đź“ŤPusat Kota Boras
“Malapetaka akan datang!” seru seorang pria kecil berwajah tua dengan penampilan menyedihkan. Pakaiannya kotor dan tampak tak layak pakai, tubuhnya penuh luka sayatan yang darahnya sudah mengering kecoklatan. Dengan suara nyaris serak ia berteriak lantang di jalanan kota. Aura seorang peri hada yang bertahan hidup tanpa guardiannya. Seorang bangsawan yang kini tak lebih dari seorang gelandangan. Begitulah pikiran para warga. Tak berapa lama ia menjadi tontonan warga, pria itu terjatuh tak sadarkan diri di tengah jalan.
“Dia juga gagal,” ucap seorang gadis dari kejauhan. Dua gadis yang tampak seperti bocah berumur sepuluh tahun menatap kecewa tubuh pria tua yang kini sudah diangkat dengan tandu oleh pihak kesehatan. Mereka adalah Tayas dan Teyas yang sedang melakukan eksperimen dari buku sihir milik ayahnya. Buku tebal dengan sampul coklat yang tampak usang itu merangkum tentang berbagai hal yang telah Derry pelajari dari penyihir agung sebelum dirinya. Dengan hasil eksperimen yang telah gagal, kedua gadis itu memutuskan kembali ke menara mereka. Menara suci akan berkumpul pada satu titik yang telah ditentukan saat matahari muncul. Dan akan menyebar di malam hari sesuai tugas dan perintah penyihir agung. Menara suci yang beroperasi di siang hari hanya ada satu, yang berdiri di pusat kota sebagai perantara untuk menyampaikan pesan kepada setiap menara suci lainnya. Sedangkan menara suci milik Teyas dan Tayas yang masih dalam kategori menara bebas tugas, tidak bisa dijangkau sama sekali oleh orang luar selain pemilik menara. Dikarenakan menara mereka dilindungi oleh sihir penyihir agung.
“Bagaimana jika mengganti objek eksperimennya?” usul Tayas yang tentu saja mendapat tatapan tak setuju dari Teyas. Tayas berjalan mendekati jendela menara mereka yang tengah berdiri di kaki gunung Sayan. Pemandangan hijau dengan kabut tipis yang memanjakan mata, begitu pula udara dinginnya yang menyejukkan. Beberapa warga terlihat berjalan beriringan membawa hasil panen kebun mereka dari atas gunung. Ada juga anak kecil yang sedang mengembala sapi namun dia malah berpindah dengan teleportasinya menuju tempat yang lebih tinggi. Anak laki-laki itu lebih mirip sedang menunggangi sapi daripada disebut mengembala. Pemandangan yang sangat damai di kaki pegunungan yang sejuk.
“Maksudku bukan pada hewan atau yang lain, tapi kita coba pada guardian.” Jelas Tayas meluruskan maksud usulannya tadi. Tentunya Teyas tampak tertarik dengan usulan tersebut. Gadis itu menghampiri saudarinya untuk mendengar penjelasan lebih lanjut tentang rencananya.
''Kakek itu peri hada ketiga yang hampir mati karena eksperimen kita, mungkin karena fisik peri hada lebih lemah daripada guardian menjadi alasan kenapa kita gagal. Bagaimana jika eksperimennya kita coba pada guardian yang pada dasarnya memang memiliki fisik lebih baik dari pada peri hada?” Teyas mengangguk mendengar penjelasan Tayas yang dapat ia pertimbangkan. Ia kembali memeriksa beberapa catatan pada buku tersebut untuk menemukan jalan keluar yang bisa ia lakukan untuk keberhasilan yang ingin ia capai. Peri hada adalah darah birunya bangsa Hada. Memiliki energi sihir yang besar dan kekuatan langka yang hanya bisa didapat melalui keturunan. Disebut peri karena terlahir dengan paras menawan dan tidak bisa menua. Mereka akan berhenti tumbuh saat berumur tiga belas tahun, namun bisa menggunakan sihir perubahan wujud agar terlihat dewasa.
“Ok!” Teyas berseru usai menutup buku tersebut dengan semangatnya.
“Teya, aku mengantuk,” ujar Tayas memalingkan pandangannya dari anak yang masih asik tiduran di atas rumput menemani sapinya yang sedang makan. Gadis itu meninggalkan saudarinya yang tengah sibuk dengan kapur serta lantai yang menjadi alasnya menggambar.
Setidaknya Teyas menghabiskan waktu enam jam hanya untuk menggambar. Dari saat Sungsang masih sangat terik hingga Mera sudah tak tampak. Mera adalah bintang keenam setelah Sungsang dan Corin. Tiga bintang lainnya yang ada di sekitar Zois adalah Orius, Uki, dan Gume. Mereka dapat dibedakan dari cahaya mereka yang menampilkan warna berbeda antara satunya. Orius berwarna jingga, Uki berwarna kuning, Gume berwarna putih, Sungsang berwarna putih kebiruan seperti kristal, dan Corin berwarna biru terang yang membuatnya menjadi bintang paling cantik di malam hari. Lalu terakhir ada Mera yang memiliki cahaya jingga redup sebagai tanda waktu sore akan tergantikan.
“Tayas!” teriak Teya yang langsung dihampiri oleh Tayas yang datang dengan rambut berantakan. Siapapun tau jika gadis itu bangun dengan terburu-buru. ''Apa itu?” tanya Tayas dengan tatapan heran melihat hasil gambar milik Teyas. Sebuah ligkaran sihir yang cukup besar, di dalamnya tergambar beberapa planet besar serta enam bintang yang mengelilingi planet kecil. Teyas tersenyum dengan bangga melihat hasil gambarnya. “Nah sekarang kita hanya butuh target,” ucap Teyas yang sudah tak sabar. Tling! Sebuah lonceng terdengar samar dari kejauhan. Spontan kedua gadis itu mendekati jendela menara dan memperhatikan keluar. Anak pengembala tadi siang tampak masih tertidur di tempat yang sama bersama sapinya. Kedua gadis itu saling tatap tak percaya dengan apa yang mereka lihat. “Dia guardian.” Tayas memberitahu dengan senyum kemenangan di bibirnya. Tentunya sebuah keberuntungan menemukan anak guardian di pegunungan saat hari sudah gelap. Kedua gadis itu b
''Paman!'' teriak Sasha yang melihat siluet Mario dengan tas belanja penuh sayuran. Setelah menarik perhatian beberapa orang dengan teriakannya, Sasha berlari menghampiri Mario diikuti oleh Herman di belakangnya. ''Sasha,'' gumam Mario pelan melihat gadis itu menghampirinya dengan wajah khawatir. “Lucifer, dia belum kembali,” ucap Sasha dengan nafas terengah-engah. Di sebelahnya berdiri Herman yang juga hadir dengan wajah khawatirnya. Semua mata memandang tak mengerti dari kekhawatiran dua anak itu. “Lucifer membawa sapi, mungkin itu dia.” Herman menjawab cepat menghilangkan perasaan tidak nyaman dari tatapan para orang dewasa tersebut. Mario sangat ingat melihat bagaimana Lucifer menghilang setelah menunggangi sapi yang seharusnya tak ia tunggangi sebagai seorang pengembala. Semua orang tau, Lucifer salah satu guardian dengan perkembangan pesat diumurnya saat ini. Dia sudah berada di kelas S saat baru berumur dua belass tahun. pencapaiannya menjadi keb
Lucifer perlahan memasuki menara tersebut dengan susah payah. Sudah sangat jelas anak itu kehabisan tenaganya dan terlihat lemah. Namun kedua bersaudara itu tampak panik dan kebingungan. Baru hendak melangkah ke dalam menara, Taya dengan cepat menaikkan tangan kanannya dan berteriak, “Havir, Move!” gadis itu berseru dan memejamkan matanya. Dalam sekejap menara itu menghilang meninggalkan Lucifer yang siap menghantam tanah. “Sial,” umpatnya yang berakhir kehilangan kesadaran di udara. Sebuah tangan besar menangkap tubuh Lucifer yang melemas. Udara dingin malam itu tentunya tak dapat dirasakan oleh Lucifer yang tertidur lelap dalam pelukkan hangat pria yang menangkapnya. Jubah hitamnya yang panjang nan mewah tampak menawan membalut badan tinggi besarnya yang menopang ketampanan dari wajah seorang penyihir agung. Derry masih mempertahankan posisinya di udara dengan Lucifer digendongannya. Matanya menatap lurus tepat pada sapi yang sudah tak mampu berdiri, namun hewan itu sepert
“Lucifer,” panggil Derry dengan lembut. Anak itu muncul dari belakang Derry dengan mata bengkak, seolah ia sudah menangis terlalu lama. Dari posturnya pun ia tampak lesu dan lemas. “Yo,” sapa Lucifer dengan tangan kanan terangkat. “Lucifer Guardian, memberi salam kepada Sasha tercinta.” Lucifer tersenyum lebar melihat adiknya yang menatap khawatir padanya. namun kekhawatiran tersebut langsung menghilang dari wajah gadis itu setelah melihat senyum lebar kakaknya yang tampak bodoh. Sebagian besar orang sana mengetahui bagaimana Lucifer bersikap dan bertindak. Bukan hal baru bagi mereka yang sudah mengenal Lucifer. Meski berada di kelas S, Lucifer hampir tidak pernah menghadiri kelas materi guardian lagi. Namun ia tetap memiliki banyak teman dan tak sedikit pula yang senang dengan kehadirannya. Sosok serius Lucifer adalah hal yang mustahil untuk ditemukan, bahkan Sasha sendiripun hampir tak pernah melihat sosok itu. Selain menunjukkan sikap pemalasnya, Lucifer s
Bumi adalah planet spirit dengan energi sihir putih, begitulah yang tertulis pada catatan Kael. Bumi adalah planet tujuan ekspedisi terakhir yang dikunjungi Dominiq, guardian kelas X yang menghilang 4 tahun lalu di Bumi bersama para krunya yang terdiri dari para peri hada keturunan Yume dan Orius.Lima hari telah berlalu, berita Lucifer adalah anak ramalan masih hangat menjadi pembicaraan warga Boras. Mayoritas penduduk mulai percaya mendengar cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut. Bahkan saat Derry, sang penyihir agung tidak pernah mengonfirmasi kebenarannya, orang-orang menyimpulkan pendapat mereka sebagai kebenarannya.Bangunan kaca lab penelitian yang berdiri megah di pesisir kota Boras tampak sibuk pagi itu. Beberapa orang dengan jas lab berwarna putih tampak berlalu lalang di koridor bangunan dengan beberapa tumpuk kertas yang penuh akan coretan. "Letakkan di sana!" perintah Kael pada sepasang remaja perempuan yang membawakannya tumpukkan kertas. Mereka
Lucifer yang tak mampu mengunyah dan menelan makanannya menutup matanya yang berair dengan lengan kirinya. Badannya yang sedikit gemetar menunjukkan bahwa anak itu sedang menahan sesenggukan tangisnya. Kumi menatap gemas Lucifer dengan wajah yang tersenyum teduh. “Minum dulu.” Kumi mendorong gelas air minum di atas meja ke hadapan Lucifer. Dengan perasaan malu, Lucifer mengunyah makanannya dengan cepat dan segera menelannya dengan bantuan air minum. “Sudah merasa lebih baik?” tanya Kumi lembut. Lucifer hanya mengangguk kaku. Sasha membantunya menaruh gelas minum dan memberinya sapu tangan. Herman yang sedari tadi hanya memerhatikan mendekati Lucifer dan memegang tangannya. Lucifer tak bergeming dan hanya diam menunduk. “Sekarang lebih baik?” tanya Herman yang kini benar-benar diiyakan oleh Lucifer diikuti anggukan yang lebih meyakinkan dibandingkan tadi. Dia bisa merasakan energi Herman yang mengalir di setiap nadinya. Seolah darahnya berdesir seperti
Malam hari tepat di depan rumah keluarga Smith, Menara suci milik penyihir agung berdiri dengan cantiknya. Di dalam menara, Derry sedang memeluk manja istrinya, Sarah. Tangan wanita itu mengelus lembut rambut Derry yang bersandar di dadanya. Tiga pasang mata yang menyaksikan saat itu tentunya menatap dengan heran tingkah pemimpin planet yang dipuji-puji gagah nan hebat. Derry hanyalah suami pada umumnya yang bertingkah manja pada sang istri. “Ada anak-anak disini, Ayah.” Tayas bersuara dengan sangat malas. Gadis dengan bando putih itu sudah cukup bosan melihat kemesraan orang tuanya. “Tapi kita sudah berumur ....” belum usai Teyas menyelesaikan kalimatnya, Tayas sudah menatap tajam saudarinya itu. Gadis yang mengikat rambutnya seperti ekor kuda itu tampak cemberut usai menerima tatapan Tayas. “Aku mengerti jika hanya kalian yang melihatnya, tapi kenapa aku juga harus?” Kali ini Kael menyuarakan keluhannya. Dia bukan bagian dari keluarga Gillenhart yang
Sudah dua minggu lebih berlalu sejak saat Lucifer dibawa ke lab penelitian Kael. Anak laki-laki itu seperti tidak ada niatan kembali ke rumahnya, ke kamarnya yang ia sebut-sebut sebagai surga duniawinya. Siang itu tim peneliti Kael sedang melakukan pekerjaan di ruangan lab lainnya. Sebagai gantinya seorang gadis berkaca mata bulat yang tampak seumuran Lucifer berjaga di lab Kael, Eda Ralfen. Gadis itu hanya diam dan duduk di pinggir jendela sembari sesekali memperhatikan Lucifer yang sibuk pada kegiatan anehnya. “Membosankan,” keluh gadis itu pelan. Lucifer yang beberapa kali tertidur lalu terbangun lagi dengan benda-benda aneh di tangannya tentu saja menarik perhatian Eda untuk memeperhatikan. Namun sudah lebih dari setengah jam hal itu terulang, tentu saja gadis kecil itu bosan. Lucifer sendiri tampak belum menyerah dan masih berusaha melakukan eksperimennya. Bahkan mungkin ia tidak sadar akan kehadiran gadis itu di sudut lab berdinding putih itu. Lucifer berusaha