Sebelum Regan keluar kamar mandi, Fanya sudah tahu apa yang ia lakukan. Menyiapkan baju kantor Regan yang sudah terjadwal di buku tugas-tugasnya selama menjadi istri Regan.
"Kenapa lama sekali? Bisa telat aku."
Jika dilihat, Fanya sudah seperti ayam yang akan bertelur sekarang. Mondar-mandir, melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh. Melirik ke arah kamar mandi, yang belum juga terbuka.
"Anda sudah seperti mermaid yang terdampar, saja."
Entah berbicara dengan siapa, Fanya berkecak pinggang menghadap pintu kamar mandi. Seolah pintu itu jelmaan Regan.
"Ah, terserah! Tidur saja di sana."
Lelah menunggu, Fanya menyahut kimono handuknya dan berlarian kecil ke luar kamar. Turun, dan masuk ke dalam ruang tamu.
Tidak usah dijelaskan lagi, gadis itu tahu tidak akan ada kamar mandi di luar. Semua kamar mandi, akan berada di setiap kamar di sana.
"Bahkan aku bisa mandi dua kali lebih cepat dari pria itu." Terus saja Fanya menggerutu, hingga ia menyelesaikan mandinya dengan waktu sepuluh menit.
"Anda ngapain, keluar dari dalam sana?" Kai sudah berkecak pinggang tepat di depan pintu kamar.
"Gak usah protes, ini juga karena Tuan Kamu, yang tidur di kamar mandi."
"Saya harus bilang berapa kali, tugas anda belum selesai kalau Tuan Muda masih di rumah."
"Aku juga udah telat, tau," protesnya dengan meminggirkan tubuh Kai dan berlarian menaiki tangga.
Benar saja, Regan sudah berkecak pinggang di dalam sana. Pura-pura tidak melihat saja, dan Fanya melewatinya begitu saja.
"Heh, dari mana kamu, ha?!"
"Maaf Tuan, saya mandi di kamar tamu, tadi. Jika saya menunggu anda, saya bisa telat nanti."
Kalian pikir Regan akan melepaskannya begitu saja?
Mustahil. Lihat, pria itu sudah mendorong tubuh Fanya. Menatapkannya ke tembok. "Kamu tau, tugas kamu selama di sini?"
Sangat dekat, bahkan Fanya bisa merasakan detakan jantung Regan saat ini. Jangankan untuk menghindar, gadis itu tidak punya nyali untuk menggerekkan kepalanya. Bisa-bisa kedua bibir mereka bertabrakan nanti.
"Maaf, saya tidak akan mengulangnya setelah ini."
Fanya tidak berkutik sama sekali. Ia bahkan berkata dengan memalingkan wajahnya. Menutup mata rapat, berharap pria itu tidak sampai menempelkan bibirnya.
"Kenapa kamu menutup matamu? Kamu pikir aku akan menciummu?!"
'Iya, iya, kecuali kalau dia suka batangan.'
"Jangan harap! Aku tidak berselera denganmu."
'Bagus, kalau bisa jangan pernah menyentuhku.'
Begitu saja, dan Regan meninggalkan Fanya yang baru saja bisa bernapas lega. Langkahnya sudah seperti kesetanan dengan menyebet beberapa baju di dalam ruangan walk in closet.
"Baju apa, ini?" tanyanya dengan membolak balikkan dress berwarna pink soft itu.
Dan itu sama sekali bukan gayanya yang seluruh lemari milik Fanya hanya dipenuhi celana jeans dan kaos oblong. Tidak ada waktu lagi untuk protes. Pagi ini, dia harus menginjakkan kaki di salon miliknya sebelum pukul sembilan. Dan itu sudah tinggal satu jam lagi.
"Ah, Sekretaris itu!" geramnya lirih. Retina coklat itu semakin terlihat indah, saat Fanya memutarnya kesal.
"Hei, sampai berapa lama kamu akan berdiam di sana?! Kamu hanya menghabiskan waktuku saja."
"Iya, Tuan."
'Ish. Padahal jelas-jelas dia, yang menghabiskan waktu mengelap kamar mandi. Kalau saja dia mandi lebih cepat, aku juga tidak akan kelabakan seperti ini!'
Terus saja Fanya menggerutu dengan memakai pakiannya. Tidak buruk, justru dia terlihat semakin cantik dengan balutan mini dress itu. Hanya terasa aneh, saat kaki jenjangnya itu terekspose sempurna.
Tidak ada waktu bermake up, gadis itu hanya memakai bedak tipis, dan menguncir rambut blondenya menjadi satu. Ikal di bagian bawah, tertata begitu rapi hanya dengan sisir rambut.
"Ingat," ujar Regan dengan menarik kuncir rambut itu hingga kepala Fanya mendongak, tanpa berani protes. "Ini untuk pertama kalinya kamu berada di meja makan dengan keluargaku. Jangan membuat masalah, jangan berbicara apa pun, dan sampai kamu melanggarnya, akan aku pastikan tempat tidurmu di dalam kamar mandi. Panggil aku sayang, hanya di depan mereka. Mengerti kamu!"
Dan Regan menghempaskannya begitu saja, tanpa menunggu jawaban dari gadis itu. Seolah semua perkataannya mutlak mengalahkan anggukan kepala Fanya.
"Sudah ku bilang, kan, dia ini bukan manusia," lirihnya dengan mengekor di delakang Regan yang menuruni tangga.
Oke, tarik napas, buang. Tarik lagi, buang lagi.
Fanya sudah harus bersiap menghadap keluarga Regan yang seingatnya mereka tidak memberikannya uluran tangan saat pesta pernikahannya kemarin.
"Selamat pagi," sapa Regan dengan menarik kursi tepat di sebelah Erland.
"Baiklah Re, karena kamu sudah menikah, Papa akan kembali ke Amerika hari ini juga. Semua kepemilikan saham, sudah diurus Bimo. Dia akan menyerahkan ke Sekretarismu nanti."
Ya, ini adalah tujuan utama Regan menerima Fanya sebagai tumbal keluarganya. Semua hak waris, akan jatuh ke tangan Regan jika pria itu sudah menikah.
'Pantas saja dia langsung menerima tawaran Ayah.'
"Siapa kamu, dari mana asal kamu, apa pekerjaan kamu?" Serentetan pertanyaan dari Sarah, langsung tertuju pada Fanya dengan menatapnya tajam.
Fanya yang sadar itu, melirik ke arah Regan yang duduk di sebelahnya. Seolah meminta izin, hanya untuk membuka mulut.
"Saya Fanya, Ma. Anak dari-"
"Anak dari salah satu perusahaan yang bekerja sama dengan kita. Dia punya salon."
Belum juga Fanya meneruskan kata-katanya, Regan sudah melanjutkan terlebih dulu.
Dan mendengar itu, Sarah tersenyum remeh. Tatapan merendahkan dengan jijik sekaligus ke arah gadis itu.
"Mampirlah ke rumah nenek nanti. Mama akan ada di sana, selama keadaan nenek kamu belum membaik." Jelas perkataan Sarah sama sekali tidak tertuju pada Fanya, dia hanya kerikil di celah-celah berlian.
Dan karena drama sarapan yang tidak penting itu, Fanya harus siap menerima ocehan dari pelanggannya nanti. Sopir taxi itu harus kalang kabut karena ocehan Fanya yang selalu saja menyuruhnya menambah kecepatan.
"Pak, bagaimana aku saja yang menyetir? Aku sudah sangat terlambat, Pak," ujarnya dengan menggoyang pundak pria itu.
"Tidak bisa Nona, keselamatan penumpang itu masih tanggung jawab saya."
Seharusnya Fanya tahu itu. Sudah, pasrah saja. Mobilnya sudah diambil alih oleh Raisa dengan alasan dia akan dapat yang lebih mewah nanti.
Tapi nyatanya?
"Anda tidak akan dapat fasilitas apa pun dari Tuan Muda. Jangan mengharap kesetian, jangan menuntut diperhatikan, dan jangan meminta kasih sayang. Karena anda hanya sementara sampai Tuan Muda menceraikan anda."
Begitu perkataan Kaisar beberapa hari yang lalu sebelum pelaksanaan pernikahan mereka.
'Oke, aku menantikan statusku sebagai janda kembang.'
"Selamat pagi, maaf telat."
"Hmmm ... mentang-mentang pengantin baru," sahut Mira. Dia salah satu karyawan yang sudah bekerja di salonnya selama tiga tahun ini.
"Apaan, sih, Mir."
"Mbak Anya udah keramas, belum?"
"Udah, jangan ledekin bos kita, tuh pelanggan di depan udah ngamuk dia." Mira menyeret tangan Fanya ke depan.
"Maaf, saya tel ... lat." Matanya membelalak, saat pandangannya beradu dengan seseorang yang begitu ia kenal.
"Hei, aku di sini menunggumu sejak tadi, kenapa kamu hanya diam di sana?!" bentak seorang wanita yang terlihat menggandeng lengan pria yang tidak asing untuknya.
"Maaf, maaf. Ayo kita mulai."
Kenapa kamu lakukan ini padaku?
***
Sejak pandangan mereka beradu saja, Fanya sudah mati-matian menyembunyikan air matanya. Menutupi semua dengan senyum sebagai seorang wedding organizer. Melayani klien, dengan hasil yang terbaik."Silakan kalian lihat dulu, mana pelaminan yang akan kalian pilih." Fanya menyodorkan tiga album ke arah mereka.Pura-pura baik-baik saja itu memang tidak mudah. Tapi setidaknya Fanya tidak menunjukkan air matanya di depan Rendi. Pria yang kini menatap Fanya yang menundukkan kepala."Sayang, sayang, ini bagus deh," ujar wanita di sebelah Rendi. "Sayang, ih, kamu kenapa, sih?""Tidak, tidak. Kamu pilih aja, mana yang menurutmu paling bagus. Yang penting cocok dengan tema kita. Outdoor, dengan nuansa putih."Jelas sekali perkataan Rendi itu menyinggung Fanya. Beberapa bulan yang lalu, Fanya meminta Rendi untuk pernikahan mereka dengan tema persis seperti itu.Came on Fanya, kamu kuat. Kamu gak akan nangis semudah ini."Nah Mbak,
"Selamat Siang, Pak." Fanya tersenyun lebar dengan membungkukkan badan."Anda ini ... oh, saya ingat. Anda pemilik wedding organizer yang bulan kemarin ke sini, 'kan? Mau menyewa tempat ini untuk pernikahan anda sendiri, 'kan? Wah ... saya tidak menyangka anda akan datang lebih cepat."'Dih. Belum ngomong apa-apa, udah nyerocos duluan.'"Saya memang mau menyewa tempat ini, Pak. Tapi untuk orang lain.""Oh ... saya pikir anda akan menikah. Boleh, boleh, untuk tanggal berapa?""Dua minggu lagi.""Hahahaha jangan bercanda atuh, Neng, mana bisa secepat itu? Anda tau sendiri, kan, minimal satu bulan sebelum hari H, setidaknya anda sudah ke sini untuk reservasi.""Ayolah, Pak, aku butuh banget, nih." Wajah Fanya memelas dengan menaik turunkan alisnya."Saya bisa saja ngasih ini, kalau masih kosong. Tapi masalahnya, sudah ada orang yang menyewa ini di hari yang sama," ujar pria itu dengan wajah kecewa."Cancel saja don
Sepertinya, tingkat kekesalannya pada Fanya sudah naik satu tingkat. Jelas-jelas tertulis di buku tugasnya, kalau dia sudah harus berada di rumah sebelum Regan pulang. Dan sekarang, hanya ada Akbar di rumah."Aku hanya memintamu untuk mengurus satu wanita Kai, kenapa dia belum pulang? Sok sibuk sekali dia, sampai harus pulang lebih malam dariku.""Entahlah Tuan, saya juga sudah memberitahunya berulang kali sebelum hari pernikahan. Saya akan mencarinya, nanti.""Tidak usah. Biarkan saja, pulang tidaknya dia, bukan urusanku. Dia bukan lagi anak kecil yang akan tersesat di pedalam."'Nona, Nona, tidak bisakah anda tidak membuat masalah sehari, saja.'"Hei, Kai, siapkan makan malam untuk Manda nanti." Regan berkata tanpa menoleh ke arah Kaisar yang berdiri di dasar tangga."Baik, Tuan."Entah Fanya pergi ke mana, dia pun tidak mau tahu. Hanya Regan yang menjadi prioritas utamanya selama ini."Akbar," panggil Kai den
Masa bodoh dengan Kai. Apa lagi Regan. Fanya hanya mementingkan isi perutnya saat ini."Anda mau ke mana?""Makanlah," jawab Fanya santai dengan membawa piring serta gelas di kedua tangannya."Anda tidak akan bergabung dengan mereka, 'kan?""Gak selera juga gabung sama mereka. Aku mau ke halaman belakang," sahutnya dengan berlalu meninggalkan Akbar di dapur.Jangan tanya di mana Kai. Pria itu sudah berdiri dengan mengawasi Fanya dari kejauhan sejak tadi. Menunggu jika sampai berbuat lebih.Melihat Kaisar yang berdiri dengan memasang wajah sangarnya, Fanya hanya menyapa dengan senyum lebar. Melewati pria itu dengan santai.Ada satu rumah lagi yang terletak di halaman belakang. Tempat semua pelayan Regan tinggal. Kolam renang, yang berada di tengah-tengahnya.Dan di sinilah Fanya meletakkan dirinya. Duduk bersila, di pinggiran kolam. Memangku piring dengan menikmati suara gemericik air dari pancu
Hari pernikahan Rendi akan berlangsung besok. Semua persiapan yang sudah dilakukan Fanya sempurna. Tempat impiannya dulu pun sudah ia dapat dengan keberuntungan.Menyiapkan pernikahan mantan pacar, bukan hal mudah bagi Fanya. Tapi entahlah. Apa Rendi juga merasakan hal yang sama?Malam ini, Fanya belum juga keluar dari gedung itu. Mengawasi semua persiapan dekorasi sampai mengecek konsumsi.Mengarahkan semua karyawan, agar sesuai dengan apa yang diharapkan klien. Kelambu putih, yang digantungkan sampai menyambung membentuk sebuah altar."Udah, Nya! Kamu gak capek, dari tadi mondar-mandir mulu?""Kamu pulang aja, Mira! Udah tinggal dikit lagi, kok.""Mana tega aku ninggalin kamu. Emang kamu pulang mau jalan kaki? Ini udah jam sembilan loh.""Aku bisa pakek ojek ntar.""Enggak. Ntar aku yang anterin sampai ke rumah. Sini Nya, duduk sini!" seru Mira dengan menarik tangan Fanya. "Jaga kesehatan, ke
Ada yang berbeda pagi ini. Napas hangat, yang menyapu wajahnya. Semakin lama, embusan itu terasa semakin nyata. Sampai Fanya membuka matanya perlahan dan melihat wajah Regan yang begitu dekat dengannya.Mata itu membulat dan langsung melirik ke arah tubuhnya. Takut jika pertahanan dia terlepas tadi malam.Masih aman.Bukan hanya wajah mereka yang hampir bersentuhan, tapi tangan kekar itu juga melingkar di pinggangnya."Ishh ... apa-apaan ini!" serunya dengan menghempaskan tangan Regan begitu saja."Heh, kamu berani menganggu tidurku?!""Maaf, Tuan. Tapi tangan anda melingkar di tubuh saya tadi.""Itu terserah aku. Mau aku taruh sini," ujarnya dengan kembali meletakkan tangan di atas perut Fanya. "Mau kakiku, aku taruh sini," sambungnya dengan meletakkan kaki tepat di atas kaki Fanya. "Itu terserah aku! Kamu di sini cuma numpang. Jadi gak usah protes kalau aku naruh tangan dan kaki sesukaku."'Cih. Pe
Perjanjian pernikahan, diucapkan Rendi begitu lantang. Suara tepuk tangan, bersahutan dengan riuh. Kilatan cahaya putih, saling bersahutan untuk mengabadikan momen itu.Lantas, apa Fanya baik-baik saja?Ayolah, berikan dia medali sebagai wanita paling tangguh hari ini. Dia masih bisa memasang senyum lebar hingga mirip duta pasta gigi dengan memperhatikan mereka dari kejauhan.Harusnya aku yang kamu genggam. Harusnya aku yang kamu cium. Harusnya ini menjadi tempat pernikahan kita. Aku akan mengambil hakku nanti. Aku pasti akan mengambilnya.Sesekali, Fanya berjalan ke luar gedung. Menghibur diri, dan bersiap kembali mengganti gaun mereka jika memang waktunya."Kamu gak pa-pa, kan, Nya?"Wajar jika Mira menanyakan hal itu. Melihat isi piring Fanya yang sudah di luar batas.Kalo kata Fanya, cemburu itu menguras tenaga. Dia butuh tenaga extra untuk menghadapi kenyataan."Gak pa-pa. Laper aja
Turunnya Regan dari dalam mobil itu sudah mengalihkan perhatian mereka. Beberapa fotografer justru lebih tertarik mengabadikan foto mereka ketimbang Sang Pengantin hari ini.Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani mendekat. Bisa-bisa, Kaisar akan dengan senang hati melahap mereka hidup-hidup."Pegang tanganku," ujar Regan lirih dengan mengisyaratkan agar Fanya meraih tangannya.Tentu saja, kalau perlu dia akan memeluk Regan untuk memancing emosi Rendi."Panggil aku sayang, dan bersikaplah seperti pasangan normal."'Hei, aku selalu bersikap normal! Kamu saja yang kaku kayak kanebo kering.'Dan baru kali ini, pesona tamu undangan mengalahkan segalanya. Berjalan layaknya merekalah yang menikah hari ini.Jika tadi Fanya yang makan hati, sekarang Rendi yang merasa ketar-ketir setiap langkah mereka semakin dekat."Ini merupakan suatu kehormatan bagi keluarga saya atas kehadiran anda, Tuan," ujar ayah Rendi saa