Part 14 Pov Herdy“Mut, buka pintunya, aku tahu kamu belum tidur!”Kukepalkan tangan melihat sikap istriku yang mulai membangkang. Dia bukan Mutiara yang dulu. Arrrggghh ...! kesal sekali dibuatnya.Ibu menepuk pudakku dengan pelan, lalu menggeleng. “Ayo ikut ibu!” ujar wanita yang telah melahirkanku itu. Aku mengikuti langkahnya ke rumah ibu. Tampak Devina yang tengah cekikikan di ujung telepon, tengah asyik ngerumpi bersama teman-temannya. Aku menghela nafas dalam-dalam.“Her, kamu jangan terlalu kasar dengan istrimu,” ujar ibu usai menyuguhkan kopi untukku.“Kenapa ibu bicara begitu? Bukankah ibu sudah lihat sendiri bagaimana sikap Mutiara tadi?” pungkasku kesal.“Iya, ibu lihat. Tapi ingat Herdy, tidak semua masalah diselesaikan dengan otot, pikirlah pakai otak," sahut ibu lirih.“Tapi dia sudah berbohong, Bu. Aku sudah tanya sama si Santi, ternyata dia pergi diajak bosnya ke kota. Mau ngapain coba kalau tidak—““Sudah, jangan biarkan prasangkamu mengalahkan kewarasanmu. Mumpung
Part 15Pagi ini aku berhasil melarikan diri dari Mas Herdy. Aku sungguh muak dengan sikapnya yang selalu berubah-ubah. Kadang marah-marah tak jelas lalu tiba-tiba bersikap lembut. Ah entahlah. Memikirkannya saja membuat kepalaku terasa pusing.Aku berjalan hendak ke rumah Santi. Perempuan itu tersenyum kala aku datang. Kami pun berjalan bersama ke tempat kerja yang baru. Aku tak jadi menitipkan sertifikat dan surat penting lainnya, masih kusimpan sendiri di kamar.Sampai di lokasi, kami langsung bekerja di tempat masing-masing. Rupanya hari ini Pak Arya tidak datang, tak terlihat batang hidungnya dimanapun. Padahal aku ingin meminta izin padanya, inginnya besok tak berangkat kerja lebih dulu, tapi lihat sikon lagi. Meskipun seharusnya tak masalah, karena kami pekerja harian, tapi upah kami dibayarkan tiap dua minggu sekali, itu kata seseorang yang lebih dulu kerja di tempat itu.“Kamu kenapa hari ini ngelamun terus? Ada masalah?” tanya Santi saat makan siang bersama. Ia membagi bekal
Part 16Drrrttt ... drrrttt ...Notif pesan masuk ke aplikasi WA-ku.[Gimana, apa udah ada reaksi?] Pesan dari Santi. [Iya, berhasil, San. Mbak Tantri panik, alerginya kambuh, dia langsung pergi ke klinik][Kesempatan bagus, nanti Sofyan dan teman-temannya akan beraksi malam ini]Aku tersenyum kecil. [Makasih ya, San. Aku gak tau kalau ga ada kamu][Its oke, istirahatlah, akan kukabari lagi nanti]Aku hendak masuk ke rumah, tapi ibu mertua justru mencegahku."Mut, tunggu!" serunya."Ada apa, Bu?" "Ibu nitip Silva sama Putri ya sementara sampai Tantri pulang," ucap ibu mertuaku."Lah kenapa harus aku? Mereka kan cucu-cucu ibu?" timpalku."Ibu lelah sekali hari ini, ingin istirahat. Devina sudah pergi dan menginap di tempat Irdiana. Jadi gak ada yang jagain mereka," ucap ibu kembali. Tampak gurat lelah di wajah tuanya. Bu, andai saja kau mertua yang baik sudah tentu aku menghormatimu."Mut, jangan diam saja! Dulu Adinda juga sering diasuh sama Tantri.""Oke," sahutku tak ingin berdeb
Part 17"Oh ... jadi ini yang dibilang kerja tapi pacaran?" "Mas, kamu ngapain kesini?"Mas Herdy tersenyum miring. "Sudah kepergok gak mau ngaku. Niat kerja apa selingkuh?!" tukasnya seraya menarik tanganku menjauh dari mobil."Aku gak selingkuh, aku kerja!""Kerja? Ngapain naik mobil bosmu yang lain aja sibuk di pabrik!" serunya lagi. Oh rupanya dia sudah memata-mataiku. Wajah lelaki itu tampak memerah karena amarah mulai menguasai hatinya."Kamu ngata-ngatain aku, jangan-jangan kamu yang selingkuh, Mas!""Apa kau bilang?!" Matanya membulat seolah ucapanku menohoknya."Lepaskan dia, dia karyawanku!" tukas Pak Arya, dia akhirnya keluar dari mobil dan menghampiri kami."Dia memang karyawanmu. Tapi dia istriku!" tukas Mas Herdy lagi.Pak Arya tampak terkejut memandangku dan Mas Herdy secara bergantian. "Bukankah kemarin kau jalan dengan wanita muda? Kau yang menabrak mobilku kan?" pungkas bosku itu dengan tatapan penuh selidik."Dia anak bosku! Dan aku hanya mengantarnya saja."Menden
Part 18 - hilang kendaliTanganku mengepal erat mendengar obrolan Mutiara dengan Mbak Tantri yang lagi-lagi merendahkanku. Memang sih, aku tak memberi uang nafkah padanya. Kupikir dia wanita mandiri yang bisa menghasilkan uang sendiri. Pulang dari luar negeri pastilah membawa uang banyak, bahkan aku tak mengungkit hal itu karena ia masih berduka.Namun ... dia sekarang benar-benar berbeda, sangat berbeda. Tak seperti dulu lagi. Perhitungan dan juga membangkang.Pagi itu aku langsung ke warung terdekat untuk sekedar ngopi dan makan gorengan. Beberapa orang laki-laki sudah berkumpul, dengan tujuan yang sama. Ngopi dan sekedar makan kudapan pagi sebagai pengganjal perut."Bu, kopi susu satu ya," ujarku pada pemilik warung dan langsung duduk di bangku kayu yang panjang.Tak lama, kopi pesananku langsung terhidang."Hei Herdy, tumben kamu ngopi di sini lagi, istrimu gak buatin kopi?" tegur salah seorang pria yang bernama Pak Bowo."Dia sudah berangkat kerja, Pak," jawabku."Hei, hati-hati
Part 19 - Telat"Aku gak tahu kalau kamu gak ngasih tahu, Dek. Ada apa?" tanyaku lagi."Aku telat datang bulan," jawabnya lesu. Gadis itu menunduk seolah menyembunyikan rasa cemasnya.Glek, aku menelan air ludahku sendiri mendengar jawaban Irdiana yang seolah bagaikan petir menyambar di siang bolong. "Te-telat datang bulan? Kau serius?" tanyaku. Masih ada rasa tak percaya.Irdiana mengangguk menegaskan kalau ucapannya itu tidak main-main.Mataku membulat. Kok bisa? Aku hanya sekali saja berhubungan dengannya. Itupun karena aku khilaf tak mampu menahan hawa nafsu. Setelah dipikir-pikir kejadian itu sudah lewat tiga bulan."Mas, gimana ini? Aku takut kalau orang tuaku tahu, mereka pasti bakal marah-marah, aku takut hamil, Mas!" ucapnya dengan nada getir."Sebentar, kau tunggu disini dulu." Akupun pergi meninggalkannya begitu saja. Dengan perasaan kacau, aku bergegas mencari apotek terdekat. Hendak membelikan alat test kehamilan, semua ini supaya gamblang. Apakah benar Irdiana hamil at
Part 20"Pak, besok saya izin libur, kalau gak boleh geser libur saja, Pak," pamitku pada pria yang sedang duduk di meja kerjanya.Dia menatapku seakan bertanya.Ijm "Besok 100 harinya putriku, Pak, makanya saya izin libur.""Ya," jawabnya singkat.Terhitung, sudah tiga bulan rupanya aku bekerja di pabrik pengolahan makanan. Setiap hari, pabrik ini selalu beroperasi. Setiap karyawan diberi hak libur di hari yang berbeda alias bergantian. Maka dari itu pabrik tetap beroperasi."Apa kau butuh sesuatu?" tanya pria itu lagi. "Eh? Maksud bapak?""Apa kau butuh tambahan uang?""Ah tidak, Pak, saya tidak mau kashbon.""Baiklah. Kamu boleh libur," jawabnya. Kemudian tatapannya kembali berkutat ke layar laptop.Upah yang kudapat itu buat memenuhi kebutuhanku sendiri sehari-hari selama aku tinggal di sini. Sisanya ditabung. Aku masih membutuhkan banyak uang untuk modal tinggal sendiri.Mas Herdy?Ah, kami bagaikan orang asing. Kami memang masih tinggal satu atap bersama tapi saling acuh dan t
Part 21"Aku ingin kau segera bertanggung jawab, Mas!" ungkap Irdiana setelah ia berkeluh kesah pada ibu."Paling tidak lamar aku secara resmi, Mas. Biar ayah dan ibu tahu kalau kamu memang serius. Aku gak ingin menggugurkan kandungan ini, tapi aku juga gak ingin keluargaku mendapatkan malu.""Iya, Dek. Aku akan segera melamar kamu. Tapi nanti tolong bantu bicara sama Pak Renaldi ya, biar dia gak menghukumku.""Sekali-kali dihukum tidak apa-apa kan, Mas?""Duh, bisa mati aku, Dek," keluhku.Irdiana justru tertawa pelan. "Terus kapan?""Emmh, aku harus diskusi dulu kan sama keluarga," jawabku pelan. Aku tak ingin menyakitinya maupun memberi harapan besar."Aku ingin kepastiannya sekarang!" pungkas Irdiana dengan nada manja. Sikapnya yang begitu menggemaskan membuatku makin sayang. Padahal dia hanya memakai piyama tidur saja, tapi bisa secantik dan seseksi ini kelihatannya."Dek, tenanglah, jangan gegabah dulu.""Aku gak gegabah, Mas! Semua sudah terlambat, aku cuma butuh kepastianmu k