Suara jam dinding di ruang tamu rumah Restu terdengar jelas sampai ke ruang makan. Rumah dalam kondisi sepi. Restu sedang berada di dalam kamar mandi karena perutnya mendadak mules setelah nekat makan sambal buatan Gia banyak-banyak. Gia sengaja membuat sambal bawang dengan banyak cabai setan untuk pelengkap ayam goreng buatan Restu. Panas cabai langsung mengoyak mulut dan perut Restu yang memang tidak kuat pedas. Dia tidak bisa menahan gejolak dalam perutnya. Sudah lima belas menit, belum ada tanda dia keluar dari kamar mandi, sedangkan Gavin mempersiapkan perlengkapan sekolah di kamarnya.Gia baru saja selesai mencuci perala--[tan makan bekas sarapan mereka bertiga. Dia mengambil tas ransel hitam miliknya dari kursi makan yang tadi ditempatinya, kemudian berlalu menuju ke ruang tamu.Gia memandang ke seluruh sudut ruang tamu. Sebelumnya, dia tidak pernah mengamati rumah Restu sama sekali. Dia tidak peduli dengan apa yang ada di sini. Sekarang, semua mulai terlihat menarik. Gia terta
Gia berjalan menunduk memasuki gedung A. Dia tidak punya semangat untuk kuliah hari ini."GIA," panggil Jessica sambil berlari mendekat.Gia memutar badannya. Melihat Jessica membuat Gia sedikit bersyukur. Walaupun Jessica termasuk teman dengan mulut paling bocor, tapi dia selalu setia menemani Gia. Gia sangat beruntung bisa mengenal Jessica."Kenapa lo?" tanya Jessica saat menyadari Gia sedang muram."Cabut, yuk!" ajak Gia. Sebuah kode bahwa dia ingin bercerita di tempat yang lebih nyaman, selain di kampus.Tanpa perlu menjawab, Jessica langsung menarik tangan Gia. Dia membawa Gia ke tempat parkir, lalu memintanya masuk ke dalam mobil sedan merah miliknya. Gia menurut tanpa protes."Mau ke mana?" tanya Jessica sambil menyalakan mobil."Masih pagi gini enaknya ke mana?" Gia balik bertanya."Ya mana gue tau. Lo yang ngajakin pergi. Harusnya lo yang mikir," sahut Jessica cuek."Serah, deh. Lo mau bawa gue ke asgard juga gue nurut. Asal gue balik masih utuh aja.""Yakin?""Nggak, sih."Je
Gia akhirnya dikecewakan oleh orang yang diharap bisa mengobati sakit hatinya. Dia mendadak malas bertemu orang yang membuat kecewa. Dia muak mendengar suaranya, bahkan sampai jijik saat ada yang mengucap namanya. Wajah Gia semakin suram dengan kerut dan bibir cemberut. Di kepalanya terus muncul wajah bahagia Restu dan wanita cantik dengan pakaian seksi itu. Melihat Restu mesra bersama wanita lain, langsung membuat kepercayaannya runtuh. Semua pikiran baik tentang Restu, yang baru saja diterima oleh hatinya, menjadi lenyap. Isi kepalanya sekarang penuh dengan pikiran jelek yang semakin meningkat tiap mengingat kejadian itu. "Lo liat sendiri, kan, Je? Om-om tua itu sama aja kayak lelaki lain, sama aja kayak Bang Hugo. Dia manis di mulut doang. Semua cowok sama aja. Nyatanya, dia masih aja doyan main cewek begitu, mana bisa banget milih cewek cakep," keluh Gia di dalam mobil Jessica yang sedang melaju kembali ke kampus. "Emang lo tau siapa dia?" tanya Jessica. Pandangan matanya lurus
Jalanan lenggang, tanpa kemacetan yang berarti. Lampu merah memaksa mobil Restu berhenti sejenak. Perjalanan mereka masih butuh beberapa menit lagi sampai tujuan. Tujuan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh Gia. Restu terus diam selama perjalanan, sama sekali tidak mencoba mengajak Gia berbicara. Suasana hening di dalam mobil. Tidak ada suara musik yang biasa diputar oleh Gia. Suara deru kendaraan dan sesekali klakson yang saling bersautan di luar cukup membuat Gia merasa semakin resah. Baru pertama kali Gia melihat Restu dalam mode galak begini. Ini bukan Restu yang membuat Gia jatuh hati. Sekarang, Restu terlihat menakutkan. Bukan menakutkan selayaknya genderuwo yang mencari perawan di siang hari. Ya, walaupun antara genderuwo dan Restu sama-sama doyan perawan. Gia merasa yang duduk di sampingnya adalah pria tua yang senang menculik perawan, lalu menjualnya ke pria hidung belang yang berani membayar mahal. Pria-pria seperti ini biasanya sering nekat melakukan kekerasan de
Minggu pagi menjadi waktu yang pas untuk bermalas-malasan. Bangun siang, makan, pipis, eek, dan tidur lagi seharian. Itu yang dilakukan Gia dulu. Gia yang hanya berfikir tentang enaknya sendiri, tidak peduli Bunda sudah mengomel panjang melihat anak gadisnya sudah mirip kain pel bekas—lecek, kucel, kusut, dan bau—tinggal dibuang aja. Gia yang sekarang berbeda. Setelah Restu menunjukkan keikhlasannya melepas Bianca, Gia semakin yakin untuk memperbaiki dirinya. Gia tidak mau Restu menyesal karena dirinya masih sama, tanpa perubahan yang lebih baik. Gia mau Restu juga melihat usahanya. Terlebih lagi, nantinya Gia akan menjadi seorang ibu bagi Gavin. Sebuah tanggungjawab yang jauh lebih besar. Jantungnya selalu berdebar kencang kalau mengingat statusnya akan berubah menjadi istri dan ibu sekaligus, peran baru yang lebih menuntut kedewasaannya. Cahaya matahari mulai masuk dari sela-sela jendela kamar Gia yang masih tertutup gorden. Gia menyibakkan gorden berwarna hijau tua itu. Di seberan
Semenjak Restu nekat memperkenalkan diri sebagai calon suami Gia, Hugo memang terlihat tidak terawat. Rambutnya dibiarkan semakin panjang, bahkan seringkali terlihat acak-acakan. Bajunya beberapa kali nampak kusut. Dari laporan Jessica, Hugo seperti kehilangan semangat. Dia sering mangkir dari jadwal rapat BEM. Hugo bahkan lebih mudah emosi hanya karena hal kecil. Gia pun merasa bersalah. Sayangnya, Hugo tidak pernah memberinya kesempatan untuk berbicara. Dia selalu menghindar. Hugo menolak berada terlalu dekat dengan Gia. "Bang Hugo ngapain di sini?" tanya Gia basa-basi. Gia mencoba tersenyum. Sayang, senyumnya kaku dan malah membuatnya terlihat seperti meremehkan Hugo. "Mau beli buku. Gue kehabisan bahan bacaan," jawab Hugo. "Lo sendirian?" tanya Hugo perlahan. Ada ribuan jarum jahit yang bergerak acak menikam jantungnya. Gia tersenyum lebih tulus. "Iya. Udah mirip anak hilang, ya? Bentar lagi ada yang mau nyulik Gia, nih. Kalau Gia nggak ada kabar besok, laporin polisi, ya, Ban
Matahari sudah tenggelam, saat Gia memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Hari ini tidak seburuk yang Gia bayangkan. Bertemu dengan Hugo setelah beberapa minggu ini dia menghindari Gia, ternyata tidak terlalu buruk. Tadinya, Gia mengira pertemuannya ini akan berakhir dengan kondisi aneh atau bahkan terjadi pertengkaran. Tapi, sebaliknya, Hugo masih tetap Hugo, senior menyebalkan yang berhasil membuat hati Gia berbunga-bunga. Sekarang, Gia sadar bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Hugo masih punya tempat spesial di hati Gia.Baru saja Gia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Gia mengurungkan niatnya keluar mobil. Dia meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Sebuah pesan dari Hugo membuat jantungnya malas berdetak dalam beberapa detik.Senior Galak KesayanganMakasih buat hari ini, Gi. Gue seneng ketemu lo.Gia tersenyum lebar membaca pesan dari Hugo. Apa yang dirasakannya ternyata dirasakan juga oleh Hugo. Mereka dua orang yang saling menikmati pertem
Cowok di depan Gia masih berhasil membuatnya salah tingkah. Ada gelitik aneh di dadanya. Rasanya beda dengan debaran yang dulu dia rasakan, waktu masih berharap Hugo bisa membalas cintanya. Rasa ini membuat perasaannya membaik."Ngagetin aja, Bang! Gia kira setan. Kalau jantung Gia copot, gimana? Bang Hugo mau tanggung jawab?" omel Gia mencoba bersikap biasa saja, padahal perasaannya berantakan. Dia sadar sudah salah. Kalau dia terus bersama Hugo, pasti rasa bersalah pada Restu ini akan semakin meningkat."Sebenernya, kalau disuruh tanggungjawab, gue mau aja. Tapi, gue nggak mau ngerebut calon istri orang," sahut Hugo. Dia berkata seperti itu dengan serius. Sengaja dia memberi jeda supaya Gia semakin salah tingkah, lalu tertawa, seakan ini memang hanya ocehan tanpa makna. Nyatanya, Hugo memang berharap menggantikan posisi Restu sebagai calon suami Gia."Bang," panggil Gia pelan, nyaris tidak terdengar Hugo.Hugo memandang Gia sambil tersenyum. "Lo manggil gue?""Ajakin gue ke KUA sekar