LOGIN"Mas John, serius mau traktir saya?" Tanya Alana kembali mematiskan.
Ya.. saat di bus tadi John mengajak Alana untuk makan malam, dia beralibi ingin mentraktir Alana yang sudah bekerja keras untuk acara Cullen. "Serius dong, Mba. Masa saya bohong. Sekarang saya serahkan sama Mba Alana, mau beli makanan apa saja nanti saya yang bayar semuanya" Alana tersenyum mendengarnya. "Mas John, tapi gajihan masih lama loh, saya jajannya banyak tau" John tertawa renyah mendengarnya. "Badan sekecil ini makannya banyak juga. Tapi tenang, mau seberapa banyak pun saya tidak masalah" "Baiklah, kalau begitu kita makan mie ayam disana" tunjuk Alana pada sebuah gerobak mie ayam lengkap dengan tenda dan kursi disana. Saat ini mereka sedang berada disebuah taman yang jika malam hari akan menjadi tempat wisata kuliner. Banyak sekali para penjual kaki lima berjejer disini, banyak pilihan jika ingin makan malam disini dan masih banyak berbagai camilan juga disini tidak hanya makan berat saja. Alana dan John menikmati malam ini dengan begitu lepas, mereka salig tertawa dan berbagi cerita satu sama lainnya. Terlihat sekali kedekatan mereka disini dan itu membuat hati John benar-benar diatas awan, karena bisa bersama dengan seseorang yang spesial dihatinya, meskipun dia belum berani untuk mengunkapkannya. Alana melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya, dan ini sudah menunjukkan pukul 20.30. Dia harus bergegas pulang karena besok masih banyak pekerjaan di kantor yang menantinya. Sebelum Alana berbicara, John lebih dulu membuka suaranya. "Mba, sudah malam mau pulang sekarang?" Tanya John. Alana menganggukkan kepalanya. "Besok Mas John pun harus berangkat pagi-pagi kan. Terimakasih banyak untuk traktirannya malam ini, lain kali saya yang akan traktir Mas John" John pun tersenyum senang dengan kepala yang dia anggukkan. Sungguh rasanya nyaman sekali berlama-lama bersama dan sedekat ini dengan sesorang yang kita sukai. "Saya tunggu kalau begitu" sahutnya dan dibalas dengan senyuman juga kedua jempol Alana yang dia angkat. Mereka pun beranjak dari kursi plastik dan berjalan menuju halte bus. "Mba, naik taksi saja ini sudah malam Bus ke arah rumah Mba kayanya sudah tidak ada" Alana melihat jamnya lagi, ya, memang benar bus ke arah rumahnya beroperasi hingga pukul 20.00. "Biar saya pesan taksi online untum Mba Alana" "Eh, tidak udah Mas John, biar saya yang pesan saja. Mas John pesan untuk Mas saja" "Kosan saya sudah dekat ko dari sini" bohongnya. "Sudah saya pesankan, sebentar lagi sampai" Ya, memang benar kata-kata John, sebuah mobil sedan hitam tiba di depan mereka. "Nah, ini dia" Alana mengkerutkan keningnya merasa bingung, mobil semewah dan semahal ini dijadikan taksi online, apakah sang driver sedang gabut. Dia pun mendekat dan merapatkan lengannya pada lengan John lalu membisikan sesuatu pada John. "Mas, yakin ini mobilnya? Ini mah mobil orang kaya, Mas" bisik Alana yang membuat John menahan tawanya. Ini memang mobil milik John atau Shayne Raffa Cullen, dia meminta pada Arlo untuk mengantar Alana dan berpura-pura menjadi seorang driver taksi online. John pun merubah raut wajahnya seolah tengah memikirkan hal yang sama dengan Alana. "Oia, bisa jadi, orang kaya zaman sekarang kan banyak gabutnya. Tapi, ini bener ko mobilnya" jawabnya seraya menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan pesanan taksi onlinenya. Alana pun melihatnya dan menyamakan plat serta jenis mobilnya. "Sama, Mas" ucapnya dengan kepala yang dua anggukkan. "Sudah malam, Mba. Tenang, Mba Alana nggak akan diculik ko, percaya sama saya" kata John yang melihat kekhawatiran di wajah Alana. Alana pun berjalan dan masuk ke dalam mobil sedna hitam ini. "Oia, makasih lagi ya Mas John" "Dengan senang hati, Mba" John mengetuk jendela bagian penumpang dikursi depan, jendela pun menurun menampilkan sosok driver disana yang tak lain adalah Arlo asisten pribadinya. "Antarkan Mba Alana sampai rumahnya dengan aman dan nyaman, paham!" "Baik, Pak. Pacarnya, ya Pak?" Lendeknya diwaktu yang tidak tepat ini. John melototkan kedua matanya dan itu membuat Arlo menutup kembali jendelanya dengan kepala yang dia anggukkan dan melajukan mobilnya ini meninggalkan John seorang diri di halte Tidak membutuhkan waktu lama hingga kini mobil sedan itu tiba di depan rumah Alana. Disaat dirinya akan membayar tarif taksi ini, tapi ditolak oleh Arlo dengan alasan sudah dibayarkan oleh John. Alana cukup lama terdiam mencerna semuanya. "Kalau begitu terimakasih, Mas" Alana pun bergegas keluar mobil berjalan menuju rumahnya. Nampaknya sang ibu sudah berada di kamarnya, dia tidak akan menunggu kepulangannya akan berbeda jika Ayra yang telat pulang maka sang ibu akan menunggunya dengan penuh kekhawatiran. Tapi jika dirinya pulang telat dan berpapasan dengan sang ibu, maka hanya akan ada omelan untuknya. Tetapi Alana tidak begitu mempedulikannya, dia sudah terbiasa dengan hal ini sedari dulu. Dan dia tetap menyayangi Ibu dan Kakaknya. "Kakaaaaaaaak!" Teriaknya begitu tiba di kamar sang kakak, langsung memeluk sang kakak yang sedang terduduk di atas kasur. "Waah, ada apa ni, dari raut wajahnya terlihat bahagia sekali" "Apakah terlihat sebahagia itu?" "Jelas sekali, sangat terlihat jelas. Ayok, ceritakan pada Kakak?" Alana terlihat memicingkan kedua matanya dengan senyum yang tertahan. "Belum saatnya" sahutnya dengan gelak tawa diakhir. Ayra membuka mulutnya dengan kepala yang dia gelengkan. "Kamu nakal sekali ya!" Ucapnya seraya memukul badan Alana dengan bantal, hanya pukulan kecil layaknya seorang kakak dan adik. Alana tertawa seraya menghindar dari pukulan sang kakak dan dia pun berlari keluar menuju kamarnya. Sesampainya di kamar dia mendudukan dirinya di atas kasur dengan senyum yang masih terukir di wajahnya. "Oh, Alana.. Apakah kamu menyukai Mas John!!" Gumamnya pada diri sendiri dengan menahan rasa malu.Alana baru tiba di rumah menjelang malam. Tentu dia diantar oleh Ezra. "Mampir dulu, Zra. Sekalian makan malam di rumah, udah lama kan?" Ezra terdiam sesaat, hingga kelalanya dia anggukkan. "Ok, lagi pula Ibu Erika sudah jinak, kan" goda Ezra. Ya, Ezra tahu cerita Erika yang sudah mulai menerima Alana, semua itu Alana ceritakan saat perjalanan mereka menuju Kota Lama. Mereka pun turun dari mobil dan berjalan masuk, keduanya baru menyadari ada mobil Shayne terparkir di depan sana. Namun, Alana mengabaikannya, toh dia harus terbiasa dengan ini. Nanti pun dia akan sering bertemu, karena nanti Shayne akan menjadi Kakak iparnya. "Alana, dari mana saja kamu? Ibu khawatir" cerca Erika begitu melihat Alana tiba. "Dari tadi Ibu mondar mandir, karena kamu susah dihubungi, dan Om Reno bilang kamu sudah kembali dari Kota Lama siang tadi" Ayra menimpali. Sungguh senang sekali rasanya di khawatirkan oleh sang ibu. Itulah yang selama ini Alana inginkan. Diam-diam Alana tersenyum. "Aku hab
"Bagaimana, Dok. Kondisi adik saya?" Tanya Ata.l Ya.. sedari tadi ada Ata juga disini, Alana tidak menyadarinya. "Kakaknya Asla?" Bisik Alana bertanya. Clara mengangguk. "Daritadi dia ada disana, Al. Gue kesini sama dia" Alana mengkerutkan keningnya. Seakan paham dengan ekspresi Alana, Clara pun menjelaskan bagaimana dia bisa tahu jika Asla pinsan dan berakhir di rumah sakit. Clara yang baru tiba di kontrakan Asla mendapati pemandangan yang tidak mengenakan. Disana Ata akan menggendong Asla, dengan cepat Clara menghampiri dan bertanya. Ternyata, Asla tak sadarkan diri. "Asla pingsan" kagetnya. "Bawa masuk ke mobil saya, kita bawa Asla ke rumah sakit" dengan sigap Clara pun meminta Ata untuk membawa Asla. Clara membantu membuka pintu bagian belakang, mempersilakan Ata masuk yang sedang menggendong Asla. Sungguh berantakan sekali wajah Ata, pria itu terus memanggil nama sang adik. Memang bukan waktu yang tepat, tetapi rasa penasaran Clara semakin menggebu, dia pun bert
Alana baru saja tiba di TPU Kota Lama, dia meminta alamat dimana Lena dikebumikan kepada Reno. Kakinys menyusuri jalan setapak diantara gundukan tanah yang terbalut rumput hijau, lengkap dengan batu nisan di atasnya. Ada beberapa yang tertabur bunga, menandakan bahwa ada sanak saudara yang baru saja berkunjung. Alana tetap melangkah menuju tempat tujuan, hingga dia tiba disebuah gundukan tanah dengan nisan bernamakan Lena Presticia. Ntah mengapa, ketika membaca nama nisan tersebut, kedua mata dan hidung Alana memanas, pandangannya pun mulai buram, dagunya pun sudah bergetar. "Ma-mama" cicitnya. Dia pun terduduk di dekat pusaran Lena. Badannya seperti tidak bertulang, lemas rasanya. "Kenapa, Mama tega ninggalin Alana disini sendiri, Ma" ucapnya, seolah dia sedang berbicara dengan seseorang yang nyata. Air matanya menetes membasahi pipinya. "Awalnya, Alana berfikir, kalau Alana anak yang tidak diinginkan terlahir ke dunia ini. Alana pikir, orang-orang tidak menginginkan Alan
Kini mereka sudah terduduk di ruang tamu. Erika, Alana, Shayne, Reno, dan Arlo. "Ada apa, Bu?" Tanya Alana yang sudah penasaran sedari tadi. Erika menarik nafasnya dalam-dalam, sebelum dia menjelaskan semuanya pada Alana. "Kamu, sebenarnya bukanlah putri kandung ibu" Deg.. satu kalimat itu membuat hati Alana sakit, meskipun dia sudah menyadarinya, tetapi jika mendengarnya langsung rasanya berbeda. "Tapi, kamu tetaplah putri ibu, apa pun kenyataannya, kamu adalah putri ibu!" Lanjut Erika menyakinkan. Alana hanya tersenyum getir. "Kami mengatakan ini, bukan untuk membuat kamu sedih. Kami hanya ingin kamu mengetahui kebenarannya, Nak" kali ini Reno yang berbicara. "Kamu adalah putri dari sahabat ibu, sahabat dekat ibu. Dan, Ibu minta maaf, atas semua perbuatan Ibu padamu selama ini. Pikiran ibu terlalu sempit kala itu, membuat ibu menjadi membenci dirimu, maafkan Ibu" lirihnya dengan penuh penyesalan. "Nak, jangan pernah tinggalkan Ibu. Ibu, ingin terus mendampingimu,
Perasaan Erika bergejolak, dia merasa tidak punya keberanian untuk berhadapan dengan Alana. Ternyata selama ini pikirannya salah, pikiran dia terlalu dangkal terhadap suaminya. Dan itu membuat banyak sekali perasaan orang lain yang terluka karenanya. "Rasanya aku tidak percaya dengan semua ini? Apakah ini nyata? Apakah ini kebenarannya?" Batinnya. Rasanya ucapan maaf pun tak bisa menebus semua perbuatannya selama ini. Pikirannya terus melayang pada Alana, perbuatan dan sikapnya terdahulu pada anak malang itu. Anak yang selalu dia sebut sebagai pembawa sial. Anak yang selalu dia sia-siakan, anak yang tidak pernah dianggap keberadaannya, anak yang dia selalu abaikan. Terlintas pikirannya pada saat Alana berumur 7 tahun. Pagi hari Erika membangunkan Ayra dan juga Alana tentunya, karena waktu itu mereka masih satu kamar. Ayra sudah terbangun dan dia bergegas jalan menuju kamar mandi, sementara Alana, anak kecil itu masih terbungkus selimut, wajahnya pucat, namun Erika beranggapa
"Banyak sekali hal yang tidak Nyonya Erika ketahui, setiap hal baru yang saya dapatkan membuat saya ingin segera menjelaskan semuanya" ucap Arlo. Pria itu sudah mendapatkan semua informasi mengenai kehidupan Erika dan suaminya di masa lalu. Saat Shayne menyuruhnya untuk menyelidiki segala informasi Erika dan suaminya. Arlo pun bergegas mencari informasi kehidupan mereka dahulu yang berada di kota lain. Shayne terdiam memperhatikan Arlo, hingga pria itu melanjutkan kembali ceritanya. "Memang benar, Nona Alana bukanlah putri kandung dari Nyonya Erika dan Tuan Reza" melihat raut Shayne, Arlo pun menjelaskan siapa Reza. "Reza adalah alm suami Nyonya Erika. Beliau meninggal karena kecelakaan mobil" Satu fakta yang baru saja Shayne ketahui. "Saat kecelakaan mobil waktu itu, Tuan Reza bersama dengan seorang bayi perempuan. Namun, takdir berkata lain untuk Tuan Reza yang harus kehilangan nyawanya akibat dari kecelakaan tersebut, dan takdir lain berkata bahwa sang bayi harus selamat







