“Tayas!” teriak Teya yang langsung dihampiri oleh Tayas yang datang dengan rambut berantakan. Siapapun tau jika gadis itu bangun dengan terburu-buru.
''Apa itu?” tanya Tayas dengan tatapan heran melihat hasil gambar milik Teyas. Sebuah ligkaran sihir yang cukup besar, di dalamnya tergambar beberapa planet besar serta enam bintang yang mengelilingi planet kecil. Teyas tersenyum dengan bangga melihat hasil gambarnya.
“Nah sekarang kita hanya butuh target,” ucap Teyas yang sudah tak sabar.
Tling!
Sebuah lonceng terdengar samar dari kejauhan. Spontan kedua gadis itu mendekati jendela menara dan memperhatikan keluar. Anak pengembala tadi siang tampak masih tertidur di tempat yang sama bersama sapinya. Kedua gadis itu saling tatap tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
“Dia guardian.” Tayas memberitahu dengan senyum kemenangan di bibirnya. Tentunya sebuah keberuntungan menemukan anak guardian di pegunungan saat hari sudah gelap. Kedua gadis itu berdiri saling berhadapan di setiap sisi lingkaran. Tangan mereka saling tergenggam satu sama lain. Teyas mulai menggerakkan kakinya pada garis luar lingkaran sihir menuju gambaran planet kecil yang di belakanganya digambar dengan ukiran cantik. Kaki kanannya bergerak seolah menyapu planet kecil tersebut.
“Univers,” gumam Teyas.
“Univers.” Tayas menimpali dengan gumaman yang lebih kecil, kakinya juga bergerak mengulangi gerakan kaki Teyas. Kaki kanannya kembali bergerak berputar mengelilingi beberapa planet besar yang ia gambar. Seolah ia ingin menciptakan dinding yang mengurung planet-planet tersebut.
“Ame,” gumam Teyas kembali yang juga diikuti oleh Tayas. Lalu kaki kiri gadis itu bergerak seolah menghubungkan tali antara semua planet besar dengan keenam bintang yang mengelilingi planet kecil tersebut.
“Reincarnation, lien sacre, destin.” Teyas kembali menggerakkan kaki kanannya, kali ini gerakannya seolah menghubungkan tali antara planet kecil dengan keenam bintang. Lalu ia menutup kakinya. Teyas kali ini tak mengulangi rapalannya, hanya gerakan kaki Tayas saja yang ia ikuti.
“Eclat!” seru Tayas yang menghasilkan sinar perak dari lingkaran sihirnya. Setelah beberapa detik cayahanya meredup dan sebuah cahaya kecil muncul di tengah-tengah gadis itu berdiri hampir menempel. Teyas menangkap cahaya tersebut dengan tangannya. Berjalan kembali mendekati jendela, dan meniup cahaya kecil tersebut menjauh menuju si pengembala yang tengah nyenyak dalam tidurnya.
Di malam yang damai saat semua orang hendak bersantai di rumah mereka masing-masing sebelum mengistirahatkan tubuh mereka sebuah dentuman besar terdengar. Beberapa guardian terlihat bergerak mencari sumber suara tersebut. Namun informasi yang didapat dari menara suci adalah sebuah ledakan dari seorang anak guardian yang sedang bermain di gunung Sayan bersama sapinya. Tentunya tidak ada yang bisa percaya hal tersebut. Permainan apa yang seorang anak pengembala lakukan hingga membuat sebuah ledakan yang terdengar ke seberang pulau.
''Mungkin itu hanya anak kecil yang bermain api lalu tidak sengaja membuat ledakan,'' terka salah seorang guardian.
''Bukankah itu bahaya?'' imbuh yang lainnya. Banyak yang menerka-nerka karena belum mendapatkan jawaban pasti. Guardian dan hada yang bertugas mencari tahu pun belum berani mendekati lokasi karena asap dan api yang tampak mengandung energi sihir.
Sasha menggenggam erat tangan Herman yang berdiri di sampingnya. Mereka tampak mencari Mario untuk menemukan Lucifer yang belum kembali sejak siang. Mario juga tak tampak ada di rumah dan hanya terdapat pesan di pagar rumahnya bertuliskan 'Mario sedang ke pasar'.
''Paman!'' teriak Sasha yang melihat siluet Mario dengan tas belanja penuh sayuran. Setelah menarik perhatian beberapa orang dengan teriakannya, Sasha berlari menghampiri Mario diikuti oleh Herman di belakangnya. ''Sasha,'' gumam Mario pelan melihat gadis itu menghampirinya dengan wajah khawatir. “Lucifer, dia belum kembali,” ucap Sasha dengan nafas terengah-engah. Di sebelahnya berdiri Herman yang juga hadir dengan wajah khawatirnya. Semua mata memandang tak mengerti dari kekhawatiran dua anak itu. “Lucifer membawa sapi, mungkin itu dia.” Herman menjawab cepat menghilangkan perasaan tidak nyaman dari tatapan para orang dewasa tersebut. Mario sangat ingat melihat bagaimana Lucifer menghilang setelah menunggangi sapi yang seharusnya tak ia tunggangi sebagai seorang pengembala. Semua orang tau, Lucifer salah satu guardian dengan perkembangan pesat diumurnya saat ini. Dia sudah berada di kelas S saat baru berumur dua belass tahun. pencapaiannya menjadi keb
Lucifer perlahan memasuki menara tersebut dengan susah payah. Sudah sangat jelas anak itu kehabisan tenaganya dan terlihat lemah. Namun kedua bersaudara itu tampak panik dan kebingungan. Baru hendak melangkah ke dalam menara, Taya dengan cepat menaikkan tangan kanannya dan berteriak, “Havir, Move!” gadis itu berseru dan memejamkan matanya. Dalam sekejap menara itu menghilang meninggalkan Lucifer yang siap menghantam tanah. “Sial,” umpatnya yang berakhir kehilangan kesadaran di udara. Sebuah tangan besar menangkap tubuh Lucifer yang melemas. Udara dingin malam itu tentunya tak dapat dirasakan oleh Lucifer yang tertidur lelap dalam pelukkan hangat pria yang menangkapnya. Jubah hitamnya yang panjang nan mewah tampak menawan membalut badan tinggi besarnya yang menopang ketampanan dari wajah seorang penyihir agung. Derry masih mempertahankan posisinya di udara dengan Lucifer digendongannya. Matanya menatap lurus tepat pada sapi yang sudah tak mampu berdiri, namun hewan itu sepert
“Lucifer,” panggil Derry dengan lembut. Anak itu muncul dari belakang Derry dengan mata bengkak, seolah ia sudah menangis terlalu lama. Dari posturnya pun ia tampak lesu dan lemas. “Yo,” sapa Lucifer dengan tangan kanan terangkat. “Lucifer Guardian, memberi salam kepada Sasha tercinta.” Lucifer tersenyum lebar melihat adiknya yang menatap khawatir padanya. namun kekhawatiran tersebut langsung menghilang dari wajah gadis itu setelah melihat senyum lebar kakaknya yang tampak bodoh. Sebagian besar orang sana mengetahui bagaimana Lucifer bersikap dan bertindak. Bukan hal baru bagi mereka yang sudah mengenal Lucifer. Meski berada di kelas S, Lucifer hampir tidak pernah menghadiri kelas materi guardian lagi. Namun ia tetap memiliki banyak teman dan tak sedikit pula yang senang dengan kehadirannya. Sosok serius Lucifer adalah hal yang mustahil untuk ditemukan, bahkan Sasha sendiripun hampir tak pernah melihat sosok itu. Selain menunjukkan sikap pemalasnya, Lucifer s
Bumi adalah planet spirit dengan energi sihir putih, begitulah yang tertulis pada catatan Kael. Bumi adalah planet tujuan ekspedisi terakhir yang dikunjungi Dominiq, guardian kelas X yang menghilang 4 tahun lalu di Bumi bersama para krunya yang terdiri dari para peri hada keturunan Yume dan Orius.Lima hari telah berlalu, berita Lucifer adalah anak ramalan masih hangat menjadi pembicaraan warga Boras. Mayoritas penduduk mulai percaya mendengar cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut. Bahkan saat Derry, sang penyihir agung tidak pernah mengonfirmasi kebenarannya, orang-orang menyimpulkan pendapat mereka sebagai kebenarannya.Bangunan kaca lab penelitian yang berdiri megah di pesisir kota Boras tampak sibuk pagi itu. Beberapa orang dengan jas lab berwarna putih tampak berlalu lalang di koridor bangunan dengan beberapa tumpuk kertas yang penuh akan coretan. "Letakkan di sana!" perintah Kael pada sepasang remaja perempuan yang membawakannya tumpukkan kertas. Mereka
Lucifer yang tak mampu mengunyah dan menelan makanannya menutup matanya yang berair dengan lengan kirinya. Badannya yang sedikit gemetar menunjukkan bahwa anak itu sedang menahan sesenggukan tangisnya. Kumi menatap gemas Lucifer dengan wajah yang tersenyum teduh. “Minum dulu.” Kumi mendorong gelas air minum di atas meja ke hadapan Lucifer. Dengan perasaan malu, Lucifer mengunyah makanannya dengan cepat dan segera menelannya dengan bantuan air minum. “Sudah merasa lebih baik?” tanya Kumi lembut. Lucifer hanya mengangguk kaku. Sasha membantunya menaruh gelas minum dan memberinya sapu tangan. Herman yang sedari tadi hanya memerhatikan mendekati Lucifer dan memegang tangannya. Lucifer tak bergeming dan hanya diam menunduk. “Sekarang lebih baik?” tanya Herman yang kini benar-benar diiyakan oleh Lucifer diikuti anggukan yang lebih meyakinkan dibandingkan tadi. Dia bisa merasakan energi Herman yang mengalir di setiap nadinya. Seolah darahnya berdesir seperti
Malam hari tepat di depan rumah keluarga Smith, Menara suci milik penyihir agung berdiri dengan cantiknya. Di dalam menara, Derry sedang memeluk manja istrinya, Sarah. Tangan wanita itu mengelus lembut rambut Derry yang bersandar di dadanya. Tiga pasang mata yang menyaksikan saat itu tentunya menatap dengan heran tingkah pemimpin planet yang dipuji-puji gagah nan hebat. Derry hanyalah suami pada umumnya yang bertingkah manja pada sang istri. “Ada anak-anak disini, Ayah.” Tayas bersuara dengan sangat malas. Gadis dengan bando putih itu sudah cukup bosan melihat kemesraan orang tuanya. “Tapi kita sudah berumur ....” belum usai Teyas menyelesaikan kalimatnya, Tayas sudah menatap tajam saudarinya itu. Gadis yang mengikat rambutnya seperti ekor kuda itu tampak cemberut usai menerima tatapan Tayas. “Aku mengerti jika hanya kalian yang melihatnya, tapi kenapa aku juga harus?” Kali ini Kael menyuarakan keluhannya. Dia bukan bagian dari keluarga Gillenhart yang
Sudah dua minggu lebih berlalu sejak saat Lucifer dibawa ke lab penelitian Kael. Anak laki-laki itu seperti tidak ada niatan kembali ke rumahnya, ke kamarnya yang ia sebut-sebut sebagai surga duniawinya. Siang itu tim peneliti Kael sedang melakukan pekerjaan di ruangan lab lainnya. Sebagai gantinya seorang gadis berkaca mata bulat yang tampak seumuran Lucifer berjaga di lab Kael, Eda Ralfen. Gadis itu hanya diam dan duduk di pinggir jendela sembari sesekali memperhatikan Lucifer yang sibuk pada kegiatan anehnya. “Membosankan,” keluh gadis itu pelan. Lucifer yang beberapa kali tertidur lalu terbangun lagi dengan benda-benda aneh di tangannya tentu saja menarik perhatian Eda untuk memeperhatikan. Namun sudah lebih dari setengah jam hal itu terulang, tentu saja gadis kecil itu bosan. Lucifer sendiri tampak belum menyerah dan masih berusaha melakukan eksperimennya. Bahkan mungkin ia tidak sadar akan kehadiran gadis itu di sudut lab berdinding putih itu. Lucifer berusaha
Mainan kayu berbentuk beruang yang menggantung di atasnya sudah tak asing lagi. Lucifer memandang mainan itu, ia sesekali berkedip dan mengalihkan pandangan ke langit-langit ruangan. Sepertinya sudah gelap di luar rumah, tampak langit-langit yang menggantungkan sebuah bola menyala terang berawarna keemasan. Tanpa sadar tangan-tangan mungil Lucifer bergerak seolah ingin meraih beruang kecil yang bergerak pelan oleh hembusan angin malam. Lalu sebuah tangan besar muncul dan menutup mata Lucifer, tangan hangat yang sedikit kasar. “Tidurlah sebentar, aku tidak ingin Harin kesusahan,” ucap si pemilik tangan besar dengan suara berat yang sangat khas seperti suara pria yang baru terbangun dari tidurnya. Seperti sihir, tubuh mungil Lucifer terlelap dan kesadarannya kembali ke Zois. “Sudah bangun?” tanya Herman yang masih memangku kepala Lucifer. Badannya ia sandarkan dengan tangan melipat di depan dadanya. Sepertinya ia juga tidak sengaja tertidur beberapa saat, dapat dilihat