Share

Bab 5

Penulis: Devi Puspita
Luna tersadar kembali dan mendapati dirinya sudah terbaring di ranjang rumah sakit.

“Akhirnya kamu sadar juga,” ujar dokter menghela napas.

Lalu menatapnya dengan tatapan iba dan melanjutkan, “Kamu keguguran dan mengalami pendarahan hebat. Kalau terlambat beberapa menit saja, bahkan dewa pun tak bisa menyelamatkanmu.”

Dari mulut dokter, Luna baru tahu kalau dirinya ditemukan pingsan oleh anak buah yang mengantarkan makanan keesokan harinya, makanya nyawanya bisa terselamatkan.

“Keluargamu juga keterlaluan. Bagaimana bisa mereka memperlakukanmu seperti ini? Terutama suamimu, teleponnya nggak pernah diangkat. Tunggu dia datang ke rumah sakit, aku bakal menegurnya habis-habisan.”

“Dok,” panggil Luna memotongnya, jari-jarinya meremas erat seprai dan melanjutkan, “Jangan kasih tahu dia soal kehamilanku.”

Lagipula, dia juga tak akan percaya.

Hati Rocky sudah tidak ada padanya. Dirinya pun tak ingin lagi punya urusan apapun dengannya.

Dokter hanya terdiam, lalu akhirnya menggelengkan kepala dan pergi.

Selama Luna dirawat di rumah sakit, Rocky tidak pernah muncul sama sekali.

Sebaliknya, di postingan instagram Paula, sosoknya malah terlihat di mana-mana.

Hari pertama, unggahan semangkuk sup ayam dengan caption, [Sepuluh tahun berlalu, tetap rasa kesukaanku.]

Hari kedua, foto seorang pria tertidur di tepi ranjang dengan caption, [Tadi malam aku mimpi buruk lagi, untung saja saat membuka mata langsung melihatmu.]

Tiba-tiba Luna teringat saat dirinya sakit dulu, Rocky juga selalu memasakkan sup ayam untuknya.

Saat dirinya demam, pria itu juga pernah setia duduk di samping ranjang, menggenggam tangannya erat tanpa melepas.

Hingga sekarang, barulah dirinya mengerti.

Semua kelembutan itu memang bukan untuk dirinya sejak awal.

Rocky hanya mencintai orang lain melalui dirinya.

Di hari dirinya keluar dari rumah sakit, akhirnya Rocky menelepon.

“Ada urusan mendadak di kantor, aku sudah menyuruh sopir menjemputmu.”

Luna tidak bertanya, tidak marah, tidak histeris. Dia hanya menjawab datar, “Iya.”

Begitu telepon ditutup, tangannya pun menyentuh pelan perut yang kini kembali rata.

Baginya sekarang, Rocky hanyalah sebuah nama di kontak telepon yang akan dihapus sebentar lagi.

Luna tidak lagi punya sedikit pun harapan terhadapnya.

….

Luna pulang ke rumah.

Begitu masuk, dia melihat Paula sedang memegang papan gambar, mencoret-coret dinding ruang tamu sesuka hati.

Foto pernikahannya dengan Rocky, termasuk polaroid mereka, semua dilempar ke lantai dan terciprat cat warna-warni.

Melihat Luna, Paula tersenyum manis dan menyapa, “Luna, kamu sudah pulang?”

“Aku merasa dinding itu terlalu membosankan, jadi aku berpikir untuk mendekorasinya ulang. Kamu nggak keberatan, ‘kan?”

Luna hanya menyapu pandangan ke seluruh ruangan yang berantakan, lalu menjawab datar, “Terserahmu.”

Bagi dirinya, rumah ini sudah tak ada artinya.

Dan ke depannya, nyonya rumah di sini pun bukan dirinya lagi.

Tiba-tiba, Rocky keluar dari dapur sambil membawa sepiring buah yang sudah dipotong.

Saat melihat Luna hendak naik ke atas, Rocky langsung menghadang jalannya.

“Paula berniat baik ingin mencairkan suasana denganmu, ini sikapmu?”

“Jadi harus bagaimana?” Wajah pucat Luna terlihat sangat lelah.

“Haruskah aku berlutut, lalu berterima kasih karena dia sudah menghancurkan foto-fotoku?”

Paula segera menyela untuk melerai, “Rocky, jangan salahkan dia. Luna juga bukan sengaja….”

“Bukan sengaja? Lalu bagaimana dengan kutukan kejamnya?” usai bicara, Rocky menatap Luna dengan tatapan yang asing.

“Luna, kamu benar-benar mengecewakanku.”

Luna tak punya tenaga untuk berdebat lagi. Dia melabrak bahu pria itu dan berjalan lurus naik ke atas.

Tubuhnya masih lemah setelah menjalani operasi keguguran.

Namun, baru saja berbaring sebentar, pintu kamar langsung terbuka.

Paula berdiri di ambang pintu, wajah lembutnya sudah lenyap, berganti dengan tatapan sinis yang tak disembunyikan.

“Melihat Rocky membelaku barusan, hatimu sakit, ‘kan?”

Bibir Paula melengkung mengejek, “Sudah kubilang sejak awal, dia hanya mempermainkanmu. Nggak kusangka kamu sebodoh ini sampai benar-benar percaya.”

Luna membalikkan badan, malas menanggapinya dan menarik selimut menutupi kepala.

Namun, Paula malah mendekat dan tak berhenti menyindirnya.

“Kamu tahu apa kata orang-orang di luar sana tentangmu?”

“Mereka bilang kamu tidur dengan suami kakakmu sendiri selama empat tahun, tapi pada akhirnya tak mendapatkan apapun. Malah kalah berharga dibanding wanita murahan di klub malam yang ada tarifnya.”

“Luna, sadarlah.”

“Keluarga Gozali nggak butuh kamu, begitu juga dengan Rocky. Kamu sama saja seperti ibumu, beban yang nggak diinginkan siapapun!”

Begitu mendengar ibunya disebut, Luna tak bisa menahan diri lagi. Dia langsung mendongak dan tatapan matanya setajam pisau.

“Kamu begitu panik, apa karena takut kalau sebenarnya dia sudah jatuh cinta padaku selama empat tahun ini?”

Paula sempat terdiam, lalu tertawa pelan.

“Jatuh cinta padamu? Kalau dia benar-benar jatuh cinta padamu, bagaimana mungkin aku masih bisa berdiri di sini dan menghinamu sesuka hati?” ujarnya dengan penuh sindiran.

Sesaat kemudian, terdengar suara pintu ditutup dengan keras.

Luna menggenggam seprai erat-erat dan merasa tubuhnya semakin dingin.

Syukurlah, dirinya akan pergi sebentar lagi.

Dia tak perlu lagi melihat wajah-wajah menjijikkan itu.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 24

    Waktu berlalu begitu cepat.Seperti biasa, di hari tahun baru ini, Luna pergi ke kuil pinggiran kota untuk mendoakan anak-anak di pantai asuhan.Udara awal musim semi di pegunungan masih membawa hawa sejuk.Luna merapatkan selendang wolnya, lalu berlutut di atas bantalan doa dan bersujud.Asap tipis dari dupa di tungku membubung mengitari patung, aroma cendana menenangkan hatinya.Setelah itu, dia berjalan menuju pohon tua menjulang di halaman kuil, lalu mengikat sehelai kain merah di pohon harapan.Tiba-tiba, pandangannya jatuh pada seorang biksu berjubah abu-abu yang sedang menunduk menyapu dedaunan.Siluet yang begitu familiar membuat napas Luna tercekat.Itu adalah Rocky.Pewaris Grup Riyandi yang arogan dan tak terkalahkan itu, kini tampak kurus hingga tulang pipinya terlihat menonjol. Sorot mata penuh kesombongannya pun sudah sirna.Digantikan dengan ketenangan yang nyaris hampa.“Itu Master Indra,” ujar seorang samanera kecil yang melihat Luna menatap Rocky, lalu berinisiatif me

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 23

    Setengah tahun kemudian, Albert menyiapkan sebuah pernikahan megah untuk Luna.Kebun megah paling mewah di Kota Marina dipenuhi mawar putih, cahaya matahari berkilau di antara menara sampanye.Luna berdiri di depan cermin besar di ruang rias, menatap dirinya dalam balutan gaun pengantin putih. Rasanya seperti berada di dunia lain.Enam bulan lalu, setelah pemeriksaan di rumah sakit, Luna duduk di lorong rumah sakit selama satu jam penuh.Dalam satu jam itu, dia memikirkan banyak hal.Misalnya, Keluarga Halim membutuhkan penerus, sedangkan dirinya tidak bisa melahirkannya.Atau hubungannya dengan Albert saat itu belum terlalu dalam, putus lebih awal mungkin juga bukan pilihan yang buruk.Sampai akhirnya Albert meneleponnya, barulah Luna tersadar.“Kamu lagi di mana?” tanya Albert dengan tenang seperti biasa melalui telepon.“Aku… lagi belanja di luar.”Albert sepertinya tidak menyadari keanehan suranya. Dengan santai, Albert berkata, “Setengah jam lagi kirimkan alamatmu. Aku suruh sopir

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 22

    Sejak resmi menjalin hubungan dengan Albert, kehidupan Luna berjalan tenang seperti biasa.Hanya saja, ada satu hal yang selalu jadi beban di hatinya.Dulu, saat dirinya dijebak Albert hingga mengalami keguguran, dokter pernah bilang bahwa pendarahan hebat membuat rahimnya rusak parah dan kecil kemungkinan bisa hamil lagi.Meski Albert sudah berulang kali menegaskan bahwa ada atau tidaknya anak baginya tidak penting sama sekali.Luna tahu benar Albert boleh saja tidak peduli. Tapi sebagai pewaris satu-satunya Grup Halim, Keluarga Halim jelas tidak akan sependapat.Kesadaran itu bagaikan duri yang terus menusuk hatinya.Hari itu, Luna datang ke rumah sakit untuk pemeriksaan.Setelah memeriksa hasil tes, dokter hanya bisa menggeleng pasrah, “Untuk saat ini belum ada cara yang efektif. Saranku, jangan terlalu memaksakan diri.”Luna menggenggam hasil pemeriksaan itu saat keluar dari ruang dokter.Kertas di tangannya terasa ringan, tapi seakan menekan seberat ribuan kilo.Tiba-tiba, Luna sa

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 21

    Hari ketika novel Luna meraih penghargaan, salju tipis turun di luar jendela.Luna berdiri di depan jendela memandang pemandangan bersalju, tak sadar entah sejak kapan Albert sudah muncul di depannya, lalu menyampirkan mantel kasmir di pundaknya.“Aku sudah pesan tempat di restoran berputar, kita rayakan di sana malam ini, ya.”Begitu tiba di restoran, pelayan mengantar mereka ke sebuah ruang makan VIP dengan pemandangan kota.Tiga sisi ruangan dipenuhi jendela kaca dari lantai hingga langit-langit, memperlihatkan gemerlap malam seluruh kota.Di tengah meja makan ditutupi taplak merah beludru, tersusun rapi tempat lilin kristal dan mawar merah ekuador.Albert mengangkat gelasnya dan menyentuh pelan gelas Luna.Lalu, entah dari mana, dia mengeluarkan setumpuk surat yang diikat dengan tali merah yang sudah agak pudar, lalu mendorongnya ke hadapan Luna.“Aku sudah siapkan kejutan untukmu, bukalah.”Luna melepaskan tali merah itu.Tulisan di amplop sudah agak samar, tapi huruf L di sudut k

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 20

    Suara sirene ambulans perlahan menjauh.Hujan terus menampar wajah Luna yang pucat, bercampur dengan air matanya.Dia berdiri di jalan depan vila, ujung jarinya masih terasa lengketnya darah Rocky.Sebuah sorotan lampu mobil yang menyilaukan menembus lebatnya hujan.Sebuah maybach hitam berhenti mendadak tepat di hadapannya, Albert bahkan tak sempat membuka payung, langsung berlari turun, menyelimuti Luna dengan mantelnya dan memeluknya.“Luna.” Albert memeluknya erat-erat, seolah ingin menyatukannya ke dalam tulangnya.“Jangan takut, aku akan menjemputmu pulang.”Wajah Luna terbenam di bahunya, mencium aroma cedar yang familiar.Pelukannya begitu kuat hingga tulang rusuknya teras nyeri, tapi anehnya malah membuat tubuhnya berhenti gemetar.Di dalam mobil, pemanas menyala hangat. Albert menyelimuti Luna rapat-rapat dengan selimut tebal.Baru setelah itu, Albert berkata perlahan, “Belakangan ini, aku sudah menghubungi tujuh perusahaan besar, termasuk Grup Kumon dan Grup Ledon. Kami sepa

  • Luka Yang Sisa Kenangan   Bab 19

    Waktu berlalu perlahan dalam upaya Rocky untuk menyenangkan Luna.Rocky memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan harta berharga, mulai dari barang antik di balai lelang hingga gaun mewah buatan khusus, semuanya dikirimkan bagaikan air mengalir ke hadapan Luna.Namun kini, hadiah semahal apapun tak lagi mampu menggerakkan hati Luna sedikit pun.Luna selalu duduk sendirian di taman, di pangkuannya ada laptop, jari-jarinya mengetikkan bunyi ritmis di atas keyboard.Awalnya, Rocky hanya mengira itu sekadar cara Luna menghabiskan waktu.Hingga suatu sore, asistennya menyerahkan tablet.“Pak Rocky, coba lihat ini….”Ekspresi asistennya terlihat rumit, seolah ada hal yang sulit diungkapkan.Rocky melihat ke arah tablet dan di layar jelas terpampang sebuah novel yang sedang ditulis oleh Luna.Hanya membaca sekilas saja, raut wajah Rocky langsung memuram.Tokoh utama wanita dalam cerita itu, ternyata memiliki pengalaman yang sama persis dengannya!Ternyata selama ini, Luna menggunakan cara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status