Aroma lavender menyeruap sampai ke sudut ruangan. Aroma dari puluhan lilin yang tertata rapi, menggantikan cahaya lampu kamar.
Taburan kelopak bunga, menumpuk hingga membentuk hati di lantai kamar mereka. Ranjang dengan sprei dominan warna putih pun sudah ditata sedemikian rupa. Lengkap dengan empat tiang sebagai penyangga kelambu putih, yang membungkus ranjang king size.
"Siapa yang menyuruhmu tidur di situ?"
Baru juga Fanya mendudukkan dirinya yang tergiur membelai kasur itu, suara bariton Regan membuatnya menegak seketika.
'Ishh ... mulai lagi dia.'
Dan Fanya hanya membalasnya dengan senyum lebar. Menyahut bantal dan selimut dari dalam lemari.
'Cih. Harusnya aku tau, kalau malamku akan berakhir di atas sofa.'
Ya, harusnya malam ini menjadi malam indah bagi pengantin baru.
Harusnya malam ini mereka melewatinya dengan desahan. Napas terengah, dan keringat yang mengguyur tubuh mereka berdua.
'Hei, jangan bilang begitu! Aku juga tidak mau menghabiskan malam seperti itu.'
Oke, Fanya tidak ingin. Regan pun demikian. Lantas, bagaimana mereka bisa berada dalam satu kamar?
"Jangan menyusahkan aku. Urus dirimu sendiri."
Lagi-lagi, Fanya tidak menjawab. Hanya anggukan cepat dengan senyum tipis.
"Kamu tidak bisu, 'kan?!"
"Tidak. Aku sudah mengangguk, 'kan?"
"Aku pikir aku menikahi gadis bisu," ujar Regan lirih.
Meladeni Regan seharian itu capek. Sudah menguras setengah dari tenanganya. Bisa-bisa, air kehidupannya pun ikut terkikis nanti.
Gadis itu lebih memilih memasang earphone, dan menyebet ponselnya. Niat yang ingin memutar lagu, justru pandangannya teralih pada tranding topik hari ini.
Apa lagi, kalau bukan berita perkawinannya dengan Regan Erlando. Seorang CEO dari perusahaan terbesar di negara ini, yang kekayaannya jika dijajar seolah tidak berujung.
Erland Enterprises, dengan semua jajarannya yang menguasai setiap jengkal kota ini.
'Bahkan napasku pun sudah berada di genggaman tangannya sekarang. Cih.'
Di atas altar itu dia berdiri dengan gaun putih yang terlihat sangat elegan dengan mahkota yang bertengger di atas kepalanya.
Tangannya terulur, menyambut tangan Regan yang memintanya. Cincin berlian pun masuk ke jari manisnya dengan sempurna. Perjanjian pernikahan, terucap dengan lantang dari mulut Regan tanpa keraguan.
'Dan sekarang aku ragu, pernikahan ini akan bertahan sampai matahari terbit.'
Come on, tidak secepat itu juga, Anya!
Muak dengan apa yang ia lihat, gadis itu beralih ke sebuah aplikasi pemutar musik. Memasang volume keras-keras, dan mulai memejamkan mata. Sudah masuk pukul dua dini hari, masih ada beberapa jam untuk mengukir sungai.
"Hei, kemarilah!"
Tidak ada jawaban. Telinga Fanya sudah tersumpal earphone sekarang.
Panggilan kedua, masih belum ada jawaban. Bahkan sampai panggilan ketiga, gadis itu masih tetap diam, dan tidak merespon apa pun.
"Sepertinya aku harus memberikan sedikit pelajaran untukmu malam ini." Regan bergerak, melirik ke arah Fanya yang masih dalam mode sleeping beauty.
Tangan kekar itu sudah gemas ingin membanting ponsel yang dipeluknya erat. Menikmati hentakan dari musik hard rock dari grup Linkin Park yang tersalur dari earphone.
Entah apa yang dilakukan Regan, pria itu berbalik arah dan masuk ke dalam kamar mandi. Ada genangan air, di kedua telapak tangannya.
Pastilah Fanya yang akan menjadi korbannya malam ini. Melihat tatapan jahil Regan, yang hanya terfokus ke arah gadis itu.
Tidak main-main, Regan benar-benar mengguyurkan air itu tepat ke wajah Fanya tanpa ha hi hu. Membuat gadis itu gelagapan dan langsung menegakkan tubuh.
"Apa, ini?!"
"He, enak saja kamu tidur. Cepat kemari!"
'Aaa ... aku berjanji akan mengirimmu ke neraka, Tuan!'
"Iya, Tuan." Senyum saja, cari aman. Bisa-bisa Regan menyiramnya dengan air keras nanti.
"Pijat kakiku."
'What the ...?'
'Dia tidak bercanda, menyuruhku memijatnya di jam sekarang?'
"Jangan membuatku mengulang perkataanku!"
Fanya mengangguk, duduk di pinggiran kasur dengan mulai memijit kaki pria itu. Mengumpat apa pun dalam hatinya, meskipun kedua sudut bibirnya ia paksa untuk menyunggingkan senyum.
'Bertahan, bertahan, bertahan, besok masih hidup.'
Begitu mantra yang selalu Fanya ucapkan sejak Atmaja memberikannya sebagai tumbal kekayaan. Bukan dalam keadaan bangkrut, hanya Atmaja yang serakah menginginkan lebih.
Menghalalkan segala cara, agar anak sulungnya itu mendapat gelar Nyonya Erland. Hanya Fanya yang bisa ia gunakan sebagai umpan emas. Kakak tirinya, menolak mentah-mentah dengan alasan dia tidak ingin diperistri iblis bertopeng malaikat.
"Bisa-bisa aku mati muda nanti. Apa lagi sampai berurusan dengan Kaisar. Bisa dikuliti aku," ujar Raisa beberapa hari yang lalu.
Penolakan dari Raisa, langsung di-ijabah oleh kedua orangtuanya. Sedangkan Fanya yang menolaknya lebih halus, harus dihadapkan dengan pernyataan sang Ayah.
"Ayah sudah merawatmu selama ini, apa kamu tidak mau membalas budi?"
'Cih. Perkataan apa, itu. Bukankah memang anak adalah tanggung jawab orangtuanya.'
Dan sekarang, malam pertamanya harus ia habiskan dengan memijit kaki suaminya yang tanpa rasa bersalah, justru tertidur lebih dulu.
"Argghh ...!" geramnya dengan mencekram kedua telapak tangannya sendiri.
'Sial! Sekarang aku harus kehilangan satu jam jatah tidurku.'
Lelah berdiri seharian untuk menyambut tamu pesta pernikahannya, Fanya tertidur dengan cepat. Ditambah terapi memijit kaki Regan yang membuat rasa kantuknya datang lebih cepat dua kali lipat.
***
Kaisar sengaja datang lebih pagi hari ini. Mengingat ada beberapa berkas yang harus dipersiapkan untuk rapat dengan kolega asing siang ini.
"Selamat pagi, Kai," sapa Akbar. Pria yang menguasai segala kebutuhan Regan. Menggerakkan semua pelayan beserta jajarannya.
"Apa Tuan Muda sudah bangun?"
"Aku belum menerima perintah darinya."
Baru juga Akbar menutup mulutnya, suara panggilan telpon yang menggantung di dapur berdering. Pria yang berstatuskan suami akhir pekan saja itu bergegas ke arah dapur.
"Kai, pergilah ke kamar Tuan Muda!" teriak Akbar setelah pria itu menutup sambungan.
"Hmmm."
Dengan langkah cepat, Kaisar menaiki tangga di mana kamar Regan terletak di tengah-tengah dua anak tangga yang saling berhubungan.
Tok tok tok
"Masuk, Kai!"
"Ada apa, Tuan?"
"Lihat, baru satu hari dia sudah seenaknya sendiri." Regan menunjuk ke arah Fanya yang masih menggulung seperti trenggiling di atas sofa. "Apa kamu belum mendidiknya?"
"Saya sudah membekalinya dengan semua peraturan kemarin."
"Siram dia!"
Kaisar tidak setega Regan. Dia memilih menyahut botol kecil dari meja rias. Menghampiri Fanya, dan menyemprotkan itu ke wajahnya.
"Emmm ...!"
Tentu saja berhasil. Siapa yang tidak akan bangun jika disemprot seperti itu?
Dan kelakuan Kaisar sudah seperti memandikan burung di dalam sangkar saking banyaknya semprotan.
Oke, ralat. Regan dan Kaisar tidak ada bedanya.
"Hei, apa kamu tidak bisa membangunkan aku lebih manusiawi lagi?!" protes Fanya dengan mengusap wajahnya.
"Ini sudah lebih manusiawi, Nona. Tuan Muda justru menyuruh saya untuk menyiram anda. Dan saya sudah menggantinya dengan menyemprotkan ini."
"Face mist! Cih. Baru kali ini aku dibangunkan dengan cara glowing."
'Salah, ya. Aku pikir ini untuk membuat rambut kaku itu. Padahal aku berencana membuat wajahnya kaku tadi.'
"Apa anda lupa, dengan tugas anda?"
"Iya, iya, jangan mengingatkanku. Pergi sana!"
***
Sebelum Regan keluar kamar mandi, Fanya sudah tahu apa yang ia lakukan. Menyiapkan baju kantor Regan yang sudah terjadwal di buku tugas-tugasnya selama menjadi istri Regan."Kenapa lama sekali? Bisa telat aku." Jika dilihat, Fanya sudah seperti ayam yang akan bertelur sekarang. Mondar-mandir, melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh. Melirik ke arah kamar mandi, yang belum juga terbuka."Anda sudah seperti mermaid yang terdampar, saja."Entah berbicara dengan siapa, Fanya berkecak pinggang menghadap pintu kamar mandi. Seolah pintu itu jelmaan Regan."Ah, terserah! Tidur saja di sana."Lelah menunggu, Fanya menyahut kimono handuknya dan berlarian kecil ke luar kamar. Turun, dan masuk ke dalam ruang tamu.Tidak usah dijelaskan lagi, gadis itu tahu tidak akan ada kamar mandi di luar. Semua kamar mandi, akan berada di setiap kamar di sana."Bahkan aku bisa mandi dua kali lebih cepat
Sejak pandangan mereka beradu saja, Fanya sudah mati-matian menyembunyikan air matanya. Menutupi semua dengan senyum sebagai seorang wedding organizer. Melayani klien, dengan hasil yang terbaik."Silakan kalian lihat dulu, mana pelaminan yang akan kalian pilih." Fanya menyodorkan tiga album ke arah mereka.Pura-pura baik-baik saja itu memang tidak mudah. Tapi setidaknya Fanya tidak menunjukkan air matanya di depan Rendi. Pria yang kini menatap Fanya yang menundukkan kepala."Sayang, sayang, ini bagus deh," ujar wanita di sebelah Rendi. "Sayang, ih, kamu kenapa, sih?""Tidak, tidak. Kamu pilih aja, mana yang menurutmu paling bagus. Yang penting cocok dengan tema kita. Outdoor, dengan nuansa putih."Jelas sekali perkataan Rendi itu menyinggung Fanya. Beberapa bulan yang lalu, Fanya meminta Rendi untuk pernikahan mereka dengan tema persis seperti itu.Came on Fanya, kamu kuat. Kamu gak akan nangis semudah ini."Nah Mbak,
"Selamat Siang, Pak." Fanya tersenyun lebar dengan membungkukkan badan."Anda ini ... oh, saya ingat. Anda pemilik wedding organizer yang bulan kemarin ke sini, 'kan? Mau menyewa tempat ini untuk pernikahan anda sendiri, 'kan? Wah ... saya tidak menyangka anda akan datang lebih cepat."'Dih. Belum ngomong apa-apa, udah nyerocos duluan.'"Saya memang mau menyewa tempat ini, Pak. Tapi untuk orang lain.""Oh ... saya pikir anda akan menikah. Boleh, boleh, untuk tanggal berapa?""Dua minggu lagi.""Hahahaha jangan bercanda atuh, Neng, mana bisa secepat itu? Anda tau sendiri, kan, minimal satu bulan sebelum hari H, setidaknya anda sudah ke sini untuk reservasi.""Ayolah, Pak, aku butuh banget, nih." Wajah Fanya memelas dengan menaik turunkan alisnya."Saya bisa saja ngasih ini, kalau masih kosong. Tapi masalahnya, sudah ada orang yang menyewa ini di hari yang sama," ujar pria itu dengan wajah kecewa."Cancel saja don
Sepertinya, tingkat kekesalannya pada Fanya sudah naik satu tingkat. Jelas-jelas tertulis di buku tugasnya, kalau dia sudah harus berada di rumah sebelum Regan pulang. Dan sekarang, hanya ada Akbar di rumah."Aku hanya memintamu untuk mengurus satu wanita Kai, kenapa dia belum pulang? Sok sibuk sekali dia, sampai harus pulang lebih malam dariku.""Entahlah Tuan, saya juga sudah memberitahunya berulang kali sebelum hari pernikahan. Saya akan mencarinya, nanti.""Tidak usah. Biarkan saja, pulang tidaknya dia, bukan urusanku. Dia bukan lagi anak kecil yang akan tersesat di pedalam."'Nona, Nona, tidak bisakah anda tidak membuat masalah sehari, saja.'"Hei, Kai, siapkan makan malam untuk Manda nanti." Regan berkata tanpa menoleh ke arah Kaisar yang berdiri di dasar tangga."Baik, Tuan."Entah Fanya pergi ke mana, dia pun tidak mau tahu. Hanya Regan yang menjadi prioritas utamanya selama ini."Akbar," panggil Kai den
Masa bodoh dengan Kai. Apa lagi Regan. Fanya hanya mementingkan isi perutnya saat ini."Anda mau ke mana?""Makanlah," jawab Fanya santai dengan membawa piring serta gelas di kedua tangannya."Anda tidak akan bergabung dengan mereka, 'kan?""Gak selera juga gabung sama mereka. Aku mau ke halaman belakang," sahutnya dengan berlalu meninggalkan Akbar di dapur.Jangan tanya di mana Kai. Pria itu sudah berdiri dengan mengawasi Fanya dari kejauhan sejak tadi. Menunggu jika sampai berbuat lebih.Melihat Kaisar yang berdiri dengan memasang wajah sangarnya, Fanya hanya menyapa dengan senyum lebar. Melewati pria itu dengan santai.Ada satu rumah lagi yang terletak di halaman belakang. Tempat semua pelayan Regan tinggal. Kolam renang, yang berada di tengah-tengahnya.Dan di sinilah Fanya meletakkan dirinya. Duduk bersila, di pinggiran kolam. Memangku piring dengan menikmati suara gemericik air dari pancu
Hari pernikahan Rendi akan berlangsung besok. Semua persiapan yang sudah dilakukan Fanya sempurna. Tempat impiannya dulu pun sudah ia dapat dengan keberuntungan.Menyiapkan pernikahan mantan pacar, bukan hal mudah bagi Fanya. Tapi entahlah. Apa Rendi juga merasakan hal yang sama?Malam ini, Fanya belum juga keluar dari gedung itu. Mengawasi semua persiapan dekorasi sampai mengecek konsumsi.Mengarahkan semua karyawan, agar sesuai dengan apa yang diharapkan klien. Kelambu putih, yang digantungkan sampai menyambung membentuk sebuah altar."Udah, Nya! Kamu gak capek, dari tadi mondar-mandir mulu?""Kamu pulang aja, Mira! Udah tinggal dikit lagi, kok.""Mana tega aku ninggalin kamu. Emang kamu pulang mau jalan kaki? Ini udah jam sembilan loh.""Aku bisa pakek ojek ntar.""Enggak. Ntar aku yang anterin sampai ke rumah. Sini Nya, duduk sini!" seru Mira dengan menarik tangan Fanya. "Jaga kesehatan, ke
Ada yang berbeda pagi ini. Napas hangat, yang menyapu wajahnya. Semakin lama, embusan itu terasa semakin nyata. Sampai Fanya membuka matanya perlahan dan melihat wajah Regan yang begitu dekat dengannya.Mata itu membulat dan langsung melirik ke arah tubuhnya. Takut jika pertahanan dia terlepas tadi malam.Masih aman.Bukan hanya wajah mereka yang hampir bersentuhan, tapi tangan kekar itu juga melingkar di pinggangnya."Ishh ... apa-apaan ini!" serunya dengan menghempaskan tangan Regan begitu saja."Heh, kamu berani menganggu tidurku?!""Maaf, Tuan. Tapi tangan anda melingkar di tubuh saya tadi.""Itu terserah aku. Mau aku taruh sini," ujarnya dengan kembali meletakkan tangan di atas perut Fanya. "Mau kakiku, aku taruh sini," sambungnya dengan meletakkan kaki tepat di atas kaki Fanya. "Itu terserah aku! Kamu di sini cuma numpang. Jadi gak usah protes kalau aku naruh tangan dan kaki sesukaku."'Cih. Pe
Perjanjian pernikahan, diucapkan Rendi begitu lantang. Suara tepuk tangan, bersahutan dengan riuh. Kilatan cahaya putih, saling bersahutan untuk mengabadikan momen itu.Lantas, apa Fanya baik-baik saja?Ayolah, berikan dia medali sebagai wanita paling tangguh hari ini. Dia masih bisa memasang senyum lebar hingga mirip duta pasta gigi dengan memperhatikan mereka dari kejauhan.Harusnya aku yang kamu genggam. Harusnya aku yang kamu cium. Harusnya ini menjadi tempat pernikahan kita. Aku akan mengambil hakku nanti. Aku pasti akan mengambilnya.Sesekali, Fanya berjalan ke luar gedung. Menghibur diri, dan bersiap kembali mengganti gaun mereka jika memang waktunya."Kamu gak pa-pa, kan, Nya?"Wajar jika Mira menanyakan hal itu. Melihat isi piring Fanya yang sudah di luar batas.Kalo kata Fanya, cemburu itu menguras tenaga. Dia butuh tenaga extra untuk menghadapi kenyataan."Gak pa-pa. Laper aja