Part 4
"Ehem! Kalian kenapa lancang sekali membuka koperku?" tukasku. Gerakan mereka terhenti seketika dan menoleh ke arahku."Ya ampun, Mut, kami ini kan keluargamu. Bukankah ini yang kamu bawa dari luar negeri, pasti ada oleh-oleh untuk kami kan?" ujar Mbak Tantri begitu cuek. Ia masih memilih baju-bajuku yang masih baru, kemarin dapat bonus dari majikan, diberi beberapa setel baju baru dan juga tas serta beberapa lembar uang tunai sebagai tanda ucapan terima kasih sudah bekerja di sana selama ini."Tapi itu baju-bajuku, Mbak!""Ini kan masih pada baru, nih mereknya juga masih ada, pasti harganya mahal. Biar buat kami aja. Kamu kan banyak uang, bisa beli lagi yang lain. Bagi-bagilah buat kami, jangan pelit!""Iya, Mbak Mut, jangan pelit sama saudara sendiri!" timpal Devina dengan gaya centilnya."Bukannya aku pelit, Mbak! Tapi harusnya kalian izin dulu sama aku.""Heleh, timbang baju ama tas doang perhitungan sekali kau, Mut! Mentang-mentang jadi TKW belagu, lupa apa asalmu dari mana?" pungkas Mbak Tantri lagi."Iya ih, si Mutiara ini seperti kacang lupa kulitnya," timpal Mbak Fitri.Aku menghela nafas dalam. Belum hilang rasa sedihku, tapi kini justru ditambah tingkah saudara ipar yang menjengkelkan."Bukan seperti itu, Mbak. Aku cuma gak suka dengan cara kalian yang membongkar koper tanpa izinku. Itu gak sopan namanya! Kalian belajar adab sopan santun gak sih!""Ih, sama keluarga sendiri aja begitu. Amit-amit si Muti--""Sudah, sudah, ada apa ini? Kenapa malah ribut-ribut? Bukannya kalian bantuin ibu malah ribut-ribut di sini!" Ibu muncul dari dapur dan menghampiri kami."Ini lho, Bu, si Muti pelit amat, sok iye ngatain kita gak sopan, mentang-mentang baru pulang dari luar negeri, duitnya banyak. Belagu!""Mbak, Muti bener kok. Kalian yang lancang, padahal kan bisa nunggu Muti selesai mandi dulu. Aku yakin deh, Muti pasti bagi oleh-oleh yang dia bawa.""Eh, jadi kau belain dia, Her?" tukas Mbak Tantri lagi.Aku menghela nafas dalam-dalam. Baiklah, kali ini aku mengalah, tapi tidak untuk lain kali. Bila aku terus adu mulut dengan mereka sudah dipastikan takkan ada habisnya perdebatan ini. Padahal aku sudah lelah sekali. Kehilangan Adinda membuatku seperti kehilangan separuh jiwa."Ya sudah, ambil saja yang kalian inginkan!" ujarku.Untung saja, uang dan buku tabungan aku simpan di tas ransel yang satunya, sudah ada dibawa ke dalam kamar saat mengambil baju ganti tadi. Mereka mungkin tak menyangka karena aku menyimpannya di sebuah buku harian yang bersampulkan kain lusuh. Takkan menarik dipandang mata, tapi setiap kenangan dan kejadian di luar negeri sana, aku menulisnya. Juga foto-foto Adinda yang kucetak kutempelkan pada lembar buku itu."Nah, gitu dong dari tadi kek! Ayo kalian pilih yang mana, bagus-bagus nih!"Mereka terlihat girang juga antusias membongkar semua yang ada dalam koper. Hanya perempuan muda yang duduk di sudut itu saja, ia tak melakukan apapun hanya tersenyum melihat tingkah saudara iparku."Ir, kamu gak milih baju?" tanya Mbak Fitri pada gadis itu."Gak Mbak, aku kan bukan siapa-siapa kalian. Lagi pula koleksi bajuku sudah banyak.""Haha, iya ya. Kami salah nawarin."Sebenarnya aku bertanya-tanya? Dia siapa? Para tetangga sudah pulang, tapi dia tetap di rumah ini. Kehadirannya di sini pun tampak akrab satu sama lain, layaknya sebuah keluarga. Apa dia teman Devi? Sepertinya mereka seumuran."Sudah, sudah! Kalian mau sampai kapan berebut oleh-oleh Muti? Pening ibu lihatnya!" seru ibu. "Nah, Devi, kamu bantuin ibu ya, siapin makan malam ke meja.""Aku juga ingin membantu, Bu," sahut gadis itu, gegas bangkit dan mengekor di belakang ibu mertua."Irdiana itu ya, memang gadis yang baik, suka bantu-bantu dan kirim hadiah juga!" celetuk Mbak Tantri yang entah ditujukan untuk siapa."Iya betul, Mbak. Udah cantik baik hati pula! Gak kayak yang baru pulang dari LN, baru disentuh koper dan isinya aja udah kebakaran jenggot.Deg! Mereka tertawa menyindirku terang-terangan, seolah tak ada aku di sana. Astaghfirullah, jadi seperti ini perangai kakak iparku?"Mut, kenapa bengong?" tanya Mas Herdy seraya menyenggol lenganku. Lelaki itu tampak tersenyum. "Ayo makan!" ajaknya seraya menggandeng tanganku."Dia siapa, Mas? Kelihatannya dekat dengan keluarga ini? Apa ada sesuatu yang tidak kutahu?" tanyaku."Oh dia, Irdiana, anaknya bosku. Anaknya Pak Kades.""Hah, maksudnya?""Sebenarnya aku kerja di tempat Pak Kades jadi sopir pribadi keluarganya. Lumayan kan buat tambah-tambah kebutuhan.""Kamu kerja?""Iya, aku butuh uang untuk biaya kuliah Devi. Kan aku tak mungkin terus-terusan membebanimu.""Lalu Adinda sama siapa kalau pas kamu kerja?" tanyaku."Sama ibu. Tapi lebih seringnya Adinda dibawa ke rumah Mbak Tantri atau Mbak Fitri, mereka gantian jaga Adinda. Karena kasihan kalau ibu sudah tua, apalagi Dinda aktif banget."Aku mengerutkan kening, jujur sulit dimengerti, jadi selama ini Mas Herdy kerja lalu menitipkan Adinda pada dua kakak perempuannya?Entah kenapa hatiku terasa teriris dan pilu. Apa Adinda diperlakukan baik?"Mut, ini ambil makan sendiri. Kamu pasti lapar kan?" Lagi, suara Mas Herdy membuyarkan lamunanku.Aku mengangguk. Semua keluarga Mas Herdy sudah berkumpul. Ia nampak antusias mengambil makanan dan memakannya dengan lahap seolah melupakan kalau hari ini adalah hari duka, hari kepergian Adinda. Tak ada wajah sedih diantara mereka, hanya ibu mertua juga Mas Herdy yang terlihat lelah."Irdi, kamu pulangnya nanti kan habis tahlilan?" tanya Mbak Tantri."Iya, Mbak," sahut gadis itu tersenyum.Sungguh aku merasa terasing dalam keluarga ini. Lima tahun tak bersua seharusnya ada kerinduan yang menggelora, tapi di sini, ah sudahlah. Aku tak ingin memikirkan hal kecil yang makin membuatku stress.Selesai makan, lalu menunaikan ibadah salat maghrib. Aku memilih beristirahat di kamar. Mengenang kembali masa singkat kebersamaanku dengan Adinda.Tentu saja perasaan sesal menyeruak dari dalam dada. Andai saja aku tak berangkat ke LN, andai saja aku tak perlu mendengar hinaan orang-orang, mungkin Adinda masih ada, masih disini mendengarku bercerita.Sekali lagi, air mata kembali menitik. Rasanya begitu sulit menyingkirkan perasaan sepi dan sesal yang datang saling bersisian.Kubuka buku diaryku, melihat foto-foto Adinda serta buku tabungan TKI salah satu bank ternama yang menyediakan layanan jasa selama aku di luar negeri sana. Ada nominal lumayan yang tersimpan di buku tabungan, tadinya aku menyimpan itu semua untuk biaya pendidikan Adinda juga untuk modal usahaku di sini. Tapi takdir berkata lain. Adinda pergi sebelum aku mampu membiayainya sekolah berkelanjutan.Untuk apa semua ini jika yang kulakukan sia-sia.Tok ... tok ... tok ... Suara pintu kamar diketuk cukup membuatku berjingkut. Aku langsung meletakkan buku diary itu di bawah bantal agar tak ketahuan oleh siapapun.Tak lama pintu dibuka separuh. Mas Herdy melongokkan kepalanya."Mut, Mas anterin Diana pulang dulu ya. Katanya dia sakit perut jadi gak bisa nunggu sampai tahlilan nanti," ujarnya tanpa masuk ke dalam."Mas janji akan langsung pulang cepat, semoga gak ada tugas tambahan dari Pak Kades."Part 35"Jadi Irdiana gak izin sama ibu?" tanya Herdi usai pulang kerja dan mendapati rumah kosong dan hanya ada ibundanya.Ia merasa heran karena sang ibunda mengomel tak jelas juntrungannya. Bu Imas menggeleng. "Tidak, Herdi. Ibu gak tau, saat ibu pulang, rumah udah kosong, dia tinggalin gitu aja dalam keadaan begini. Untung aja uang simpanan ibu masih ada gak digondol maling.""Benar-benar ya. Istrimu ceroboh sekali, rumah gak dikunci! Kamu punya istri kok gak ada yang bener sih! Stress ibu lama-lama dibuatnya!"Herdi memijat pelipisnya, penat begitu terasa. Padahal ia merasa senang akan melihat istrinya itu dan memberikan uang yang didapat hari ini. meksi belum banyak, tapi hari ini lebih baik dari kemarin. Ada peningkatan.Herdi mendesah panjang, menghela napasnya yang begitu gusar. "Jadi kau pergi kemana, Irdiana? Arrghh ..."Lelaki itu menoleh ke arah ibunya. "Bener kan ibu gak marahin istriku? Atau jangan-jangan ibu marahin dia, seperti ibu marahin Mutiara? Jadi Irdiana perg
Part 34"Irdiana, cinta boleh, tapi jangan bodoh. suamimu mungkin baik tapi dia kurang bertanggung jawab. Terlebih dia tak membelamu di hadapan ibunya. Kalau aku tangkap dari ceritamu ini, keluarga suamimu itu toxic. Tak perlu dipertahankan lagi. tapi kalau kamu masih mau dengannya, menghabiskan waktu sia-sia ya terserah saja, yang pennting kau harus sabar dan menerima apapun keadaannya. termasuk sikap ibu mertuamu. Itu aja saranku, Ir. Dan ingat ini, kamu itu masih muda, jalanmu masih panjang. kau pun berhak bahagia."Irdiana merenung cukup lama mendengar ucapan sahabatnya itu. "Ir, jangan melamun terus nanti kamu kesambet lho! Ayo sekarang kita makan dulu nih. Makanannya sudah siap."Irdiana mengangguk. Mereka pun menikmati makan bersama. Setelahnya, Risa kembali bertanya pada Irdiana."Kamu mau pulang kemana?""Entahlah. Aku aja sekarang bingung, Ris. Aku gak ingin pulang dulu, rasanya muak sama ibu mertuaku.""Ke rumah orang tua kamu bagaimana?""Pintunya digembok.""Ya sudah pul
part 33Irdiana termangu mendengar penuturan suaminya itu."Mau jual rumah ini, Mas?" tanya Irdiana meyakinkan dirinya sendiriHerdi mengangguk cepat."Emangnya bisa laku kalau surat-suratnya gak ada? Bukannya surat-suratnya ada di koperasi?""Bisa. aku akan cari orang yang ahli dalam hal ini.""Terus kita akan tinggal dimana, Mas?""Emmh, tinggal di rumah ibu atau orang tua kamu.""No, no, itu tidak mungkin.""Kenapa?""Aku ingin kita mandiri, Mas.""Untuk sementara waktu saja, Dek. Sampai ekonomi kita membaik.""Tapi kapan?""Ya bertahap, mungkin butuh waktu agak lama, tapi mas akan berusaha, Dek, demi kita dan bayi yang ada dalam kandunganmu," ujar Herdi lagi, ia berusaha menenangkan sang istri seraya mengelus perutnya yang mulai membuncit itu.Irdiana menghela napas dalam-dalam. Sungguh berat. "Hhh, sekarang aja kau kerjanya serabutan, gimana mau---" Irdiana tak meneruskan ucapannya."Aku tahu ini tahun yang berat bagi kita. tapi kau cukup dukung saja keputusan ini ya. Aku butuh p
Part 32Mutiara terbungkam, pikirannya berkecamuk, semua berputar di kepala. Ia bingung apa yang harus dilakukan, meski perkataan Arya benar, suatu saat, Herdi pasti akan kembali menemuinya karena ia tak puas dengan hari ini."Pindah, tapi kemana? Saya--""Kau tenang saja, aku akan siapkan rumah sewa yang lebih besar untukmu. agar kau tinggal lebih nyaman dan tanpa gangguan. Aku juga akan menjamin keamananmu.""Maaf Pak, tapi saya terlalu banyak merepotkan Anda.""Sama sekali tidak, saya senang melakukannya, atas nama kemanusiaan, bukankah kita seharusnya saling tolong menolong?""Iya, tapi apakah ini tidak berlebihan? anda selalu membantu saya bahkan di saat orang lain meninggalkan saya.""Percayalah, meski ada orang jahat di dunia ini, pasti akan ada orang yang peduli padamu. Kau tidak perlu khawatirkan hal itu. Sebaiknya kau berkemas dulu, aku akan mengantarmu pindah malam ini.""Baiklah, tunggu sebentar ya, Pak. Saya akan siap-siap. Maafkan saya selalu merepotkan bapak.""Ya, itu
Part 31Herdi segera berlalu meninggalkan rumah Santi. "Tak ada gunanya aku datang ke sini. aku harus usaha sendiri mencari Mutiara," gerutunya kesal.Herdi mengenal beberapa tetangganya yang juga bekerja di pabrik pengolahan pisang itu. Hingga akhirya ia mendapatkan jawaban kalau Mutiara tinggal di dekat ruko yang tengah dibangun untuk mini market oleh-oleh, yang juga milik Arya."Rupanya selama ini kau tinggal di situ, apa itu bersama bosmu?"Herdi menggeleng perlahan. 'Padahal belum resmi cerai, tapi kau selingkuh juga! harusya impas 'kan? Kaupun sama sepertiku!' gumamnya lagi penuh kesal. Herdi terus berjalan, jadi cukup lama untuk sampai di lokasi apalagi tempatnya berada di pinggir jalan raya utama alias jalan lintas provinsi.Dari kejauhan ia melihat ada sebuah mobil yang terparkir manis di sebuah bangunan minimarket yang cukup besar, proyek pembangunan sudah 90%, tinggal finishingnya saja. Herdi bersembunyi di balik pohon dan memperhatikan sekitar. seorang lelaki turun dar
Part 30"Kamu ini dasar pembohong ya, Mas! Kamu bilang cuma hutang buat resepsi aja! tapi nyatanya ini ada lagi? Uangnya buat apaan, Mas?!""Tapi, Dek, ini aku benar-benar gak tau. Pasti ini kerjaan si Mutiara.""Terus saja Mbak Muti yang jadi kambing hitam!""Tapi aku ngomong yang sebenarnya, Dek. Aku gak ambil utang apa-apa lagi. Kenapa bisa ada tagihan begini? Aku yakin dia yang melakukannya."Irdiana menggeleng perlahan. "Aku gak nyangka ternyata kamu tukang utang! Terus gimana ini mau nyetorinnya, Mas? Kamu aja kerja gak jelas! Dapat upah gak pasti!"Herdi terbungkam. Kepalanya serasa mau pecah. Kenapa ini bisa terjadi? "Ini pasti kerjaan si Muti, soalnya ktpku juga hilang, Dek! Aku harus cari Mutia untuk memastikan ini semua!""Kamu gak usah beralasan lagi deh, Mas! pusing kepalaku! di sini hutang, di sana hutang, di situ hutang. Semuanya dari hasil berhutang! Capek aku, Mas!"Irdiana berlalu ke belakang, lalu mengambil tasnya dan pergi meninggalkan rumah. Rasanys muak sekali.