تسجيل الدخولRaka memandangi pintu yang baru saja tertutup di belakang Nira. Hening. Ruangan itu tiba-tiba terasa sesak — bukan karena sempit, tapi karena terlalu banyak kenangan yang menyerbu sekaligus.
Ia bersandar di kursinya, mengusap wajah dengan kedua tangan. Lima tahun berlalu, tapi aroma parfum Nira masih sama. Lembut, segar, tapi entah kenapa selalu meninggalkan perih di dada. Ia tertawa hambar. > “Bodoh,” gumamnya pelan. “Sudah lima tahun, Rak. Harusnya kamu sudah berhenti.” Tapi kenyataan tak semudah itu. Sejak Nira datang sebagai karyawan baru dua minggu lalu, Raka merasa semua yang ia bangun dengan susah payah — ketenangan, kedewasaan, jarak — mulai retak sedikit demi sedikit. Ia menatap meja kerjanya, dan pandangannya jatuh pada mug hitam di pojok kanan. Mug yang sama yang dulu pernah mereka beli berdua di kedai kecil dekat kampus. Nira dulu sempat bercanda, katanya warna hitam itu terlalu dingin, tapi Raka justru suka. “Kayak aku,” katanya waktu itu. Dan Nira tertawa — tawa yang kini hanya jadi gema di kepalanya. Raka berdiri, berjalan ke jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota malam. Lampu-lampu gedung berkelip, tapi semuanya terasa hambar. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi bayangan wajah Nira saat meminta maaf tadi terus menghantui pikirannya. > “Aku nggak akan buat kamu berharap, tapi aku juga nggak bisa pura-pura kalau aku sudah lupa…” Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya seperti kaset rusak. Raka memejamkan mata. Ia tahu, perasaan itu belum mati — hanya terkubur di bawah tumpukan ego dan luka. Dan luka itu bukan cuma karena Nira pergi. Tapi karena ia tidak tahu mengapa. --- Lima tahun lalu, Nira menghilang tanpa pesan. Satu hari mereka masih tertawa di teras rumahnya, membicarakan rencana pernikahan sederhana, dan keesokan harinya Nira sudah lenyap — meninggalkan surat singkat: > “Maaf, aku harus pergi. Jangan cari aku.” Tidak ada penjelasan. Tidak ada alasan. Hanya keheningan yang menelan segalanya. Raka mencari. Ia hubungi semua teman mereka, bahkan keluarga Nira — tapi semua bungkam. Seolah semua orang bersekongkol untuk membuatnya tidak tahu. Akhirnya, Raka menyerah. Ia menutup diri, mengubur semua yang pernah ada, dan menyalurkannya ke satu hal: kerja. Dan sekarang, lima tahun kemudian, perempuan itu muncul lagi — berdiri di depannya, dengan senyum gugup dan mata yang sama seperti dulu. > “Kenapa sekarang, Nira?” gumamnya lirih. “Kenapa setelah semuanya sudah berubah?” Raka mengetik sesuatu di laptop, tapi pikirannya kosong. Ia tak bisa fokus. Setiap detik, wajah Nira muncul lagi — caranya menunduk, suaranya yang bergetar, dan tatapan matanya yang seolah masih menyimpan rahasia. Ia tahu Nira bukan tipe orang yang meninggalkan tanpa alasan. Ada sesuatu di balik semua itu. --- Telepon di meja tiba-tiba berdering. Raka menghela napas sebelum mengangkatnya. > “Ya, Raka di sini.” Suara di seberang terdengar ragu. > “Mas… ini Lira.” Raka langsung tegak. Lira — adik Nira. Suara yang sudah bertahun-tahun tak ia dengar. > “Lira?” tanyanya cepat. “Kenapa kamu tiba-tiba hubungi aku?” > “Aku… cuma mau bilang hati-hati.” “Hati-hati? Maksud kamu apa?” > “Nira nggak cerita apa-apa, kan?” “Cerita apa?” Hening. Suara Lira bergetar di ujung sana. > “Aku nggak boleh ngomong banyak. Tapi… kalau dia kembali, berarti waktunya sudah dekat.” > “Waktu apa, Lira?” > “Maaf, Mas. Aku harus tutup dulu.” Klik. Sambungan terputus. Raka menatap layar telepon dengan dahi berkerut. Waktunya sudah dekat? Apa maksudnya itu? Ia menatap jam dinding. Hampir pukul sebelas malam. Tapi rasa penasaran mengalahkan logika. Ia membuka laci, mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna coklat tua. Di dalamnya, ada foto lama — dirinya dan Nira di pantai, tertawa tanpa beban. Dan di bawah foto itu, selembar surat yang sudah mulai kusam. Surat itu ditulis tangan Nira, tapi tidak pernah ia kirimkan. Ia menemukannya beberapa bulan setelah Nira pergi, terselip di buku sketsa yang tertinggal di rumahnya. Tulisan di dalamnya hanya beberapa kalimat singkat: > “Raka, kalau kamu baca ini, mungkin aku sudah jauh. Aku bukan pergi karena lelah mencintaimu. Aku pergi karena mencintaimu terlalu dalam, dan aku nggak mau kamu hancur karenaku.” Raka menutup matanya, menggenggam surat itu erat. > “Apa maksudmu, Nira? Hancur karena apa?” Ia tak tahu. Tapi satu hal pasti — ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar cinta masa lalu. --- Jam menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas ketika Raka akhirnya memutuskan pulang. Ia mematikan lampu ruangan, tapi sebelum menutup pintu, ia sempat melirik sekali lagi ke kursi tempat Nira tadi berdiri. Ada bekas gelas di meja — sisa air putih yang belum ia buang. Raka menyentuhnya perlahan. Bekas bibir gelas itu masih hangat. Dan tanpa sadar, senyum kecil muncul di wajahnya — pahit, tapi jujur. > “Kamu masih bisa bikin aku gila, Nira,” bisiknya pelan. Lalu ia berjalan keluar, meninggalkan kantor yang kini sunyi. Namun jauh di dalam hati, ia tahu — malam itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih rumit. Karena rahasia yang disembunyikan Nira selama lima tahun… mulai mengejar mereka lagi. ---Raka menatap langit yang baru saja berhenti menangis. Bau tanah basah menyelinap di udara malam yang dingin. Di genggamannya, darah mengering di ujung jarinya — bukan darah siapa pun yang bisa ia pastikan. Tapi ia tahu satu hal: ia terlambat.Apartemen di depannya berantakan. Pintu utama rusak, separuh kusen terhempas seperti dihantam sesuatu yang sangat kuat. Di lantai, pecahan kaca berserakan, bercampur jejak langkah yang menuju keluar… dan hilang begitu saja di lorong yang basah.“Nira…” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi yang tersisa hanya laptop yang masih menyala di meja — satu-satunya sumber cahaya di tengah ruangan gelap itu.Raka berjalan mendekat. Di layar, file baru muncul secara otomatis.> Mirror_04.mp4Tangannya bergetar saat menekan tombol play.Layar menampilkan rekaman kabur. Di dalamnya, Nira terlihat berdiri di depan Alena. Suara mereka tak terdengar jelas, hanya gemuruh listrik dan denyut jantung dari
Udara dingin masih tertinggal, menyelusup lewat celah jendela apartemen yang setengah terbuka. Bau tanah basah bercampur aroma logam dan listrik terbakar—sisa dari gangguan yang mematikan lampu beberapa menit lalu.Nira berdiri mematung di tengah ruangan. Tatapannya terpaku pada sosok di depannya.Alena. Hidup. Nyata. Basah kuyup, tapi matanya penuh api.“Jangan takut,” suara Alena nyaris seperti bisikan.Namun tak ada yang menenangkan dalam nada itu—lebih seperti peringatan.“Gimana… bisa?” Nira berbisik, langkahnya mundur tanpa sadar. “Aku lihat sendiri datanya… kamu sudah—”“Mati?” Alena memotong, suaranya dingin. “Itu yang mereka ingin kau percayai.”Ia berjalan perlahan, setiap langkahnya memantulkan suara air dari lantai.“Raka yang menandatangani surat itu. Tapi dia pikir dia menyelamatkanku. Padahal… dia menghapusku.”Nira terdiam. Di dadanya, napasnya memburu.“Apa maksudmu, menghapusmu?”Alena berhenti satu meter di depannya. “Kesadaranku disalin. Mereka simpan duplikat piki
Suara gemuruh dari mesin tua menggema di lorong sempit itu. Lampu neon berkedip, menciptakan bayangan aneh di dinding yang lembap.Alena berdiri di depan layar besar, wajahnya diterangi cahaya biru pucat dari monitor. Di layar, dua wajah yang dulu ia kenal begitu baik — Raka dan Nira — kini tampak tegang, saling mencurigai.Ia menyentuh permukaan kaca monitor pelan, seperti membelai sesuatu yang rapuh.“Sudah mulai, ya…” gumamnya lirih, bibirnya membentuk senyum tipis yang entah sedih, entah puas.Di belakangnya, seorang pria bertubuh tinggi masuk ke ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan.“Semua sistem sudah jalan. Sinyal pengawasan dari gedung pusat terkunci. Mereka nggak akan sadar kau masih hidup.”Alena menatapnya sekilas. “Itu bagus. Tapi waktu kita nggak banyak. Raka udah mulai curiga.”Pria itu diam beberapa saat, lalu bertanya pelan, “Kau yakin masih mau lanjutkan ini, Alena? Setelah semua yang terjadi?”Alena menoleh, sorot matanya tajam. “Aku nggak punya pilihan. M
Suara hujan semakin deras malam itu. Nira masih duduk di lantai, matanya tak lepas dari jendela tempat siluet tadi berdiri. Tapi kini, bayangan itu telah menghilang.Yang tersisa hanyalah gemericik air dan pantulan lampu kota yang remang di kaca.Tangannya gemetar ketika meraih ponsel lagi. Nomor yang tadi menelepon sudah tak bisa dilacak—tidak ada riwayat, tidak ada panggilan keluar atau masuk. Seolah… panggilan itu tidak pernah terjadi.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya tetap berdegup tak beraturan.“‘Aku seseorang yang seharusnya sudah mati…’” gumamnya lirih, mengulang kata-kata itu.Suara itu—terdengar terlalu nyata untuk sekadar halusinasi. Terlalu dekat. Terlalu familiar.Alena.Nama itu berputar di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.Apakah mungkin… Alena masih hidup?Keesokan paginya, kantor terasa seperti labirin dingin. Semua orang berjalan terburu-buru, mata mereka menunduk, seolah ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan.Raka
Pagi itu udara terasa berat. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi suasana kantor sudah dipenuhi tekanan yang tak terlihat. Nira datang lebih pagi dari biasanya, namun entah kenapa langkahnya terasa ragu.Begitu memasuki lobi, ia melihat Reno—kepala keamanan—berbicara dengan dua orang berseragam hitam di depan ruang server. Begitu menyadari kehadirannya, Reno menunduk sopan.“Pagi, Bu Nira.”“Pagi. Ada apa di ruang server?” tanyanya pelan, mencoba terdengar tenang.Reno menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Ada beberapa rekaman yang hilang, Bu. Tepat malam sebelum email itu masuk.”Nira menegang. “Maksud kamu diretas lagi?”Reno menggeleng. “Bukan. Seseorang menghapusnya langsung dari sistem utama. Tapi yang aneh, file backup-nya juga lenyap. Seolah... orang itu tahu semua jalur penyimpanan.”Nira menatapnya dalam-dalam. “Kamu udah bilang Raka?”“Sudah, Bu. Tapi beliau minta saya nggak heboh dulu, takut bikin kepanikan di tim.”Nira hanya mengangguk. Tapi dalam hati, ia tahu—sesuatu
Pagi datang dengan sunyi yang ganjil.Langit tampak kelabu, seolah sisa hujan semalam masih menggantung di udara. Nira berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri — mata sembab, bibir kering, dan tatapan yang kehilangan arah.Raka masih di ruang kerja, menatap layar laptopnya dengan wajah keras. Sejak semalam, mereka hampir tak bicara. Hanya ada diam yang menggantung, menyimpan ratusan pertanyaan yang belum berani diucapkan.“Nira,” panggil Raka akhirnya, suaranya berat. “Aku butuh kamu hari ini ikut aku ke gedung arsip lama.”Nira menoleh. “Untuk apa?”“Ada dokumen merger lima tahun lalu yang baru ditemukan. Data itu bisa jelaskan kenapa nama Alena muncul lagi di sistem.”Nira menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk.Ia tahu — kalau mau menemukan jawaban, satu-satunya jalan adalah kembali ke masa lalu yang mereka hindari.Gedung arsip lama berdiri di pinggiran kota, di antara pohon-pohon tinggi dan tembok berlumut. Bangunannya sudah lama tak digunakan, se







