Masa bodoh dengan Kai. Apa lagi Regan. Fanya hanya mementingkan isi perutnya saat ini.
"Anda mau ke mana?"
"Makanlah," jawab Fanya santai dengan membawa piring serta gelas di kedua tangannya.
"Anda tidak akan bergabung dengan mereka, 'kan?"
"Gak selera juga gabung sama mereka. Aku mau ke halaman belakang," sahutnya dengan berlalu meninggalkan Akbar di dapur.
Jangan tanya di mana Kai. Pria itu sudah berdiri dengan mengawasi Fanya dari kejauhan sejak tadi. Menunggu jika sampai berbuat lebih.
Melihat Kaisar yang berdiri dengan memasang wajah sangarnya, Fanya hanya menyapa dengan senyum lebar. Melewati pria itu dengan santai.
Ada satu rumah lagi yang terletak di halaman belakang. Tempat semua pelayan Regan tinggal. Kolam renang, yang berada di tengah-tengahnya.
Dan di sinilah Fanya meletakkan dirinya. Duduk bersila, di pinggiran kolam. Memangku piring dengan menikmati suara gemericik air dari pancuran di setiap sudut kolam renang.
"Kenapa makan di sini, Nona?" tanya Kai dengan menekuk kedua tangannya di dada.
"Emang kalo aku makan malam sama mereka, kamu ngizinin?"
"Tidak."
"Ya sudah, jangan protes."
Fanya kembali melanjutkan makannya. Menikmati setiap suapan, yang sudah ia rindukan sejak tadi siang.
Bukan hanya Kai, Akbar pun ikut duduk di pinggiran kolam. Menemani Fanya, yang seolah tidak peduli dengan kedatangannya.
Hingga gadis itu sudah menandas habis isi piring, mereka berdua tetap berada di dekat Fanya.
"Akbar," panggil Fanya setelah ia meletakkan gelas yang sudah ia tegak habis isinya.
"Iya, Nona."
"Apa aku boleh minta tolong?"
"Silakan."
"Tolong ambilkan ranselku. Pekerjaanku banyak sekali. Aku belum menyelesaikannya sedikit pun."
"Tidak masalah. Kemarikan piring anda, aku akan mengembalikannya sekalian."
Akbar mulai bergerak. Masuk kembali ke rumah utama, di mana Regan masih saja betah di atas kursi meja makan.
"Hei, kenapa kalian semua ke belakang?"
"Nona Muda ingin menyelesaikan pekerjaannya di halaman belakang, Tuan."
"Ah, terserah kalian. Yang penting dia tidak menggangguku sekarang."
'Kenapa anda menanyakannya, tadi.'
Begitu banyak yang dipikirkan Fanya saat ini. Menata pernikahan laknat, untuk mantan pacarnya sendiri.
'Tidak, tidak. Aku tidak rela menyebutnya mantan. Aku tidak rela! Aku akan membuatnya mencintaiku setelah pria sombong itu menceraikan aku.'
'Kalu perlu, aku akan memelet Rendi bagaimana pun caranya. Ya, itu tujuan hidupku setelah ini.'
Pernikahan sialan, perkataan Rendi, kehilangan pria itu, sudah seperti bom yang siap meledak di kepalanya.
"Nona, apa anda tidak masuk? Ini sudah malam."
"Aku akan masuk sebentar lagi."
Sudah masuk tengah malam. Dan Akbar masih juga menunggui Fanya.
"Sampai kapan anda akan bekerja?"
"Sebentar lagi."
Yang dibilang Fanya sebentar lagi itu sudah lewat satu jam. Tanpa sadar, Akbar sudah tertidur di bangku panjang yang terletak di sisi kolam.
Mood Fanya sedang hancur. Masa bodoh dengan Akbar yang menggulung di luar. Fanya masuk begitu saja tanpa beban.
Belum berniat masuk kamar, dia kembali masuk ke dalam dapur. Melampiaskan kekesalannya dengan bekerja, membuat makan malamnya hanya numpang lewat.
Menggeledah kulkas, mencari apa pun yang bisa ia makan. Tidak tanggung-tanggung, dia mengeluarkan tiga macam kue dan beberapa buah dari sana.
Ah, iya. Dia kalau lagi kesal, semua isi lemari es pun akan ia tandas. Lihat saja, dia melahap semuanya seolah ia sudah puasa tujuh hari tujuh malam.
"Lihat, dia sudah seperti tidak makan saja." Regan berdecak dari lantai atas. Melihat Fanya yang mengangkat kedua kakinya dengan memangku makanan.
Pria itu sengaja tidak turun. Memperhatikan tingkah Fanya yang jungkir balik di sana.
Andaikan Regan tau, Fanya sedang menghibur dirinya sendiri sekarang. Sampai gadis itu terlihat tidak bergerak di atas sofa.
"Apa dia tertidur?"
Penasaran dengan gadis itu, Regan turun dengan hati-hati. Melirik wajah Fanya, dan benar. Dia menggulung di atas sofa.
"Dasar. Perut udah kenyang, langsung tidur aja."
'Ambilin selimut, enggak. Ambillin, enggak.'
"Ah ... kenapa kamu sangat menyusahkan?!"
Ternyata Regan juga tidak setega itu. Dia masuk ke kamar tamu dan menyebet selimut tebal dari sana. Awal yang hanya ia lempar begitu saja, kembali ia benarkan dengan menarik selimut itu tinggi-tinggi.
Kelewat perhatiannya, sampai muka Fanya pun ia tutup juga.
'Kalau dia gak bisa napas, terus mati gimana?'
Regan berdecak, membalikkan badan dan kembali membuka wajah Fanya. Untuk beberapa detik, Regan terdiam dengan memandangi wajah itu.
Tepat di saat wajah Regan yang semakin mendekat, Akbar masuk dari halaman belakang.
"Anda belum tidur, Tuan?"
Pria itu tersentak. Membalikkan badan dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Hei, dari mana saja kamu? Aku dari tadi memanggilmu untuk memberikan selimut ke dia. Kalau dia sampai sakit, kalian sama saja dengan menyusahkan aku."
"Maaf, saya dari tadi menunggui Nona Muda di halaman belakang. Dan saya ketiduran di sana."
"Dia tidak membangunkanmu?"
"Sepertinya tidak."
Dan Regan justru terbahak mendengar itu. "Rasain!" ujarnya dengan puas. "Jagain tuh, awas dia muntah, soalnya dia habis ngabisin isi kulkas. Langsung tidur kayak gitu."
"Baik, Tuan."
Tetap saja Regan terbahak saat ia menaiki tangga. Membayangkan, saat Fanya meninggalkan Akbar begitu saja.
"Ah, anda memang menyebalkan, Nona. Pantas saja selalu beradu mulut dengan Kaisar."
***
Seperti biasa, Kaisar datang lebih pagi. Pekerjaannya untuk membereskan berkas-berkas Regan, sudah menjadi jadwal paten untuknya.
Melihat Fanya yang masih menggulung di atas sofa, membuat tangannya gemas ingin memandikan burung. Sebut saja seperti itu.
"Sudah aku duga," ujar Regan tiba-tiba. Menekuk kedua tangannya dia dada dengan memandang ke arah Fanya di dasar tangga.
"Apa saya perlu mengulangnya, Tuan?"
"Lakukan saja, kalau perlu siram dengan air keras."
Entah kenapa, ini saat yang paling Kaisar tunggu. Pria itu tersenyum jahil, membayangkan ekspresi Fanya nanti.
Satu botol face misk sudah berada di genggaman tangannya. Senyum jahil terpampang nyata. Pria itu menuruni tangga dengan antusias.
"Hei, mau kamu apakan Nona Muda?" tanya Akbar dengan mengangkat dagu.
"Aku hanya membantu dia agar wajahnya lebih apa itu, istilahnya," ujar Kaisar dengan ekspresi yang terlihat berpikir keras.
"Glowing?"
"Seperti itu."
"Dasar!" Dengan jahil, Akbar juga merogoh ponselnya dengan cepat.
Tepat saat Fanya gelagapan, Akbar berhasil mengabadikan momen itu dengan terbahak. Anggap saja, itu balasan karena dia sengaja meninggalkannya di halaman belakang kemarin.
"Astaga Kai ... kamu itu bener-bener, ya!" Fanya menegak seketika dengan menyandarkan kepalanya kembali ke sandaran sofa. Fanya, kembali memejamkan mata.
'Hmmm sepertinya semprotan saya masih kurang, ya.'
Tidak disangka, Fanya menggigit jari Kaisar saat pria itu baru saja akan menyemprotnya lagi.
"Aakkhh ... akkhh ... Nona, Nona!" teriak Kaisar dengan mencoba mengeluarkan telunjuknya dari terkaman Fanya.
"Rasain! Emang kamu pikir, cuma kamu, yang bisa jailin aku!" ledeknya dengan langsung berlari menaiki tangga.
Sementara Kaisar mengibaskan jarinya yang sudah berdenyut-denyut. Tidak main-main, bekas gigitan Fanya menancap di jari Kaisar cukup dalam.
Di sini, Akbarlah yang paling puas. Dia terbahak sampai terbatuk-batuk dengan kembali memutar hasil rekamannya.
***
Hari pernikahan Rendi akan berlangsung besok. Semua persiapan yang sudah dilakukan Fanya sempurna. Tempat impiannya dulu pun sudah ia dapat dengan keberuntungan.Menyiapkan pernikahan mantan pacar, bukan hal mudah bagi Fanya. Tapi entahlah. Apa Rendi juga merasakan hal yang sama?Malam ini, Fanya belum juga keluar dari gedung itu. Mengawasi semua persiapan dekorasi sampai mengecek konsumsi.Mengarahkan semua karyawan, agar sesuai dengan apa yang diharapkan klien. Kelambu putih, yang digantungkan sampai menyambung membentuk sebuah altar."Udah, Nya! Kamu gak capek, dari tadi mondar-mandir mulu?""Kamu pulang aja, Mira! Udah tinggal dikit lagi, kok.""Mana tega aku ninggalin kamu. Emang kamu pulang mau jalan kaki? Ini udah jam sembilan loh.""Aku bisa pakek ojek ntar.""Enggak. Ntar aku yang anterin sampai ke rumah. Sini Nya, duduk sini!" seru Mira dengan menarik tangan Fanya. "Jaga kesehatan, ke
Ada yang berbeda pagi ini. Napas hangat, yang menyapu wajahnya. Semakin lama, embusan itu terasa semakin nyata. Sampai Fanya membuka matanya perlahan dan melihat wajah Regan yang begitu dekat dengannya.Mata itu membulat dan langsung melirik ke arah tubuhnya. Takut jika pertahanan dia terlepas tadi malam.Masih aman.Bukan hanya wajah mereka yang hampir bersentuhan, tapi tangan kekar itu juga melingkar di pinggangnya."Ishh ... apa-apaan ini!" serunya dengan menghempaskan tangan Regan begitu saja."Heh, kamu berani menganggu tidurku?!""Maaf, Tuan. Tapi tangan anda melingkar di tubuh saya tadi.""Itu terserah aku. Mau aku taruh sini," ujarnya dengan kembali meletakkan tangan di atas perut Fanya. "Mau kakiku, aku taruh sini," sambungnya dengan meletakkan kaki tepat di atas kaki Fanya. "Itu terserah aku! Kamu di sini cuma numpang. Jadi gak usah protes kalau aku naruh tangan dan kaki sesukaku."'Cih. Pe
Perjanjian pernikahan, diucapkan Rendi begitu lantang. Suara tepuk tangan, bersahutan dengan riuh. Kilatan cahaya putih, saling bersahutan untuk mengabadikan momen itu.Lantas, apa Fanya baik-baik saja?Ayolah, berikan dia medali sebagai wanita paling tangguh hari ini. Dia masih bisa memasang senyum lebar hingga mirip duta pasta gigi dengan memperhatikan mereka dari kejauhan.Harusnya aku yang kamu genggam. Harusnya aku yang kamu cium. Harusnya ini menjadi tempat pernikahan kita. Aku akan mengambil hakku nanti. Aku pasti akan mengambilnya.Sesekali, Fanya berjalan ke luar gedung. Menghibur diri, dan bersiap kembali mengganti gaun mereka jika memang waktunya."Kamu gak pa-pa, kan, Nya?"Wajar jika Mira menanyakan hal itu. Melihat isi piring Fanya yang sudah di luar batas.Kalo kata Fanya, cemburu itu menguras tenaga. Dia butuh tenaga extra untuk menghadapi kenyataan."Gak pa-pa. Laper aja
Turunnya Regan dari dalam mobil itu sudah mengalihkan perhatian mereka. Beberapa fotografer justru lebih tertarik mengabadikan foto mereka ketimbang Sang Pengantin hari ini.Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani mendekat. Bisa-bisa, Kaisar akan dengan senang hati melahap mereka hidup-hidup."Pegang tanganku," ujar Regan lirih dengan mengisyaratkan agar Fanya meraih tangannya.Tentu saja, kalau perlu dia akan memeluk Regan untuk memancing emosi Rendi."Panggil aku sayang, dan bersikaplah seperti pasangan normal."'Hei, aku selalu bersikap normal! Kamu saja yang kaku kayak kanebo kering.'Dan baru kali ini, pesona tamu undangan mengalahkan segalanya. Berjalan layaknya merekalah yang menikah hari ini.Jika tadi Fanya yang makan hati, sekarang Rendi yang merasa ketar-ketir setiap langkah mereka semakin dekat."Ini merupakan suatu kehormatan bagi keluarga saya atas kehadiran anda, Tuan," ujar ayah Rendi saa
"Apa kamu masih belum mau bangun juga? Kamu pikir, menahan kepalamu semalam tidak membuat tanganku kesemutan?"Regan berkata tanpa membuka matanya sedikit pun. Dan Fanya barus sadar, saat kepala dan tangannya terikat dengan pria itu."Oh, maaf. Saya tidak sengaja," jawab Fanya dengan menarik tangannya dengan cepat. Menegakkan tubuh, dengan memberi jarak di tengah-tengah mereka."Mau ke mana?""Saya mau mandi. Pergi ke salon seperti biasa.""Kamu pikir kamu bisa lolos dariku, setelah kamu membuat tanganku mati rasa semalaman?""Saya sudah bilang, saya tidak sengaja melakukannya. Itu pun karena saya tidak sadar waktu tidur.""Aku tidak peduli," ujar Regan dengan menegakkan tubuhnya. "Yang aku tau, tanganku mati rasa sekarang, dan kamu harus bertanggung jawab untuk memijitnya." Regan mengulurkan tangan kirinya ke arah gadis itu."Emmm ... apa saya bisa menundanya nanti? Saya sudah siang dan di hari Ming
Niat yang akan menyusul Regan ke bawah untuk menanyakan ulah Kaisar, langkahnya terhenti saat ia baru saja memasuki pentry.Regan sudah berdiri dengan menyangga tubuhnya di meja. Terdengar suara seorang wanita dari ponsel yang tengah ia loudspeaker. Dan sudah bisa ia pastikan, Amandalah pemilik suara itu."Aku akan kembali dalam dua minggu sayang, dan aku akan siap untuk menerima cincin pernikahan darimu." Begitu suara Amanda yang terdengar manja dari ponsel itu."Hmmm."Regan menjawab dengan menyodorkan cangkir ke arah Fanya. "Buatkan aku minuman hangat.""Apa yang harus aku buat?""Terserah. Yang penting jangan teh, aku tidak suka."'Cih. Jadi dia melarangku keluar hanya untuk ini?'"Sayang, apa kamu bicara dengan wanita itu?" sahut Manda yang masih terhubung dengan Regan."Hmmm.""Sayang, kamu marah sama aku?""Hmmm."Regan seolah tidak peduli dengan Manda. Ia justru mendekat ke
Ada satu baju yang menarik perhatian dia. Sepertinya, itu akan cocok jika Regan yang memakai. Butuh waktu beberapa menit, untuk Fanya menimang-nimang harga yang terbilang bisa menguras jatah uang jajannya.Tujuh digit, membuat ia menelan saliva keras dan membalikkan bandrol itu dengan cepat.'Harga apa, ini? Aku bisa membeli lima baju untuk menukar dengan kemeja santai seperti ini.'"Kenapa? Apa kamu perlu bantuanku untuk memilih?""Ah, tidak, tidak perlu. Aku sudah mendapatkan pilihan."'Tidak mungkin. Bisa-bisa dia malah mengerjaiku dengan memilih harga paling mahal nanti.'Dengan terpaksa, Fanya menyahut pilihannya. Berharap ia tidak dicincang Regan karena memberikan baju murahan jika sampai di rumah nanti.'Pergilah jatah uang jajanku sebulan, aku merelakanmu untuk membuang sial.'"Terima kasih, kamu sudah memberikan aku kado."'Cih. Aku juga tidak akan melakukan itu jika kamu tida
Sore ini, Fanya berangkat terlebih dulu ke rumah Atmaja. Dia juga tidak berharap kedatangan Regan di sana. Entah datang atau tidak, terserah dia. Yang penting Fanya sudah mengundangnya.Meskipun tidak ada acara yang wah, tapi tetap saja tamu undangan para partner kerja Atmaja sudah terlihat memenuhi halaman rumahnya."Selamat sore," sapa Fanya dengan menyunggingkan senyum selebar-lebarnya.Suara Fanya, mengalihkan pandangan mereka. Bukan tertarik melihat Fanya, pasalnya mereka mencari-cari keberadaan Regan.Cibiran tentang rumah tangga mereka pun mulai berterbangan. Fanya tau itu, hanya dia pura-pura tidak tahu saja. Terkadang, pura-pura itu bisa jadi jalan terbaik dari pada membuat sakit hati."Selamat ulang tahun Ayah," ucapnya dengan mencium punggung telapak tangan Atmaja dan mencium kedua pipinya."Kamu sendirian?" tanya Atmaja yang masih saja belum puas dan kembali mencari-cari Regan. Barangkali pria itu nyempil di bel