Share

Love is Dangerous
Love is Dangerous
Penulis: Juya Luc

Prolog

Penulis: Juya Luc
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-22 20:38:06

Lelaki tinggi berparas tampan itu berjalan memasuki sebuah bar dengan wajah tanpa ekspresi bersama sekretarisnya yang berada tepat di sampingnya. Sesaat setelah ia mendekat ke arah kerumunan yang tengah bergurau dan berbincang-bincang, mereka bersorak seolah menyambutnya dengan gembira.

Malam ini tepat pukul sembilan malam, Erickson bersama beberapa rekan kerjanya yang ikut berpartisipasi telah memutuskan untuk sedikit berpesta setelah menyelesaikan event pertama mereka yang sukses.

Erickson duduk di tengah tepat di kursi yang sudah disisakan oleh mereka, sebenarnya masih banyak kursi kosong lainnya, namun semua terus mendesak Erickson untuk duduk tepat di sana.

Hanya ada mereka yang berada di bar itu karena Erickson sendiri lah yang menyewa bar untuk malam ini agar tidak ada keramaian yang mengganggu acara mereka, ditambah ia dekat dengan pemiliknya yang kini terlihat sedang menyusun beberapa gelas cantik yang belum terpajang di tempatnya, sehingga menyewa bar bukanlah hal sulit bagi Erickson.

Setelah membenarkan posisi duduknya, Erickson menyingkap sedikit lengan kemeja putihnya hingga ke siku karena merasa sedikit terganggu. Hal itu membuat lengannya yang cukup kekar terekspos jelas. Beberapa dari wanita yang ada di sana terlihat terkejut dengan tindakan Erickson, mereka saling berbisik dengan histeris tanpa terdengar oleh Erickson.

Di ujung meja, seorang gadis yang sejak tadi tak ikut memerhatikan sang atasan seperti beberapa wanita lain karena sibuk melihat wine yang berada di hadapannya dengan riangnya. Ini pertama kalinya bagi dirinya minum wine, maka tentu saja ia merasa berdebar. Gadis di seberangnya yang merupakan sahabatnya terkekeh melihat temannya yang begitu fokus dan antusias pada wine di hadapannya.

"Alice, kau harus menunggu Presdir mengajak bersulang untuk meminum ini." Siska menunjuk gelas yang sudah berisikan wine dengan sengaja untuk menggoda Alice.

Yang dijahili mendengkus mendengar ucapan jahil temannya. Ia berharap atasannya akan segera mengajak mereka bersulang agar ia bisa mencicipi wine yang terlihat sangat menggoda itu.

"Baiklah, karena ini bertepatan dengan Jum'at malam yang mana besok merupakan hari libur, mari kita rayakan keberhasilan event pertama kita hingga kalian puas." Seakan mendengar isi hati Alice, tak lama kemudian Erickson bangkit dan mengangkat wine glass-nya yang sudah terisi bermaksud mengajak semua yang ada di sana untuk ikut bersulang bersama.

Suara dentingan terdengar cukup keras bersamaan dengan sorakan kompak dari sekelompok orang itu, mereka meminum wine dengan gembira, tak terkecuali Alice yang dengan senangnya meminum wine itu dalam sekali teguk.

"Hei, kau harusnya jangan minum seperti itu. Ini kan pertama kalinya kau mencicipi ini." Siska menarik gelas Alice dengan paksa. Bisa-bisa Alice akan segera mabuk jika minum seperti itu.

"Aku hanya akan minum sedikit saja. Tapi, hey, itu sangat enak." Alice memandang Siska dengan girang lalu ia mengambil gelasnya lagi dan menuangkan wine lalu kembali meminumnya. Namun kali ini, ia meneguknya sedikit demi sedikit karena tak mau mendengar ocehan Siska yang kini tengah mengamatinya.

"Kau sudah mabuk. Tidakkah kau sadar sudah berapa gelas kau minum?" bisik Siska beberapa waktu kemudian.

Alice sudah minum empat gelas tanpa sadar sembari mereka berbincang. Wajahnya pun kini merah padam. Ia bahkan terlihat sesekali terhuyung.

"Baiklah. Aku akan berhenti. Aku keluar sebentar mencari angin. Rasanya di sini sangat panas." Alice yang merasa pusing pun berpamitan dengan Siska dan berjalan menuju pintu bar dengan lambat. Hendak Siska mengikutinya, namun seniornya yang berada di sampingnya malah mengajaknya mengobrol tentang pekerjaan mereka sehingga Siska hanya bisa melirik Alice dengan khawatir.

***

Erickson meraih saku celananya setelah merasa ponselnya bergetar sejak tadi. Ditatapnya layar itu dan terdiam sebentar seolah menimbang apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Beberapa detik kemudian, ia menggeser layarnya dengan jempolnya dan mendekatkan ponselnya ke telinganya sambil berlalu keluar dari bar itu.

Ia terlihat sedikit berargumen di sana sebelum akhirnya menutup telepon itu segera setelah melihat sosok wanita yang sepertinya dikenalnya berada tak jauh dari tempatnya berdiri sedang bersama dua orang pria. Karena pencahayaan di tempat wanita itu berdiri cukup gelap sehingga ia tak bisa melihat wajah kedua pria itu, namun ia tahu bahwa ada yang tidak beres di sana.

Erickson segera menghampiri mereka dengan langkah cepat. Benar saja, wanita itu adalah Alice, salah satu karyawannya. Dan terlihat dia sedang diganggu oleh dua orang pria mabuk tak dikenal yang terus saja menarik tangannya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" ucapnya dengan suara yang dalam. Lalu ia menarik tangan wanita itu sehingga membuat dua pria itu terkejut.

"Apa yang kau lakukan? Dia akan pergi dengan kami! Jangan mengganggu!" Salah satu pria itu menarik lengan Alice dengan kasar.

Erickson berdecak kesal. Dihempaskannya tangan pria itu dengan kuat sehingga dia sedikit tersungkur ke belakang.

"Presdir!" Alice yang awalnya menutup mata dengan erat karena takut, kini menatap Erickson dengan wajah senang. Ia pikir itu adalah khayalannya saja bahwa dirinya mendengar suara atasannya itu, namun ternyata pria itu benar-benar berada di hadapannya.

Kedua pria yang tadinya masih keras kepala dan tidak mau mengalah, akhirnya melarikan diri setelah mendengar bagaimana Alice menyapanya.

"Terima kasih, Presdir." Alice sedikit membungkukkan badannya pada Erickson. Ia sadar bahwa ia akan dalam masalah jika tadi tidak ditolong Erickson. Lalu ia mendongak dan menatap wajah bosnya yang tanpa ekspresi. Alice kembali mengingat, tangan Erickson yang menggenggamnya terasa begitu hangat, berbanding terbalik dengan wajah dinginnya.

"Lain kali jika kau terlalu mabuk, ajak temanmu untuk keluar. Jangan berkeliaran sendirian," ujar Erickson yang kemudian berbalik hendak masuk kembali ke dalam bar. "Ayo," ucapnya lagi sambil menunggu Alice untuk masuk lebih dulu.

Alice berjalan sambil merasa gembira, entah karena mabuk yang dialaminya atau karena hal lain, namun sejak malam itu, Alice jadi mengagumi sang atasan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Love is Dangerous   25. Apa itu kencan?

    Mobil Erickson sudah berhenti di depan apartemen Alice. Alice sudah hendak turun namun sebenarnya masih dilanda keingintahuan. Karena Erickson tidak memberitahunya alasan mengapa pria itu menanyakan kesibukannya malam besok."Sampai jumpa besok."Hanya kalimat itu yang ia dengar dari Erickson setelah dirinya turun dari mobil. Alice pun menelan rasa penasarannya. Ia mengangguk dan tak lupa berterima kasih.Mobil Erickson melaju tanpa ragu meninggalkan Alice yang masih berdiri menatap mobil hitam itu menghilang ditelan malam.***Erickson tengah duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Ia menatap sebuah kertas yang tergeletak diatas kotak besar di dalam ruangan tersebut. Sejak ia pulang dari mengantar Alice, ia sama sekali tak pergi kemana pun dan segera kembali ke apartemen. Saat ia kembali pun tak ada siapapun yang berada di apartemennya. Namun kini sebuah surat tergeletak dengan jelas di sudut meja yang bisa segera langsung tertangkap indera penglihatan Erickson. Terlebih lagi kot

  • Love is Dangerous   24. Candaan Erickson

    "Apa anda baru pulang?" Alice membuka mulutnya, mencoba mengganti topik pembicaraan mereka setelah dirinya menyadari sepertinya lawan bicaranya itu tak berniat sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya tadi.Atmosfer yang masih terasa canggung. Disekeliling ada banyak orang memenuhi meja-meja di sana, sayangnya tak membuat Alice merasa lebih nyaman. "Yah, tapi untunglah. Kalau tidak, aku tidak akan tahu bahwa tunanganku sedang bersama pria lain." Erickson menggelengkan kepalanya dan berdecak menyayangkan.Itu terlihat palsu.Alice memejamkan mata, mengembuskan napas pelan. "Kenapa anda terus mengatakan tunangan?" Ia kesal. Padahal dirinya sudah berusaha mengganti topik mereka setelah Erickson tadi tidak mau menjawab pertanyaannya. Sekarang malah kembali menyinggung kata 'tunangan'. Alice merasa kata itu terlalu sering ia dengar beberapa hari belakangan."Karena kau tunanganku.""Masih belum. Bukankah masih ada waktu sampai sebelum jam 12 malam besok?""Berarti segera, bukan?""Itu bel

  • Love is Dangerous   23. Amarah Erickson

    Lengan kekar Erickson masih setia menempel di pundak Alice. Telapak tangannya yang dingin terasa menusuk ke dalam kulit bagian lengan atas Alice yang terekspos akibat gaun yang ia pakai hari ini menampilkan pundaknya dengan sempurna. Kini wajah Alice dan Erickson hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Dirinya kini bahkan bisa mendengar deru napas pria itu berpacu dengan degupan jantung miliknya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya.Mengapa Erickson berada di sampingnya? Memang tempat ini tak jauh dari kantor mereka, tetapi tetap saja itu tidak menjawab rasa penasaran Alice. Tidak jauh berbeda dengan dirinya, pria yang duduk di depannya pun memiliki keterkejutan yang sama. Dia terlihat membeku di tempat dengan mulut terbuka. Sepertinya dia tahu siapa yang tengah memeluk Alice saat ini."Erickson… Stewart…," ujarnya tak percaya menyebut nama Erickson. Wajahnya memucat. Sosok yang sebelumnya dia cibir dengan mulut yang sama, kini ia sebut namanya dengan ketakutan yang terpancar

  • Love is Dangerous   22. Makan siang bersama

    Ah, tidak. Saat ini yang terpenting adalah membuat mereka tidak makan di sana. Alice memutar otaknya. "Bagaimana kalau makan di luar saja? Saya rasa akan sedikit ramai di sana karena sepertinya kita orang terakhir yang datang." Alice berpura-pura melirik jam di tangannya untuk memperkuat alasannya. Padahal ia sama sekali tidak memerhatikan arah jarum jam tangannya itu menunjuk ke mana.Namun, ternyata hal itu cukup berhasil. Erickson melirik jam di tangannya dan beberapa saat kemudian ia berkata, "Benar. Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja." Erickson membalikkan badannya dan membuat Alice merasakan kelegaan setelah beberapa saat merasakan kepanikan."Bagaimana dengan restoran di belakang?" Alice dengan sedikit bersemangat menyarankan. Itu adalah restoran yang berada di belakang gedung perkantoran mereka, yang berjarak hanya dengan sebuah jalan kecil namun panjang yang berujung ke sebuah jalan besar. Restoran itu biasanya didatangi oleh banyak dari rekan kerjanya saat pulang k

  • Love is Dangerous   21. Waktu untuk berpikir

    Erickson sungguh tak menyangka bahwa ucapan Arthur malah benar adanya. Wanita di depannya ini tidak semudah itu untuk menyetujui. Lantas Erickson menyeringai tipis, ia memejamkan matanya seolah merasa puas.Berbeda dengan Alice yang kini malah bergidik ngeri melihat Erickson menampakkan senyum yang menurutnya menyeramkan. Bagaimana tidak, sebelumnya pria itu terlihat mengernyit tak senang, namun sedetik kemudian dia malah tersenyum menyeringai.Tanpa memedulikan ekspresi Alice yang terlihat jelas di matanya, Erickson dengan santainya berujar, "Mengapa kau ragu-ragu? Bukankah ini cukup menguntungkan bagimu?""Meskipun tidak banyak yang mengetahui tentang kandasnya hubungan saya, tapi tetap saja, hal ini terlalu tiba-tiba. Orang-orang pasti akan sama terkejutnya seperti saya saat ini."Erickson sedikit memicingkan matanya. Lalu ia tertawa kecil. "Jadi apa kau ingin menolak?" ujarnya memancing. Diperhatikannya dengan seksama wajah Alice yang sedang kebingungan.Alice menelan ludahnya saa

  • Love is Dangerous   20. Syarat

    Keheningan menyelimuti. Alice masih cukup linglung untuk bertanya pada Erickson yang saat ini masih mengawasinya dalam diam.Tidak pernah terpikirkan olehnya hal seperti itu akan datang kepadanya. Terlebih lagi dari orang yang dia hormati itu. Ini terlihat tidak nyata. Apa ini mimpi?"Anda bercanda, kan?" ucapan yang hanya ia katakan dalam hatinya ternyata lolos dari mulutnya. Ia sangat ingin memastikan. Dengan sedikit perasaan segan yang menyelimuti, Alice perlahan menatap manik Erickson yang ekspresinya masih sama; datar. Namun, Alice tahu bahwa tidak ada candaan dalam mimik muka itu. "Meskipun aku memberimu kontrak seperti ini, tapi tenanglah, ini bukan kontrak yang mengekang atau memiliki batas waktu," Erickson akhirnya mengeluarkan suaranya setelah memilih bungkam dan sejak tadi setia mengawasi Alice yang kebingungan. Ia lalu menyuruh Alice membaca isi dari kontrak itu dengan gestur tangannya. Jika gadis itu terus saja terperanjat, maka pembicaraan mereka ini tidak akan selesai b

  • Love is Dangerous   19. Maukah kau menjadi tunanganku?

    Jam makan siang telah tiba dan Arthur sudah keluar lebih dulu, hanya menyisakan Erickson yang masih berada di kursi besarnya. Sebelum keluar, Arthur berkali-kali mendiktenya agar berbicara dengan sungguh-sungguh tanpa mengintimidasi. Apa-apaan maksudnya? Memangnya dia hendak memangsa si gadis? Kening Erickson berkerut. Ia merasa Arthur semakin tak sopan beberapa waktu belakangan ini."Apa dia pikir aku ini anak kecil?" Erickson berdecak kesal. Mengintimidasi? Mengapa kata itu sering kali terdengar di telinganya? Ia merasa tak pernah mencoba mengintimidasi lawan bicaranya. Ia hanya berbicara normal. Memangnya berbicara normal itu mengintimidasi? Ia menghela napas dengan kasar. Disandarkan punggung ke kursinya. Ia mengetukkan telunjuknya ke meja kerjanya, menimbang-nimbang hal yang harus dilakukannya.Tak lama kemudian, ia membenarkan posisi duduknya menjadi sedikit tegap ke depan. Lalu ia menatap ke luar ruangannya beberapa saat sebelum akhirnya meraih ponselnya yang hanya berjarak sat

  • Love is Dangerous   18. Pesan

    “Jadi, bagaimana semalam?”Alice menoleh lalu mengernyit kaget melihat Siska yang sudah berada di sampingnya. Semalam dia memang sempat bercerita pada Siska sebentar dalam teleponnya sebelum dirinya terlelap.“Apanya?” Alice berpura-pura tak tahu. Mereka berada di dalam elevator dengan beberapa orang lain yang tak dikenali. Bagaimana bisa mereka bercerita tentang hal-hal pribadi di tempat umum? Alice hanya mengacuhkan Siska yang masih saja bersemangat meminta penjelasan darinya.“Tidak ada yang terjadi. Kebetulan aku dan dia sama-sama keberatan dengan kencan buta. Jadi kami mengobrol sebentar lalu pulang." Jawaban Alice baru keluar dari mulutnya setelah mereka sampai di dalam kantor. Alice mendudukkan dirinya di kursi kerjanya begitu pula dengan Siska yang mengekorinya dan duduk di kursi sebelah yang pemiliknya belum terlihat batang hidungnya sama sekali meskipun suasana pagi itu sudah cukup ramai.Alice melirik ruang kerja Erickson yang masih kosong, tampaknya pria itu belum datang. H

  • Love is Dangerous   17. Kebersamaan yang hanya sebentar.

    "Saya hanya berpikir mengapa Presdir mengajak saya ke sini… apa… apa ada yang bermasalah dengan pekerjaan saya?"Alice berbohong untuk menutupi kegugupannya. Jika Erickson bisa membaca pikirannya saat ini pasti dia sudah habis ditertawakan. Image-nya di mata Erickson juga pasti akan hancur. Beruntung Erickson tak memiliki ilmu membaca pikiran seperti yang ada di film-film fantasi.“Mengapa kau berpikir ini soal pekerjaan?" Erickson menaikkan sudut bibirnya dan sedikit memiringkan kepalanya. Ia diam dan mengamati wajah Alice, menunggu gadis itu menjawabnya. Entah mengapa dirinya merasa tertarik melihat kebingungan gadis itu.Alice menggigit bibirnya, ia bingung harus menjawab apa. Jika bukan masalah pekerjaan, lantas mengapa mereka datang ke sana di larut malam, protesnya dalam hati. Hingga tatapannya tertuju pada pakaian Erickson dan memberikannya sebuah ide.Wajah Alice sedikit lega. "Karena Presdir masih menggunakan pakaian yang dikenakan saat berada di kantor hari ini," jawab Alice

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status