Share

BAB 4

Author: Intan april
last update Last Updated: 2024-11-19 22:03:39

Tahun demi tahun berlalu. Aris kini telah memasuki sekolah dasar. Meski usianya masih belia, tanggung jawab yang ia pikul sudah jauh melebihi teman-teman seusianya. Sejak kecil, Aris terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga sendirian. Membersihkan lantai, mencuci pakaian, menjemur, hingga memasak sering kali menjadi rutinitas harian yang harus ia selesaikan, terutama saat ibunya sibuk bekerja.

Di rumah, perhatian ibu Aris lebih banyak tercurah pada Alena, adiknya yang ceria dan manja. Alena selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Mainan, pakaian, bahkan perhatian yang hangat. Sedangkan Aris? Ia lebih sering dianggap tidak ada. Kehadirannya di rumah terasa seperti bayang-bayang yang hanya diingat ketika dibutuhkan.

Meski begitu, Aris tidak pernah mengeluh. Ia menerima semua perlakuan itu dengan diam, meskipun di dalam hatinya ada rasa sakit yang sulit ia ungkapkan.

Setiap hari, rutinitas sekolah menjadi pelarian kecil bagi Aris, meski tidak selalu menyenangkan. Di sekolah, teman-temannya sering mengejeknya karena penampilannya yang sederhana dan lusuh.

"Aris, itu sepatu apa sih? Bolong di mana-mana, kayak sepatu buangan!" ejek salah satu anak, disambut gelak tawa teman-temannya.

"Kayaknya sepatu itu udah bisa pensiun, deh! Jangan-jangan itu lebih tua dari kamu!" tambah yang lain, tak kalah keras.

Aris hanya diam, menunduk tanpa membalas. Ia tahu, berdebat hanya akan memperburuk keadaan. Namun, setiap ejekan itu seperti duri yang menusuk hatinya. Sepanjang perjalanan pulang sekolah, kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.

Sampai di rumah, ia menendang-nendang kerikil di jalan sambil menarik napas panjang. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Bu Siti, tetangga yang sering memberinya perhatian, sedang duduk di teras rumahnya.

"Assalamualaikum, Aris," sapa Bu Siti lembut, senyumnya selalu menenangkan.

"Waalaikumsalam, Bu Siti," jawab Aris lirih.

Bu Siti menatap wajahnya yang murung dengan penuh perhatian. "Kamu kenapa, Nak? Mukamu kelihatan kusut. Di sekolah ada apa?" tanyanya sambil menepuk bangku di sebelahnya, mengisyaratkan agar Aris duduk.

Awalnya Aris ragu, tapi tatapan Bu Siti yang hangat membuatnya merasa aman. Ia pun duduk dan menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Teman-teman suka mengejek saya, Bu. Kata mereka, sepatu aku jelek. Bolong..." Suaranya bergetar, hampir tak terdengar.

Bu Siti terdiam sejenak. Ia tahu betapa beratnya perasaan anak itu, meski Aris berusaha menyembunyikannya. "Aris, kamu tahu nggak? Sepatu itu cuma benda. Apa yang ada di hati kita jauh lebih penting daripada apa yang kita pakai. Kamu nggak perlu malu."

Aris menatap Bu Siti dengan mata berkaca-kaca. "Tapi, Bu, mereka nggak pernah berhenti mengejek. Rasanya sakit sekali. aku cuma ingin sepatu yang nggak bikin mereka tertawa."

Bu Siti terdiam sesaat, lalu membuka tas yang ia bawa. "Ibu tahu ini nggak akan mengubah semuanya, tapi Ibu punya sesuatu buat kamu. Semoga ini bisa membuatmu lebih percaya diri."

Dengan perlahan, Bu Siti mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terbungkus rapi.

"Ini... untuk aku Bu?" tanya Aris dengan suara pelan, tidak percaya.

"Iya, Nak. Bukalah," jawab Bu Siti sambil tersenyum lembut.

Dengan tangan gemetar, Aris membuka kotak itu. Sepasang sepatu baru yang bersih dan kokoh ada di dalamnya. Sepatu itu tampak sempurna di matanya, jauh lebih baik daripada sepatu bolong yang ia pakai selama ini.

Aris menatap Bu Siti dengan mata yang mulai dipenuhi air mata. "Bu Siti... kenapa Ibu mau melakukan ini untuk aku?"

Bu Siti tersenyum, mengusap kepala Aris dengan penuh kasih. "Aris, kamu anak yang baik dan kuat. Ibu ingin kamu tahu kalau ada orang yang peduli sama kamu. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik."

Aris tidak bisa berkata apa-apa lagi. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa dihargai.

"Terima kasih, Bu Siti. aku nggak tahu harus bilang apa... Ini sangat berarti buat aku," ucapnya pelan.

Hari itu, Aris pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Sepatu baru itu ia peluk erat, seolah menjadi harta paling berharga yang pernah ia miliki. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.

Saat Aris mencoba sepatu barunya di kamar, Alena tiba-tiba masuk.

"Kak Aris, kok punya sepatu baru? Aku nggak pernah dibeliin sepatu kayak gitu!" serunya dengan nada kesal.

Aris terdiam sejenak. Ia tidak ingin menjelaskan panjang lebar. "Ini dari Bu Siti," jawabnya singkat.

Alena mengerutkan kening, tapi akhirnya keluar tanpa berkata lebih banyak. Aris tahu, perhatian ibunya mungkin akan tertuju pada sepatu itu. Jika Alena mengadu, ia bisa saja dimarahi karena dianggap menyusahkan orang lain.

Malam itu, Aris duduk di tepi tempat tidurnya sambil memandangi sepatu baru itu. Ia menggenggam boneka kayu kecil yang sudah lusuh, benda terakhir yang ia miliki dari ayahnya.

"yah, Aris kangen... Kenapa hidup jadi berat begini?" bisiknya pelan, meski tahu tidak akan ada jawaban.

Namun, ia teringat kata-kata Bu Siti. "Kamu anak yang baik dan kuat." Kata-kata itu terulang di kepalanya, memberi secercah harapan di tengah rasa sakit yang ia rasakan.

Dengan hati yang sedikit lebih ringan, Aris memejamkan mata, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menghadapi semua ini dengan keberanian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka Tak Terlihat   BAB 97

    Pagi berikutnya, markas Victor kembali bergeliat. Setelah menerima informasi penting dari Clara, setiap anggota tim terlihat sibuk dengan tugas mereka. Ada yang mempersiapkan peralatan, ada pula yang memperkuat sistem keamanan seperti yang dirancang oleh Aris.Victor berdiri di ruang rapat bersama Andre, Aris, dan Clara, menatap peta besar yang memenuhi layar. Peta itu menampilkan lokasi-lokasi strategis yang dikendalikan oleh Raven Syndicate.“Prioritas kita sekarang adalah mengamati pergerakan mereka,” kata Victor sambil menunjuk salah satu titik merah di peta. “Basis utama mereka ada di sini, tapi mereka punya tiga lokasi cadangan yang digunakan untuk menyimpan persenjataan dan dokumen penting.”Andre mengangguk. “Kalau kita bisa menyerang lokasi cadangan itu, mereka akan kehilangan banyak sumber daya.”“Tapi itu berisiko,” Clara menimpali. “Raven Syndicate bukan organisasi kecil. Mereka punya penjaga bersenjata di setiap lokasi.”Aris yang berdiri di belakang Clara angkat bicara,

  • Luka Tak Terlihat   BAB 96

    Pagi itu, markas Victor tampak sibuk seperti biasa. Meskipun bekas-bekas pertempuran masih terlihat di beberapa sudut bangunan, para anggota tim tidak membiarkan semangat mereka surut. Mereka saling membantu memperbaiki kerusakan, mengatur ulang peralatan, dan memastikan markas kembali berfungsi optimal.Aris bergabung dengan kelompok yang sedang memperbaiki area penyimpanan. Ia memegang alat berat di tangannya, membantu mengangkat puing-puing yang menumpuk. Keringat mengalir di wajahnya, tetapi senyum tak pernah lepas dari bibirnya."Aris, kau pasti bisa jadi tukang bangunan setelah ini," canda Andre yang lewat sambil membawa papan kayu.Aris tertawa kecil. "Kalau begini terus, aku mungkin bisa buka jasa renovasi rumah setelah semua ini selesai."Tawa kecil di antara mereka membuat suasana kerja terasa lebih ringan, meskipun tugas yang mereka hadapi cukup berat.---Rapat Strategi BaruSetelah beberapa jam bekerja, Victor memanggil seluruh tim inti untuk berkumpul di ruang rapat utam

  • Luka Tak Terlihat   BAB 95

    Setelah mendapatkan informasi lengkap dari Jovan, Victor memutuskan untuk bertindak cepat. Dengan peta markas utama Raven Syndicate yang Jovan berikan, mereka mulai menyusun strategi untuk menyerang balik."Kita tidak bisa membiarkan mereka menyerang kita lagi," ujar Victor tegas. "Ini saatnya kita mengambil alih kendali."Aris mengangguk setuju. "Tapi kita harus berhati-hati. Raven Syndicate tidak akan membiarkan kita masuk tanpa perlawanan."Victor membagi tim menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama akan menangani keamanan dan menyerang langsung, kelompok kedua bertugas menciptakan pengalihan, sementara kelompok terakhir, yang dipimpin Aris, akan fokus menyusup ke dalam markas untuk menghancurkan sistem komunikasi mereka."Kita harus membuat mereka lumpuh sebelum mereka sadar apa yang terjadi," tambah Andre, yang berada di kelompok pertama.Aris mengepalkan tangannya. "Aku siap memimpin timku."---Persiapan Sebelum PerangMalam itu, suasana di markas Victor sangat tegang. Semua ang

  • Luka Tak Terlihat   BAB 94

    Tim Victor kembali ke markas utama menjelang fajar. Udara pagi terasa dingin, namun tidak ada yang lebih menyejukkan daripada rasa lega setelah pertempuran panjang. Meskipun begitu, suasana di antara mereka tetap tegang. Mereka tahu bahwa kemenangan ini hanya sementara.Aris melangkah keluar dari kendaraan, wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Lina mendekatinya, membawa segelas kopi hangat yang ia buat di ruang sementara."Kau butuh ini," katanya lembut sambil menyerahkan kopi tersebut."Terima kasih," jawab Aris, meminum seteguk kopi. "Bagaimana keadaan tim lainnya?"Lina menghela napas panjang. "Beberapa masih dalam perawatan. Tapi kita kehilangan tiga orang."Aris terdiam. Setiap kehilangan adalah beban berat, terutama saat dia melihat mereka sebagai bagian dari keluarganya.---Victor Merancang Strategi BaruSementara itu, Victor langsung memimpin rapat darurat di ruang utama. Darius, pemimpin Raven Syndicate, telah ditahan di ruang bawah tanah untuk diinterogasi."Ini be

  • Luka Tak Terlihat   BAB 93

    Malam itu, markas dipenuhi dengan ketegangan yang terasa di udara. Setiap orang bergerak cepat, mempersiapkan diri untuk serangan yang hampir pasti datang. Aris berdiri di salah satu pos penjagaan, matanya tajam mengamati kegelapan di depan gerbang utama."Lina, pastikan timmu sudah siap di posisi masing-masing," ujar Aris melalui radio."Semua sudah siap," jawab Lina singkat namun tegas.Sementara itu, Victor berada di ruang komando, memantau layar monitor yang menampilkan rekaman dari kamera pengawas. Dia tahu ini adalah momen yang menentukan. Jika mereka kalah malam ini, seluruh jaringan mereka bisa runtuh."Kita tidak bisa membiarkan mereka mengambil alih," kata Victor dengan nada penuh keyakinan.---Serangan DimulaiTepat tengah malam, suara mesin kendaraan terdengar mendekat. Lampu sorot dari truk dan mobil SUV menerangi area depan markas, mengungkapkan belasan orang bersenjata lengkap yang keluar dari kendaraan tersebut."Semua di posisi masing-masing!" teriak Aris melalui rad

  • Luka Tak Terlihat   BAB 92

    Pagi hari setelah insiden di gudang, Victor memimpin pertemuan besar di markas. Seluruh tim inti hadir, termasuk Aris, Lina, Andre, dan beberapa orang kepercayaan Victor. Mereka tahu bahwa waktu semakin menipis untuk menghadapi ancaman dari Raven Syndicate."Aris sudah membawa dokumen penting tadi malam," Victor membuka pertemuan. "Dan informasi ini memastikan bahwa mereka tidak hanya mengincar kita. Mereka berencana menguasai semua wilayah yang selama ini menjadi bagian dari jaringan kita."Andre mengamati peta yang terbentang di meja. "Mereka tahu semua lokasi strategis kita. Kalau informasi ini benar, maka ada pengkhianat di dalam tim kita."Kata-kata Andre membuat suasana menjadi tegang. Semua orang saling memandang, mencoba mencari tanda-tanda siapa yang mungkin berkhianat.Victor mengangguk setuju. "Aku sudah memikirkan hal itu. Karena itu, kita harus bergerak cepat. Sebelum kita menemukan siapa yang membocorkan informasi, kita perlu melindungi tempat-tempat yang rentan terhadap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status