Home / Rumah Tangga / Luka Yang Tak Pernah Selesai / BAB 11 – BAYANGAN LIMA TAHUN LALU

Share

BAB 11 – BAYANGAN LIMA TAHUN LALU

Author: Adeliaraaa
last update Last Updated: 2025-10-15 10:00:43

Raka memandangi pintu yang baru saja tertutup di belakang Nira. Hening. Ruangan itu tiba-tiba terasa sesak — bukan karena sempit, tapi karena terlalu banyak kenangan yang menyerbu sekaligus.

Ia bersandar di kursinya, mengusap wajah dengan kedua tangan. Lima tahun berlalu, tapi aroma parfum Nira masih sama. Lembut, segar, tapi entah kenapa selalu meninggalkan perih di dada.

Ia tertawa hambar.

> “Bodoh,” gumamnya pelan. “Sudah lima tahun, Rak. Harusnya kamu sudah berhenti.”

Tapi kenyataan tak semudah itu.

Sejak Nira datang sebagai karyawan baru dua minggu lalu, Raka merasa semua yang ia bangun dengan susah payah — ketenangan, kedewasaan, jarak — mulai retak sedikit demi sedikit.

Ia menatap meja kerjanya, dan pandangannya jatuh pada mug hitam di pojok kanan. Mug yang sama yang dulu pernah mereka beli berdua di kedai kecil dekat kampus. Nira dulu sempat bercanda, katanya warna hitam itu terlalu dingin, tapi Raka justru suka. “Kayak aku,” katanya waktu itu.

Dan Nira tertawa — tawa yang kini hanya jadi gema di kepalanya.

Raka berdiri, berjalan ke jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota malam. Lampu-lampu gedung berkelip, tapi semuanya terasa hambar.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi bayangan wajah Nira saat meminta maaf tadi terus menghantui pikirannya.

> “Aku nggak akan buat kamu berharap, tapi aku juga nggak bisa pura-pura kalau aku sudah lupa…”

Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya seperti kaset rusak.

Raka memejamkan mata. Ia tahu, perasaan itu belum mati — hanya terkubur di bawah tumpukan ego dan luka.

Dan luka itu bukan cuma karena Nira pergi. Tapi karena ia tidak tahu mengapa.

---

Lima tahun lalu, Nira menghilang tanpa pesan.

Satu hari mereka masih tertawa di teras rumahnya, membicarakan rencana pernikahan sederhana, dan keesokan harinya Nira sudah lenyap — meninggalkan surat singkat:

> “Maaf, aku harus pergi. Jangan cari aku.”

Tidak ada penjelasan. Tidak ada alasan.

Hanya keheningan yang menelan segalanya.

Raka mencari. Ia hubungi semua teman mereka, bahkan keluarga Nira — tapi semua bungkam. Seolah semua orang bersekongkol untuk membuatnya tidak tahu.

Akhirnya, Raka menyerah. Ia menutup diri, mengubur semua yang pernah ada, dan menyalurkannya ke satu hal: kerja.

Dan sekarang, lima tahun kemudian, perempuan itu muncul lagi — berdiri di depannya, dengan senyum gugup dan mata yang sama seperti dulu.

> “Kenapa sekarang, Nira?” gumamnya lirih. “Kenapa setelah semuanya sudah berubah?”

Raka mengetik sesuatu di laptop, tapi pikirannya kosong. Ia tak bisa fokus. Setiap detik, wajah Nira muncul lagi — caranya menunduk, suaranya yang bergetar, dan tatapan matanya yang seolah masih menyimpan rahasia.

Ia tahu Nira bukan tipe orang yang meninggalkan tanpa alasan.

Ada sesuatu di balik semua itu.

---

Telepon di meja tiba-tiba berdering.

Raka menghela napas sebelum mengangkatnya.

> “Ya, Raka di sini.”

Suara di seberang terdengar ragu.

> “Mas… ini Lira.”

Raka langsung tegak. Lira — adik Nira. Suara yang sudah bertahun-tahun tak ia dengar.

> “Lira?” tanyanya cepat. “Kenapa kamu tiba-tiba hubungi aku?”

> “Aku… cuma mau bilang hati-hati.”

“Hati-hati? Maksud kamu apa?”

> “Nira nggak cerita apa-apa, kan?”

“Cerita apa?”

Hening.

Suara Lira bergetar di ujung sana.

> “Aku nggak boleh ngomong banyak. Tapi… kalau dia kembali, berarti waktunya sudah dekat.”

> “Waktu apa, Lira?”

> “Maaf, Mas. Aku harus tutup dulu.”

Klik.

Sambungan terputus.

Raka menatap layar telepon dengan dahi berkerut. Waktunya sudah dekat? Apa maksudnya itu?

Ia menatap jam dinding. Hampir pukul sebelas malam. Tapi rasa penasaran mengalahkan logika.

Ia membuka laci, mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna coklat tua. Di dalamnya, ada foto lama — dirinya dan Nira di pantai, tertawa tanpa beban. Dan di bawah foto itu, selembar surat yang sudah mulai kusam.

Surat itu ditulis tangan Nira, tapi tidak pernah ia kirimkan. Ia menemukannya beberapa bulan setelah Nira pergi, terselip di buku sketsa yang tertinggal di rumahnya.

Tulisan di dalamnya hanya beberapa kalimat singkat:

> “Raka, kalau kamu baca ini, mungkin aku sudah jauh.

Aku bukan pergi karena lelah mencintaimu.

Aku pergi karena mencintaimu terlalu dalam, dan aku nggak mau kamu hancur karenaku.”

Raka menutup matanya, menggenggam surat itu erat.

> “Apa maksudmu, Nira? Hancur karena apa?”

Ia tak tahu. Tapi satu hal pasti — ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar cinta masa lalu.

---

Jam menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas ketika Raka akhirnya memutuskan pulang. Ia mematikan lampu ruangan, tapi sebelum menutup pintu, ia sempat melirik sekali lagi ke kursi tempat Nira tadi berdiri.

Ada bekas gelas di meja — sisa air putih yang belum ia buang.

Raka menyentuhnya perlahan. Bekas bibir gelas itu masih hangat.

Dan tanpa sadar, senyum kecil muncul di wajahnya — pahit, tapi jujur.

> “Kamu masih bisa bikin aku gila, Nira,” bisiknya pelan.

Lalu ia berjalan keluar, meninggalkan kantor yang kini sunyi.

Namun jauh di dalam hati, ia tahu — malam itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih rumit.

Karena rahasia yang disembunyikan Nira selama lima tahun… mulai mengejar mereka lagi.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 18 — KEBENARAN YANG TAK PERNAH SEDERHANA

    Hujan telah reda, tapi aroma tanah basah masih menggantung di udara.Gudang tempat Nira dan Raka berlindung kini dipenuhi keheningan, hanya suara sirene polisi dari kejauhan yang samar-samar terdengar.Raka duduk di hadapan Nira, tubuhnya basah kuyup, napasnya berat.Tangannya sedikit gemetar saat mencoba menyalakan korek dan menyalakan lampu darurat kecil di pojok ruangan.Cahaya oranye redup menyorot wajah mereka yang lelah — dua orang yang pernah saling mencintai, kini diikat oleh masa lalu yang mereka sendiri tak pahami sepenuhnya.Nira memeluk lututnya, menatap Raka dengan pandangan campuran antara takut, marah, dan rindu.Ia sudah lelah menebak-nebak, lelah menunggu kejujuran yang tak kunjung datang.“Sekarang jelaskan semuanya, Raka,” ucapnya datar. “Dari awal.”Raka menatapnya lama, lalu mengangguk pelan.“Oke. Kamu berhak tahu semuanya.”Ia menarik napas panjang.“Tiga tahun lalu, sebelum kamu pergi, perusahaan ayahmu—PT Sagara—sedang dalam tahap merger dengan perusahaan temp

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 17 — DALAM BAYANGAN PERMAINAN MEREKA

    Hujan belum juga berhenti sejak sore kemarin.Kota Jakarta tampak seperti tenggelam di bawah langit abu-abu yang murung, seolah ikut menanggung beban rahasia yang kini membelit hidup Nira.Ia menatap layar laptop di meja kamarnya, matanya menelusuri satu nama yang terus muncul dalam setiap berkas lama:Alena Rahmadani.Semakin ia gali, semakin jelas kalau semua jejak masalah perusahaan ayahnya mengarah ke sana. Tapi yang aneh — di laporan terakhir, nama Alena tiba-tiba hilang, seperti dihapus dengan sengaja.Hilang tanpa alasan.Dan tanggal penghapusan itu sama dengan hari Raka mundur dari jabatan lamanya tiga tahun lalu.Nira menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Apa semuanya saling terhubung?” bisiknya pada diri sendiri.Ia tahu satu hal pasti — kalau ia ingin tahu kebenaran, ia tak bisa lagi hanya menunggu Raka bicara. Ia harus mencari tahu sendiri.Pagi harinya, Nira menyelinap masuk ke gedung perusahaan tempat Raka bekerja.Ia memakai pakaian kasual, rambut diikat sederhana, dan menge

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 16 — BAYANGAN DARI MASA LALU

    Pagi itu, langit Jakarta tampak muram, seolah ikut menyimpan rahasia yang belum sempat diungkap malam tadi.Nira terbangun di sofa apartemen Raka. Ia mengerjap pelan, menyadari posisi dirinya — masih di sana, dengan laptop yang terbuka di meja, penuh dokumen keuangan yang mereka pelajari semalam.Kepalanya berdenyut ringan, tapi bukan karena kurang tidur.Yang lebih sakit adalah pikirannya — memutar ulang kata-kata Raka tadi malam.“Ayahmu yang menyuruh aku menjauh.”Kalimat itu seperti racun yang pelan-pelan menyusup ke jantungnya.Ia tahu Raka tidak berbohong. Tapi menerima kenyataan itu tetap sulit. Bagaimana mungkin ayahnya sendiri menjadi penyebab kehancuran mereka?Suara pintu apartemen terbuka memotong pikirannya.Raka baru kembali, masih mengenakan kemeja putih yang kini agak basah karena hujan. Tangannya membawa dua gelas kopi.“Pagi,” sapanya datar, meletakkan salah satu gelas di depan Nira. “Kopi hitam tanpa gula. Masih suka yang itu, kan?”Nira menatapnya sebentar, lalu te

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 15 — DI BALIK NAMA ITU

    Keheningan di ruang itu terasa memekakkan.Suara hujan yang tadi terdengar samar kini berubah menjadi deras, seolah langit ikut menjerit bersama perasaan mereka.Raka masih berdiri di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah layar laptop yang kini menampilkan berkas audit.Nama itu jelas tertera di sana: Raka Adinata — tanda tangan, inisial, dan nomor rekening yang terhubung dengan transaksi ilegal.Nira menatapnya tanpa kata.Semua yang baru saja ia dengar tentang ayahnya, tentang alasan Raka menjauh… kini terasa seperti pecahan kaca yang menancap di dadanya.Ia ingin percaya bahwa Raka tidak bersalah. Tapi bukti di depannya berbicara lain.“Aku bisa jelasin,” ucap Raka akhirnya. Suaranya berat, hampir bergetar.“Tolong jangan langsung percaya isi laporan itu.”Nira melipat tangannya di dada, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Kamu pikir aku nggak mau percaya? Aku mau, Raka. Tapi semua ini—” ia menunjuk layar komputer, “

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 14 — RAHASIA YANG AKHIRNYA MUNCUL

    Suara hujan mengguyur kaca kantor malam itu. Lantai delapan yang biasanya ramai kini hanya menyisakan suara ketikan lembut dan detak jarum jam yang terasa terlalu keras di telinga Nira.Tangannya berhenti di atas keyboard, menatap layar monitor yang menampilkan laporan keuangan — file yang beberapa minggu terakhir menjadi beban pikirannya.Ada sesuatu yang janggal.Kolom pengeluaran proyek ekspor tahun lalu, angka-angka itu... tidak masuk akal.Dan semakin dalam ia telusuri, semakin jelas bahwa laporan itu dipalsukan.“Nira.”Suara berat itu datang dari belakang, membuat jantungnya hampir berhenti.Raka berdiri di ambang pintu ruangannya, jasnya sedikit basah, wajahnya tajam menatap arah Nira.“Masih di sini?” tanyanya dingin.Nira buru-buru berdiri, mencoba menyembunyikan layar komputernya. “Tadi saya cuma—menyelesaikan laporan, Pak.”Tatapan Raka menurun, lalu berhenti tepat pada dokumen yang terbuka. Sekilas saja cu

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 13 – API YANG TAK PADAM

    Hening.Suara langkah Raka terdengar jelas di ruangan yang setengah gelap itu. Setiap langkahnya membuat jantung Nira berdetak lebih cepat.> “Runtuh apa, Nira?”Nada suaranya dalam dan tenang, tapi dinginnya menusuk seperti es yang menempel di kulit.Nira menelan ludah. Tangannya refleks menutup laptop di hadapannya. “Kamu belum pulang, Pak?”Raka tidak menjawab. Ia berjalan mendekat perlahan, menatapnya tajam.> “Aku tanya sekali lagi,” katanya pelan, tapi tegas. “Apa yang kamu sembunyikan?”Nira memalingkan wajah. “Nggak ada.”> “Nira.”Sekali lagi suara itu memanggil, kali ini lebih rendah, tapi mengandung ancaman.“Tadi aku dengar kamu bilang soal ‘runtuh’. Tentang siapa?”> “Aku cuma ngomong sendiri, Pak. Lagi stres.”> “Jangan bohong.”Raka menatapnya lama. Tatapan itu bukan lagi sekadar tatapan atasan ke bawahan — itu tatapan seor

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status