LOGINSuara hujan mengguyur kaca kantor malam itu. Lantai delapan yang biasanya ramai kini hanya menyisakan suara ketikan lembut dan detak jarum jam yang terasa terlalu keras di telinga Nira.
Tangannya berhenti di atas keyboard, menatap layar monitor yang menampilkan laporan keuangan — file yang beberapa minggu terakhir menjadi beban pikirannya. Ada sesuatu yang janggal. Kolom pengeluaran proyek ekspor tahun lalu, angka-angka itu... tidak masuk akal. Dan semakin dalam ia telusuri, semakin jelas bahwa laporan itu dipalsukan. “Nira.” Suara berat itu datang dari belakang, membuat jantungnya hampir berhenti. Raka berdiri di ambang pintu ruangannya, jasnya sedikit basah, wajahnya tajam menatap arah Nira. “Masih di sini?” tanyanya dingin. Nira buru-buru berdiri, mencoba menyembunyikan layar komputernya. “Tadi saya cuma—menyelesaikan laporan, Pak.” Tatapan Raka menurun, lalu berhenti tepat pada dokumen yang terbuka. Sekilas saja cukup bagi otaknya yang tajam untuk mengenali file itu. “Proyek ekspor?” suaranya datar, tapi ada ketegangan samar di ujungnya. “Iya,” jawab Nira pelan. “Ada beberapa data yang nggak sinkron.” Raka melangkah masuk. Setiap langkahnya berat, seolah membawa masa lalu bersamanya. “Dan kamu berpikir siapa yang bertanggung jawab?” Nada suaranya terdengar seperti ujian — dingin, menekan, tapi juga... takut. Nira menggigit bibirnya. “Saya belum tahu pasti. Tapi angka-angka ini terlalu rapi untuk sekadar kesalahan input. Kayak... ada yang sengaja menutupi sesuatu.” Keheningan jatuh di antara mereka. Hanya suara hujan yang masih menetes dari langit malam, menyelubungi ruangan itu dalam ketegangan yang menyesakkan. Lalu Raka berkata pelan, “Kamu selalu begitu, ya. Terlalu berani menyentuh hal yang seharusnya kamu jauhi.” Nira menatapnya, dan kali ini, tak ada lagi ketakutan. “Kalau dulu aku nggak berani, mungkin semuanya nggak akan berakhir seperti ini,” katanya lirih, matanya bergetar menahan sesuatu yang lama ia pendam. Raka terdiam. Tatapan mereka bertemu, dan seolah waktu berhenti di antara dua manusia yang dulu saling mencintai, lalu hancur karena sesuatu yang belum pernah benar-benar mereka bicarakan. “Aku harus tahu, Rak,” ucap Nira akhirnya. “Kenapa waktu itu kamu tiba-tiba membatalkan semuanya. Kenapa kamu biarin aku pergi tanpa penjelasan. Aku pikir aku kuat, tapi ternyata aku cuma berlari dari sesuatu yang bahkan aku nggak ngerti.” Raka memejamkan mata. Rahangnya mengeras. “Jangan buka luka lama itu, Nira.” “Luka itu nggak pernah tertutup!” seru Nira, suaranya pecah. Hening lagi. Hanya napas mereka berdua yang berat dan kacau. Raka menarik napas panjang, lalu berjalan ke arah jendela. Dari balik kaca, ia menatap hujan. “Waktu itu... aku menemukan sesuatu tentang ayahmu.” Kata-kata itu seperti petir yang menghantam dada Nira. “Ayahku?” suaranya nyaris tak terdengar. Raka mengangguk pelan. “Dia terlibat langsung dalam proyek ekspor fiktif itu. Dia yang pertama kali menyembunyikan dana perusahaan. Aku nggak bisa melaporkannya tanpa menghancurkan keluargamu.” Nira mundur satu langkah. Dunia seperti berputar. “Kamu... tahu dari dulu?” Raka menatapnya, mata hitamnya penuh kelelahan yang baru sekarang terlihat. “Aku tahu, Nira. Dan aku menutupinya. Demi kamu.” Air mata mengalir tanpa ia sadari. “Jadi... selama ini alasan kamu menjauh, dingin, semua itu—” “Supaya kamu nggak ikut hancur,” potong Raka cepat. Suaranya rendah, nyaris gemetar. “Kalau aku terus di sampingmu waktu itu, kamu bakal ikut terseret. Aku pikir dengan pergi, aku bisa melindungi kamu.” Nira terisak. “Kamu pikir meninggalkan seseorang itu bentuk perlindungan?” Raka menatapnya dalam-dalam. “Kalau satu-satunya cara menyelamatkanmu adalah dengan menjadi orang jahat di matamu… ya, aku rela.” Hening. Kata-kata itu menembus hati Nira, membelah segala amarah yang selama ini ia pelihara menjadi potongan-potongan kecil rasa iba dan cinta yang tak padam. Tapi sebelum ia sempat bicara lagi, pintu ruangannya terbuka. Suara langkah cepat, dan sekretaris Raka muncul dengan wajah pucat. “Pak, laporan dari tim audit baru masuk. Ada bukti baru terkait penyelewengan dana tahun itu. Dan...” Ia menelan ludah gugup. “Nama yang muncul di dokumen bukan ayah Nira, tapi—” “Siapa?” potong Raka tajam. Sekretaris itu menatap mereka berdua ragu, lalu akhirnya berkata, “Nama Bapak sendiri, Pak Raka.” Suasana seketika beku. Nira mematung, menatap Raka dengan pandangan yang campur aduk — bingung, takut, tak percaya. Raka tidak bergerak sedikit pun, tapi matanya berubah. Tatapan yang tadi penuh keteguhan kini tampak seperti jurang dalam yang menyimpan rahasia lain. Hujan di luar semakin deras, seperti ikut menenggelamkan segalanya. Raka menatap Nira pelan. “Kelihatannya... semuanya nggak sesederhana yang aku kira.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Nira sadar — rahasia lima tahun lalu hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih gelap.Hujan telah reda, tapi aroma tanah basah masih menggantung di udara.Gudang tempat Nira dan Raka berlindung kini dipenuhi keheningan, hanya suara sirene polisi dari kejauhan yang samar-samar terdengar.Raka duduk di hadapan Nira, tubuhnya basah kuyup, napasnya berat.Tangannya sedikit gemetar saat mencoba menyalakan korek dan menyalakan lampu darurat kecil di pojok ruangan.Cahaya oranye redup menyorot wajah mereka yang lelah — dua orang yang pernah saling mencintai, kini diikat oleh masa lalu yang mereka sendiri tak pahami sepenuhnya.Nira memeluk lututnya, menatap Raka dengan pandangan campuran antara takut, marah, dan rindu.Ia sudah lelah menebak-nebak, lelah menunggu kejujuran yang tak kunjung datang.“Sekarang jelaskan semuanya, Raka,” ucapnya datar. “Dari awal.”Raka menatapnya lama, lalu mengangguk pelan.“Oke. Kamu berhak tahu semuanya.”Ia menarik napas panjang.“Tiga tahun lalu, sebelum kamu pergi, perusahaan ayahmu—PT Sagara—sedang dalam tahap merger dengan perusahaan temp
Hujan belum juga berhenti sejak sore kemarin.Kota Jakarta tampak seperti tenggelam di bawah langit abu-abu yang murung, seolah ikut menanggung beban rahasia yang kini membelit hidup Nira.Ia menatap layar laptop di meja kamarnya, matanya menelusuri satu nama yang terus muncul dalam setiap berkas lama:Alena Rahmadani.Semakin ia gali, semakin jelas kalau semua jejak masalah perusahaan ayahnya mengarah ke sana. Tapi yang aneh — di laporan terakhir, nama Alena tiba-tiba hilang, seperti dihapus dengan sengaja.Hilang tanpa alasan.Dan tanggal penghapusan itu sama dengan hari Raka mundur dari jabatan lamanya tiga tahun lalu.Nira menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Apa semuanya saling terhubung?” bisiknya pada diri sendiri.Ia tahu satu hal pasti — kalau ia ingin tahu kebenaran, ia tak bisa lagi hanya menunggu Raka bicara. Ia harus mencari tahu sendiri.Pagi harinya, Nira menyelinap masuk ke gedung perusahaan tempat Raka bekerja.Ia memakai pakaian kasual, rambut diikat sederhana, dan menge
Pagi itu, langit Jakarta tampak muram, seolah ikut menyimpan rahasia yang belum sempat diungkap malam tadi.Nira terbangun di sofa apartemen Raka. Ia mengerjap pelan, menyadari posisi dirinya — masih di sana, dengan laptop yang terbuka di meja, penuh dokumen keuangan yang mereka pelajari semalam.Kepalanya berdenyut ringan, tapi bukan karena kurang tidur.Yang lebih sakit adalah pikirannya — memutar ulang kata-kata Raka tadi malam.“Ayahmu yang menyuruh aku menjauh.”Kalimat itu seperti racun yang pelan-pelan menyusup ke jantungnya.Ia tahu Raka tidak berbohong. Tapi menerima kenyataan itu tetap sulit. Bagaimana mungkin ayahnya sendiri menjadi penyebab kehancuran mereka?Suara pintu apartemen terbuka memotong pikirannya.Raka baru kembali, masih mengenakan kemeja putih yang kini agak basah karena hujan. Tangannya membawa dua gelas kopi.“Pagi,” sapanya datar, meletakkan salah satu gelas di depan Nira. “Kopi hitam tanpa gula. Masih suka yang itu, kan?”Nira menatapnya sebentar, lalu te
Keheningan di ruang itu terasa memekakkan.Suara hujan yang tadi terdengar samar kini berubah menjadi deras, seolah langit ikut menjerit bersama perasaan mereka.Raka masih berdiri di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah layar laptop yang kini menampilkan berkas audit.Nama itu jelas tertera di sana: Raka Adinata — tanda tangan, inisial, dan nomor rekening yang terhubung dengan transaksi ilegal.Nira menatapnya tanpa kata.Semua yang baru saja ia dengar tentang ayahnya, tentang alasan Raka menjauh… kini terasa seperti pecahan kaca yang menancap di dadanya.Ia ingin percaya bahwa Raka tidak bersalah. Tapi bukti di depannya berbicara lain.“Aku bisa jelasin,” ucap Raka akhirnya. Suaranya berat, hampir bergetar.“Tolong jangan langsung percaya isi laporan itu.”Nira melipat tangannya di dada, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Kamu pikir aku nggak mau percaya? Aku mau, Raka. Tapi semua ini—” ia menunjuk layar komputer, “
Suara hujan mengguyur kaca kantor malam itu. Lantai delapan yang biasanya ramai kini hanya menyisakan suara ketikan lembut dan detak jarum jam yang terasa terlalu keras di telinga Nira.Tangannya berhenti di atas keyboard, menatap layar monitor yang menampilkan laporan keuangan — file yang beberapa minggu terakhir menjadi beban pikirannya.Ada sesuatu yang janggal.Kolom pengeluaran proyek ekspor tahun lalu, angka-angka itu... tidak masuk akal.Dan semakin dalam ia telusuri, semakin jelas bahwa laporan itu dipalsukan.“Nira.”Suara berat itu datang dari belakang, membuat jantungnya hampir berhenti.Raka berdiri di ambang pintu ruangannya, jasnya sedikit basah, wajahnya tajam menatap arah Nira.“Masih di sini?” tanyanya dingin.Nira buru-buru berdiri, mencoba menyembunyikan layar komputernya. “Tadi saya cuma—menyelesaikan laporan, Pak.”Tatapan Raka menurun, lalu berhenti tepat pada dokumen yang terbuka. Sekilas saja cu
Hening.Suara langkah Raka terdengar jelas di ruangan yang setengah gelap itu. Setiap langkahnya membuat jantung Nira berdetak lebih cepat.> “Runtuh apa, Nira?”Nada suaranya dalam dan tenang, tapi dinginnya menusuk seperti es yang menempel di kulit.Nira menelan ludah. Tangannya refleks menutup laptop di hadapannya. “Kamu belum pulang, Pak?”Raka tidak menjawab. Ia berjalan mendekat perlahan, menatapnya tajam.> “Aku tanya sekali lagi,” katanya pelan, tapi tegas. “Apa yang kamu sembunyikan?”Nira memalingkan wajah. “Nggak ada.”> “Nira.”Sekali lagi suara itu memanggil, kali ini lebih rendah, tapi mengandung ancaman.“Tadi aku dengar kamu bilang soal ‘runtuh’. Tentang siapa?”> “Aku cuma ngomong sendiri, Pak. Lagi stres.”> “Jangan bohong.”Raka menatapnya lama. Tatapan itu bukan lagi sekadar tatapan atasan ke bawahan — itu tatapan seor







