LOGINKeheningan di ruang itu terasa memekakkan.
Suara hujan yang tadi terdengar samar kini berubah menjadi deras, seolah langit ikut menjerit bersama perasaan mereka. Raka masih berdiri di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah layar laptop yang kini menampilkan berkas audit. Nama itu jelas tertera di sana: Raka Adinata — tanda tangan, inisial, dan nomor rekening yang terhubung dengan transaksi ilegal. Nira menatapnya tanpa kata. Semua yang baru saja ia dengar tentang ayahnya, tentang alasan Raka menjauh… kini terasa seperti pecahan kaca yang menancap di dadanya. Ia ingin percaya bahwa Raka tidak bersalah. Tapi bukti di depannya berbicara lain. “Aku bisa jelasin,” ucap Raka akhirnya. Suaranya berat, hampir bergetar. “Tolong jangan langsung percaya isi laporan itu.” Nira melipat tangannya di dada, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Kamu pikir aku nggak mau percaya? Aku mau, Raka. Tapi semua ini—” ia menunjuk layar komputer, “—nggak mungkin muncul tanpa alasan.” Raka berjalan mendekat, namun langkahnya terasa ragu. “Seseorang sengaja menaruh namaku di situ. Aku tahu karena file aslinya dulu nggak pernah pakai tanda tangan elektronik. Ini palsu.” “Siapa yang bisa melakukan itu?” tanya Nira, nadanya lembut tapi curiga. “Orang yang punya akses ke sistem keuangan waktu itu,” jawab Raka singkat. “Dan itu bukan kamu, bukan juga aku. Tapi seseorang dari dewan direksi lama.” Nira memejamkan mata. Semua terasa kacau. Lima tahun lalu, ia kehilangan cinta dan keluarganya di waktu bersamaan. Dan sekarang, rahasia yang dulu membuat mereka terpisah justru kembali dalam bentuk yang lebih mengerikan. “Kenapa baru sekarang muncul?” gumamnya lirih. “Karena seseorang ingin menghancurkan aku,” jawab Raka tegas. “Dan aku takut... mereka juga akan menyeret kamu lagi.” Ia menatap Nira — tatapan yang selama ini dingin, kini berubah menjadi campuran antara rasa bersalah dan ketakutan. “Dengar, Nira. Apa pun yang terjadi, jangan percaya siapa pun dulu. Termasuk aku, kalau perlu.” Kalimat itu membuat Nira tertegun. “Kenapa kamu ngomong gitu?” “Karena aku nggak tahu lagi siapa musuhku sekarang,” ucapnya pelan. “Dan kalau kamu terlalu dekat, kamu bisa ikut dijatuhkan.” Nira menghela napas berat. Di satu sisi, ia ingin marah. Ingin menuduh, ingin tahu kebenaran tanpa harus menebak-nebak. Tapi di sisi lain, ia tahu Raka — ia tahu pria itu bukan tipe yang mudah menyerah atau bersembunyi di balik kebohongan. “Aku nggak akan lari lagi, Rak,” ucapnya tiba-tiba. Raka menoleh, terkejut. “Lima tahun lalu aku pergi karena takut. Tapi sekarang aku nggak mau ngulang kesalahan yang sama.” Nira menatap matanya dalam-dalam. “Kalau kamu bilang kamu nggak salah, aku akan bantu cari buktinya.” Keheningan kembali menyelimuti, tapi kali ini bukan karena kebingungan — melainkan keputusan. Raka menatapnya lama, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, bibirnya melengkung sedikit. “Kamu belum berubah, ya?” Nira tersenyum samar. “Sayangnya, enggak.” Malam itu, mereka bekerja bersama dalam diam. File demi file dibuka, dokumen lama diperiksa, tanggal transaksi dicocokkan. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari saat Nira menemukan sesuatu yang membuat darahnya berdesir. “Raka, lihat ini,” katanya cepat. Ia menunjuk satu file bernama Report_Oct2019_backup.xlsx. “Ada dua versi laporan. Satu yang dikirim ke pusat, satu lagi disimpan di server lama.” Raka menatap layar dengan seksama. Kedua laporan itu hampir identik, tapi satu hal kecil berbeda: kode transaksi terakhir. Yang di server baru mencantumkan nomor rekening atas nama Raka, sedangkan yang lama menunjukkan nama lain — Bima Prasetyo, mantan direktur keuangan. “Dia...” bisik Raka, wajahnya menegang. “Dia yang waktu itu aku laporkan ke komisaris. Tapi berkasnya... hilang.” Nira menatapnya tajam. “Berarti dia yang menaruh namamu di sistem baru.” “Bima udah lama keluar dari perusahaan,” gumam Raka, lebih kepada dirinya sendiri. “Tapi dia masih punya koneksi. Kalau dia berani buat laporan palsu, berarti dia masih main di balik layar.” Nira menarik napas cepat. “Kita harus kasih tahu tim audit.” “Belum,” Raka menahan. “Kalau kita lapor sekarang, dia bisa hapus semua bukti. Kita butuh waktu.” Nira menatap Raka tak setuju. “Tapi ini berisiko.” “Aku tahu,” Raka menatapnya dalam. “Tapi aku nggak mau kamu terlibat terlalu jauh.” Nira mendengus pelan. “Terlambat. Aku udah terlibat dari awal.” Ia menatap Raka tajam, suaranya bergetar tapi mantap. “Kalau kamu jatuh, aku juga jatuh. Jadi jangan coba lagi nyuruh aku menjauh.” Ucapan itu menembus Raka lebih dalam daripada yang bisa ia tunjukkan. Ia memalingkan wajah, tapi senyum samar muncul di ujung bibirnya. “Aku lupa... kamu keras kepala dari dulu.” “Dan kamu masih suka nyembunyiin semuanya sendiri,” balas Nira. Untuk sesaat, keduanya tertawa kecil. Tapi tawa itu hanya bertahan sebentar, karena bunyi notifikasi email tiba-tiba memecah suasana. Nira membuka layar. Sebuah pesan masuk dengan subjek: “Kamu nggak akan pernah bisa menyembunyikan kebenaran, Nira.” Tangannya gemetar saat membaca isi email itu — foto dirinya dan Raka malam ini di kantor, diambil diam-diam dari luar jendela. Raka segera berdiri dan memeriksa sekeliling, menatap ke arah jendela yang menampakkan pantulan lampu kota. Tak ada siapa pun di luar, hanya bayangan gelap di antara hujan. “Dia tahu kita buka file-nya,” kata Raka pelan, suaranya tajam. “Berarti orang itu masih punya akses ke sistem internal,” balas Nira. “Dan dia ngikutin kita.” Raka berjalan ke arah pintu, memastikan ruang sekitar aman. “Mulai sekarang kita nggak bisa kerja di kantor lagi. Semua data harus kamu simpan di luar server perusahaan.” “Di mana?” tanya Nira cepat. Raka menatapnya. “Di tempat yang nggak akan mereka duga — apartemenku.” Beberapa jam kemudian, mereka tiba di apartemen Raka. Udara dingin dari luar masih menempel di tubuh mereka. Nira menatap ruangan itu — luas, rapi, tapi terasa sepi. “Aku belum pernah ke sini,” katanya pelan. “Memang nggak pernah,” jawab Raka datar, sambil menaruh laptop di meja makan. “Aku nggak pernah bawa siapa pun ke sini sejak kamu pergi.” Kalimat itu membuat dada Nira menghangat dan perih di saat bersamaan. Ia mendekat, memperhatikan wajah Raka yang kini tampak lebih lelah dari biasanya. Ada garis-garis halus di sudut matanya, tanda beban yang tak pernah benar-benar ia lepaskan. “Raka,” panggil Nira lembut. Ia menatapnya. “Kalau semua ini beneran jebakan, kita harus lawan bareng. Tapi kamu harus janji satu hal.” “Apa?” “Jangan sembunyiin apa pun lagi dari aku. Sekalipun itu nyakitin.” Raka menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Aku janji.” Nira menghela napas lega, lalu duduk di kursi seberang. Tapi sebelum ia sempat membuka laptop lagi, Raka berkata lirih, “Ada satu hal yang belum aku bilang...” Nira menoleh, keningnya berkerut. Raka menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan — campuran antara takut dan keputusasaan. “Ayahmu... dia nggak sepenuhnya bersih, Nira. Sebagian laporan itu memang bener. Tapi yang nggak kamu tahu, uang itu bukan untuk dirinya.” Nira menatap Raka dengan mata melebar. “Maksudmu?” Raka menelan ludah. “Dia transfer sebagian dana itu... ke rekeningku. Tapi bukan untuk aku — untuk seseorang yang dia suruh lindungi. Dan aku tahu siapa orang itu.” Hening panjang. “Aku,” lanjut Raka perlahan. “Ayahmu yang nyuruh aku menjauh dari kamu.” Kata-kata itu membuat seluruh dunia Nira berhenti berputar. Ia menatap Raka, tubuhnya membeku, mulutnya terbuka tapi tak ada suara keluar. Air matanya mengalir pelan, menyatu dengan rasa marah, kecewa, dan kasih yang tak pernah padam. Malam itu, di bawah lampu redup apartemen Raka, dua jiwa yang terluka kembali dihadapkan pada kenyataan pahit: bahwa cinta mereka mungkin lahir dari kebohongan yang tak pernah mereka minta.Raka menatap langit yang baru saja berhenti menangis. Bau tanah basah menyelinap di udara malam yang dingin. Di genggamannya, darah mengering di ujung jarinya — bukan darah siapa pun yang bisa ia pastikan. Tapi ia tahu satu hal: ia terlambat.Apartemen di depannya berantakan. Pintu utama rusak, separuh kusen terhempas seperti dihantam sesuatu yang sangat kuat. Di lantai, pecahan kaca berserakan, bercampur jejak langkah yang menuju keluar… dan hilang begitu saja di lorong yang basah.“Nira…” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi yang tersisa hanya laptop yang masih menyala di meja — satu-satunya sumber cahaya di tengah ruangan gelap itu.Raka berjalan mendekat. Di layar, file baru muncul secara otomatis.> Mirror_04.mp4Tangannya bergetar saat menekan tombol play.Layar menampilkan rekaman kabur. Di dalamnya, Nira terlihat berdiri di depan Alena. Suara mereka tak terdengar jelas, hanya gemuruh listrik dan denyut jantung dari
Udara dingin masih tertinggal, menyelusup lewat celah jendela apartemen yang setengah terbuka. Bau tanah basah bercampur aroma logam dan listrik terbakar—sisa dari gangguan yang mematikan lampu beberapa menit lalu.Nira berdiri mematung di tengah ruangan. Tatapannya terpaku pada sosok di depannya.Alena. Hidup. Nyata. Basah kuyup, tapi matanya penuh api.“Jangan takut,” suara Alena nyaris seperti bisikan.Namun tak ada yang menenangkan dalam nada itu—lebih seperti peringatan.“Gimana… bisa?” Nira berbisik, langkahnya mundur tanpa sadar. “Aku lihat sendiri datanya… kamu sudah—”“Mati?” Alena memotong, suaranya dingin. “Itu yang mereka ingin kau percayai.”Ia berjalan perlahan, setiap langkahnya memantulkan suara air dari lantai.“Raka yang menandatangani surat itu. Tapi dia pikir dia menyelamatkanku. Padahal… dia menghapusku.”Nira terdiam. Di dadanya, napasnya memburu.“Apa maksudmu, menghapusmu?”Alena berhenti satu meter di depannya. “Kesadaranku disalin. Mereka simpan duplikat piki
Suara gemuruh dari mesin tua menggema di lorong sempit itu. Lampu neon berkedip, menciptakan bayangan aneh di dinding yang lembap.Alena berdiri di depan layar besar, wajahnya diterangi cahaya biru pucat dari monitor. Di layar, dua wajah yang dulu ia kenal begitu baik — Raka dan Nira — kini tampak tegang, saling mencurigai.Ia menyentuh permukaan kaca monitor pelan, seperti membelai sesuatu yang rapuh.“Sudah mulai, ya…” gumamnya lirih, bibirnya membentuk senyum tipis yang entah sedih, entah puas.Di belakangnya, seorang pria bertubuh tinggi masuk ke ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan.“Semua sistem sudah jalan. Sinyal pengawasan dari gedung pusat terkunci. Mereka nggak akan sadar kau masih hidup.”Alena menatapnya sekilas. “Itu bagus. Tapi waktu kita nggak banyak. Raka udah mulai curiga.”Pria itu diam beberapa saat, lalu bertanya pelan, “Kau yakin masih mau lanjutkan ini, Alena? Setelah semua yang terjadi?”Alena menoleh, sorot matanya tajam. “Aku nggak punya pilihan. M
Suara hujan semakin deras malam itu. Nira masih duduk di lantai, matanya tak lepas dari jendela tempat siluet tadi berdiri. Tapi kini, bayangan itu telah menghilang.Yang tersisa hanyalah gemericik air dan pantulan lampu kota yang remang di kaca.Tangannya gemetar ketika meraih ponsel lagi. Nomor yang tadi menelepon sudah tak bisa dilacak—tidak ada riwayat, tidak ada panggilan keluar atau masuk. Seolah… panggilan itu tidak pernah terjadi.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya tetap berdegup tak beraturan.“‘Aku seseorang yang seharusnya sudah mati…’” gumamnya lirih, mengulang kata-kata itu.Suara itu—terdengar terlalu nyata untuk sekadar halusinasi. Terlalu dekat. Terlalu familiar.Alena.Nama itu berputar di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.Apakah mungkin… Alena masih hidup?Keesokan paginya, kantor terasa seperti labirin dingin. Semua orang berjalan terburu-buru, mata mereka menunduk, seolah ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan.Raka
Pagi itu udara terasa berat. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi suasana kantor sudah dipenuhi tekanan yang tak terlihat. Nira datang lebih pagi dari biasanya, namun entah kenapa langkahnya terasa ragu.Begitu memasuki lobi, ia melihat Reno—kepala keamanan—berbicara dengan dua orang berseragam hitam di depan ruang server. Begitu menyadari kehadirannya, Reno menunduk sopan.“Pagi, Bu Nira.”“Pagi. Ada apa di ruang server?” tanyanya pelan, mencoba terdengar tenang.Reno menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Ada beberapa rekaman yang hilang, Bu. Tepat malam sebelum email itu masuk.”Nira menegang. “Maksud kamu diretas lagi?”Reno menggeleng. “Bukan. Seseorang menghapusnya langsung dari sistem utama. Tapi yang aneh, file backup-nya juga lenyap. Seolah... orang itu tahu semua jalur penyimpanan.”Nira menatapnya dalam-dalam. “Kamu udah bilang Raka?”“Sudah, Bu. Tapi beliau minta saya nggak heboh dulu, takut bikin kepanikan di tim.”Nira hanya mengangguk. Tapi dalam hati, ia tahu—sesuatu
Pagi datang dengan sunyi yang ganjil.Langit tampak kelabu, seolah sisa hujan semalam masih menggantung di udara. Nira berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri — mata sembab, bibir kering, dan tatapan yang kehilangan arah.Raka masih di ruang kerja, menatap layar laptopnya dengan wajah keras. Sejak semalam, mereka hampir tak bicara. Hanya ada diam yang menggantung, menyimpan ratusan pertanyaan yang belum berani diucapkan.“Nira,” panggil Raka akhirnya, suaranya berat. “Aku butuh kamu hari ini ikut aku ke gedung arsip lama.”Nira menoleh. “Untuk apa?”“Ada dokumen merger lima tahun lalu yang baru ditemukan. Data itu bisa jelaskan kenapa nama Alena muncul lagi di sistem.”Nira menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk.Ia tahu — kalau mau menemukan jawaban, satu-satunya jalan adalah kembali ke masa lalu yang mereka hindari.Gedung arsip lama berdiri di pinggiran kota, di antara pohon-pohon tinggi dan tembok berlumut. Bangunannya sudah lama tak digunakan, se







