohkan Geena dengan Alvaro. Papa sudah menghancurkan semuanya.”
“Karena itu papa menyesal dan ingin memperbaikinya. Papa ingin kamu dan Alvaro …”
“Aku tidak suka papa terus mendesakku, sudah aku bilang keadaannya sudah berubah. Jika papa terus bersikap seperti ini, aku akan pergi membawa Cedric dan tidak akan pernah kembali lagi,” ancam Britne sebagai langkah terakhir.
“Kamu tidak bisa terus hidup seperti ini karena itu hanya akan menyiksa dirimu sendiri. Bagaimana jika kita membuat kesepakatan?” Axton memberi penawaran yang membuat Britne memiliki sedikit peluang untuk mendapatkan kebebasannya.
“Kesepakatan apa yang papa inginkan?” tanya Britne tertarik.
“Papa memberimu waktu satu minggu untuk kamu mencoba berkencan dengan seorang pria. Jika kamu bisa melakukannya dan punya niat untuk membangun hubungan, maka papa tidak akan memaksamu lagi untuk menikah dengan Alvaro,” terang Axton.
“Satu minggu? Itu terlalu cepat,” protes Britne tidak terima.
“Papa sudah memberimu waktu tiga tahun tetapi kamu tidak memanfaatkan dengan baik. Mau satu minggu, satu bulan, satu tahun atau bahkan 10 tahun jika kamu tidak memiliki niat untuk membangun hubungan dengan seorang pria, hasilnya akan tetap sama saja.”
Britne tampak menimbang-nimbang tawaran papanya. Lebih baik dia menjalin hubungan dengan pria yang tidak dikenal dibanding menjalin hubungan dengan pria yang mencintai wanita lain dan parahnya lagi wanita itu memiliki wajah yang sama persis dengan wajahnya.
“Baiklah, aku akan memanfaatkan satu minggu yang papa berikan dengan baik. Jika aku menemukan pria yang tepat, aku harap papa menepati janji untuk tidak mengusik kehidupanku lagi,” ujar Britne yang kemudian menjauh pergi keluar dari ruangan.
Langkahnya terhenti ketika dia mendapati saudara kembarnya berdiri di ambang pintu. “Apakah kamu menguping pembicaraan kami?” geram Britne.
“Aku tidak sengaja mendengarnya,” balas Geena jujur.
“Apakah kamu senang mendengar pertengkaranku dengan papa?”
“Tentu saja tidak, semua ini adalah salahku dan aku menyadarinya. Jadi, jangan hancurkan dirimu hanya karena ego! Jangan sampai kejadian Cedric terulang kembali!”
“Tahu apa kamu tentang Cedric? tidak ada seorang pun yang tahu tentang masa lalu dan perjuanganku dengan putraku. Asal kamu tahu, aku tidak pernah menyesal telah melahirkan Cedric di dunia ini. Papanya bukan orang brengsek seperti yang kalian pikirkan, jadi jangan pernah menyinggungnya.”
“Bukan itu maksudku,” sanggah Geena.
“Menjauhlah dariku Geena! Lebih baik aku menikah dengan orang asing daripada menikah dengan pria yang mencintaimu.” geram Britne yang kemudian melangkah pergi.
“Aku harus mengangkatnya, itu nomor pribadiku bukan ponsel bisnis jadi pasti keluargaku yang menelepon,” ujar Anya hendak menjauh dari pangkuan Trevor tapi pria itu menahannya.“Duduklah dengan tenang dan habiskan makananmu, aku akan mengambilkan ponselmu,” ujar Trevor mendudukkan Anya ke kursi lalu melesat pergi ke kamar untuk mengambil ponsel.Tak lama setelahnya, Trevor keluar dan berkata, “Papamu menelepon, sudah saatnya kita berperang.”“Siap berperang bersamaku?” ujar Anya dengan senyum tanpa rasa takut.“Bersamamu, aku siap menghadapi apa pun,” tegas Trevor.Setelah menerima telepon dari Richard dan melakukan perjalanan jauh, Anya dan Trevor saat ini berdiri di depan kediaman Jackson. Richard menyuruhnya pulang dan Anya mengajak Trevor untuk memberitahu keputusan yang telah mereka ambil.Anya menatap wajah Trevor, meski terlihat tenang tapi dia tahu ada ketegangan dalam diri pria itu. Untuk membuat kekasihnya tenang, dia menggenggam tangan Trevor.“Sebaiknya kita masuk sekarang
Keadaan Trevor semakin membaik setelah Anya merawatnya. Wanita itu memberi kekuatan sehingga dia punya semangat dan pengharapan baru. Dia selalu bangun lebih pagi untuk menatap kekasihnya yang masih tertidur, rasanya tak percaya jika Anya ada bersamanya dan akan selalu menemani paginya. Seperti pagi ini di mana matanya tak berkedip menatap kecantikan Anya. Wanita itu menarik dan menenggelamkannya dalam pesona. Dalam kekaguman yang dia rasakan, tanpa sadar Trevor mendekatkan bibir lalu mengecup bibir manis sang pemilik membuat Anya bergerak dalam tidur dan membuka mata. Anya terkejut mendapati sepasang mata bening sedang menatapnya dengan jarak sangat dekat. Di tengah nyawanya yang belum terkumpul, jantungnya berdetak tidak karuan. “Trevor …” ucapnya parau yang terdengar seperti desahan. Tangan Trevor mengusap pipi dan rahangnya, lalu menelusuri bibirnya. “Semenjak aku bangun dari tidur panjangku dan menemukanmu kembali, aku selalu memikirkan hal ini. Awalnya aku ragu karena ma
“Berhentilah tenggelam dalam pekerjaanmu!” tegur Arlo khawatir dengan keadaan Anya.Semenjak berpisah dengan Trevor, adiknya itu menghabiskan waktu untuk bekerja. Bahkan ini sudah larut malam dan Anya masih berada di kantor. Arlo sengaja menemuinya untuk menegurnya.“Tidak ada yang salah dengan yang kulakukan, paling tidak aku tetap hidup dengan baik bukan?” jawab Anya.“Hidup dengan baik? Jangan membuatku tertawa dengan candaanmu yang tidak lucu. Aku tahu kamu hanya tidur 3 jam setiap hari, makan tidak teratur, kurus kering dan lihatlah kantung matamu yang sudah seperti mata panda. Apa yang sebenarnya kamu kejar? Uang? Kedudukan? Kekuasaan? Bahkan kamu sudah memiliki semuanya itu.”Anya mengalihkan perhatian dari laptopnya, lalu menatap mata kakaknya. “Aku butuh tujuan untuk tetap bisa hidup, aku butuh tubuh yang lelah untuk bisa tidur, aku butuh ambisi untuk tetap bisa bertahan dan semua itu aku dapatkan dengan bekerja.”“Apakah kamu belum melupakan Trevor?” singgung Arlo membuat ek
“Jackson telah menghancurkan perusahaanmu. Mereka tidak menyeretmu ke penjara karena menganggap aset perusahaanmu yang telah mereka ambil sudah bisa menutup kerugian yang kamu sebabkan dari pembobolan server yang kamu lakukan. Namun hal itu juga membuatmu tidak bisa menyeret Arlo Jackson ke penjara setelah memukulimu hingga kamu hampir mati,” terang Adam.“Aku tidak peduli dengan hal itu. Bahkan aku menyesal kenapa Arlo tidak membunuhku,” balas Trevor.“Lalu bagaimana denganku? Aku menjadi pengangguran saat ini,” protes Adam.“Maafkan aku karena telah merusak masa depan dan impianmu. Aku masih memiliki sedikit properti, aku akan memberikannya padamu dan mengurus pemindahan nama atas namamu setelah keluar dari rumah sakit,” ujar Trevor merasa bersalah pada temannya itu. Urusan pribadi dan keluarganya membuat karir Adam hancur.“Aku tidak butuh propertimu, kamu lebih membutuhkannya setelah perusahaanmu hancur,” balas Adam.“Lalu bagaimana denganmu? Aku tidak mungkin membuatmu kelaparan.
Mata mereka saling menatap ketika Anya bergerak di atas pangkuan Trevor. Di saat itulah jantung keduanya berdetak seirama, membuat sadar jika mereka tidak bisa saling menjauh. “Aku mencintaimu,” ucap Anya tak melepaskan tatapannya. Perasaan Trevor membuncah senang setelah tahu cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, membuat percintaan mereka semakin panas dan menuntut. Dia mengumpat lalu mendorong dan menindih Anya. “Aku akan membuatmu melayang,” ujarnya hingga membuat Anya berteriak menerima hujaman pria itu. Bukan karena rasa sakit, tapi Trevor membawanya tenggelam dalam sensasi yang belum pernah dia rasakan seumur hidup. Tubuhnya gemetar dan dengan suara parau dia berkata, “Aku menginginkanmu sekarang.” Tahu apa yang Anya inginkan, Trevor menggenggam tangan wanita itu lalu mengajaknya bergerak untuk meraih puncak. Teriakan keras dan erangan berat suara bariton menandai jika keduanya mencapai puncak. Trevor meledakkan dirinya dan melebur menjadi satu bersama Anya, hingga tubuh
Anya terkejut ketika Trevor masuk ke ruang kerjanya keesokan hari. Dia menatap wajah pria itu yang terlihat lelah dengan kantung mata gelap, seakan memberitahu jika pria itu tidak cukup tidur. “Ada apa lagi?” geram Anya mengingat pertengkaran mereka. “Maaf atas sikapku, aku terbawa emosi hingga menyinggungmu,” ujar Trevor tulus. “Baguslah jika kamu sadar,” balas Anya terlihat tak peduli. Trevor berjalan mendekati Anya membuat wanita itu bersikap waspada. Dia membungkuk lalu mengusap pipi wanita itu membuat keduanya sama-sama menegang. Sentuhan sekecil apa pun sangat berpengaruh bagi keduanya. “Apa yang kamu inginkan?” tanya Anya sambil menghindar tapi Trevor menahannya. “Aku sadar rasa cintaku padamu lebih besar dari apa pun. Aku rela kehilangan segalanya demi dirimu, aku ingin kita kembali lagi seperti dulu. Aku tidak akan menyinggung lagi tentang Arlo, aku yakin kamu punya alasan hingga harus bekerja dengan pria itu,” ungkap Trevor. Mata Anya bergerak mencari kebohonga