Masuk"Ini," Zira menyodorkan smoothie itu. "Ini smoothie stroberi-pisang. Dulu kamu suka, kan? Aku beli dua."Alesha merasa canggung, namun ia menyambut isyarat damai itu. "Terima kasih, Zira."Mereka berjalan pelan menuju gazebo. Interaksi ini terasa lebih nyaman, didorong oleh Zira yang kini mencoba peran sebagai teman yang melunak, setelah bujukan Revan."Kamu terlihat lebih baik hari ini," puji Zira. "Mungkin smoothie membantu.""Mungkin," Alesha tersenyum, lalu menyesap sedikit. Ia harus menjaga agar minuman itu tidak memicu mual."Lesha," Zira memulai, suaranya kembali serius, tetapi lembut. "Aku sudah berpikir. Mungkin Revan benar. Aku tidak seharusnya memaksamu untuk menjauhi Papa. Jika kamu dan Papa benar-benar saling mencintai, aku harus belajar menerimanya. Aku berjanji akan mencoba."Alesha menahan napas. Ini adalah kemajuan yang luar biasa! "Zira ....""Tapi," lanjut Zira, dan kata 'tapi' itu merusak segalanya. Matanya menjadi tajam, tidak marah, tetapi menyelidik. "Ak
Zira melihat seorang kurir dengan label makanan premium dari toko terkenal—Healthy Kitchen—berdiri di depan salah satu unit di lantai bawah Blok A, unit yang sama dengan apartemen Alesha. Kurir itu terlihat frustrasi karena tidak ada yang membuka pintu, dan terus mengetuk.Zira melihat dengan jelas alamat yang tertera di kantong kurir: Blok A, Unit 10D. Zira tahu itu adalah unit yang sudah lama dibeli Arif untuk Alesha.Zira mengernyit. Kenapa kurir makanan sehat premium mengantar ke apartemen Alesha, di malam hari, dan kenapa Alesha tidak membukakan pintu? Kurir itu, karena panggilan tidak terjawab, akhirnya berjalan sedikit menjauh, dan Zira melihat kantong plastiknya penuh dengan botol-botol kecil jus detox dan kotak makanan catering sehat, yang harganya terkenal sangat mahal."Alesha bilang dia masak bekal dari rumah Om Arif," bisik Zira pada Revan. "Dia bilang dia sedang berhemat dan fokus skripsi. Tapi kurir itu baru saja mengantar Healthy Kitchen ke unitnya. Itu mahal sekali
"Zira? Ada apa?" tanya Alesha, tangannya otomatis memegang perutnya—kebiasaan baru yang harus ia hilangkan."Aku ... hanya ingin bertanya sesuatu." Zira mendekat, kini suaranya terdengar ragu, bahkan ada sedikit nada perhatian yang tak terduga."Kau... yakin baik-baik saja? Kau kelihatan seperti baru saja berlari maraton. Dan kau selalu pakai baju kebesaran sekarang. Bukankah cuaca di Jakarta agak panas?" Zira memicingkan mata, menganalisis, sebuah kebiasaan yang tidak pernah hilang darinya.Alesha merasa canggung. Ia harus berhati-hati dengan setiap kata dan gerakan."Oh, ini," Alesha menunjuk sweater-nya. "Aku hanya sedang suka gaya begini. Nyaman, dan juga ... di ruang dosen pembimbingku AC-nya terlalu dingin. Jadi aku butuh ini.""Kamu sudah makan siang? Jangan sampai pingsan lagi," desak Zira."Sudah, aku bawa bekal sendiri dari rumah Papa Arif," bohong Alesha. Ia membawa bekal buatan Rayhan yang dikirim kurir rahasia pagi itu."Aku mau bertanya tentang skripsimu," Zira m
"Aku mencintaimu, Sayang. Kamu dan aku. Hanya itu yang penting. Hanya itu."Mereka ambruk ke seprai yang kusut, basah oleh keringat dan air mata yang mengering, kelelahan total menggantikan ketegangan yang mengerikan.Revan tidak bergerak. Ia menarik diri secara fisik hanya untuk memeluk Zira, membalikkan posisi mereka dengan lembut. Zira kini berada di atasnya, kepala Zira diletakkan di ceruk leher Revan. Posisi itu adalah inti dari aftercare mereka: Zira adalah beban terindah di dada Revan, beban yang paling ia rindukan di tengah kekacauan hidup mereka.Napas mereka beradu, perlahan-lahan kembali teratur, dari badai menjadi hembusan lembut yang seragam. Ruangan yang tadinya dipenuhi ketegangan kini terasa damai, diselimuti keheningan yang tebal dan hangat.Zira mendongak sedikit, matanya berkabut, wajahnya damai dan bersih dari semua kecemasan. "Aku merasa ... aku bisa bernapas lagi. Aku tidak takut lagi. Kamu menarikku keluar, Rev," katanya, suaranya sangat lembut, hampir sepe
"Ohhh ... Ahhh ... Ya ... Tuhanku ... Ini ... Kamu ... Ya ...."Revan menahan diri. Ia ingin sensasi ini melebihi ambang batas kecemasan Zira. Ia ingin Zira sepenuhnya tenggelam dalam realitas kehangatan tubuh mereka yang menyatu. Ia membelai wajah Zira, menyeka keringat dingin di pelipisnya."Aku di sini, Sayang. Biarkan aku menanggungnya. Biarkan semua stres itu keluar. Rasakan aku bergerak di dalammu. Aku adalah milikmu. Katakan padaku, siapa aku bagimu?""Kamu ... Ahhh ... Kamu adalah kebenaranku, Rev. Kamu adalah data yang tidak bisa dibantah ... Eughhh ...," rintih Zira.Dialog mereka kini berpadu dengan ritme tubuh Revan yang mulai bergerak. Revan bergerak dengan ritme yang stabil, kuat, dan terkontrol di awal, membiarkan Zira menyesuaikan diri dengan kedalaman dan kekuatan yang ia bawa. Ia bergerak dalam pola yang menenangkan, tetapi intens, menciptakan gelombang sensasi yang memaksa Zira untuk fokus pada setiap sentuhan, setiap dorongan.Zira meresponsnya dengan desaha
Rayhan menatapnya, ada jeda singkat di mana keheningan menjadi sangat tebal. Ia mendekat, tangannya menjelajahi area yang baru terekspos itu. Ia membiarkan Zira merasakan kehangatan telapak tangannya di kulitnya."Kamu selalu sempurna, Ra. Bahkan saat kamu marah," bisik Revan.Zira tidak menjawab, tetapi ia melingkarkan tangannya di leher Revan, menuntut ciuman baru. Ciuman itu kini lebih basah, lebih menuntut, dipenuhi dengan ketidaksabaran yang tiba-tiba.Revan membuka bra Zira dengan gerakan satu tangan yang terampil, membiarkan keindahan payudara Zira terekspos sepenuhnya. Ia membungkuk, dan ciumannya menyentuh kulit Zira yang kini benar-benar telanjang. Itu adalah pemujaan yang merangkul setiap inci kulit Zira.Ia menjelajahi puncak dada Zira, mencium lembut di antara payudara, dan perlahan, lidahnya dan bibirnya mulai bekerja, memompa hasrat Zira ke tingkat yang memabukkan.Zira menjerit kecil, tubuhnya melengkung. "Ahhh! Ohhh ... Revan! Eughhh ...." Ia mencengkeram rambut







