Share

Pernikahan Untuk kekasihku

Sejak pandangan mereka beradu saja, Fanya sudah mati-matian menyembunyikan air matanya. Menutupi semua dengan senyum sebagai seorang wedding organizer. Melayani klien, dengan hasil yang terbaik.

"Silakan kalian lihat dulu, mana pelaminan yang akan kalian pilih." Fanya menyodorkan tiga album ke arah mereka.

Pura-pura baik-baik saja itu memang tidak mudah. Tapi setidaknya Fanya tidak menunjukkan air matanya di depan Rendi. Pria yang kini menatap Fanya yang menundukkan kepala. 

"Sayang, sayang, ini bagus deh," ujar wanita di sebelah Rendi. "Sayang, ih, kamu kenapa, sih?"

"Tidak, tidak. Kamu pilih aja, mana yang menurutmu paling bagus. Yang penting cocok dengan tema kita. Outdoor, dengan nuansa putih." 

Jelas sekali perkataan Rendi itu menyinggung Fanya. Beberapa bulan yang lalu, Fanya meminta Rendi untuk pernikahan mereka dengan tema persis seperti itu. 

Came on Fanya, kamu kuat. Kamu gak akan nangis semudah ini. 

"Nah Mbak, anda dengar sendiri, kan, suami saya mau tema outdoor dengan serba putih. Kurang lebih, seperti ini," ujar wanita itu dengan menunjuk satu foto yang ia sodorkan ke arah Fanya. 

"Baik, akan saya catat. Untuk gaun kalian, silakan, ini referensinya." 

Fanya hanya berharap ini segera berakhir. Cukup sudah, dadanya terlalu sesak untuk menahan ini. Dua jam lamanya Fanya merencanakan pernikahan untuk pacarnya sendiri. 

Ralat. Mereka bukan lagi sepasang kekasih. Meskipun tidak ada kata putus, jelas pernikahan mereka mengatakan semuanya. 

"Oh ya, aku lupa menanyakan tanggal pernikahan kalian."

"Persiapkan ini dua minggu lagi." Rendi menyahut dengan cepat.

"Apa? Tidak mungkin. Ini mustahil. Kami tidak bisa menyiapkan pernikahan secepat itu!" protes Fanya dengan mata membulat.   

"Kenapa tidak mungkin? Ada, yang melakukan pernikahan dengan persiapan satu minggu. Aku bisa membayar kamu dua kali lipat, tiga kali lipat, sebutkan saja."

"Mmm ... kamu romantis sekali, sayang!" 

Tidak ada yang tahu maksud perkataan Rendi selain dirinya. Fanya sadar, Rendi menyinggungnya sekarang. Persiapan pernikahan satu minggu dengan Regan, membalikkan semua keadaannya dengan Rendi.  

Kedua mata Fanya sudah memanas sekarang. Tidak ada lagi waktu untuk protes. Fanya nekat mengiyakan perkataan Rendi dengan melingkari tanggal yang mereka sepakati. 

"Pertemuan kita sudah selesai, saya akan memastikan semuanya berjalan sesuai keinginan kalian." 

Jabat tangan mereka mengakhiri pertemuan menyakitkan ini. Fanya masuk ke dalam ruangannya dengan mempertahankan kristal yang hampir saja banjir di depan Rendi. 

"Nya! Anya!" teriak Mira dengan mengetuk pintu ruangan Fanya berulang kali.

"Jangan ganggu aku dulu, Mira! Lakukan saja pekerjaan kalian."

"Mbak Anya kenapa, sih?" 

Mira hanya bisa mengangkat kedua bahunya saat salah satu temannya melayangkan pertanyaan itu. Mereka kembali bekerja dengan melayani pengunjung yang sudah mengantri di salon mereka.

Sedangkan Fanya?

Gadis itu banjir air mata sekarang. Baru lima hari yang lalu Rendi mengatakan akan menunggu jandanya, dan bersedia menikahi Fanya nanti, tapi semua sudah berbanding terbalik. Secepat itu juga Rendi memilih wanita lain dan menikahinya dalam dua minggu ke depan.

Kamu sudah berjanji, 'kan?! Kenapa secepat ini! Kenapa kamu memintaku untuk mengatur pernikahan kalian?! 

"Aku masih sangat mencintaimu, sungguh." 

Meskipun pandangannya sudah bercampur dengan air mata, namun wajah Rendi masih terlihat jelas di layar ponselnya. Foto terakhir mereka lima hari yang lalu. 

Sakit hati itu menguras tenaga. Menangis pun tidak ada gunanya. Fanya mengusap wajahnya, menarik senyumnya dan kembali menyahut ransel yang sudah penuh dengan laptop, buku catatan, dan semua peralatan kerjanya. 

"Mira, ambil ini untuk makan siang kalian. Aku akan makan siang di luar, dan kembali nanti sore." 

Seolah tidak terjadi apa-apa, Fanya keluar dengan indahnya. Senyum selebar-lebarnya, hingga mirip duta iklan pasta gigi 

"Kamu gak pa-pa, kan, Nya?"

"Hanya tertekan karena waktuku cuma dua minggu. Aku pergi ya, jagain salon!" 

Mira mengacungkan jempol dengan senyum lebar. Bukan hanya dengan Mira, tapi Fanya juga berpamitan ke sepuluh karyawannya. 

Tidak ada kata tidak betah jika bekerja dengan Fanya. Banyak di antara mereka yang sudah mengikuti Fanya sejak salon wanita itu hanya untuk perawatan, sampai merambah ke wedding organizer. 

Kembali, ia harus mencari taxi. Hari ini dia sudah berniat ke tempat studio pemotretan Raisa. Kalau saja bukan karena mobilnya, dia pun enggan menemui Raisa yang sudah bak Medusa dunia nyata.

"Terima kasih, Pak. Kembaliannya simpan saja." 

"Terima kasih, Neng, semoga rezekinya lancar," ujar sopir taxi itu setelah menerima bayaran dari Fanya. 

Tidak ingin berlama lagi, Fanya masuk begitu saja. Menunggu Raisa yang masih bergaya ini itu di depan kamera. 

"Ngapain, kamu ke sini?" tanya Raisa sinis dengan mendekat ke arah adik tirinya. 

"Kembalikan mobilku," jawab Fanya dengan mengulurkan tangannya.

"Bukannya kamu sudah memberikan itu untukku?" 

"Aku gak pernah ngasih, ya, kamu sendiri yang ngerebut itu, 'kan?!" 

"Maaf ya, mobil kamu sudah aku jual." Enteng sekali Raisa mengatakan itu. Seolah tidak berdosa, dan melewati Fanya begitu saja. 

"Sa, Raisa!" terikanya yang hanya dianggap angin oleh Raisa.

"Raisa!" bentak Fanya dengan langsung mencekal lengan Raisa. 

"Auhh ... apa, sih? Sakit, bego!"

"Kamu itu udah keterlaluan, Sa! Kamu tau, aku beli mobil itu hasil kerja kerasku selama ini, aku nabung buat itu!" Wajah Fanya benar-benar memerah saat ini. Kedua tangannya pun mengepal keras, menahannya agar tidak sampai ikut bicara. 

"Aku butuh duit, buat sekolah model, kenapa kamu pelit sekali, lagian kamu bisa, kan, minta ke suamimu yang tajir melintir itu!" Cih. Sudah salah, tetap saja tidak mengaku.

"Kamu pikir aku juga gak kerja keras, buat dapetin mobil itu?! Nabung Sa, jangan buat ke kelab mulu! Aku gak mau tau, pokoknya aku minta kembaliin mobilku!"

"Sampai kamu ngesot pun mobil kamu gak bakal balik! Udah deh, gak usah sok drama gitu. Ngeladeni kamu itu buang-buang waktuku." 

"Sa! Raisa!" 

Percuma saja Fanya berteriak, Raisa tidak akan berbalik untuk sekedar minta maaf. 

"Shit. Dasar Medusa!" 

Dan sekarang waktu Fanya pun juga terbuang sia-sia. Jengkel memang iya, tapi pertanggung jawaban untuk mengurus pernikahan kekasihnya pun sudah menunggu. 

Tidak dapat uang jajan itu sudah biasa bagi Fanya. Tapi jika harus mencari taxi setiap harinya dan berpindah-pindah tempat, itu sama dengan menguras keuangannya sendiri.

Kini ia hanya bisa memilih ojek lewat aplikasi, untuk mengantarnya ke tempat di mana ia akan menyewa taman itu untuk pernikahan Rendi.

"Bisa cepat sedikit gak, Pak?" tanya Fanya dengan menepuk pundak pengemudi ojek itu.

"Bisa, Neng. Pegangan, ya!" 

Dress pilihan Kaisar sudah membuatnya repot dua kali lipat sekarang. Menahannya agar tidak sampai mengekspos bagian tubuhnya. 

"Lucu sekali, kan, sekarang aku harus menyewa tempat ini untuk pernikahan mereka. Padahal tempat ini adalah tempat impianku menikah dengan dia dulu." 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status