Part 2
"Mu-mutiara? Ka-kau pu-pulang?" ucap seorang lelaki dengan nada gemetar. Beberapa orang pun menoleh ke arahku yang berdiri di dekat pintu, menatap seolah tak percaya akan kedatanganku.Lelaki yang memakai baju koko, sarung serta peci hitam itu berjalan mendekat ke arahku."Mutiara, kau pulang kenapa tidak memberitahuku?" tanya Mas Herdy lagi. Matanya mengisyaratkan kalau dia terkejut juga takut.Kutatap kedua matanya yang tampak memerah. Lalu kembali memandang tubuh kaku tak berdaya yang berada tak jauh dariku."Maafkan mas, Sayang. Mas gak bisa jagain Adinda dengan baik. Dia, dia--"Mendengar ucapannya yang menjelaskan kalau yang meninggal benar-benar Adindaku, putri mungil yang dulu kutimang-timang, seketika tubuhku lunglai, seolah tulang persendianku tak berfungsi lagi. Tubuh merosot seketika tapi Mas Herdy langsung memelukku dengan erat. Kudengar ia pun menangis tergugu.Pupus sudah harapanku. Bayangan akan disambut keceriaan si kecil dan senyumannya hilang seketika. Bayangan akan dipeluk penuh kehangatan dan kebahagiaannya saat memanggil Bunda sirna sudah. Berganti rasa hancur, patah, yang teramat menyesakkan dada.Aku tak bisa bagaimana mendeskripsikan perasaaku saat ini. Sakiiit, sangat sakit. Dada ini terasa nyeri sampai ke ulu hati. Untuk mengambil nafas pun begitu sulit. Lidah terasa kelu, seolah ada yang tertahan di tenggorokan. Aku tak mampu berucap sepatah kata apapun, hanya air mata yang terus mengalir dari sudut mata.Pandanganku terasa gelap. Kurasakan tubuh yang begitu lemah ini dibopong lalu dibaringkan ke sofa."Kasih minum, Herdy.""Ambilkan minyak kayu putih."Samar kudengar suara mereka. Astaghfirullah hal adzim, astaghfirullah hal adzim. Sekuat tenaga aku ingin bangun dan melihat Adindaku."Mut, bangun sayang. Mutiara, bangun ..."Aku mengerjap pelan setelah menghirup aroma minyak kayu putih di hidung. Seseorang terasa memijat jempol kakiku. Mas Herdy menundaku untuk duduk dan menyodorkan segelas air putih."Minum dulu, Mut," ujarnya.Aku meminum air itu hingga beberapa teguk. Lantas berdiri, dengan langkah gemetar kuhampiri tubuh yang tertutupi kain jarik itu.Kusibak sejenak kain yang menutupinya. Kain kafan membalut tubuh mungilnya, wajahnya pun sudah tertutup kapas.Pak Lebe, pamong desa yang biasa mengurus kematian warga hingga sampai pemakamannya mengizinkanku untuk melihat sejenak wajah Adinda untuk yang terakhir kalinya, tapi ia bilang tak boleh ada air mata yang menetes ke tubuh maupun kain kafan.Dengan tangan gemetar, aku menyingkirkan kapas-kapas yang sudah menutupi seluruh wajahnya.Air mata makin jatuh bercucuran, meski beberapa kali kuseka tetap saja butiran bening yang menetes justru terasa makin deras.Kulihat wajah Adinda yang tampak begitu pucat, kubelai pipinya yang terasa dingin."Nak, ini bunda ... bangun, Sayang. Bunda pulang. Bunda pulang, Nak.""Dinda, kenapa kamu malah pergi? Bangunlah, Nak, Bunda janji tidak akan pergi lagi. Hiks ... hiks ...""Mulai sekarang, Bunda janji akan selalu di sini, nemenin Dinda. Bunda janji akan nganterin Dinda ke sekolah, nemenin Dinda main, masakin makanan yang enak buat Dinda. Bunda janji, Nak, bunda akan selalu lindungi dan sayangi Dinda. Bangunlah, Sayang, banguuuuun ...."Aku tergugu kembali. Tak kuat menahan rasa pedih nan perih di hati."Maafin Bunda, Nak. Selama ini Bunda jauh darimu. Bunda gak nemenin kamu tumbuh dan berkembang. Maafin Bunda, Nak, Bunda gak jagain kamu. Ayo sayang, bangun yuk, bunda sudah di sini. Bunda ada di dekatmu, Sayang.""Adindaaaa jangan pergiiiiii ... jangaaaaannn, tidak Adinda, kamu tidak boleh pergi, Nak! Kembali, sayang! Bangun sayaaang. Adindaaa ....!" Seketika aku berteriak histeris mendapati kenyataan Dinda masih terdiam dalam tidur panjangnya.Mendadak Mas Herdy kembali merangkulku agar menjauh dari Adinda. Mungkin Pak Lebe yang mengisyaratkan kalau waktuku habis."Tidaaak, Adindaaa! Jangaaaan pergiii, Naaak!!""Mut, sadarlah, Mut! Mutiara, sadarlah! Aku tahu kamu pasti terpukul dengan kepergiannya. Tapi aku mohon tenanglah, ikhlaskan Adinda agar dia beristirahat dengan tenang."Aku menggeleng pelan, bagaimana aku bisa tenang. Mungkin mulut bisa berkata ikhlas melepaskan, tapi hati, sangat sulit untuk mengikhlaskannya. Aku pulang dengan tujuan agar bisa memeluknya dengan erat bukan justru kehilangannya seperti ini."Sayang, ayo kamu istirahat dulu. Tenanglah dulu, Sayang. Aku tahu kamu pasti sangat kehilangan. Tapi lihatlah kondisimu saat ini, kamu pasti lelah habis menempuh perjalanan jauh. Duduk dulu yuk, sambil kita doakan Adinda."Aku masih terpaku dengan pandangan yang berkabut."Ikhlaskan Adinda, Dek. Biarkan dia istirahat dengan tenang. Ini semua sudah takdir, kita tak bisa mengubahnya. Kita hanya perlu menerima ini semua meskipun terasa sulit dan berat," ujar Mas Herdy lagi."Apa saja yang kau lakukan hingga mengurus satu anak saja tidak becus, Mas?!"Mas Herdy terdiam dan hanya menatapku."Apa saja yang kau lakukan, Mas? Kenapa Adinda bisa meninggal? Kenapa, Mas?!"Kali ini, aku mempertanyakannya. "Anakku harusnya tak kekurangan apapun. Harusnya dia bisa tumbuh dengan baik. Tapi kenapa bisa seperti ini, Mas?"Mas Herdy diam saja, dia bahkan tak berani menjawab pertanyaanku."Sudah, Bu, sudah. Tentang jodoh, rezeki, dan kematian itu sudah ditakdirkan oleh Allah. Kita tidak tahu kapan waktunya kematian akan datang menghampiri, semua sudah rahasia ilahi, hanya Allah yang tahu, tidak memandang usia, jabatan, paras, dan waktu. Dimohon untuk Bu Mutiara tenang dulu ya, kita doakan yang terbaik untuk Adinda.""Oke bapak-bapak, ibu-ibu karena waktunya sudah sore, kami langsung saja ya untuk proses selanjutnya, Adinda akan segera disholatkan lalu segera dimakamkan. Yang di TPU bagaimana, apa sudah siap?""Siap, Pak Lebe," sahut seseorang.Seseorang menuntunku agar masuk ke dalam, tapi aku menahannya."Pak Lebe mau mengurus pemakamannya. Kamu lebih baik di rumah saja ya, tak perlu ikut ke pemakaman," ucap Mas Herdy."Aku ikut!""Gak usah ikut, nanti kamu pingsan lagi di sana."Aku menggeleng pelan. "Aku ikut, aku harus mengantar Adinda ke peristirahatan terakhirnya. Ini kesempatan terakhirku," jawabku lirih."Apa kau yakin akan baik-baik saja? Mas takut kamu gak kuat lagi, Mut."Aku mengangguk pelan tapi pasti.Mas Herdy tampak menghela nafas dalam-dalam. Lalu berbaur dengan para tetangga yang lain.Aku tahu, suasana kali ini begitu menyedihkan, semua menatapku iba. Beberapa orang tampak bisik-bisik membicarakanku yang tiba-tiba datang.Usai disalatkan, jenzah Adinda segera dimakamkan. Tahlil dan sholawat serta doa mengiringi langkah kami ke peristirahatannya yang terakhir.Salah seorang tetangga ikut menuntun langkahku agar aku tak kembali pingsan. Sementara ibu mertua dan iparku membawa karangan bunga. Sejak kedatanganku, ibu mertua maupun ipar tak banyak bicara.Sampai di TPU, Adinda langsung dikebumikan. Aku termangu menatap pemandangan yang ada di hadapanku. Tubuh mungil Adinda perlahan mulai tertutup oleh tanah hingga menjadi gundukan yang sempurna. Bunga-bunga mulai ditabur di atasnya. Pak Lebe pun kembali menuntun doa.Usai pemakaman, satu persatu pelayat pulang. Hanya beberapa yang tinggal. Mas Herdy pun tampak berbincang lirih dengan yang lainnya.Mataku tak lepas dari pusara Adinda, menatap batu nisan yang bertuliskan namanya. Seketika air mata kembali menetes."Nak, istirahat yang tenang ya. Bunda akan selalu datang kesini menemuimu dan mendoakanmu yang terbaik. Tunggu bunda di surga," ucapku pelan."Mbak, sebaiknya jangan terlalu percaya dengan keluarga suamimu," lirih sebuah suara yang seketika membuatku terhenyak.Part 35"Jadi Irdiana gak izin sama ibu?" tanya Herdi usai pulang kerja dan mendapati rumah kosong dan hanya ada ibundanya.Ia merasa heran karena sang ibunda mengomel tak jelas juntrungannya. Bu Imas menggeleng. "Tidak, Herdi. Ibu gak tau, saat ibu pulang, rumah udah kosong, dia tinggalin gitu aja dalam keadaan begini. Untung aja uang simpanan ibu masih ada gak digondol maling.""Benar-benar ya. Istrimu ceroboh sekali, rumah gak dikunci! Kamu punya istri kok gak ada yang bener sih! Stress ibu lama-lama dibuatnya!"Herdi memijat pelipisnya, penat begitu terasa. Padahal ia merasa senang akan melihat istrinya itu dan memberikan uang yang didapat hari ini. meksi belum banyak, tapi hari ini lebih baik dari kemarin. Ada peningkatan.Herdi mendesah panjang, menghela napasnya yang begitu gusar. "Jadi kau pergi kemana, Irdiana? Arrghh ..."Lelaki itu menoleh ke arah ibunya. "Bener kan ibu gak marahin istriku? Atau jangan-jangan ibu marahin dia, seperti ibu marahin Mutiara? Jadi Irdiana perg
Part 34"Irdiana, cinta boleh, tapi jangan bodoh. suamimu mungkin baik tapi dia kurang bertanggung jawab. Terlebih dia tak membelamu di hadapan ibunya. Kalau aku tangkap dari ceritamu ini, keluarga suamimu itu toxic. Tak perlu dipertahankan lagi. tapi kalau kamu masih mau dengannya, menghabiskan waktu sia-sia ya terserah saja, yang pennting kau harus sabar dan menerima apapun keadaannya. termasuk sikap ibu mertuamu. Itu aja saranku, Ir. Dan ingat ini, kamu itu masih muda, jalanmu masih panjang. kau pun berhak bahagia."Irdiana merenung cukup lama mendengar ucapan sahabatnya itu. "Ir, jangan melamun terus nanti kamu kesambet lho! Ayo sekarang kita makan dulu nih. Makanannya sudah siap."Irdiana mengangguk. Mereka pun menikmati makan bersama. Setelahnya, Risa kembali bertanya pada Irdiana."Kamu mau pulang kemana?""Entahlah. Aku aja sekarang bingung, Ris. Aku gak ingin pulang dulu, rasanya muak sama ibu mertuaku.""Ke rumah orang tua kamu bagaimana?""Pintunya digembok.""Ya sudah pul
part 33Irdiana termangu mendengar penuturan suaminya itu."Mau jual rumah ini, Mas?" tanya Irdiana meyakinkan dirinya sendiriHerdi mengangguk cepat."Emangnya bisa laku kalau surat-suratnya gak ada? Bukannya surat-suratnya ada di koperasi?""Bisa. aku akan cari orang yang ahli dalam hal ini.""Terus kita akan tinggal dimana, Mas?""Emmh, tinggal di rumah ibu atau orang tua kamu.""No, no, itu tidak mungkin.""Kenapa?""Aku ingin kita mandiri, Mas.""Untuk sementara waktu saja, Dek. Sampai ekonomi kita membaik.""Tapi kapan?""Ya bertahap, mungkin butuh waktu agak lama, tapi mas akan berusaha, Dek, demi kita dan bayi yang ada dalam kandunganmu," ujar Herdi lagi, ia berusaha menenangkan sang istri seraya mengelus perutnya yang mulai membuncit itu.Irdiana menghela napas dalam-dalam. Sungguh berat. "Hhh, sekarang aja kau kerjanya serabutan, gimana mau---" Irdiana tak meneruskan ucapannya."Aku tahu ini tahun yang berat bagi kita. tapi kau cukup dukung saja keputusan ini ya. Aku butuh p
Part 32Mutiara terbungkam, pikirannya berkecamuk, semua berputar di kepala. Ia bingung apa yang harus dilakukan, meski perkataan Arya benar, suatu saat, Herdi pasti akan kembali menemuinya karena ia tak puas dengan hari ini."Pindah, tapi kemana? Saya--""Kau tenang saja, aku akan siapkan rumah sewa yang lebih besar untukmu. agar kau tinggal lebih nyaman dan tanpa gangguan. Aku juga akan menjamin keamananmu.""Maaf Pak, tapi saya terlalu banyak merepotkan Anda.""Sama sekali tidak, saya senang melakukannya, atas nama kemanusiaan, bukankah kita seharusnya saling tolong menolong?""Iya, tapi apakah ini tidak berlebihan? anda selalu membantu saya bahkan di saat orang lain meninggalkan saya.""Percayalah, meski ada orang jahat di dunia ini, pasti akan ada orang yang peduli padamu. Kau tidak perlu khawatirkan hal itu. Sebaiknya kau berkemas dulu, aku akan mengantarmu pindah malam ini.""Baiklah, tunggu sebentar ya, Pak. Saya akan siap-siap. Maafkan saya selalu merepotkan bapak.""Ya, itu
Part 31Herdi segera berlalu meninggalkan rumah Santi. "Tak ada gunanya aku datang ke sini. aku harus usaha sendiri mencari Mutiara," gerutunya kesal.Herdi mengenal beberapa tetangganya yang juga bekerja di pabrik pengolahan pisang itu. Hingga akhirya ia mendapatkan jawaban kalau Mutiara tinggal di dekat ruko yang tengah dibangun untuk mini market oleh-oleh, yang juga milik Arya."Rupanya selama ini kau tinggal di situ, apa itu bersama bosmu?"Herdi menggeleng perlahan. 'Padahal belum resmi cerai, tapi kau selingkuh juga! harusya impas 'kan? Kaupun sama sepertiku!' gumamnya lagi penuh kesal. Herdi terus berjalan, jadi cukup lama untuk sampai di lokasi apalagi tempatnya berada di pinggir jalan raya utama alias jalan lintas provinsi.Dari kejauhan ia melihat ada sebuah mobil yang terparkir manis di sebuah bangunan minimarket yang cukup besar, proyek pembangunan sudah 90%, tinggal finishingnya saja. Herdi bersembunyi di balik pohon dan memperhatikan sekitar. seorang lelaki turun dar
Part 30"Kamu ini dasar pembohong ya, Mas! Kamu bilang cuma hutang buat resepsi aja! tapi nyatanya ini ada lagi? Uangnya buat apaan, Mas?!""Tapi, Dek, ini aku benar-benar gak tau. Pasti ini kerjaan si Mutiara.""Terus saja Mbak Muti yang jadi kambing hitam!""Tapi aku ngomong yang sebenarnya, Dek. Aku gak ambil utang apa-apa lagi. Kenapa bisa ada tagihan begini? Aku yakin dia yang melakukannya."Irdiana menggeleng perlahan. "Aku gak nyangka ternyata kamu tukang utang! Terus gimana ini mau nyetorinnya, Mas? Kamu aja kerja gak jelas! Dapat upah gak pasti!"Herdi terbungkam. Kepalanya serasa mau pecah. Kenapa ini bisa terjadi? "Ini pasti kerjaan si Muti, soalnya ktpku juga hilang, Dek! Aku harus cari Mutia untuk memastikan ini semua!""Kamu gak usah beralasan lagi deh, Mas! pusing kepalaku! di sini hutang, di sana hutang, di situ hutang. Semuanya dari hasil berhutang! Capek aku, Mas!"Irdiana berlalu ke belakang, lalu mengambil tasnya dan pergi meninggalkan rumah. Rasanys muak sekali.