šPusat Kota Boras
āMalapetaka akan datang!ā seru seorang pria kecil berwajah tua dengan penampilan menyedihkan. Pakaiannya kotor dan tampak tak layak pakai, tubuhnya penuh luka sayatan yang darahnya sudah mengering kecoklatan. Dengan suara nyaris serak ia berteriak lantang di jalanan kota. Aura seorang peri hada yang bertahan hidup tanpa guardiannya. Seorang bangsawan yang kini tak lebih dari seorang gelandangan. Begitulah pikiran para warga. Tak berapa lama ia menjadi tontonan warga, pria itu terjatuh tak sadarkan diri di tengah jalan.
āDia juga gagal,ā ucap seorang gadis dari kejauhan. Dua gadis yang tampak seperti bocah berumur sepuluh tahun menatap kecewa tubuh pria tua yang kini sudah diangkat dengan tandu oleh pihak kesehatan. Mereka adalah Tayas dan Teyas yang sedang melakukan eksperimen dari buku sihir milik ayahnya. Buku tebal dengan sampul coklat yang tampak usang itu merangkum tentang berbagai hal yang telah Derry pelajari dari penyihir agung sebelum dirinya. Dengan hasil eksperimen yang telah gagal, kedua gadis itu memutuskan kembali ke menara mereka. Menara suci akan berkumpul pada satu titik yang telah ditentukan saat matahari muncul. Dan akan menyebar di malam hari sesuai tugas dan perintah penyihir agung. Menara suci yang beroperasi di siang hari hanya ada satu, yang berdiri di pusat kota sebagai perantara untuk menyampaikan pesan kepada setiap menara suci lainnya. Sedangkan menara suci milik Teyas dan Tayas yang masih dalam kategori menara bebas tugas, tidak bisa dijangkau sama sekali oleh orang luar selain pemilik menara. Dikarenakan menara mereka dilindungi oleh sihir penyihir agung.
āBagaimana jika mengganti objek eksperimennya?ā usul Tayas yang tentu saja mendapat tatapan tak setuju dari Teyas. Tayas berjalan mendekati jendela menara mereka yang tengah berdiri di kaki gunung Sayan. Pemandangan hijau dengan kabut tipis yang memanjakan mata, begitu pula udara dinginnya yang menyejukkan. Beberapa warga terlihat berjalan beriringan membawa hasil panen kebun mereka dari atas gunung. Ada juga anak kecil yang sedang mengembala sapi namun dia malah berpindah dengan teleportasinya menuju tempat yang lebih tinggi. Anak laki-laki itu lebih mirip sedang menunggangi sapi daripada disebut mengembala. Pemandangan yang sangat damai di kaki pegunungan yang sejuk.
āMaksudku bukan pada hewan atau yang lain, tapi kita coba pada guardian.ā Jelas Tayas meluruskan maksud usulannya tadi. Tentunya Teyas tampak tertarik dengan usulan tersebut. Gadis itu menghampiri saudarinya untuk mendengar penjelasan lebih lanjut tentang rencananya.
''Kakek itu peri hada ketiga yang hampir mati karena eksperimen kita, mungkin karena fisik peri hada lebih lemah daripada guardian menjadi alasan kenapa kita gagal. Bagaimana jika eksperimennya kita coba pada guardian yang pada dasarnya memang memiliki fisik lebih baik dari pada peri hada?ā Teyas mengangguk mendengar penjelasan Tayas yang dapat ia pertimbangkan. Ia kembali memeriksa beberapa catatan pada buku tersebut untuk menemukan jalan keluar yang bisa ia lakukan untuk keberhasilan yang ingin ia capai. Peri hada adalah darah birunya bangsa Hada. Memiliki energi sihir yang besar dan kekuatan langka yang hanya bisa didapat melalui keturunan. Disebut peri karena terlahir dengan paras menawan dan tidak bisa menua. Mereka akan berhenti tumbuh saat berumur tiga belas tahun, namun bisa menggunakan sihir perubahan wujud agar terlihat dewasa.
āOk!ā Teyas berseru usai menutup buku tersebut dengan semangatnya.
āTeya, aku mengantuk,ā ujar Tayas memalingkan pandangannya dari anak yang masih asik tiduran di atas rumput menemani sapinya yang sedang makan. Gadis itu meninggalkan saudarinya yang tengah sibuk dengan kapur serta lantai yang menjadi alasnya menggambar.
Setidaknya Teyas menghabiskan waktu enam jam hanya untuk menggambar. Dari saat Sungsang masih sangat terik hingga Mera sudah tak tampak. Mera adalah bintang keenam setelah Sungsang dan Corin. Tiga bintang lainnya yang ada di sekitar Zois adalah Orius, Uki, dan Gume. Mereka dapat dibedakan dari cahaya mereka yang menampilkan warna berbeda antara satunya. Orius berwarna jingga, Uki berwarna kuning, Gume berwarna putih, Sungsang berwarna putih kebiruan seperti kristal, dan Corin berwarna biru terang yang membuatnya menjadi bintang paling cantik di malam hari. Lalu terakhir ada Mera yang memiliki cahaya jingga redup sebagai tanda waktu sore akan tergantikan.
Malam itu hujan mampir beberapa saat membasahi jalanan kota Boras yang mulai menyepi. Hanya ada beberapa pejalan kaki dan petugas keamanan yang berkeliling. Si kembar Gillenhart dengan Ibunya tampak terduduk di lantai kamar Sasha beralaskan tikar merah muda. Pintu balkon yang tadi terbuka sudah tertutup untuk menghindari angin dingin memasuki ruangan. Tubuh Lucifer pun terbalut selimut yang lebih tebal dari sebelumnya. Sarah mendekati Lucifer yang terbaring dalam tidurnya, tangannya mengusap pelan surai hitam laki-laki itu. senyum simpul terulas dari wajah cantiknya yang menampilkan ketulusan seoranng ibu. Alih-alih peduli, si kembar lebih menunjukkan rasa tak nyamannya di dalam kamar itu. āDia bisa bangun kapan saja.ā Tayas menundukkan kepalanya dalam lututnya yang ia peluk. āTinggal diam saja,ā sahut Teyas yang berusaha tenang.āAku rindu Sasha,ā ucap Tayas dengan suara yang agak serak seolah menahan dirinya tak menangis terisak. Teyas hanya bisa melirik saudarinya dengan tatapan
āAnak-anak nakal!ā teriak sebuah suara laki-laki yang cukup berat dari dalam menara suci. Sasha yang sudah berada di luar jendela, berdiri tepat di depan menara dengan wajah terheran-heran. Tak lama Sasha menengok ke belakang tempat si kembar masih berdiri mematung memandangi dirinya dari dalam kamar.āIni bukan menaramu, Tayas.ā Ucap Sasha dengan wajah menunjukkan kekesalan. Diana yang merasakan tatapan Sasha bergidik ngeri, badannya seolah menegang karena merasa takut. Diam-diam Diane bergeser perlahan menjaga jarak dari saudarinya seolah tak ingin terkena imbas.āTentu saja, ini menaraku.ā Suara yang sama lagi dari dalam menara. Sontak Sasha mengembalikan pandangannya pada pintu menara berwarna coklat mengkilap yang menjulang cukup tinggi di hadapannya. Dua sisi pintu tersebut terbuka secara perlahan, menampilkan apa yang terdapat dalam menara tersebut.āOi, jangan seenaknya memanggil hanya karena kalian bisa melakukannya!ā Seru seorang pria tinggi dengan jubah hitam yang tampak me
āTernyata cantik ya,ā gumam Lucifer pelan menatap bulan penuh yang bersinar malam itu. Hutan malam itu terasa lebih nyaman meski sunyinya penuh oleh suara jangkrik dan suara hewan lain yang terdengar sesekali. Anak itu tampak tenang duduk sendiri di kursi panjang tersebut. Kakinya yang menggantung berayun pelan seolah menikmati ketenangannya sendiri. āLucifer,ā panggil ayahnya yang berdiri di ambang pintu rumah mereka. Wajahnya mengukirkan senyum saat anaknya menengok mendengar namanya dipanggil. Tak perlu aba-aba anak itu bergegas turun dari kursi tersebut dengan susah payah karena cukup tinggi dari pada panjang kakinya. Ia berlari kecil menghampiri ayahnya yang siap menyambut lompatan Luci dalam gendongannya. Dari dalam terdengar suara wanita yang sudah memanggil anak dan suaminya untuk makan malam bersama. Lucifer yang mendengar suara ibunya berteriak mengiyakan bahwa mereka akan segera datang.Bulan penuh memang cantik, namun bulan sabit memiliki pesonanya tersendiri. Lain halnya
Mungkin malam ini Herman masih tertidur dan bermimpi di dalam kamar Lucifer yang hampir tak pernah ditiduri tiga tahun terakhir. Lain halnya Lucifer yang hampir tak pernah bermimpi tiga tahun terakhir. Tubuhnya yang terbaring dengan mata tertutup, nafasnya teratur seakan tidurnya teramat nyenyak bermimpikan surga yang tak tergapai, begitulah yang tampak jika hanya dilihat dari luar. Badannya hanya mengisyaratkan bahwa jiwanya masih hidup, masih berkelana dalam mimpi nyata di dimensi lain. Tak pernah tak mengeluh jika Lucifer ingin menyampaikan kejujurannya. Jiwanya terasa lelah, saat tertidur ia terbangun pada tubuhnya yang lain. Ia mungkin melupakan bagaimana nikmatnya terbangun setelah bermimpi sesuatu yang indah namun tak mampu ia ingat. Ia mungkin juga melupakan bagaimana rasa malas menyerbu di pagi hari, saat terbangun oleh omelan adik kecilnya yang kembali dari rumah Herman dengan rantang makanan buatan ibu Herman untuk mereka yang hanya tinggal berdua tanpa orang tua. Kebiasaan
Di dalam hutan yang damai beberapa hewan kecil berlarian. Seperti kelinci, tupai, bahkan kancil yang amat cepat tak mau kalah berlari dari kejaran Lucifer. Entah bagaimana hutan tersebut tampak sangat bersahabat dengannya. Tak terlihat satupun hewan buas. Pohon-pohon tinggi yang menjulang, bunga-bunga yang tumbuh di sekitar batangnya membuat hutan tersebut bagai surganya duniawi. Terasa nyaman dan aman.Sesekali kicau burung dan gemericik air dari air terjun di dekat sana terdengar amat memanjakan. Tak ada yang akan menolak kenyamanan hutan tersebut. Hewan buas yang tak terlihat bukan berarti mereka tak ada. Hutan tersebut ditinggali berbagai macam makhluk dan hewan, tak ada yang tau makhluk apa saja yang tinggal selain sebuah keluarga kecil yang terdiri dari tiga manusia, dan hewan-hewan kecil yang bersahabat dengan si anak manusia."Luci, jangan berlari!" Seru sang ibu yang sedang duduk di bawah pohon besar dengan tangan yang sibuk merajut benang berwarna coklat. Tak menghiraukan te
"Dia harus kuhajar." Sasha merenggut masih berusaha melayangkan pukulannya pada pria tersebut."Lucifer," panggil sebuah suara lembut yang entah datangnya dari mana. Suara tersebut menggema beberapa kali, layaknya suara ibu yang memanggil anaknya. Pria tersebut terduduk dengan mata terpejam. Ia mengusap rambutnya yang acak-acakan, berusaha merapikan namun tak tampak lebih rapi. Diane dan Diana melepaskan tangannya dari Sasha, tangan Sasha yang hendak melayangkan pukulan pun melemas. Si kembar hanya menatap temannya itu dengan tatapan sendu yang tampak mengasihani. Namun, Sasha hanya memasang wajah kesalnya. Wajah kesal yang tak ingin ia tunjukkan pada pria itu. Gadis itu membalik badannya memunggungi yang lainnya. Pandangannya lagi-lagi menatap layar besar yang menampilkan bulatnya planet hijau tersebut. "Apakah semenyenangkan itu tinggal bersama mereka?" Gumam Sasha hampir tak terdengar."Dia bicara apa?" Tanya Diana yang hanya mendapat gelengan dari saudaranya. Mereka hanya menatap