LOGINHening.
Suara langkah Raka terdengar jelas di ruangan yang setengah gelap itu. Setiap langkahnya membuat jantung Nira berdetak lebih cepat. > “Runtuh apa, Nira?” Nada suaranya dalam dan tenang, tapi dinginnya menusuk seperti es yang menempel di kulit. Nira menelan ludah. Tangannya refleks menutup laptop di hadapannya. “Kamu belum pulang, Pak?” Raka tidak menjawab. Ia berjalan mendekat perlahan, menatapnya tajam. > “Aku tanya sekali lagi,” katanya pelan, tapi tegas. “Apa yang kamu sembunyikan?” Nira memalingkan wajah. “Nggak ada.” > “Nira.” Sekali lagi suara itu memanggil, kali ini lebih rendah, tapi mengandung ancaman. “Tadi aku dengar kamu bilang soal ‘runtuh’. Tentang siapa?” > “Aku cuma ngomong sendiri, Pak. Lagi stres.” > “Jangan bohong.” Raka menatapnya lama. Tatapan itu bukan lagi sekadar tatapan atasan ke bawahan — itu tatapan seorang lelaki yang hatinya berperang antara percaya dan takut kehilangan lagi. > “Kamu pikir aku nggak kenal kamu?” katanya, suaranya meninggi sedikit. “Kamu masih kayak dulu, Nira. Setiap kali kamu takut, kamu berbohong.” Kata-kata itu menusuk. Nira ingin membalas, tapi tenggorokannya kering. Ia hanya bisa menatap lantai, menahan air mata. > “Kenapa kamu balik, Nira?” tanya Raka lagi. “Kenapa sekarang? Setelah lima tahun?” > “Aku cuma mau kerja.” Raka tertawa pendek, sarkastik. “Kerja? Di perusahaan aku, kebetulan banget?” Ia melangkah makin dekat, sampai jarak di antara mereka hanya sejengkal. > “Atau kamu punya alasan lain?” Nira mundur setapak, tapi punggungnya membentur meja. Ia benar-benar terjebak. > “Aku nggak punya alasan lain,” katanya pelan. Raka menatapnya lama. “Kamu bohong lagi.” Hening. Hanya bunyi detak jam dan napas mereka yang berat memenuhi ruangan itu. > “Kamu tahu nggak, lima tahun aku nyari kamu?” suara Raka kini bergetar. “Aku nyaris gila, Nira. Semua orang bilang kamu pergi karena udah bosen sama aku. Tapi aku tahu itu nggak benar. Aku tahu ada sesuatu.” Nira menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh. > “Aku nggak bisa jelasin.” > “Kenapa?” > “Karena kalau aku jelasin, kamu bakal benci aku!” Suara Nira pecah di ujung kalimat. Ruangan mendadak hening. Raka terpaku. Ia belum pernah melihat Nira semenyedihkan itu — wajahnya basah, bahunya bergetar, matanya penuh ketakutan. > “Kamu pikir aku belum cukup benci selama ini?” kata Raka akhirnya, suaranya rendah dan parau. “Tapi tetap aja aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Lima tahun, Nira. Lima tahun aku nunggu alasan.” Air mata Nira jatuh. “Aku nggak mau kamu tahu, Rak. Itu aja.” > “Aku harus tahu.” Raka mengulurkan tangan, menyentuh pergelangan tangannya dengan lembut tapi kuat. “Kamu pikir aku bisa tidur tenang sementara kamu nyembunyiin sesuatu yang jelas-jelas nyakitin kamu sendiri?” Nira mencoba menarik tangannya, tapi Raka menahan. “Lepas, Raka…” > “Bilang dulu.” > “Aku nggak bisa!” > “Kenapa nggak bisa?” > “Karena ini tentang keluargamu!” Suara itu menggema. Hening seketika menelan ruangan. Raka membeku. Tatapannya berubah dari amarah jadi bingung. “Apa maksudmu?” Nira menutup mulutnya, menyesal sudah terlanjur bicara. Tapi sudah terlambat. > “Keluargaku?” ulang Raka pelan. “Nira, kamu jangan main-main.” > “Aku nggak main-main…” suara Nira gemetar. “Aku cuma pengin semuanya baik-baik aja.” > “Baik-baik aja?” Raka mendekat lagi. “Kamu ngilang lima tahun, kamu ninggalin aku tanpa alasan, kamu datang lagi, dan sekarang kamu bilang ini tentang keluargaku?!” > “Raka, tolong jangan tanya lagi.” > “Kamu harus jawab!” Suara Raka akhirnya pecah. Bentakan itu membuat Nira terkejut, tapi bukan karena takut — karena ia tahu, di balik kemarahan itu ada luka. Ia mengangkat wajahnya perlahan, matanya berair. “Kalau aku jawab, kamu bakal kehilangan segalanya.” Raka menatapnya lama. “Kamu pikir aku peduli sama segalanya itu?” > “Aku tahu kamu peduli. Aku tahu kamu sayang ayahmu, perusahaanmu. Dan justru itu alasan kenapa aku harus pergi waktu itu.” Raka terdiam. Nafasnya berat, seperti baru saja ditusuk dari dalam. > “Ayahku?” suaranya nyaris berbisik. “Apa hubungannya ayahku sama semua ini?” Nira menunduk. “Aku nggak bisa bilang. Belum.” > “Belum?!” > “Aku cuma butuh waktu!” Nira menatapnya putus asa. “Percaya sama aku, Rak. Sekali ini aja.” Untuk pertama kalinya, Raka tak punya kata-kata. Ia hanya menatapnya lama — penuh emosi yang campur aduk antara marah, bingung, dan cinta yang belum padam. Beberapa detik terasa seperti seabad. Akhirnya, Raka melepaskan genggaman tangannya perlahan. “Kamu selalu bilang butuh waktu. Tapi waktu itu kamu malah pergi.” > “Aku nggak akan pergi lagi.” > “Aku nggak yakin bisa percaya.” Raka berbalik, melangkah ke pintu tanpa menoleh lagi. Tapi sebelum keluar, ia berhenti sejenak. > “Kamu punya waktu tiga hari, Nira. Setelah itu, aku yang bakal cari tahu sendiri.” Pintu tertutup. Suara langkahnya menjauh di koridor, meninggalkan Nira yang kini jatuh terduduk, menutup wajah dengan kedua tangannya. Air matanya tumpah tanpa bisa ia tahan lagi. Karena ia tahu — begitu Raka mulai mencari tahu, semua yang selama ini ia lindungi… akan hancur.Raka menatap langit yang baru saja berhenti menangis. Bau tanah basah menyelinap di udara malam yang dingin. Di genggamannya, darah mengering di ujung jarinya — bukan darah siapa pun yang bisa ia pastikan. Tapi ia tahu satu hal: ia terlambat.Apartemen di depannya berantakan. Pintu utama rusak, separuh kusen terhempas seperti dihantam sesuatu yang sangat kuat. Di lantai, pecahan kaca berserakan, bercampur jejak langkah yang menuju keluar… dan hilang begitu saja di lorong yang basah.“Nira…” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi yang tersisa hanya laptop yang masih menyala di meja — satu-satunya sumber cahaya di tengah ruangan gelap itu.Raka berjalan mendekat. Di layar, file baru muncul secara otomatis.> Mirror_04.mp4Tangannya bergetar saat menekan tombol play.Layar menampilkan rekaman kabur. Di dalamnya, Nira terlihat berdiri di depan Alena. Suara mereka tak terdengar jelas, hanya gemuruh listrik dan denyut jantung dari
Udara dingin masih tertinggal, menyelusup lewat celah jendela apartemen yang setengah terbuka. Bau tanah basah bercampur aroma logam dan listrik terbakar—sisa dari gangguan yang mematikan lampu beberapa menit lalu.Nira berdiri mematung di tengah ruangan. Tatapannya terpaku pada sosok di depannya.Alena. Hidup. Nyata. Basah kuyup, tapi matanya penuh api.“Jangan takut,” suara Alena nyaris seperti bisikan.Namun tak ada yang menenangkan dalam nada itu—lebih seperti peringatan.“Gimana… bisa?” Nira berbisik, langkahnya mundur tanpa sadar. “Aku lihat sendiri datanya… kamu sudah—”“Mati?” Alena memotong, suaranya dingin. “Itu yang mereka ingin kau percayai.”Ia berjalan perlahan, setiap langkahnya memantulkan suara air dari lantai.“Raka yang menandatangani surat itu. Tapi dia pikir dia menyelamatkanku. Padahal… dia menghapusku.”Nira terdiam. Di dadanya, napasnya memburu.“Apa maksudmu, menghapusmu?”Alena berhenti satu meter di depannya. “Kesadaranku disalin. Mereka simpan duplikat piki
Suara gemuruh dari mesin tua menggema di lorong sempit itu. Lampu neon berkedip, menciptakan bayangan aneh di dinding yang lembap.Alena berdiri di depan layar besar, wajahnya diterangi cahaya biru pucat dari monitor. Di layar, dua wajah yang dulu ia kenal begitu baik — Raka dan Nira — kini tampak tegang, saling mencurigai.Ia menyentuh permukaan kaca monitor pelan, seperti membelai sesuatu yang rapuh.“Sudah mulai, ya…” gumamnya lirih, bibirnya membentuk senyum tipis yang entah sedih, entah puas.Di belakangnya, seorang pria bertubuh tinggi masuk ke ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan.“Semua sistem sudah jalan. Sinyal pengawasan dari gedung pusat terkunci. Mereka nggak akan sadar kau masih hidup.”Alena menatapnya sekilas. “Itu bagus. Tapi waktu kita nggak banyak. Raka udah mulai curiga.”Pria itu diam beberapa saat, lalu bertanya pelan, “Kau yakin masih mau lanjutkan ini, Alena? Setelah semua yang terjadi?”Alena menoleh, sorot matanya tajam. “Aku nggak punya pilihan. M
Suara hujan semakin deras malam itu. Nira masih duduk di lantai, matanya tak lepas dari jendela tempat siluet tadi berdiri. Tapi kini, bayangan itu telah menghilang.Yang tersisa hanyalah gemericik air dan pantulan lampu kota yang remang di kaca.Tangannya gemetar ketika meraih ponsel lagi. Nomor yang tadi menelepon sudah tak bisa dilacak—tidak ada riwayat, tidak ada panggilan keluar atau masuk. Seolah… panggilan itu tidak pernah terjadi.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya tetap berdegup tak beraturan.“‘Aku seseorang yang seharusnya sudah mati…’” gumamnya lirih, mengulang kata-kata itu.Suara itu—terdengar terlalu nyata untuk sekadar halusinasi. Terlalu dekat. Terlalu familiar.Alena.Nama itu berputar di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.Apakah mungkin… Alena masih hidup?Keesokan paginya, kantor terasa seperti labirin dingin. Semua orang berjalan terburu-buru, mata mereka menunduk, seolah ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan.Raka
Pagi itu udara terasa berat. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi suasana kantor sudah dipenuhi tekanan yang tak terlihat. Nira datang lebih pagi dari biasanya, namun entah kenapa langkahnya terasa ragu.Begitu memasuki lobi, ia melihat Reno—kepala keamanan—berbicara dengan dua orang berseragam hitam di depan ruang server. Begitu menyadari kehadirannya, Reno menunduk sopan.“Pagi, Bu Nira.”“Pagi. Ada apa di ruang server?” tanyanya pelan, mencoba terdengar tenang.Reno menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Ada beberapa rekaman yang hilang, Bu. Tepat malam sebelum email itu masuk.”Nira menegang. “Maksud kamu diretas lagi?”Reno menggeleng. “Bukan. Seseorang menghapusnya langsung dari sistem utama. Tapi yang aneh, file backup-nya juga lenyap. Seolah... orang itu tahu semua jalur penyimpanan.”Nira menatapnya dalam-dalam. “Kamu udah bilang Raka?”“Sudah, Bu. Tapi beliau minta saya nggak heboh dulu, takut bikin kepanikan di tim.”Nira hanya mengangguk. Tapi dalam hati, ia tahu—sesuatu
Pagi datang dengan sunyi yang ganjil.Langit tampak kelabu, seolah sisa hujan semalam masih menggantung di udara. Nira berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri — mata sembab, bibir kering, dan tatapan yang kehilangan arah.Raka masih di ruang kerja, menatap layar laptopnya dengan wajah keras. Sejak semalam, mereka hampir tak bicara. Hanya ada diam yang menggantung, menyimpan ratusan pertanyaan yang belum berani diucapkan.“Nira,” panggil Raka akhirnya, suaranya berat. “Aku butuh kamu hari ini ikut aku ke gedung arsip lama.”Nira menoleh. “Untuk apa?”“Ada dokumen merger lima tahun lalu yang baru ditemukan. Data itu bisa jelaskan kenapa nama Alena muncul lagi di sistem.”Nira menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk.Ia tahu — kalau mau menemukan jawaban, satu-satunya jalan adalah kembali ke masa lalu yang mereka hindari.Gedung arsip lama berdiri di pinggiran kota, di antara pohon-pohon tinggi dan tembok berlumut. Bangunannya sudah lama tak digunakan, se







