Share

BAB 1 Dia Bertanya Padaku, Tentang Cinta

 “Mama, bolehkah aku bertanya tentang cinta?”

(Anindya Vannisa Putri, 19 tahun)

_____

- Bandara Internasional, Juanda, Surabaya.

Seorang wanita tengah berdiri menanti di depan ruang tunggu penjemput sejak dua jam lalu. Sengaja ia datang lebih awal lantaran sesuatu. Sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya selama ia ditinggal pergi oleh puteri semata wayangnya ke Kyoto, Jepang. Sembari menanti kedatangan puterinya, ia kembali membaca isi pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya.

From: Nindy

Mama, apakah pernah merasa patah hati?

Ceritakan padaku tentang itu, apakah sama dengan yang kurasa.

Mama, aku sedih

Kalimat penegas yang terakhir itulah yang membuat wanita itu penasaran akan apa yang telah terjadi pada puterinya. Ia terus-menerus bergumam, “Apakah Takuya melukaimu, Nindy? Ayo, cepatlah datang. Ceritakan semua yang telah terjadi pada dirimu dengan dia.” Dan wanita itupun dibuat terkejut ketika ia kini telah melihat sesosok gadis remaja berusia 19 tahun itu keluar dari balik kerumunan orang-orang bersama dengan Nicky dan sedang menggeret kopernya. Wanita itu melambaikan tangan ke arah gadis itu seraya memanggil-manggil namanya.

 “Nindy! Nicky! Di sini…!” teriaknya keras diantara kerumunan para penjemput lainnya. Gadis remaja itu rupanya melihat ibunya dan lekas berjalan menghampirinya di ruang penjemput.

 “Mama…, mama. Aku pulang… aku pulang.” ucapnya lirih.

*

Gadis itu menangis sambil memeluk ibunya saat berada di dalam taksi menuju rumahnya. Sebulan yang lalu ia kembali ke Kyoto, Jepang untuk kedua kalinya. Di sana ia pergi bukan untuk bekerja atau bersenang-senang. Gadis itu, Nindy. Ia menyusul kepergian seorang lelaki Jepang yang sudah membuatnya jatuh cinta. Pun dengan segala macam lika-liku perjalanan cintanya dengan orang Jepang tersebut. Yang menyesakkan dadanya, ia tahu bahwa perjuangan mendapatkan kembali cinta itu amatlah berat, seperti apa yang pernah ibunya lakukan dulu ketika mengejar cinta ayah Nindy. Air mata terkuras, berikut dengan sesaknya hati yang bertambah kian merajalela.

Gadis itu terisak-isak, “Se … sekarang Nindy tahu, Ma. Cinta itu sakit, cinta itu tangis dan cinta itu luka. Huhuhu …,” Nindy, si gadis remaja berkulit putih dan dikaruniai paras yang cantik. Pipinya dan hidungnya memerah oleh sebab tangisnya.

 “Usaplah air matamu, ibu tidak ingin tertular menangis. Sudah cukup air mata ibu keluar deras untuk mendapatkan ayahmu dulu. Tolong, berhentilah menangis. Lebih baik kau cerita saja tentang dia. Apa dia sudah menolakmu, Nindy?”’ wanita itu penasaran dan lekas ingin cepat sampai di rumah. Sedang laju mobil taksi merambat perlahan seperti deretan semut yang tengah berimigrasi tempat.

Gadis itu menjawab, ”Apakah untuk mendapatkan cinta itu harus menderita?” itu saja yang terucap dari bibirnya. Itu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status