Nagising si Amber na hubad at walang maalala sa isang prestihiyosong hotel sa Milchester. Pero isa lang ang alam niya, hindi simpleng tao ang nakasiping niya kagabi. Si West Lancaster o King of Hell, kung siya'y tawagin ng kanyang mga trabaho. Ito ay dahil wala ito ni isang kaso na hindi naipanalo. At kung sino man ang nakakaharap nito sa korte ay siguradong magdudusa pagkatapos. Wala itong kinatatakutan. At ngayon ay nagising itong may iilang piraso ng isang libo pagkatapos ng mainit nilang pinagsaluhan. Ano nga ba ang naghihintay kay Amber matapos niyang tratuhin bilang isang bayaran ang batikan at kilala sa kanyang ginagawa? Mauuwi ba ang isa sa hindi inaasahang kasunduan na maglalapit sa kanila o sa walang katapusang bangayan na sisira sa kanilang dalawa?
View More“Kenapa belum dipasang juga balon di sisi kanan? Cepat sedikit, nanti tamu-tamu datang ruangan ini belum siap!” Suara tajam Sulastri kepada seorang pelayan, memecah kesunyian.
Maya hanya bisa menghela napas pelan sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Setelah memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, Maya mendekati Sulastri dengan senyum kecil yang berusaha dia pasang meski lelah. “Ibu, Vina tidak datang membantu hari ini? Kan biasanya dia selalu ikut kalau ada acara keluarga besar seperti ini,” tanya Maya, menyebut nama adik iparnya dengan nada setenang mungkin. Sulastri menoleh dengan ekspresi sedikit terganggu. “Vina sedang hamil. Kasihan, jangan terlalu dibebani dengan hal-hal seperti ini. Ibu sudah bilang dia harus banyak istirahat,” Maya merasa ada sengatan kecil di dadanya, tapi dia menutupinya dengan senyum. “Lihat Vina. Baru satu tahun menikah, sudah mau punya anak. Kamu bagaimana, Maya? Lima tahun menikah dengan Bima, kapan mau ngasih cucu buat keluarga ini?” Sulastri melanjutkan dengan suara lebih keras, seakan sengaja ingin menekankan setiap kata. Pertanyaan itu seperti panah tajam yang menancap di hati Maya. Dia tetap berusaha mempertahankan wajah tenang, meskipun matanya mulai terasa panas. “Ibu, saya dan Bima sudah mencoba ... mungkin belum waktunya,” jawab Maya dengan suara pelan. Berusaha sekuat tenaga menahan getaran dalam nada suaranya. Sulastri mendengus, seolah jawaban Maya sama sekali tidak memuaskannya. “Belum waktunya?” ulang Sulastri, memekik. “Jangan-jangan kamu memang terlalu sibuk bekerja sampai lupa kodratmu sebagai istri? Percuma kamu kelihatan sibuk di acara seperti ini, kalau hal yang paling penting untuk keluarga saja kamu tidak bisa penuhi!” Maya ingin menjelaskan, ingin membela diri. Tetapi dia tahu bahwa apa pun yang dia katakan tidak akan mengubah apa pun di mata Sulastri. Sejenak, Maya memandang ke arah ruangan yang dia tata dengan susah payah. Setiap detail kecil adalah hasil kerja kerasnya, tetapi tetap saja. Itu tidak pernah cukup. Bukan hanya untuk Sulastri, tapi juga untuk seluruh keluarga Santoso. Di balik semua senyum dan keramahan yang mereka tunjukkan, mereka hanya melihat Maya sebagai kegagalan—seorang istri yang belum mampu memberi mereka pewaris. Setelah Sulastri pergi, Maya berdiri mematung di tengah ruangan. Tangan gemetar memegang daftar tugas yang tadi dia gunakan sebagai panduan. Perasaan kecewa, marah, dan sedih bercampur menjadi satu. Dia ingin berteriak, tetapi tahu itu hanya akan menjadi bahan olokan baru. Pelayan rumah mendekati Maya dengan ragu sambil membawa vas bunga yang baru tiba. “Ibu Maya, ini bunga tambahan untuk meja tamu. Harus disusun sekarang?” tanya pelayan itu pelan. Maya menoleh dengan senyum dipaksakan. “Ya, letakkan saja di sana. Nanti saya susun,” jawabnya sambil menunjuk meja di dekat jendela. Pelayan itu mengangguk, lalu pergi. Maya menatap jauh ke depan, mencoba melawan air mata yang menggenang. Suara tawa kecil terdengar dari jendela lantai atas. Maya menoleh dan melihat Vina sedang duduk di kursi, ditemani Sulastri yang membawakan jus segar. Wajah Vina berseri-seri sambil memegang perutnya yang mulai membesar. Pintu belakang rumah terbuka dan Bima muncul membawa beberapa amplop undangan. “Ini beberapa undangan yang harus kamu urus ke kantor pos. Jangan sampai terlambat dikirim,” kata Bima dingin. Maya mengangguk, mengambil tumpukan undangan dari tangan Bima tanpa berkata apa-apa. Seperti biasa, Bima hanya datang untuk memberi perintah. “Sudah selesai urusan dekorasi? Kalau belum, jangan keluar dulu. Kita harus pastikan semuanya sempurna untuk ulang tahun Papa,” kata Bima sebelum berbalik dan masuk ke dalam rumah lagi. *** Pesta ulang tahun Harjono dimulai dengan megah. Para tamu mulai berdatangan. Ruang tamu kini berubah menjadi tempat berkumpul keluarga besar dan kolega-kolega penting. Maya berdiri di sisi ruangan, mengenakan gaun sederhana berwarna biru pastel. Meski penampilannya rapi dan anggun, dia merasa kecil di tengah keramaian ini. Suara tawa dan percakapan bergaung di sekitarnya, tetapi Maya lebih memilih mengamati dari kejauhan. Sulastri tampak bersemangat menyambut tamu-tamu penting, selalu berdiri di samping Harjono. Tidak butuh waktu lama sebelum percakapan mulai mengarah pada topik keluarga. “Wah, keluarga Santoso semakin sukses saja. Anak-anak sudah menikah semua, ya? Bagaimana dengan cucu, Bu Sulastri? Sudah banyak cucu yang bisa bermain di rumah ini?” Salah seorang tamu, seorang wanita paruh baya dengan perhiasan mencolok, bertanya sambil tersenyum lebar. Maya mendengar pertanyaan itu dari tempatnya berdiri. Dadanya berdebar, sudah menduga arah pembicaraan ini akan menuju padanya. Sulastri tertawa kecil, lalu menjawab dengan nada halus, tapi setiap kata seperti belati yang menyayat hati Maya. “Oh, Vina, istri anak kedua kami, sudah hamil. Kami semua sangat senang menanti kehadiran cucu pertama. Sayangnya, Maya dan Bima belum diberi rezeki itu. Ya, mungkin karena Maya sibuk dengan urusannya sendiri,” Maya mengepalkan tangan di balik punggungnya, mencoba menahan emosinya. “Ya ampun, Bima sangat beruntung menikah dengan Maya, ya? Meski belum bisa memberikan keturunan, dia tetap istri yang baik, kan?” komentar seorang tamu lain, membuat Maya merasakan panas di wajahnya. “Benar sekali,” tambah Sulastri, dengan senyum tipis. “Tapi sepertinya harus diralat. Maya adalah istri yang sangat beruntung. Menikah dengan Bima itu seperti memenangkan lotre. Bima anak yang pintar, tampan, dan punya masa depan cerah. Maya harus bersyukur setiap hari bisa menjadi bagian keluarga ini,” kelakar Sulastri sambil tertawa. Tamu-tamu lain tertawa kecil, seolah-olah komentar itu hanyalah gurauan biasa. Namun bagi Maya, kata-kata itu seperti beban yang menghantam dadanya. Beruntung? Dia yang telah memberikan segalanya—rumah, mobil, dan bahkan kebebasan finansial bagi Bima dan sekarang dia hanya dilihat sebagai "istri yang beruntung"? “Saya juga kasihan sekali dengan Maya. Dia anak yatim piatu, sendirian tanpa keluarga. Jika bukan kami yang merangkulnya, lalu siapa lagi?” Sulastri melanjutkan tanpa rasa bersalah. Vina tiba-tiba muncul di sisi Sulastri, membawa gelas minuman dan tersenyum lemah. “Ibu, jangan keras-keras. Kasihan Kak Maya,” bisik Vina sambil sesekali melirik Maya. “Lagipula, tidak semua wanita seberuntung aku. Bisa hamil di tahun kedua pernikahan itu benar-benar anugerah. Kak Maya pasti sedang menunggu waktu yang tepat,” Sulastri menepuk tangan Vina dengan lembut, seolah-olah menyanjung menantunya yang satu itu. “Kamu benar, Vina. Kamu memang anak yang baik,” puji Sulastri. “Tuhan punya rencana untuk semua orang. Tapi tentu, kita juga harus berusaha. Jangan hanya menunggu!” Para tamu yang mengelilingi Sulastri mengangguk setuju. Beberapa ada yang menoleh ke arah Maya karena sadar Mayalah menantu pertama keluarga Santoso. *** Maya merasa kepalanya berdenyut hebat. Seolah seluruh percakapan tadi terus bergema di telinga. Tanpa sadar, langkah kakinya membawa Maya keluar dari ruang pesta. Dia butuh udara segar, butuh keluar dari tempat yang penuh dengan tatapan dan kata-kata yang menghakimi. Dia berjalan menyusuri koridor menuju taman belakang rumah Harjono. Dia berharap bisa menemukan suaminya. Setidaknya untuk berbagi sedikit ketenangan di tengah kekacauan emosi yang dia rasakan. Namun, langkahnya terhenti ketika suara tawa terdengar dari sudut taman yang teduh. Tawa itu familiar, suara yang sering dia dengar bertahun-tahun lamanya. Itu suara Bima. Maya bergegas mendekat, tapi kemudian langkahnya melambat ketika dia melihat pemandangan yang membuat dadanya sesak. “Aku selalu tahu kamu akan sukses,” ujar Nina. “Kamu dulu pemimpin di kampus, dan sekarang lihatlah, kamu bahkan lebih menawan,” Di bawah pohon besar yang diterangi lampu taman, Bima sedang berbicara dengan seorang wanita yang Maya kenali sebagai Nina—teman lama Bima di kampus. Mereka berdiri sangat dekat. Terlalu dekat. Bima tertawa kecil. “Kamu sendiri juga tidak berubah, masih seperti dulu. Menarik perhatian semua orang di sekitarmu,” goda Bima. “Kalau saja aku tahu kamu akan seperti ini, mungkin aku tidak akan melepaskanmu dulu,” Suara Nina nyaris seperti bisikan. Dia menarik kerah Bima mendekat.“Boss, anong nangyayari?”“Brownout sa nightclub? Anong klaseng negosyo ‘to?”“Wala na ba kayong konsensya? Saka pa lang nagsisimula ang saya, tapos nawalan ng kuryente?”“Masaya pa ba ‘to?”“Boss…”“Boss naman…”Nagwawala ang mga tao sa dance floor, hinahabol ang huling segundo ng kasiyahan, hanggang biglang dumilim ang paligid. Napatingin si Amber sa tuta sa harapan niya. Bago pa man niya ito mahawakan, napatili siya.“Putek! Bwisit ka!” napamura sa gulat si Amber.Sumilay si Blake sa tabi niya gamit ang flashlight ng cellphone. “May demonyo bang sumanib sa’yo? Sa tuwing sinasama kita sa ganitong lugat, laging may nangyayaring kakaiba.”“Kasalanan ko
“Ano ang ibig sabihin ng integridad para kay Miss Harrington?” mababa ang tinig ni West habang hinihila si Amber sa pinto.Tiningnan siya ni Amber nang may pag-aalinlangan. “Atty. Lancaster, ano nga ba ang integridad?”Hindi siya iniwan ng tingin ni West. “Ang integridad ay ang pagtupad sa iyong salita. Ang paggawa ng mga ipinangako.” Dahan-dahan niyang binigkas bawat salita na para bang isang aral na dapat tandaan.Napangiti si Amber nang mapait. “Ilan nga ba sa mga tao ang talagang tumutupad ng pangako? Hmm? Ilan?”Ngumisi si West at lumapit pa. “Sino ba ang hindi nagtatanggal ng pantalon para matulog sa kama, tapos ibinabalik ang pantalon at nagpapanggap na estranghero?”Kumislap ang mga alaala ni Amber, ang poot na namana niya mula sa kanyang ama. Nang dumating ang kabit ng kanyang ama na may lumalaking
Naglaho ang ngiti ni West at napatingin sa kanya. “Miss Harrington, mukhang may maling akala ka sa lakas ko.”Napakamot siya sa ilong. “Tutulungan mo ako sa kaso ni Soren… tungkol naman sa mana…”Biglang itinapon ni West ang tissue.“Inaabuso mo ba ‘ko?”-Paglabas ni Amber mula sa law firm ni West, agad siyang nag-book ng spa appointment kasama si Blake.Pagdating nila sa spa, pareho silang huminto sa may pintuan upang magpalit ng tsinelas. Ngunit bago pa man sila makapasok nang tuluyan, narinig na nila ang malalakas na tawanan mula sa loob, na sa isang spa, ay hindi pangkaraniwan.“Ang malas ni Amber. Simula nang ma-coma ang ama niya, pumangit pa lalo ang buhay niya. Dati, si Victor? Walang-wala, ‘ni hindi nga mabango ang pangalan nito sa showbiz. Pero ngayon, kahit sino puwede nang apihin si Amber.”“Tawa nga ako nang tawa. Bago pa niya nilansag ang pamilya Whitmore, si Nathan nasa ospital kasama ang girlfriend niya, hinihintay ang panganay nila. Tapos ‘yung kapatid niyang lalaki n
Pero hindi pa rin kumbinsido si Lazaro."Pero may mali. Kung galit ka talaga dahil sa kapatid mo, matagal mo na sana ginawa ito. Hindi ngayon lang."May inilabas siyang papel mula sa folder. "Tiningnan namin ang social media account mo. Puro repost ng posts mula sa fan club ni Victor. Base sa araw ng insidente, malinaw na dahil kay Victor ka nagalit."Lalong nagdilim ang mukha ni Soren. "Anong repost? Wala akong alam diyan."Ngumiti nang malamig si Lazaro. "Ang taas naman ng loyalty mo bilang fan.”"Kung ayaw mong magsalita, sige. May mga saksi naman kami. Pwede rin naming ipatawag si Victor. Sabay pa kami mag-live stream. Ipakita natin sa buong mundo kung gaano kabaliw ang fans niya. Tatlong taon na ang nakakalipas, pero may female star din na pinahiya online dahil lang kay Victor. Fan din ang gumawa nun, ’di ba?""Sinabi ko na, wala akong alam diyan.""Team—"Bago pa matapos ang sasabihin ni Lazaro ay biglang may dumating. May dala itong papeles at blangkong ibinigay ito kay Lazaro.
“’Te, napakaharsh mo naman. Naglakbay ng ilang kilometro si Atty. Lancaster para iligtas ka, at minura mo pa,” bulong nito habang inaalalayan siya pababa.“Tss.”“Bakit? May masakit ba sa’yo?”“Namamanhid ang tuhod ko,” napaupo si Amber sa hagdan at hindi nakapagpatuloy sa pagbaba. Kanina pa niya tinatanong sa isipan niya kung sino ang nagtatangkang gawing miserable ang buhay niya. Kapag nagkaroon siya ng pagkakataon, sisiguraduhin niyang babalatan niya ito ng buhay.Napalingon siya kay West na kasunod nilang pababa ng hagdan.“Mr. Lancaster…” tawag niya.“Atty. Lancaster…” ulit niya.“West Lancaster, tinatawag ka ng girlfriend mo!”Nakuha naman ni Amber ang atensyon hindi lang ni West kung hindi nang buong palapag.May natuwa at nakyutan sa ginawang iyon ni Amber, samantalang si Harvey ay napapaisip kung may kasalanan ba ang amo niya para mapadpad si Amber sa landas nito.“Huwag kang maingay.” Tanging sagot sa kanya ni West at linampasan siya nito.“Hindi na ako makalakad, hmp! Kail
Habang nagpupumilit si Lilith, natanaw niya si West sa lobby. Nagkatinginan sila, at may kibot ng pagkakakilanlan sa kanilang mga mata.“Sigurado ka bang kaya mo ‘to?” tanong ni West kay Harvey, malamig ang boses pero may bigat ang kahulugan.Tahimik si Harvey, gaya ng dati, habang pinapanood si West na lumapit sa front desk.“Kung sino man ang nag-utos nito, naglalaro sila ng apoy,” malamig na sabi ni West sa manager. “Sabihan mo sa kanila, hindi nila pwedeng galawin ang babae ko.”Namutla ang manager. “Si Amber… babae mo?”Bumagsak sa katotohanan ang bigat ng sitwasyon.Imposible. Paulit-ulit itong gumugulo sa isipan ni West, parang isang lintang ayaw humiwalay. Sino bang matinong tao ang mangangahas magalit sa Hari ng Impiyerno ng Milchester? Kung totoo ngang kanya ang babaeng 'yon—kung siya nga ang babae ni West—bakit niya gagawin ang ganito?Sa malamig na tingin, ibinaling ni West ang kanyang mga mata kay Harvey, na nasa kabilang bahagi ng silid, mukhang sabik na sabik sa kaguluh
Maligayang pagdating sa aming mundo ng katha - Goodnovel. Kung gusto mo ang nobelang ito o ikaw ay isang idealista,nais tuklasin ang isang perpektong mundo, at gusto mo ring maging isang manunulat ng nobela online upang kumita, maaari kang sumali sa aming pamilya upang magbasa o lumikha ng iba't ibang uri ng mga libro, tulad ng romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel at iba pa. Kung ikaw ay isang mambabasa, ang mga magandang nobela ay maaaring mapili dito. Kung ikaw ay isang may-akda, maaari kang makakuha ng higit na inspirasyon mula sa iba para makalikha ng mas makikinang na mga gawa, at higit pa, ang iyong mga gawa sa aming platform ay mas maraming pansin at makakakuha ng higit na paghanga mula sa mga mambabasa.
Comments