Hari pernikahan Rendi akan berlangsung besok. Semua persiapan yang sudah dilakukan Fanya sempurna. Tempat impiannya dulu pun sudah ia dapat dengan keberuntungan.
Menyiapkan pernikahan mantan pacar, bukan hal mudah bagi Fanya. Tapi entahlah. Apa Rendi juga merasakan hal yang sama?
Malam ini, Fanya belum juga keluar dari gedung itu. Mengawasi semua persiapan dekorasi sampai mengecek konsumsi.
Mengarahkan semua karyawan, agar sesuai dengan apa yang diharapkan klien. Kelambu putih, yang digantungkan sampai menyambung membentuk sebuah altar.
"Udah, Nya! Kamu gak capek, dari tadi mondar-mandir mulu?"
"Kamu pulang aja, Mira! Udah tinggal dikit lagi, kok."
"Mana tega aku ninggalin kamu. Emang kamu pulang mau jalan kaki? Ini udah jam sembilan loh."
"Aku bisa pakek ojek ntar."
"Enggak. Ntar aku yang anterin sampai ke rumah. Sini Nya, duduk sini!" seru Mira dengan menarik tangan Fanya. "Jaga kesehatan, kerjaan kamu masih banyak, besok."
"Ini dulu tempat impian aku buat nikah sama Rendi. Semua dekorasinya persis seperti ini. Dan sekarang, aku harus mempersiapkan ini untuk dia dan orang lain."
Fanya sudah tidak tahan lagi. Dia mengatakan semuanya pada Mira. Termasuk pernikahan paksanya dengan Regan.
"Kamu masih mencintai dia?"
"Tentu saja. Aku sudah menjalin hubungan cukup lama dengan dia. Tidak mungkin aku bisa melupakannya begitu saja."
"Nona," panggil Kai tiba-tiba yang entah sejak kapan dia sudah berdiri di belakang mereka.
Tubuh mereka menegak seketika. Sampai Mira hampir saja mendaratkan tangan ke arah pria itu.
"Kamu kenapa, sih, suka muncul tiba-tiba gitu? Kamu tidak bisa, muncul dengan baik-baik?"
"Saya tidak melihat pintu di sini."
"Isshh," ujarnya dengan berdecak kesal. "Kenapa ke sini? Aku sudah bilang, kalau aku akan pulang terlambat nanti."
"Ini sudah di luar batas keterlambatan anda. Tuan Muda menyuruh anda pulang sekarang."
Gadis itu menekuk kedua tangan ke dada. Mendekat ke arah Kaisar dengan santai. "Apa kamu tidak melihat, aku belum selesai."
"Saya tidak peduli. Tugas saya hanya membawa anda pulang."
"Hei!" bentak Fanya. Menyeret tangan Kaisar agar pria itu sedikit menjauh dari Mira. "Begini ya, aku tidak pernah meminta sepeser pun pada Regan. Aku bekerja sendiri, dan sekarang pekerjaanku belum selesai. Jadi, kamu tidak bisa seenaknya saja menyuruhku pulang."
"Silakan mengurus itu dengan Tuan Muda. Tugas saya hanya membawa anda pulang. Mari Nona!"
"Enggak. Aku pulang kalo udah selesai. Jangan berdebat denganku. Kamu tidak lihat, mereka masih bekerja." Fanya mencebik, berbalik meninggalkan Kaisar.
'Bumi ini sudah tercemar gara-gara makhluk menyebalkan seperti Kaisar. Pantas saja sejak tadi aku sudah merinding.'
Baru juga beberapa langkah, tubuh Fanya diangkat begitu saja oleh Kaisar. Membawanya seperti karung beras. Tidak peduli gadis itu yang meronta meminta diturunkan dengan memukuli punggung Kaisar.
"Kai, turunin Kai! Kamu tidak bisa seenaknya seperti ini! Kai!"
Kaisar menulikan telinga. Berjalan ke arah Mira seolah mengangkat tubuh Fanya yang tanpa beban.
"Anda bisa menyelesaikan ini, 'kan? Saya pergi."
"Tung-"
Belum juga Mira menyelesaikan perkataannya, Kaisar sudah terlebih dulu meninggalkan dia sendiri. Membawa Fanya yang masih memberontak.
"Ahh ... sial! Jadi aku harus urus ini semua sendiri? Kenapa dia menyebalkan sekali, sih?!" umpat Mira dengan menghentakkan kaki kesal.
Sementara Kaisar sudah membawa Fanya keluar dari gedung. Memasukkan gadis itu ke dalam mobil dengan paksa.
"Diam Nona! Atau saya akan berbuat lebih kasar lagi."
"Kamu memang sudah tidak waras."
Dan paling menyebalkan, Kaisar justru tersenyum tanpa dosa menanggapi perkataan Fanya. Jika ada batu bata di sekitar gadis itu, pastilah sudah melayang ke arah Kaisar saat itu juga.
"Hei, aku mau tanya sama kamu."
"Silakan Nona," ujar Kaisar dengan memasang seatbelt.
"Ibu kamu dulu ngidam apa? Malang sekali melahirkan anak yang menyebalkan sepertimu."
"Mungkin mangga muda, jeruk asam, belimbing wuluh."
"Pantas saja lahir makhluk yang menyebalkan sepertimu," ujar Fanya lirih seolah berbisik. Padahal jelas-jelas Kaisar mendengar itu. Hanya saja dia memasang wajah datar dan biasa saja. Memfokuskan pandangannya ke arah jalan raya.
"Hmmm tidur dia," ujar Kaisar lirih setelah ia melirik dari pantulan kaca spion.
'Pantas saja telingaku tidak terasa berdengung lagi.'
Tidak ada pergerakan dari belakang sana. Jika dilihat, wajah Fanya sudah kelelahan sekarang. Dia begitu pulas dengan sesekali tertunduk-tunduk sampai kepalanya menatap kaca mobil berkali-kali.
Dan itu membuat Kaisar tertawa cekikikan dengan menggeleng-gelengkan kepala. Sampai mobil Kaisar berhenti pun, Fanya belum terbangun juga.
"Kenapa tidak turun Kai?" tanya Akbar yang menyambut mereka di depan pintu.
"Tuh," ujarnya dengan menunjuk Fanya dengan dagu.
"Jangan dibangunin, kasian juga Nona Muda. Lagi pula, bisa begadang lagi aku kalau dia sampai terbangun."
"Tanya ke Tuan Muda sana, mau diapain dia? Ditinggal di mobil juga gak pa-pa. Aku bisa menginap di sini malam ini."
"Ih, tega bener kamu, Kai. Tunggu aku naik dulu."
Akbar sedikit berlarian sekarang. Takut-takut Kaisar terlebih dulu menyiram Fanya seperti yang dilakukan pria itu setiap harinya.
Tok tok tok
"Hmmm."
"Nona Fanya sudah pulang, Tuan. Dia tertidur di dalam mobil. Kalau anda izinkan, saya akan membawanya naik. Dia terlihat lelah sekali."
Regan terdiam sesaat, sebelum akhirnya ia berkata, "Aku sendiri yang akan membawanya."
"Baik, Tuan."
Meskipun dengan ogah-ogahan, tetap saja Regan turun untuk membawanya.
"Dia selalu saja menyusahkan."
Benar Akbar bilang. Fanya terlihat begitu lelap tanpa pergerakan. Tangan kanan Regan, menyahut leher Fanya dengan tangan kirinya yang sudah berada di bawah paha Fanya.
Membawa gadis itu begitu tenang, seperti selembar triplek yang bisa ia remukkan dengan sekali remas.
Entah sadar atau tidak, Regan tersenyum geli saat melihat Fanya yang menggesek-gesekkan kepala ke dadanya. Seperti anak kucing, yang bersembunyi di ketiak induknya.
Bukan hanya menggesek, tapi Fanya juga bergeliat di dada Regan. Mencari tempat ternyaman.
Memasukkannya ke dalam kamar, setelah Kaisar membantu membukanya.
"Apa yang dia lakukan sampai semalam ini, Kai?"
"Nona Muda mengurus pernikahan untuk mantan pacarnya sendiri."
Selesai melepas sepatu Fanya, Regan menarik selimut tinggi-tinggi hingga gadis yang bertubuh mungil itu seperti termakan selimut.
"Oh, jadi dia punya pacar?"
"Iya, Tuan. Dan dia mengatakan kalau dia masih mencintai pria itu."
"Baiklah, baiklah. Aku akan membuat kejutan untuk dia besok."
"Apa yang akan anda rencanakan, Tuan?"
"Aku akan menunjukkan suami dia di depan pria itu. Pangkas jadwal kerjaku. Aku akan datang ke resepsi pernikahan besok."
"Saya akan mengaturnya."
"Sekarang aku harus berbagi ranjang dengannya. Ah, menyusahkan. Kalau saja dia tidak tertidur, aku tidak akan mengizinkan dia menempati itu."
"Saya bisa memindahkannya."
"Aku tidak setega itu," protes Regan.
"Lantas kenapa anda membiarkannya di sofa selama ini?"
"Hentikan! Kamu sedang memancingku, 'kan ?!"
***
Ada yang berbeda pagi ini. Napas hangat, yang menyapu wajahnya. Semakin lama, embusan itu terasa semakin nyata. Sampai Fanya membuka matanya perlahan dan melihat wajah Regan yang begitu dekat dengannya.Mata itu membulat dan langsung melirik ke arah tubuhnya. Takut jika pertahanan dia terlepas tadi malam.Masih aman.Bukan hanya wajah mereka yang hampir bersentuhan, tapi tangan kekar itu juga melingkar di pinggangnya."Ishh ... apa-apaan ini!" serunya dengan menghempaskan tangan Regan begitu saja."Heh, kamu berani menganggu tidurku?!""Maaf, Tuan. Tapi tangan anda melingkar di tubuh saya tadi.""Itu terserah aku. Mau aku taruh sini," ujarnya dengan kembali meletakkan tangan di atas perut Fanya. "Mau kakiku, aku taruh sini," sambungnya dengan meletakkan kaki tepat di atas kaki Fanya. "Itu terserah aku! Kamu di sini cuma numpang. Jadi gak usah protes kalau aku naruh tangan dan kaki sesukaku."'Cih. Pe
Perjanjian pernikahan, diucapkan Rendi begitu lantang. Suara tepuk tangan, bersahutan dengan riuh. Kilatan cahaya putih, saling bersahutan untuk mengabadikan momen itu.Lantas, apa Fanya baik-baik saja?Ayolah, berikan dia medali sebagai wanita paling tangguh hari ini. Dia masih bisa memasang senyum lebar hingga mirip duta pasta gigi dengan memperhatikan mereka dari kejauhan.Harusnya aku yang kamu genggam. Harusnya aku yang kamu cium. Harusnya ini menjadi tempat pernikahan kita. Aku akan mengambil hakku nanti. Aku pasti akan mengambilnya.Sesekali, Fanya berjalan ke luar gedung. Menghibur diri, dan bersiap kembali mengganti gaun mereka jika memang waktunya."Kamu gak pa-pa, kan, Nya?"Wajar jika Mira menanyakan hal itu. Melihat isi piring Fanya yang sudah di luar batas.Kalo kata Fanya, cemburu itu menguras tenaga. Dia butuh tenaga extra untuk menghadapi kenyataan."Gak pa-pa. Laper aja
Turunnya Regan dari dalam mobil itu sudah mengalihkan perhatian mereka. Beberapa fotografer justru lebih tertarik mengabadikan foto mereka ketimbang Sang Pengantin hari ini.Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani mendekat. Bisa-bisa, Kaisar akan dengan senang hati melahap mereka hidup-hidup."Pegang tanganku," ujar Regan lirih dengan mengisyaratkan agar Fanya meraih tangannya.Tentu saja, kalau perlu dia akan memeluk Regan untuk memancing emosi Rendi."Panggil aku sayang, dan bersikaplah seperti pasangan normal."'Hei, aku selalu bersikap normal! Kamu saja yang kaku kayak kanebo kering.'Dan baru kali ini, pesona tamu undangan mengalahkan segalanya. Berjalan layaknya merekalah yang menikah hari ini.Jika tadi Fanya yang makan hati, sekarang Rendi yang merasa ketar-ketir setiap langkah mereka semakin dekat."Ini merupakan suatu kehormatan bagi keluarga saya atas kehadiran anda, Tuan," ujar ayah Rendi saa
"Apa kamu masih belum mau bangun juga? Kamu pikir, menahan kepalamu semalam tidak membuat tanganku kesemutan?"Regan berkata tanpa membuka matanya sedikit pun. Dan Fanya barus sadar, saat kepala dan tangannya terikat dengan pria itu."Oh, maaf. Saya tidak sengaja," jawab Fanya dengan menarik tangannya dengan cepat. Menegakkan tubuh, dengan memberi jarak di tengah-tengah mereka."Mau ke mana?""Saya mau mandi. Pergi ke salon seperti biasa.""Kamu pikir kamu bisa lolos dariku, setelah kamu membuat tanganku mati rasa semalaman?""Saya sudah bilang, saya tidak sengaja melakukannya. Itu pun karena saya tidak sadar waktu tidur.""Aku tidak peduli," ujar Regan dengan menegakkan tubuhnya. "Yang aku tau, tanganku mati rasa sekarang, dan kamu harus bertanggung jawab untuk memijitnya." Regan mengulurkan tangan kirinya ke arah gadis itu."Emmm ... apa saya bisa menundanya nanti? Saya sudah siang dan di hari Ming
Niat yang akan menyusul Regan ke bawah untuk menanyakan ulah Kaisar, langkahnya terhenti saat ia baru saja memasuki pentry.Regan sudah berdiri dengan menyangga tubuhnya di meja. Terdengar suara seorang wanita dari ponsel yang tengah ia loudspeaker. Dan sudah bisa ia pastikan, Amandalah pemilik suara itu."Aku akan kembali dalam dua minggu sayang, dan aku akan siap untuk menerima cincin pernikahan darimu." Begitu suara Amanda yang terdengar manja dari ponsel itu."Hmmm."Regan menjawab dengan menyodorkan cangkir ke arah Fanya. "Buatkan aku minuman hangat.""Apa yang harus aku buat?""Terserah. Yang penting jangan teh, aku tidak suka."'Cih. Jadi dia melarangku keluar hanya untuk ini?'"Sayang, apa kamu bicara dengan wanita itu?" sahut Manda yang masih terhubung dengan Regan."Hmmm.""Sayang, kamu marah sama aku?""Hmmm."Regan seolah tidak peduli dengan Manda. Ia justru mendekat ke
Ada satu baju yang menarik perhatian dia. Sepertinya, itu akan cocok jika Regan yang memakai. Butuh waktu beberapa menit, untuk Fanya menimang-nimang harga yang terbilang bisa menguras jatah uang jajannya.Tujuh digit, membuat ia menelan saliva keras dan membalikkan bandrol itu dengan cepat.'Harga apa, ini? Aku bisa membeli lima baju untuk menukar dengan kemeja santai seperti ini.'"Kenapa? Apa kamu perlu bantuanku untuk memilih?""Ah, tidak, tidak perlu. Aku sudah mendapatkan pilihan."'Tidak mungkin. Bisa-bisa dia malah mengerjaiku dengan memilih harga paling mahal nanti.'Dengan terpaksa, Fanya menyahut pilihannya. Berharap ia tidak dicincang Regan karena memberikan baju murahan jika sampai di rumah nanti.'Pergilah jatah uang jajanku sebulan, aku merelakanmu untuk membuang sial.'"Terima kasih, kamu sudah memberikan aku kado."'Cih. Aku juga tidak akan melakukan itu jika kamu tida
Sore ini, Fanya berangkat terlebih dulu ke rumah Atmaja. Dia juga tidak berharap kedatangan Regan di sana. Entah datang atau tidak, terserah dia. Yang penting Fanya sudah mengundangnya.Meskipun tidak ada acara yang wah, tapi tetap saja tamu undangan para partner kerja Atmaja sudah terlihat memenuhi halaman rumahnya."Selamat sore," sapa Fanya dengan menyunggingkan senyum selebar-lebarnya.Suara Fanya, mengalihkan pandangan mereka. Bukan tertarik melihat Fanya, pasalnya mereka mencari-cari keberadaan Regan.Cibiran tentang rumah tangga mereka pun mulai berterbangan. Fanya tau itu, hanya dia pura-pura tidak tahu saja. Terkadang, pura-pura itu bisa jadi jalan terbaik dari pada membuat sakit hati."Selamat ulang tahun Ayah," ucapnya dengan mencium punggung telapak tangan Atmaja dan mencium kedua pipinya."Kamu sendirian?" tanya Atmaja yang masih saja belum puas dan kembali mencari-cari Regan. Barangkali pria itu nyempil di bel
"Yang keras!" seru Regan."Aku ini udah pakek tenaga dalam!" protes Fanya dengan nada kesal. Pasalnya, sejak tadi Regan selalu protes dengan pijatannya yang tidak terasa apa pun."Apa kamu tidak makan, tadi? Setidaknya gunakan tenagamu sedikit!"Kesal sejak tadi diprotes, Fanya menekan punggung Regan dengan sangat keras. Hingga pria yang sejak tadi tengkurap itu membalikkan badan dengan cepat."Sengaja, ya kamu!" teriak Regan dengan melototkan matanya."Katanya tadi suruh nekan," ujar Fanya dengan menundukkan kepalanya."Sekarang kamu harus tanggung jawab.""Kan udah, tadi.""Kamu pikir punggungku gak sakit!" teriak Regan. "Sekarang sini, cepat sini!"Fanya memajukan dirinya. Menatap Regan dengan wajah polosnya."Tidur sini," ujar Regan dengan menunjuk tempat tidur tepat di sisinya."Tidak apa-apa, aku masih betah tidur sofa, kok."Melihat tatapan Regan yang semakin tajam, Fanya meringsut dan t