Share

4. Gugup

Penulis: Juya Luc
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-22 20:52:12

Alice merasakan perang batin, haruskah ia kembali saja atau membangunkan pria itu. Ia melirik keluar ruangan, hari sudah mulai gelap. Akhirnya Alice memutuskan untuk mendekat menuju sofa itu dan menunduk, ia mendekatkan kepalanya ke wajah pria itu dan mengamati dari dekat wajah tampannya. Erickson selalu memasang wajah dingin dan kaku saat sadar, namun saat sedang tidur wajahnya lebih tenang dan polos, seperti anak kecil.

Alice terbayang bagaimana jika ekspresi wajah polos yang dilihatnya saat ini adalah ekspresi yang dipasang oleh pria itu setiap hari di kantor, pasti semakin banyak yang tergila-gila padanya. Sejujurnya ia cukup beruntung bisa berada dengan jarak yang dekat dengan bosnya seperti saat ini.

Ekspresi wajah Alice seketika berubah saat ingatannya tiba-tiba mengingat kejadian beberapa hari yang lalu saat seorang wanita datang ke kantor dan menemui Erickson. Usut punya usut, wanita itu adalah wanita kesekian yang dibawa oleh ayahnya untuk menjadi teman kencan Erickson, namun ditolak oleh pria itu. Lagi-lagi katanya, wanita itu datang untuk membujuk Erickson agar tidak menolak kencan mereka. Padahal penampilan wanita itu tidak bisa dibilang biasa saja, malah sangat cantik dan seksi, bahkan rekan-rekan kerja Alice melihat wanita itu dengan lekat seakan melihat bidadari.

Sedangkan Erickson melihat wanita itu dengan tatapan datarnya seperti biasa. Karena hal itu terus terjadi berulang kali, banyak rumor di kalangan karyawan yang mengatakan bahwa Erickson sudah mencintai pekerjaannya melebihi wanita. Bahkan ada yang bilang Erickson menganut kepercayaan bahwa pekerja merupakan pasangan hidupnya. Tentu saja Alice geleng-geleng kepala mendengar gosip itu.

"Presdir, apa anda tahu orang-orang bilang anda sudah menikah dengan pekerjaan?" kekeh Alice pelan di hadapan Erickson yang tertidur pulas. Tentu Erickson tidak mendengarnya karena ia sedangkan terlelap. Setidaknya itu yang Alice pikirkan sebelum Erickson membuka matanya.

Tidak sepatah katapun yang keluar dari bibirnya, namun perlahan mata yang terpejam itu terbuka hingga menunjukkan iris indah berwarna biru menatap tanpa ragu sosok perempuan di depannya yang kini terkesiap mendapati dirinya sudah tersadar.

"Eh, itu… saya… maafkan saya... apa Anda terbangun karena saya?" Alice tidak tahu harus berbuat apa, ia refleks membulatkan matanya menatap Erickson. Berarti sejak tadi Erickson tidak tidur dan mendengar ucapannya? Atau ia malah terbangun karena dirinya?

Alice menyesali kalimatnya yang keluar dengan mudahnya dari mulutnya tadi. Ia merasa malu. Tapi seharusnya Erickson menjawab panggilannya jika ia tidak tidur bukannya malah diam dan membuat Alice berbicara yang aneh-aneh. Untunglah ia tidak mendeklarasikan rasa kagumnya pada Erickson seperti siang tadi. Jika tidak, ia tak bisa bayangkan akan seberapa malu lagi dirinya saat ini.

"Anu… saya membawa proposalnya." Berusaha setenang mungkin, Alice mencoba mengalihkan pembicaraan mereka. Meski detak jantungnya masih berdebar hebat karena terkejut.

"Sudah yang keberapa kali?" Erickson bersuara parau. Ia bangkit lalu mengambil sekumpulan kertas di tangan Alice.

Suaranya yang terdengar serak di telinga Alice membuatnya berasumsi seperti Erickson baru saja bangun. Ternyata benar, dirinya membuat bosnya terbangun dari tidurnya. Rada bersalahnya sedikit tertutupi dengan kebingungan yang muncul, ia memiringkan kepalanya mencoba mengartikan apa maksud dari ucapan Erickson. "Apanya?" Alice berucap perlahan, lalu mengintip melalui sudut matanya, takut Erickson akan memarahinya.

"Kau mengantar proposal ini." Nada yang begitu menusuk, bahkan meskipun ia tak menatap Alice sedikitpun, Alice sudah merasa sedang dimarahi.

Benar dugaan Alice, Presdirnya itu sedang dalam mood yang jelek. Nadanya terasa lebih tajam dari biasanya. Ditambah ia yang sembarangan mengganggu istirahat Erickson mungkin menjadikannya semakin jengkel.

"4 kali…," ujar gadis itu pelan. Ia menggigit bibir bawahnya gugup menunggu balasan Erickson yang tak kunjung datang.

Lama membisu, akhirnya suara Erickson yang memecah keheningan. "Lumayan. Kita gunakan ini dalam meeting besok sebelum kamu survei ke lapangan." Nada ketus yang tadi sudah menghilang, yang sampai di telinga Alice hanya nada datar biasa yang selalu keluar dari mulut Erickson. Untunglah, pikirnya. Padahal ia sudah ingin bersiap untuk mengulang lagi.

Erickson yang tadinya duduk di sofa itu kini sudah berdiri lalu kemudian memakai jasnya yang tergeletak di ujung kursi. "Pulanglah. Kerja bagus untuk hari ini." Erickson mengancingkan dua kancing jasnya lalu menyapunya sedikit dengan tangannya.

"Baik, Presdir." Alice tersenyum cerah menanggapi ucapan Erickson. Matanya tak sengaja melirik keluar ruangan dan menyadari bahwa ternyata hanya tinggal mereka berdua yang berada di sana. Semua rekan kerjanya di lantai yang sama sudah tidak terlihat batang hidungnya. Lalu kecanggungan muncul perlahan dan ia tercenung dengan mulutnya sedikit terbuka setelah ia menyadari jangan-jangan Erickson menunggunya menyelesaikan proposalnya? Karena bahkan Arthur pun tak terlihat di sana. Rasa bersalah menelannya karena membuat Erickson jadi lembur gara-gara dirinya.

"Maafkan saya, Presdir. Saya jadi membuat Anda pulang terlambat." Alice sungguh merasa bersalah dan tidak enak hati.

Erickson menahan gerakan tangannya yang tadi tengah sibuk merapikan beberapa tumpukan di mejanya. "Aku tidak menunggumu. Aku menunggu Arthur." Ia tak berbohong saat mengatakan itu, ia memang bukan hanya menunggu proposalnya namun ia juga menunggu Arthur. Lagipula ia sudah biasa pulang lebih larut dari hari ini. Malah kebetulan saja hari ini pekerjaannya sudah hampir selesai saat matahari mulai terbenam sehingga ia bisa sedikit bersantai.

"Ah, begitu. Baik. Kalau begitu saya permisi." Alice tak berani bertanya atau memperdebatkan rasa bersalahnya pada Erickson karena itu mungkin malah membuat suasana semakin canggung baginya.

"Tunggu." Erickson menimbang sebentar. Alice menatapnya dalam diam, menunggu atasannya itu melanjutkan ucapannya.

"Apa rumahmu jauh?" Manik berwarna cerah yang indah itu menatap Alice, ekspresinya sangat sulit untum ditebak. Ia hanya menatap datar dan menunggu gadis itu menjawabnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Love is Dangerous   25. Apa itu kencan?

    Mobil Erickson sudah berhenti di depan apartemen Alice. Alice sudah hendak turun namun sebenarnya masih dilanda keingintahuan. Karena Erickson tidak memberitahunya alasan mengapa pria itu menanyakan kesibukannya malam besok."Sampai jumpa besok."Hanya kalimat itu yang ia dengar dari Erickson setelah dirinya turun dari mobil. Alice pun menelan rasa penasarannya. Ia mengangguk dan tak lupa berterima kasih.Mobil Erickson melaju tanpa ragu meninggalkan Alice yang masih berdiri menatap mobil hitam itu menghilang ditelan malam.***Erickson tengah duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Ia menatap sebuah kertas yang tergeletak diatas kotak besar di dalam ruangan tersebut. Sejak ia pulang dari mengantar Alice, ia sama sekali tak pergi kemana pun dan segera kembali ke apartemen. Saat ia kembali pun tak ada siapapun yang berada di apartemennya. Namun kini sebuah surat tergeletak dengan jelas di sudut meja yang bisa segera langsung tertangkap indera penglihatan Erickson. Terlebih lagi kot

  • Love is Dangerous   24. Candaan Erickson

    "Apa anda baru pulang?" Alice membuka mulutnya, mencoba mengganti topik pembicaraan mereka setelah dirinya menyadari sepertinya lawan bicaranya itu tak berniat sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya tadi.Atmosfer yang masih terasa canggung. Disekeliling ada banyak orang memenuhi meja-meja di sana, sayangnya tak membuat Alice merasa lebih nyaman. "Yah, tapi untunglah. Kalau tidak, aku tidak akan tahu bahwa tunanganku sedang bersama pria lain." Erickson menggelengkan kepalanya dan berdecak menyayangkan.Itu terlihat palsu.Alice memejamkan mata, mengembuskan napas pelan. "Kenapa anda terus mengatakan tunangan?" Ia kesal. Padahal dirinya sudah berusaha mengganti topik mereka setelah Erickson tadi tidak mau menjawab pertanyaannya. Sekarang malah kembali menyinggung kata 'tunangan'. Alice merasa kata itu terlalu sering ia dengar beberapa hari belakangan."Karena kau tunanganku.""Masih belum. Bukankah masih ada waktu sampai sebelum jam 12 malam besok?""Berarti segera, bukan?""Itu bel

  • Love is Dangerous   23. Amarah Erickson

    Lengan kekar Erickson masih setia menempel di pundak Alice. Telapak tangannya yang dingin terasa menusuk ke dalam kulit bagian lengan atas Alice yang terekspos akibat gaun yang ia pakai hari ini menampilkan pundaknya dengan sempurna. Kini wajah Alice dan Erickson hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Dirinya kini bahkan bisa mendengar deru napas pria itu berpacu dengan degupan jantung miliknya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya.Mengapa Erickson berada di sampingnya? Memang tempat ini tak jauh dari kantor mereka, tetapi tetap saja itu tidak menjawab rasa penasaran Alice. Tidak jauh berbeda dengan dirinya, pria yang duduk di depannya pun memiliki keterkejutan yang sama. Dia terlihat membeku di tempat dengan mulut terbuka. Sepertinya dia tahu siapa yang tengah memeluk Alice saat ini."Erickson… Stewart…," ujarnya tak percaya menyebut nama Erickson. Wajahnya memucat. Sosok yang sebelumnya dia cibir dengan mulut yang sama, kini ia sebut namanya dengan ketakutan yang terpancar

  • Love is Dangerous   22. Makan siang bersama

    Ah, tidak. Saat ini yang terpenting adalah membuat mereka tidak makan di sana. Alice memutar otaknya. "Bagaimana kalau makan di luar saja? Saya rasa akan sedikit ramai di sana karena sepertinya kita orang terakhir yang datang." Alice berpura-pura melirik jam di tangannya untuk memperkuat alasannya. Padahal ia sama sekali tidak memerhatikan arah jarum jam tangannya itu menunjuk ke mana.Namun, ternyata hal itu cukup berhasil. Erickson melirik jam di tangannya dan beberapa saat kemudian ia berkata, "Benar. Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja." Erickson membalikkan badannya dan membuat Alice merasakan kelegaan setelah beberapa saat merasakan kepanikan."Bagaimana dengan restoran di belakang?" Alice dengan sedikit bersemangat menyarankan. Itu adalah restoran yang berada di belakang gedung perkantoran mereka, yang berjarak hanya dengan sebuah jalan kecil namun panjang yang berujung ke sebuah jalan besar. Restoran itu biasanya didatangi oleh banyak dari rekan kerjanya saat pulang k

  • Love is Dangerous   21. Waktu untuk berpikir

    Erickson sungguh tak menyangka bahwa ucapan Arthur malah benar adanya. Wanita di depannya ini tidak semudah itu untuk menyetujui. Lantas Erickson menyeringai tipis, ia memejamkan matanya seolah merasa puas.Berbeda dengan Alice yang kini malah bergidik ngeri melihat Erickson menampakkan senyum yang menurutnya menyeramkan. Bagaimana tidak, sebelumnya pria itu terlihat mengernyit tak senang, namun sedetik kemudian dia malah tersenyum menyeringai.Tanpa memedulikan ekspresi Alice yang terlihat jelas di matanya, Erickson dengan santainya berujar, "Mengapa kau ragu-ragu? Bukankah ini cukup menguntungkan bagimu?""Meskipun tidak banyak yang mengetahui tentang kandasnya hubungan saya, tapi tetap saja, hal ini terlalu tiba-tiba. Orang-orang pasti akan sama terkejutnya seperti saya saat ini."Erickson sedikit memicingkan matanya. Lalu ia tertawa kecil. "Jadi apa kau ingin menolak?" ujarnya memancing. Diperhatikannya dengan seksama wajah Alice yang sedang kebingungan.Alice menelan ludahnya saa

  • Love is Dangerous   20. Syarat

    Keheningan menyelimuti. Alice masih cukup linglung untuk bertanya pada Erickson yang saat ini masih mengawasinya dalam diam.Tidak pernah terpikirkan olehnya hal seperti itu akan datang kepadanya. Terlebih lagi dari orang yang dia hormati itu. Ini terlihat tidak nyata. Apa ini mimpi?"Anda bercanda, kan?" ucapan yang hanya ia katakan dalam hatinya ternyata lolos dari mulutnya. Ia sangat ingin memastikan. Dengan sedikit perasaan segan yang menyelimuti, Alice perlahan menatap manik Erickson yang ekspresinya masih sama; datar. Namun, Alice tahu bahwa tidak ada candaan dalam mimik muka itu. "Meskipun aku memberimu kontrak seperti ini, tapi tenanglah, ini bukan kontrak yang mengekang atau memiliki batas waktu," Erickson akhirnya mengeluarkan suaranya setelah memilih bungkam dan sejak tadi setia mengawasi Alice yang kebingungan. Ia lalu menyuruh Alice membaca isi dari kontrak itu dengan gestur tangannya. Jika gadis itu terus saja terperanjat, maka pembicaraan mereka ini tidak akan selesai b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status