Home / Romansa / Love in Kyoto / BAB 1 Dia Bertanya Padaku, Tentang Cinta

Share

BAB 1 Dia Bertanya Padaku, Tentang Cinta

last update Last Updated: 2021-05-09 15:38:57

 “Mama, bolehkah aku bertanya tentang cinta?”

(Anindya Vannisa Putri, 19 tahun)

_____

- Bandara Internasional, Juanda, Surabaya.

Seorang wanita tengah berdiri menanti di depan ruang tunggu penjemput sejak dua jam lalu. Sengaja ia datang lebih awal lantaran sesuatu. Sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya selama ia ditinggal pergi oleh puteri semata wayangnya ke Kyoto, Jepang. Sembari menanti kedatangan puterinya, ia kembali membaca isi pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya.

From: Nindy

Mama, apakah pernah merasa patah hati?

Ceritakan padaku tentang itu, apakah sama dengan yang kurasa.

Mama, aku sedih

Kalimat penegas yang terakhir itulah yang membuat wanita itu penasaran akan apa yang telah terjadi pada puterinya. Ia terus-menerus bergumam, “Apakah Takuya melukaimu, Nindy? Ayo, cepatlah datang. Ceritakan semua yang telah terjadi pada dirimu dengan dia.” Dan wanita itupun dibuat terkejut ketika ia kini telah melihat sesosok gadis remaja berusia 19 tahun itu keluar dari balik kerumunan orang-orang bersama dengan Nicky dan sedang menggeret kopernya. Wanita itu melambaikan tangan ke arah gadis itu seraya memanggil-manggil namanya.

 “Nindy! Nicky! Di sini…!” teriaknya keras diantara kerumunan para penjemput lainnya. Gadis remaja itu rupanya melihat ibunya dan lekas berjalan menghampirinya di ruang penjemput.

 “Mama…, mama. Aku pulang… aku pulang.” ucapnya lirih.

*

Gadis itu menangis sambil memeluk ibunya saat berada di dalam taksi menuju rumahnya. Sebulan yang lalu ia kembali ke Kyoto, Jepang untuk kedua kalinya. Di sana ia pergi bukan untuk bekerja atau bersenang-senang. Gadis itu, Nindy. Ia menyusul kepergian seorang lelaki Jepang yang sudah membuatnya jatuh cinta. Pun dengan segala macam lika-liku perjalanan cintanya dengan orang Jepang tersebut. Yang menyesakkan dadanya, ia tahu bahwa perjuangan mendapatkan kembali cinta itu amatlah berat, seperti apa yang pernah ibunya lakukan dulu ketika mengejar cinta ayah Nindy. Air mata terkuras, berikut dengan sesaknya hati yang bertambah kian merajalela.

Gadis itu terisak-isak, “Se … sekarang Nindy tahu, Ma. Cinta itu sakit, cinta itu tangis dan cinta itu luka. Huhuhu …,” Nindy, si gadis remaja berkulit putih dan dikaruniai paras yang cantik. Pipinya dan hidungnya memerah oleh sebab tangisnya.

 “Usaplah air matamu, ibu tidak ingin tertular menangis. Sudah cukup air mata ibu keluar deras untuk mendapatkan ayahmu dulu. Tolong, berhentilah menangis. Lebih baik kau cerita saja tentang dia. Apa dia sudah menolakmu, Nindy?”’ wanita itu penasaran dan lekas ingin cepat sampai di rumah. Sedang laju mobil taksi merambat perlahan seperti deretan semut yang tengah berimigrasi tempat.

Gadis itu menjawab, ”Apakah untuk mendapatkan cinta itu harus menderita?” itu saja yang terucap dari bibirnya. Itu saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love in Kyoto   BAB 15 Sepasang Mata yang Tak Lagi Melihat

    Rumah Sakit Umum Surabaya, 23.30 wib.Lelaki paruh baya itu merintih pelan, suaranya terdengar serak-serak basah. Ia memanggil nama isterinya yang tengah malam itu terbaring di atas sofa tak jauh dari ranjangnya. Sekalipun ia mencoba agar bisa mengangkat tangan kanannya yang terbebas dari selang infus, ternyata gagal terus.“Edela, Edela…,Ede…la,” panggilnya dengan suaranya yang parau, “kau di mana? Kenapa gelap? Apa lampu mati?” lelaki itu tak kuasa menahan rasa takutnya. Ia takut gelap, dan mendengar suara layar monitor perekam jantung di dekatnya. Tlit…Tlit…Tlit…Tak ada sahutan. Hening. Senyap.Lelaki itu bertambah nian rasa takutnya, akhirnya ia berteriak keras seraya menghabiskan seluruh tenaganya hanya agar ia bisa berteriak.“Edela!! Edela!!” tanpa sengaja tangan kanannya menyenggol sebuah gelas yang ada di atas meja dan jatuh ke lantai, pecah b

  • Love in Kyoto   BAB 14 Seorang Wanita Berkepang, Nayumi

    Kyoto Apartment 11 Kodaiji TempleSeorang wanita berdiri tepat di depan sebuah pintu kamar apartemen Murakami Takuya. Ia menenteng dua kopor besar di tangan kanan dan kirinya. Penampilan wanita muda yang usianya berkisar duapuluh empat tahunan itu terlihat kuno. Rambutnya dikepang seperti wanita desa pada umumnya. Sebelum akhirnya ia memencet bel kamar, wanita itu menarik napas panjang.“Fiiuuhh, akhirnya kutemukan juga kau disini, Takuya-chan. Kau tidak bisa lari dariku untuk ketiga kalinya.”*Lelaki Jepang itu mulai menggoreskan pena di atas kertas gambarnya setelah ia selesai menggambar sketsa dengan pensil. Seperti biasa, jika lelaki itu sudah masuk ke dalam dunia lainnya, maka gangguan sedahsyat apapun ia tak akan bisa mendengar. Sebab ia sengaja meredam suara dan menutup telinga dengan headsetnya untuk mendengarkan musik lagu. Ia berimajinasi pada sesosok wajah seorang gadis yang kini tengah menguasai pikiranny

  • Love in Kyoto   BAB 13 Why Did You Crying?

    Toko boneka Irasshaimase, siang hari.Takuya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang dan itu adalah waktu dimana ia harus segera pulang sedang ia menunggu pengganti shift sore yang belum juga datang. Tak biasanya gadis itu datang terlambat, pikir Takuya saat itu. Lelaki Jepang itu mengenal sikap kedisiplinan Nindy pada waktu.“Ah, kenapa dia belum datang juga? Aku ada ujian menggambar hari ini, ufffth…, kalau sampai telat, aku bisa gagal lulus di tahun akhir.” Takuya semakin resah, ia menoleh ke belakang dan melihat si pemilik toko, Ogawa Sachio sedang sibuk bercinta dengan kertas dan kalkulator. “Ah, si bos juga sedang sibuk. Bisa mati aku di sini.” keluhnya bertambah bingung. Akhirnya Takuya keluar dari dalam toko untuk melongok ke jalan, barangkali ia melihat sosok gadis yang dinantinya itu datang. Ada sekitar sepuluh menit ia berdiri, tapi Nindy tetap belum menampakkan batang hidungnya.

  • Love in Kyoto   BAB 12 Goresan Pensil, Aku Jatuh Cinta

    Gadis itu memperhatikan gerak-gerik lincah tangan Takuya yang tengah menggenggam sebuah pena dan mulai menggoreskan pensil hitam itu di atas kertas gambar. Ia meminta Rafael untuk berdiri di tengah sedang dikelilingi oleh keempat rusa untuk dijadikan obyek gambarnya.Slert..slert…slert…Takuya seakan pindah ke dimensi yang lain, dimana ia sama sekali tidak mau menjawab semua pertanyaan Nindy. Jika lelaki Jepang itu sudah terfokus menggenggam pensil dan kertas, maka yang terjadi adalah ia tak akan pernah mempedulikan siapapun selain hanya dirinya dan apa yang tengah digambarnya.“Kau mau mengajariku menggambar komik, Kak Takuya?” tanyanya sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Hanya suara goresan pensil itu yang terus berbicara, slert…slert…slert…“Hei, Nindy! Sampai kapan aku berdiri disini? Capek!” keluh Rafael sambil menggaruk-garuk kaki dengan tangannya. Sedang rusa-rusa

  • Love in Kyoto   BAB 11 Seekor Rusa Betina di Nara Park

    “Oh, Mama. Apa kau tidak percaya padaku?”[Nindy]____________Takuya mengajak gadis itu masuk ke dalam Taman Nara, tepat di musim panas. Di mana banyak dedaunan yang gugur menghiasi rerumputan hijau yang mulai sedikit menguning. Banyak sekali pohon-pohon yang juga mengitari area taman menambah sejuk udara walau kala itu tengah di musim panas. Angin sepoi-sepoi yang berhembus mengibar-ngibarkan rambut panjang Nindy yang tergerai lepas. Suara-suara para pengunjug yang terlihat asyik berbincang-bincang dan berikut pula dengan suasana yang jauh luar biasa dan belum pernah dilihat oleh gadis itu.Rusa.Banyak sekali rusa-rusa yang dibiarkan bebas menghampiri para pengunjung tanpa mereka harus takut disakiti atau bahkan menyakiti. Pemandangan seperti itu membuat Nindy terbengong-bengong. Kala itu, ada empat ekor rusa yang tiba-tiba berjalan menghampiri Takuya dan Nindy.“Oh, tidak! Ini menakutkan, kakak Takuya.

  • Love in Kyoto   BAB 10 Setitik Rasa Cemburu

    Universitas Kyoto, musim panas Rafael memperhatikan gerak-gerik Nindy sejak ia baru saja masuk ke dalam kelas. Ia melihat seperti ada perbedaan yang tampak dari tingkah lakunya belakangan ini. Sudah hampir seminggu Nindy selalu melewatkan waktu untuk berdiskusi tentang kesenian dan budaya Jepang. Ia selalu mangkir dengan alasan bekerja part time. Gadis itu baru saja masuk ke dalam ruang kelasnya dan duduk di samping Rafael. Ia tebarkan senyum tipisnya pada pemuda itu. “Kau sudah tidak masuk kelas seni lima hari, Nindy. Nanti kau tidak dapat sertifikat, apa kau tidak bisa meluangkan waktu sejenak? Ini hanya setahun, kuminta kau jangan menyia-nyiakan waktu singkatmu.” tutur Rafael mencoba untuk mengingatkan kelalaian gadis itu. “Ssst, jangan keras-keras kalau bicara. Aku sudah dengar, aku tidak menyia-nyiakan waktuku. Ini, semua tugas tentang kesenian sudah kukerjakan tengah malam sampai jam dua pagi. Aku tidak tidur selepas bekerja, kau menger

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status