Share

Bab 6

Arjuna termenung di sofa kamar dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang ke kejadian tadi siang ketika ia memergoki Larissa dengan Pramudya.

Arjuna mendengar jelas setiap percakapan mereka. Ia pun melihat tangis keduanya meski Larissa berusaha menutupinya. Sorot kebencian dari sang istri untuk Pramudya makin tergambar jelas. Menambah rasa penasaran tentang hubungan yang terjalin di antara keduanya.

Pramudya adalah ayah kandung Larissa.

Pengakuan yang meluncur dari mulut pria itu sangat mencengangkan baginya. Selama ini Larissa tidak pernah bercerita tentang keluarga wanita itu, ah ... lebih tepatnya Arjuna sendiri yang tidak pernah bertanya atau mencaritahu. Kebenciannya kepada sang istri telah membutakan hatinya hingga ia menutup mata tentang semua masa lalu wanita itu.

Ia ingin menemui Larissa dan meminta penjelasan langsung dari istrinya karena tadi siang, wanita itu pergi begitu saja tanpa mempedulikan pertanyaan darinya. Justru Pramudya-lah yang bercerita bahwa pria itu ayah kandung Larissa tetapi sudah bercerai dengan Ibu dari putrinya tersebut.

"Saya minta sama kamu, tolong jaga putri saya. Meskipun kenyataannya kamu menikah lagi dengan Renata dan itu berarti kamu telah menyakiti Larissa, tapi saya yakin kamu masih peduli padanya." Bahu Pramudya bergetar menahan tangis.

"Saya memang tidak tahu alasan kalian menikah. Tapi saya bisa melihat kamu tidak mencintai putri saya seperti kamu mencintai Renata. Larissa sudah terlalu sering mengalami kesakitan dalam hidupnya dan saya berharap, kamu tidak menyakitinya lebih dalam lagi."

Perkataan Pramudya terus terngiang di benak Arjuna. Sepelik apa hubungan mereka hingga interaksi Pramudya dan Larissa tidak seperti seorang ayah dan anak? Lantas di mana ibunya Larissa saat ini? Apakah ia sudah meninggal?

Berbagai pertanyaan berjejal di benak Arjuna. Kenyataan tentang istri pertamanya tak ayal mempengaruhi pandangannya tentang wanita itu. Larissa menutupi lukanya dengan berpura-pura tegar, dan bodohnya ia tidak menyadari hal itu. Ia terlalu fokus pada Renata dan rasa bencinya hingga menutup mata tentang siapa Larissa sebenarnya.

"Mas."

Suara Renata menyentak Arjuna dari lamunan. Wanita yang hari ini resmi menjadi istrinya itu terbangun setelah tertidur cukup lama. Permainan panas mereka membuat Renata kelelahan. Sedangkan Arjuna memilih duduk di sofa karena matanya sama sekali tidak bisa terpejam.

"Kamu kok gak tidur?"

"Kenapa bangun, hmm?" Arjuna balik bertanya. Mengabaikan pertanyaan sang istri karena tidak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa ia tidak bisa tidur.

Pria itu menghampiri Renata. Duduk di pinggir ranjang sembari mengelus surai hitam sang istri yang berantakan.

"Aku haus."

"Mau Mas ambilkan minum?"

"Boleh."

Arjuna bangkit. Mengambil air minum untuk kemudian diserahkan kepada istrinya.

"Tidur lagi, ya."

"Peluk," rengek Renata manja.

Arjuna terkekeh. Ia ikut berbaring untuk menuruti kemauan sang istri.

Mereka berpelukan. Dengan Renata yang kembali terlelap dan Arjuna yang masih tidak bisa terpejam.

Ingatannya terus melayang pada sang istri pertama. Entah mengapa Juna ingin buru-buru pulang dan memastikan keadaan wanita itu baik-baik saja.

Ya, hanya sebatas itu, bukan karena ... rindu?

🍁🍁🍁

"Gue gak habis pikir sama lo. Ngapain lo ngasih suami lo izin nikahin tuh nenek lampir? Terus sekarang mereka lagi bulan madu dan lo ditinggalin gitu aja? Bodoh banget lo!"

Felicia menggerutu. Tidak setuju atas keputusan Larissa membiarkan Arjuna menikahi Renata. Bukankah sahabatnya ingin mereka tidak bisa bersatu demi membalas sakit hatinya? Lantas mengapa sekarang Larissa berubah pikiran?

"Meski gue gak ngasih izin, Juna pasti tetap nikahin dia. Tapi gue punya cara lain buat balas mereka."

"Maksud lo?" Felicia mengerutkan dahi.

"Status Renata memang istri Arjuna juga. Tapi gak lebih tinggi dari gue yang menyandang status istri sah. Lo pasti tahu gimana geramnya orang-orang sama pelakor, kan? Kita bisa manfaatkan situasi ini buat keuntungan kita."

Felicia masih mencerna ucapan sahabatnya. Karena gemas, Larissa mengambil ponsel miliknya, mengotak-atik, kemudian menyerahkannya kepada sang sahabat yang tambah penasaran.

"Lo ngerti sekarang?"

Felicia menatap ponsel dan sahabatnya bergantian. Sedetik kemudian, senyum lebar tercetak dari bibirnya.

"Cerdas! Lo benar-benar cerdas. Gue yakin sebentar lagi klinik kita pasti tambah laris dan klinik sebelah menuju bangkrut. Mereka pasti gak mau berlangganan lagi di tempat yang pemiliknya adalah seorang pelakor."

Larissa tersenyum penuh arti. Ya, setidaknya ia bisa mengambil keuntungan dari pernikahan kedua suaminya. Tinggal berakting menjadi istri yang dikhianati, maka ia yakin, nama Renata akan hancur begitupun dengan karirnya.

Terkesan jahat memang, tetapi ia tidak peduli. Renata dan Wanda harus membayar setiap tetes air mata yang dikeluarkan mamanya, termasuk ketika Wanda mengirim foto-foto kemesraannya dengan Pramudya yang menyebabkan Arumi bertambah depresi.

🍁🍁🍁

Wanda memijat pelipisnya yang terasa pening. Beberapa hari ini kliniknya sepi dari pelanggan hingga omset pendapatannya menurun drastis. Bahkan setelah ia mengadakan diskon besar-besaran, tetap saja tidak ada yang mampir di sana.

Entah apa penyebabnya, Wanda tidak mengerti. Hingga info yang ia dapat dari salah satu karyawan membuat hatinya menjadi panas.

"Klinik sebelah rame banget, Bu. Bahkan Nyonya Miranda langganan kita juga beralih ke sana."

Wanda tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Ia harus mencari tahu penyebabnya secepat mungkin. Melangkah keluar, Wanda mengamati klinik milik Larissa yang memang terlihat ramai pengunjung. Wanita berusia empat puluh tujuh tahun itu berjalan cepat menuju klinik sebelah dan menghampiri Nyonya Miranda yang baru keluar dari sana.

"Lho, Jeng? Kok tumben perawatan di sini?" Wanda bertanya seramah mungkin, meski orang yang ia tanya menatapnya sinis.

"Mulai sekarang memang saya akan berlangganan di sini."

"Lho, kenapa? Padahal Jeng sudah langganan di tempat saya." Wanda mengerutkan dahi.

"Gak. Saya gak mau perawatan di tempatnya pelakor. Ibu sama anak ternyata sama saja. Kok bisa-bisanya saya baru tahu kalau Jeng Wanda sama Renata itu perebut suami orang. Kalau tahu dari dulu, saya pasti ogah mampir ke sana," sungut Nyonya Miranda dengan wajah judesnya.

Wajah Wanda memerah. Ia tahu pasti siapa si pembuat ulah yang menyebarkan berita ini. Mengabaikan tatapan sinis Nyonya Miranda, Wanda memasuki klinik milik Larissa dengan wajah berang.

"Apa maksud kamu menyebar berita bohong itu?" todongnya setelah berhadapan dengan Larissa yang justru terlihat santai.

"Berita bohong yang mana?"

"Tidak usah sok polos! Saya tahu kamu yang menyebar fitnah kalau Renata yang merebut suamimu!" ujarnya seraya menunjuk wajah Larissa.

"Fitnah? Memang kenyataannya seperti itu kan? Dia sudah menikah dengan suami saya tanpa memikirkan anak dan istrinya yang pasti akan sakit hati."

"Tapi Renata tidak merebut. Justru kamu yang hadir di antara mereka dan menjebak Arjuna supaya menikahimu!"

"Begitukah? Anda punya buktinya, Nyonya Wanda?"

Wanda gelagapan. Ia memang tidak mempunyai bukti yang bisa menunjang kebenaran ucapannya. Akan tetapi, ia tidak mau kalah. Mulut Larissa harus dibungkam supaya wanita itu tidak terus-menerus menghancurkan karirnya dan Renata.

"Kita tanya saja suamimu kalau nanti mereka kembali dari bulan madu. Saya yakin Arjuna akan mengatakan yang sebenarnya bahwa ia dijebak dan terpaksa menikahimu!"

"Silakan. Apa pun yang dia katakan tidak akan menutup kenyataan bahwa putri Anda telah menikah dengan pria beristri. Sama seperti Anda yang juga melakukan hal yang sama. Ibu dan anak sama-sama pelakor."

"Kamu!"

Wanda naik pitam. Tangannya sudah terangkat, bersiap melayangkan tamparan di pipi Larissa, tetapi gagal karena seseorang menahan lengannya.

"Jangan berbuat kasar, Nyonya. Saya tidak akan tinggal diam jika Anda melakukan kekerasan di sini."

Semua yang berada di ruangan itu terpana. Termasuk Larissa yang sama sekali tidak mengenali pria tampan di depannya.

*

*

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status