Setelah tulisan ‘Start’ menghilang, mereka diperhadapkan dengan labyrinth yang entah seluas apa. Kabut tipis melayang-layang di hadapan mereka. Sunyi sepi, tidak terdengar apapun di labyrinth berkabut itu.
“Kurasa kita harus mulai sekarang, Claire,” kata Leon.
“Kurasa begitu,” jawab Claire.
Mereka kemudian melangkahkan kaki menuju pintu masuk labirin itu. Seketika terdengar bunyi berdetak, seperti bunyi jam. Claire dan Leon saling berpandangan.
“Jangan bilang kita berpacu dengan waktu!” seru Claire.
“Entahlah. Tidak ada game seperti ini seingatku, semuanya sudah berubah,” jawab Leon.
Leon kemudian menjulurkan tangannya ke depan, mengeluarkan layar opsi miliknya. Layar itu terbuka, di bagian atasnya terlihat jelas angka dengan warna kuning yang berkedip sesuai dengan bunyi detakan jam itu. ‘23:59:40’ dan terus menurun.
“Sial! Mereka hanya memberi kita waktu dua puluh empat jam dihitung dari langkah pertama kita,” kata Leon lagi.
“Ayo, mulai berjalan!” seru Claire sedikit menarik lengan Leon.
Mereka tidak punya banyak waktu. Hanya dalam dua puluh empat jam, entah seberapa besar labyrinth ini.
“Jika waktunya sebanyak itu, mereka pasti memperkirakan kita akan bermalam di dalam labyrinth ini,” kata Claire tiba-tiba saat mereka sudah mulai memasuki labirin. Di sekitar mereka tidak ada apa-apa selain tanaman hijau yang menjadi dinding pembatas.
“Kejam sekali jika mereka tidak menyediakan makanan dan minuman untuk kita,” jawab Leon.
Claire diam sejenak, tapi ia tahu Leon benar. Tanpa makanan dan minuman seharian, entah mereka dapat bertahan atau tidak.
“Kamu yang bilang sendiri, bukan? Bahwa tidak ada game yang tidak ada jalan keluarnya. Jadi tenanglah. Tidak mungkin jika tidak ada makanan ataupun minuman di sini,” sahut Claire.
Mereka berjalan mengikuti kelokan labirin hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah persimpangan. Entah harus memilih ke kiri atau ke kanan.
“Kiri atau kanan?” tanya Leon.
“Kenapa bertanya padaku?”
“Kamu dewi kebijaksanaan. Harus bertanya pada siapa lagi selain bertanya pada dirimu?”
“Astaga! Mana kutahu!” seru Claire frustasi. Leon hanya diam memperhatikan sambil bersidekap. Menunggu Claire yang memutuskan.
Claire menghembuskan napas dengan kesal, namun akhirnya ia mengikuti instingnya dengan memilih kiri. Entah apa yang ia pikirkan, tapi setidaknya, jalan di kiri terlihat lebih kecil. Claire selalu percaya jalan menuju kebaikan selalu terlihat lebih buruk dibandingkan jalan menuju ke tempat yang salah.
Mereka berjalan lurus ke depan dan Claire mulai merasakan sesuatu yang aneh. Jalan ini tampak terlalu lurus untuk sebuah labirin. Tidak ada kelokan atau persimpangan lainnya dekat situ. Setelah jauh melangkah, Claire baru memperhatikan jejak-jejak di tanah. Itu seperti jejak kaki suatu makhluk dan Claire mengenali makhluk apa itu.
“Oh tidak!” seru Claire tiba-tiba.
“Apa?” tanya Leon.
“Labirin ini bukan labirin biasa! Seharusnya kita sudah menyadari itu sejak tadi!” seru Claire.
“Apa maksudmu?” tanya Leon.
“Jalan apapun yang kita pilih, tidak akan menjauhkan kita dari bahaya, Leon!” seru Claire lagi, ia semakin panik hingga tidak bisa menjelaskan dengan baik.
“Tenanglah, Claire! Bicara pelan-pelan,” sahut Leon sambil memegang kedua bahu Claire.
“Leon ... ini labirin Pulau Kreta. Kamu sadar apa yang sedang kita hadapi di dalam sini?”
“Labirin Pulau Kreta? Astaga ... M-minotour? Pria berkepala banteng pemakan daging manusia itu?” tanya Leon dengan suara nyaris hilang di bagian ujungnya. Claire baru saja hendak menjawab, ketika mereka mendengar langkah kaki yang mulai mendekat. Nafas mendengus khas seekor banteng terdengar begitu berat dan begitu dekat. Leon menaruh jari telunjuk di depan bibirnya, menyuruh Claire diam dan tidak bersuara.
Ia menarik Claire kembali ke belakang sebab langkah kaki Minotour itu terdengar dari arah depan. Leon dan Claire berjalan secepat mungkin namun dengan suara sesedikit mungkin yang mereka bisa menuju kelokan labirin terakhir yang mereka lihat. Namun, nampaknya sia-sia saja, dari arah depan terdengar suara tawa yang sangat berat. Setengah mendengus, setengah melenguh, suara itu menertawakan mereka.
“Rupanya sudah waktunya makan!” serunya. Minotour itu sudah mengetahui kedatangan Claire dan Leon. Claire bergidik, bahkan dewa-dewi telah mati di tangan Minotour Pulau Kreta. Entah apakah Athena dan Apollo bisa bertahan melawan makhluk beringas pemakan daging itu. Kini Claire dan Leon berlari secepat mungkin, mencari kelokan untuk bersembunyi. Langkah-langkah kaki Minotour itu pun terdengar semakin cepat.
“Tidak perlu berlari! Kalian tidak akan dapat keluar dari sini!” seru minotour itu.
Claire dan Leon menemukan suatu kelokan labirin yang terlihat tersembunyi. Mereka berjongkok dengan jantung berdetak kencang.
“Siapa yang bisa mengalahkan Minotour dalam legenda mitologi Yunani?” tanya Leon pada Claire.
“Theseus...” bisik Claire.
“Sial! Seharusnya aku memilih Theseus!” seru Leon dengan suara berbisik.
“Bisakah menggantinya?” tanya Claire.
“Aku tidak tahu,” jawab Leon jujur.
Mereka berhenti berbisik sebab suara dengusan dan langkah kaki yang berat itu mulai mendekat. Minotaur itu sudah sangat dekat. Claire dengan bergetar menutupi mulutnya sendiri.
“Aku bisa mencium bau daging dan darah segar...” kata Minotaur itu lagi.
Leon tiba-tiba mengajak Claire berdiri, lalu menariknya ke arah lain. Itu membuat rumput di bawah mereka bergemerisik. Minotaur itu menoleh ke sumber suara sambil mendengus. Ia tahu mangsanya ada di sana.
“Keluarlah domba-domba kecil! Aku berjanji akan memakan kalian dengan cepat, jadi tidak akan terasa sakit,” kata Minotaur itu sambil terkekeh.
Beruntung Leon membawa Claire dengan cepat ke sudut lain kelokan labirin yang lebih jauh, sebab Minotaur itu kini berjalan ke tempat mereka bersembunyi tadi. Minotaur itu mengendus-endus, mengingat-ingat aroma tubuh yang kini merasuki indra penciumannya.
“Dewi Athena... sebuah kehormatan! Dan Apollo! Aku sangat membenci kalian! Aku membenci semua yang dipuja ayahku, Raja Minos!” serunya dengan suara menggelegar.
Claire semakin bergetar mendengarnya. Hanya dengan aroma tubuh mereka, Minotaur itu bisa mengenali. Claire memutar otaknya, ia mencari pengetahuan dari otak Athena, bagaimana cara mengalahkan monster kejam itu.
“Lepaskan aku! Aku ini calon presiden kalian! Lepaskan aku sekarang juga!” seru Boston Hopkins pada para polisi yang memborgol tangannya.“Anda berhak untuk diam. Semuanya bisa Anda jelaskan di pengadilan. Anda juga bisa menyewa pengacara untuk membela Anda,” jawab polisi itu.“Pengawal! Pengawal!” teriak Boston Hopkins dengan panik. Tetapi tidak ada satupun pengawal yang mendekat. Sebab Leon sudah menyuruh mereka pergi sejauh mungkin.Boston Hopkins terpaksa menyerah kepada para polisi. Ia masuk ke dalam mobil polisi dan dibawa pergi. Sepanjang perjalanan, orang-orang melemparinya dengan telur busuk. Polisi harus menertibkan masyarakat agar tidak melempari Boston dengan telur dan benda-benda lainnya. Boston tidak percaya ini benar-benar menimpa dirinya. Padahal selangkah lagi saj
Fox kembali berbaring di sofa meluruskan kakinya yang sakit. Claire membantu Fox dengan mengganjal kakinya dengan bantal agar bengkaknya tidak semakin parah.“Aku bisa membantu Leon,” katanya.“Kamu tidak akan bisa membantu kalau kamu belum sehat. Istirahatlah dulu, kamu membutuhkannya,” jawab Claire.Claire pergi ke dapur dan ia pun memanaskan air untuk membuatkan teh hangat untuk Leon. Masih ada teh yang belum basi di apartemen itu. Ia pun membawakannya untuk Leon. Pria itu bahkan belum beristirahat sejak tadi. Tubuhnya masih basah kuyup.“Terima kasih,” kata Leon sambil tersenyum. Senyuman yang selalu membuat jantung Claire berdegup dua kali lebih cepat.“Apakah kamu tidak bisa ber
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
“Hey bro, kamu sudah lihat berita di televisi?” tanya salah seorang bodyguard yang sedang berjaga di markas tempat Fox menjalani hukumannya.“Sudah. Aku berpikir kita sebaiknya pergi sebelum polisi menangkap kita juga,” jawab bodyguard yang satunya.“Ssst!! Pelankan suaramu. Jika yang lain mendengar kita bisa dibunuh,” jawabnya.“Hey... let me go, please...” kata Fox mengiba pada kedua orang yang sedang berbisik-bisik itu.Dua orang itu berpandang-pandangan lalu melihat ke arah Fox.“Sorry, kid. Kalau kami melepaskanmu, kami pasti akan mati. Sekarang kecilkan suaramu atau kita akan dapat masalah!” seru orang itu dengan suara berbisik.
Tidak butuh waktu lama, Claire dan Leon sudah sampai ke apartemen lama Leon. Mereka berlari menuju ke elevator setelah memarkirkan mobil di garasi pribadi Leon. Elevator pribadi itu langsung mengantarkan mereka ke apartemen Leon yang ditinggal dalam keadaan berantakan. Bekas-bekas peluru masih ada di tembok, kaca jendela yang pecah, bahkan bantal sofa yang berlubang.Leon tidak menunggu waktu lama, ia langsung berlari ke ruang kerja lamanya lalu mengeluarkan laptop milik Claire dan segala peralatan yang ia bawa di dalam tas. Claire langsung menyalakan TV untuk mendengarkan ada berita apa di televisi. Begitu dinyalakan, berita di televisi langsung menayangkan hal yang sudah Claire dan Leon duga sebelumnya.“Sejumlah pejabat negara mendatangi kantor polisi secara tiba-tiba hari ini. Belum ada konfirmasi resmi dari pihak kepolisian tetapi informasi yang bere