Malam hari, Britne tidur dengan gelisah. Mimpi yang selama ini mengganggu tidurnya, datang kembali. Dia meringis menahan rasa sakit di pangkal paha, rasa nyeri itu masih teringat jelas di alam bawah sadar.
“Geena, aku mencintaimu,” racau Alvaro sesaat setelah pria itu meledakkan benih di dalam rahimnya.
Telinga Britne berdenging sakit ketika mendengar hal tersebut, dia langsung terbangun dengan nafas terengah, keringat dingin membasahi tubuh, air mata menetes karena rasa sakit yang mencengkram hati, jantungnya berdetak kencang karena kemarahan yang meliputi.
Malam itu, tiga tahun yang lalu dia melakukan kesalahan besar, hal tersebut membuatnya trauma untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Alvaro berhasil meruntuhkan kepercayaan dirinya dengan menyebut nama Geena di dalam percintaan mereka.
Lebih menyedihkan lagi, pria itu tidak pernah ingat tentang malam yang mereka lewati bersama karena melakukannya dalam keadaan mabuk. Sampai detik ini, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu tentang apa yang terjadi malam itu.
Anggota keluarganya mengira jika selama kabur dirinya terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik dan membuat kesimpulan sepihak jika pria yang menghamilinya adalah pria brengsek yang mencampakkannya dan tidak mau bertanggung jawab.
Mereka tidak tahu jika pria itu adalah pria yang selama ini mereka anggap baik dan terhormat, pria yang mereka jodohkan dengannya saat ini.
Britne menghela nafas panjang mengingat kesalahpahaman tersebut, tetapi tak ada sedikit pun niatan dalam dirinya untuk meluruskan hal itu. Jangan sampai keluarganya memiliki satu lagi alasan kuat agar dirinya menikah dengan Alvaro.
Mimpinya bersama Alvaro membuat rasa kantuknya menghilang. Dia kemudian turun dari ranjang dan pergi ke kamar putranya. Sesampainya di sana, terlihat Cedric tidur sangat nyenyak, matanya tertutup rapat dengan nafas teratur sangat tenang.
Perlahan, Britne mendekatinya dan menatap wajah putranya. Dia bersyukur tidak ada yang menyadari jika wajah Cedric mirip dengan Alvaro. Entah sampai kapan dia bisa menyimpan rahasia besar ini karena saat dewasa nanti, dia yakin kemiripan Cedric dengan Alvaro tidak akan bisa ditutupi lagi.
“Maafkan mama, Sayang. Mama tidak bisa menikah dengan papamu, rasa sakit itu membekas jelas dalam diri mama. Mama akan mencarikanmu papa yang bisa menyayangimu dengan tulus,” ucap Britne lirih sambil mengusap pipi gembil putranya.
Keesokan harinya, Britne pergi makan malam dengan pria yang dia kenal dari aplikasi kencan buta. Awalnya dia berangkat tanpa rasa ragu karena yakin dengan pria pilihannya, tetapi kini dia duduk tidak nyaman di hadapan pria itu karena pria itu terus menatapnya dengan tidak sopan.
Britne sebenarnya terpaksa ikut kencan buta karena dia tidak menemukan seorang pria pun yang bisa diajak untuk berkencan, padahal waktu yang diberikan papanya untuk membangun hubungan dengan seorang pria sudah hampir habis.
Dia sudah menghubungi beberapa teman, namun kebanyakan dari mereka sudah menikah. Demi menolak perjodohannya dengan Alvaro, dia terpaksa masuk ke aplikasi kencan buta dan menemukan pria yang terlihat baik untuk diajak berkencan.
“Aku sudah kenyang,” ujar Britne meletakkan alat makan. Dia merasa semakin tidak nyaman dan ingin segera menyudahi makan malam mereka, sedikit menyesal dengan kencan buta yang dia lakukan.
“Apakah kamu ingin makanan penutup?” tanya pria yang Britne kenal bernama Boby.
“Tidak, terima kasih. Aku ingin pulang sekarang,” tolak Britne membuat senyuman Boby pudar.
“Ini masih terlalu pagi untuk mengakhiri kencan kita, bahkan aku belum mengenalmu,” Boby berusaha menahan kepergian Britne.
“Aku merasa tidak enak badan dan butuh istirahat. Maafkan aku,” Britne membuat alasan.
“Baiklah kalau begitu, aku akan mengantarmu pulang,” desak Boby yang membuat Britne tidak bisa menolak. Tanpa curiga, dia pun masuk ke mobil Boby dan bersedia untuk diantar pulang.
Dalam perjalanan, kepala Britne berdenyut dan pusing. Untuk menahan denyut sakit tersebut, dia menyandarkan kepala di kaca mobil dan menahannya dengan tangan.
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Boby dengan seringai tersembunyi.
“Bisakah kamu mempercepat mobilnya? Kepalaku terasa sangat sakit,” pinta Britne.
“Aku akan mengantarmu ke rumah sakit untuk memastikan kamu baik-baik saja.”
Tadinya Britne ingin menolak, tetapi dia sadar dia butuh dokter untuk memastikan keadaannya, sehingga dia mengangguk mengiyakan ajakan Boby.
Sambil menunggu sampai rumah sakit, Britne memejamkan mata berharap denyut di kepalanya berkurang. Saat mobil yang dia naiki berhenti, dia membuka mata tetapi pandangannya kabur sehingga tidak bisa melihat dengan jelas kemana Boby membawanya.
Pria itu membantunya turun dari mobil karena hanya untuk berdiri tegak saja dia tidak mampu.
“Aku rasa ini bukan rumah sakit,” ujar Britne curiga karena tidak ada aroma obat atau bangsal pasien yang dia lihat di tengah pandangannya yang kabur.
“Percayalah padaku! Kamu harus segera ditangani. Sepertinya sakitmu serius,” balas Boby yang kemudian membawanya masuk ke lift.
“Sebaiknya aku pulang saja.”
Britne mendorong tubuh Boby karena merasa ada yang tidak beres, tetap Boby segera merangkulnya kembali.
“Kamu akan segera bertemu dengan dokter yang akan memeriksamu. Tenanglah!” Boby mengeratkan tangannya sehingga Britne tak mampu melepaskankan diri.
Britne berusaha menenangkan diri dan menjernihkan pikiran. Dia memejamkan mata selama lift membawanya naik ke lantai teratas. Dirinya terkejut ketika Boby membawanya berjalan di sebuah lorong, terdapat pintu yang berjajar seragam di kanan kirinya. Pintu itu memiliki nomor yang tertempel di bagian depan.
Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Britne mendorong Boby agar menjauh dari dirinya. “Ini bukan rumah sakit, tetapi sebuah hotel. Kenapa kamu membawaku ke sini?” protesnya.
“Ayolah Sayang, jangan munafik! Bukankah tujuan kita berkencan adalah menghabiskan malam bersama,” ucap Boby dengan senyum menjijikkan.
“Dasar pria brengsek! Aku tidak sudi menghabiskan malam denganmu,” umpat Britne lalu membalikkan tubuhnya menjauh dari Boby.
Langkahnya tertahan ketika Boby mencengkramnya lalu menarikkan paksa. “Mau kemana kamu? Kamu tidak akan bisa pergi kemana-mana. Obat yang aku campurkan ke minumanmu, akan membuatmu tidak berdaya dan yang akan kamu ingat adalah bagaimana aku memberimu kenikmatan.”
Mata Britne menyipit tajam penuh rasa jijik. “Jadi rasa sakit di kepalaku karena perbuatanmu? Aku akan menuntut dan menyeretmu ke penjara karena telah menipu dan menjebakku,” ancam Britne.
Bukannya takut, Boby malah tertawa keras. “Dengan apa kamu akan menuntutku? Aku akan memperlakukanmu dengan lembut dan tidak akan ada kekerasan. Aku yakin kamu akan menikmatinya dan tidak ada hal yang bisa kamu ceritakan ke pihak berwenang jika kita melakukannya karena sama-sama suka.”
“Aku tidak menyukaimu, aku tidak sudi bersamamu, dasar pria brengsek!” teriak Britne yang membuat telinganya sendiri berdengung dan pandangannya semakin kabur.
“Stttt … teriakanmu akan membangunkan tamu-tamu disini. Semakin besar kamu menghabiskan energi, tubuhmu akan semakin lemah. Jadi patuhlah padaku dan semua akan baik-baik saja.”
Setelah mengatakan hal tersebut, Boby kembali menarik tubuh Britne dan Britne hanya bisa menangis karena tubuhnya tak mampu lagi memberontak. Bayangan dirinya dilecehkan oleh pria asing, membuat tubuhnya gemetar hebat.
Di tengah kekalutannya, dia berdoa di dalam hati, “Tuhan, kirimkan seseorang untuk menolongku lepas dari pria brengsek ini.”
Saat Boby menyeretnya menuju sebuah kamar, langkahnya tertahan karena seseorang menghalangi jalan mereka. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tenang dan berpikir jika orang itu adalah orang yang Tuhan kirimkan untuk menolongnya.
Britne menyipitkan mata berusaha mengenali wajah orang itu, tetapi pandangannya malah semakin tidak jelas. Yang terucap dari bibirnya hanya suara lirih, “Tolong aku!”
Tubuh Britne kemudian ambruk, kesadarannya hilang dan dia tidak ingat apa-apa lagi.
Keesokan paginya, Britne membuka mata dan mendapati dirinya berada di atas sebuah ranjang besar. Matanya bergerak mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar, berusaha mengenali dimana dirinya berada.
Dirinya tersentak mengingat apa yang terjadi tadi malam, pria yang dikencaninya menjebak dengan memberikan minuman yang membuatnya tidak sadarkan diri.
Untuk memastikan apa yang terjadi, dia mengintip pakaian yang dikenakan di balik selimut dan ternyata sudah berganti dengan kemeja putih besar milik seorang pria. Dia juga menyadari jika dirinya saat ini berada di kamar hotel, itu berarti pria itu telah berhasil melecehkannya.
Matanya seketika berkaca-kaca menyadari hal tersebut, mungkinkah dirinya telah tidur dengan pria asing yang membawanya?
Tubuhnya gemetar mendengar bunyi gemericik air di dalam kamar mandi, membuat dirinya semakin yakin jika pria itu telah berhasil melecehkannya.
Britne menyingkap selimut berniat kabur sebelum pria itu keluar dari kamar mandi. Hatinya teremas sakit karena sadar tidak bisa menjaga diri, kini hanya penyesalan yang dirasakannya.
Baru saja kaki Britne menyentuh lantai kamar, terdengar pintu kamar mandi terbuka. Dia menegakkan wajah bersikap waspada, tangannya mencengkram kemeja kebesaran yang dikenakan berharap hal itu bisa melindungi dirinya.
Namun keterkejutan menghentakkan dirinya, wajahnya memucat melihat pria yang keluar dari kamar mandi bukanlah pria yang dikencaninya semalam melainkan …
“Alvaro …?” gumamnya lirih dengan suara tercekik.
“Kenapa kamu seperti ini?” tanya Anya sambil mengepalkan tangan berusaha untuk tidak memeluk Trevor karena tahu dirinya akan hilang kendali jika menyentuh pria itu.“Aku mencintaimu,” jawab Trevor membuat tubuh Anya membeku untuk sesaat.“Benarkah kamu mencintaiku?” Anya memastikan apa yang dia dengar.“Betapa bodoh diriku yang tidak menyadari betapa aku sangat mencintaimu, rasanya mau gila saat kamu menghilang dengan tiba-tiba, api cemburu membakar ku saat melihatmu bersama Arlo,” terang Trevor.“Apakah kamu masih berpikir aku memiliki hubungan dengan Arlo?” selidik Anya.“Aku tidak peduli lagi dengan hal itu, aku hanya peduli masa depan kita,” ujar Trevor.“Jika begitu, tinggalkan Remy! Berhentilah bekerja sama dengan wanita itu.” Anya memberi syarat.Trevor kemudian memberi jarak pada keberadaan mereka dan menatap Anya serius. “Akan ada waktunya aku meninggalkan Remy, tetapi tidak sekarang karena ada hal yang belum aku selesaikan.”“Apakah tentang kehamilannya?” selidik Anya dengan
Remy tidak langsung menyerah dalam usahanya mengejar Trevor, keesokan harinya dia datang ke kantor pria itu.“Tuan Smith sedang sibuk,” cegat Adam saat melihat kedatangan Remy.“Aku tahu dia tidak sedang sibuk, dari kemarin Trevor sengaja mengabaikanku,” geram Remy sambil mendorong Adam agar menyingkir dari jalannya.“Dia tidak ingin diganggu.” Adam masih berusaha menghalangi Remy.“Menyingkirlah dari jalanku atau aku akan membuat kekacauan di sini,” ancam Remy.Adam memutar bola matanya kesal, lalu bergeser menyingkir dari jalan wanita itu. Tidak ingin kedamaian tempat kerjanya ternoda, dia terpaksa membiarkan Remy masuk menemui atasannya.Trevor sedang sibuk di depan laptop ketika pintu ruangan terbuka keras. Dia mengangkat wajah dan menatap ke arah pintu untuk mengetahui siapa yang mengganggu ketenangannya. Kekesalan menyelimuti hati melihat Remy berjalan mendekat ke arahnya.Segera dia menutup laptop lalu melipat tangan ke atasnya, siap menghadapi wanita menyebalkan tersebut. “Ada
“Ada apa dengan tanganmu? Apakah kamu terluka?” Adam menyipit penuh curiga menatap lengan Trevor yang terbungkus perban.“Hanya tergores,” kilah Trevor tidak mengatakan dengan jujur apa yang terjadi.Dia tahu semenjak Anya meninggalkannya, hubungan Adam dan wanita itu tidak baik. Jika sekarang Adam tahu dirinya terluka karena menolong Anya, temannya itu akan semakin membenci Anya.“Itu bukan goresan biasa, bagaimana kamu bisa mendapatkannya?” Adam belum puas dengan jawaban Trevor.“Lukaku tidak penting, aku lebih penasaran dengan alasanmu repot-repot ke sini tanpa aku menyuruhmu? Bukankah kamu bisa meneleponku jika sekedar mengingatkan agendaku hari ini?” Trevor berusaha mengalihkan perhatian Adam dari lukanya.“Caden menghubungimu, dia ingin kembali bertemu denganmu,” ujar Adam yang membuat tubuh Trevor seketika menegang.“Aku akan menemuinya,” balas Trevor dengan nada dingin.Adam menyipit tidak suka, lalu berjalan mendekati atasannya tersebut. “Ini terakhir kali aku memperingatkanm
“Auuuw …” rintih Trevor saat Anya mengobati lukanya.Anya melirik selintas menatap wajah pria itu lalu kembali berkonsentrasi dengan luka yang sedang dia obati.“Katanya tergores sedikit, kenapa sekarang jadi manja dan meringis kesakitan,” gumam Anya seolah sedang bicara pada dirinya sendiri.Trevor tersenyum masam menanggapi sindiran Anya. “Jika kamu bersikap sedikit lebih lembut, aku tidak akan merasa kesakitan.”Bukannya bersikap lembut, Anya malah sengaja menekan luka Trevor hingga pria itu berteriak kesakitan, menarik tangannya lalu menghindari Anya.“Ini sangat menyakitkan, aku tahu kamu sengaja melakukannya,” gerutunya tanpa rasa marah.Anya kembali menarik tangan pria itu lalu kini benar-benar mengobatinya dengan hati-hati. “Ini bukan luka ringan dengan sedikit goresan seperti yang kamu katakan. Lukamu cukup parah dan terus mengeluarkan darah, besok kamu harus periksa ke rumah sakit.”Trevor terdiam sambil memperhatikan Anya yang sedang mengobati lukanya. Sebenarnya dokter sud
“Sudah cukup, aku tidak mampu memakan semua ini,” kata Anya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil mengusap perutnya yang kekenyangan, mengabaikan sopan santun di hadapan Trevor.“Kamu harus makan banyak, aku melihatmu terlihat sangat kurus dan kantung matamu tidak bisa kamu sembunyikan dari make up tebal,” ujar Trevor seakan tahu kondisi Anya.Anya kembali menegakkan tubuh dan mengusap wajahnya. “Sekarang kita bisa membahas pekerjaan,” ujarnya lalu mengeluarkan dokumen untuk menghindari Trevor banyak bicara.“Kenapa buru-buru, aku masih ingin bersamamu.”“Cukup, Trevor! Bersikaplah profesional. Kita di sini untuk urusan pekerjaan dan aku tidak ingin terlibat denganmu lebih dari ini.” Anya menekankan hubungan mereka saat ini.Dengan buru-buru Anya membuka dokumen yang dibawa lalu membacakan pasal-pasal yang mereka sepakati. Trevor yang muak dengan sikap Anya, merebut dokumen tersebut lalu menutupnya.“Aku ingin bicara denganmu soal Remy,” terang Trevor.“Aku tidak ada urusan den
“Apa yang kamu dapatkan dari penyelidikan Remy?” tanya Trevor pada Adam.“Ada berita bagus yang bisa membuatmu keluar dari jerat wanita itu?” jawab Adam sambil menyerahkan hasil penemuannya pada Trevor.Trevor menaikkan satu alis dengan senyum sinis terkembang di ujung bibir membaca dokumen yang Adam berikan padanya.“Jadi wanita itu tidak hamil? Selama ini dia sedang bermain-main denganku dan berbohong padaku?” ujar Trevor.“Dia tidak mungkin hamil darimu karena kamu tidak bercinta dengannya,” kata Adam.“Jadi kamu percaya padaku sekarang?” Trevor menyombongkan diri menyindir ketidakpercayaan Adam padanya.“Aku tidak sepenuhnya percaya dengan perkataanmu, aku hanya percaya pada data yang aku dapatkan.” Adam langsung mematahkan kesombongan Trevor.“Data apa yang kamu dapatkan?”“Apakah kamu ingat saat kamu melakukan tes darah saat itu?” Adam mengingatkan.“Ah … ya … sehari setelah aku mabuk aku merasa tidak enak badan sehingga aku memutuskan ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatan