Home / Rumah Tangga / Luka Yang Tak Pernah Selesai / BAB 13 – API YANG TAK PADAM

Share

BAB 13 – API YANG TAK PADAM

Author: Adeliaraaa
last update Last Updated: 2025-10-18 19:00:39

Hening.

Suara langkah Raka terdengar jelas di ruangan yang setengah gelap itu. Setiap langkahnya membuat jantung Nira berdetak lebih cepat.

> “Runtuh apa, Nira?”

Nada suaranya dalam dan tenang, tapi dinginnya menusuk seperti es yang menempel di kulit.

Nira menelan ludah. Tangannya refleks menutup laptop di hadapannya. “Kamu belum pulang, Pak?”

Raka tidak menjawab. Ia berjalan mendekat perlahan, menatapnya tajam.

> “Aku tanya sekali lagi,” katanya pelan, tapi tegas. “Apa yang kamu sembunyikan?”

Nira memalingkan wajah. “Nggak ada.”

> “Nira.”

Sekali lagi suara itu memanggil, kali ini lebih rendah, tapi mengandung ancaman.

“Tadi aku dengar kamu bilang soal ‘runtuh’. Tentang siapa?”

> “Aku cuma ngomong sendiri, Pak. Lagi stres.”

> “Jangan bohong.”

Raka menatapnya lama. Tatapan itu bukan lagi sekadar tatapan atasan ke bawahan — itu tatapan seorang lelaki yang hatinya berperang antara percaya dan takut kehilangan lagi.

> “Kamu pikir aku nggak kenal kamu?” katanya, suaranya meninggi sedikit. “Kamu masih kayak dulu, Nira. Setiap kali kamu takut, kamu berbohong.”

Kata-kata itu menusuk.

Nira ingin membalas, tapi tenggorokannya kering. Ia hanya bisa menatap lantai, menahan air mata.

> “Kenapa kamu balik, Nira?” tanya Raka lagi. “Kenapa sekarang? Setelah lima tahun?”

> “Aku cuma mau kerja.”

Raka tertawa pendek, sarkastik. “Kerja? Di perusahaan aku, kebetulan banget?”

Ia melangkah makin dekat, sampai jarak di antara mereka hanya sejengkal.

> “Atau kamu punya alasan lain?”

Nira mundur setapak, tapi punggungnya membentur meja. Ia benar-benar terjebak.

> “Aku nggak punya alasan lain,” katanya pelan.

Raka menatapnya lama. “Kamu bohong lagi.”

Hening. Hanya bunyi detak jam dan napas mereka yang berat memenuhi ruangan itu.

> “Kamu tahu nggak, lima tahun aku nyari kamu?” suara Raka kini bergetar. “Aku nyaris gila, Nira. Semua orang bilang kamu pergi karena udah bosen sama aku. Tapi aku tahu itu nggak benar. Aku tahu ada sesuatu.”

Nira menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh.

> “Aku nggak bisa jelasin.”

> “Kenapa?”

> “Karena kalau aku jelasin, kamu bakal benci aku!”

Suara Nira pecah di ujung kalimat. Ruangan mendadak hening. Raka terpaku. Ia belum pernah melihat Nira semenyedihkan itu — wajahnya basah, bahunya bergetar, matanya penuh ketakutan.

> “Kamu pikir aku belum cukup benci selama ini?” kata Raka akhirnya, suaranya rendah dan parau. “Tapi tetap aja aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Lima tahun, Nira. Lima tahun aku nunggu alasan.”

Air mata Nira jatuh. “Aku nggak mau kamu tahu, Rak. Itu aja.”

> “Aku harus tahu.”

Raka mengulurkan tangan, menyentuh pergelangan tangannya dengan lembut tapi kuat. “Kamu pikir aku bisa tidur tenang sementara kamu nyembunyiin sesuatu yang jelas-jelas nyakitin kamu sendiri?”

Nira mencoba menarik tangannya, tapi Raka menahan. “Lepas, Raka…”

> “Bilang dulu.”

> “Aku nggak bisa!”

> “Kenapa nggak bisa?”

> “Karena ini tentang keluargamu!”

Suara itu menggema. Hening seketika menelan ruangan.

Raka membeku. Tatapannya berubah dari amarah jadi bingung. “Apa maksudmu?”

Nira menutup mulutnya, menyesal sudah terlanjur bicara. Tapi sudah terlambat.

> “Keluargaku?” ulang Raka pelan. “Nira, kamu jangan main-main.”

> “Aku nggak main-main…” suara Nira gemetar. “Aku cuma pengin semuanya baik-baik aja.”

> “Baik-baik aja?” Raka mendekat lagi. “Kamu ngilang lima tahun, kamu ninggalin aku tanpa alasan, kamu datang lagi, dan sekarang kamu bilang ini tentang keluargaku?!”

> “Raka, tolong jangan tanya lagi.”

> “Kamu harus jawab!”

Suara Raka akhirnya pecah. Bentakan itu membuat Nira terkejut, tapi bukan karena takut — karena ia tahu, di balik kemarahan itu ada luka.

Ia mengangkat wajahnya perlahan, matanya berair. “Kalau aku jawab, kamu bakal kehilangan segalanya.”

Raka menatapnya lama. “Kamu pikir aku peduli sama segalanya itu?”

> “Aku tahu kamu peduli. Aku tahu kamu sayang ayahmu, perusahaanmu. Dan justru itu alasan kenapa aku harus pergi waktu itu.”

Raka terdiam. Nafasnya berat, seperti baru saja ditusuk dari dalam.

> “Ayahku?” suaranya nyaris berbisik. “Apa hubungannya ayahku sama semua ini?”

Nira menunduk. “Aku nggak bisa bilang. Belum.”

> “Belum?!”

> “Aku cuma butuh waktu!” Nira menatapnya putus asa. “Percaya sama aku, Rak. Sekali ini aja.”

Untuk pertama kalinya, Raka tak punya kata-kata. Ia hanya menatapnya lama — penuh emosi yang campur aduk antara marah, bingung, dan cinta yang belum padam.

Beberapa detik terasa seperti seabad.

Akhirnya, Raka melepaskan genggaman tangannya perlahan. “Kamu selalu bilang butuh waktu. Tapi waktu itu kamu malah pergi.”

> “Aku nggak akan pergi lagi.”

> “Aku nggak yakin bisa percaya.”

Raka berbalik, melangkah ke pintu tanpa menoleh lagi. Tapi sebelum keluar, ia berhenti sejenak.

> “Kamu punya waktu tiga hari, Nira. Setelah itu, aku yang bakal cari tahu sendiri.”

Pintu tertutup. Suara langkahnya menjauh di koridor, meninggalkan Nira yang kini jatuh terduduk, menutup wajah dengan kedua tangannya.

Air matanya tumpah tanpa bisa ia tahan lagi.

Karena ia tahu — begitu Raka mulai mencari tahu, semua yang selama ini ia lindungi… akan hancur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 18 — KEBENARAN YANG TAK PERNAH SEDERHANA

    Hujan telah reda, tapi aroma tanah basah masih menggantung di udara.Gudang tempat Nira dan Raka berlindung kini dipenuhi keheningan, hanya suara sirene polisi dari kejauhan yang samar-samar terdengar.Raka duduk di hadapan Nira, tubuhnya basah kuyup, napasnya berat.Tangannya sedikit gemetar saat mencoba menyalakan korek dan menyalakan lampu darurat kecil di pojok ruangan.Cahaya oranye redup menyorot wajah mereka yang lelah — dua orang yang pernah saling mencintai, kini diikat oleh masa lalu yang mereka sendiri tak pahami sepenuhnya.Nira memeluk lututnya, menatap Raka dengan pandangan campuran antara takut, marah, dan rindu.Ia sudah lelah menebak-nebak, lelah menunggu kejujuran yang tak kunjung datang.“Sekarang jelaskan semuanya, Raka,” ucapnya datar. “Dari awal.”Raka menatapnya lama, lalu mengangguk pelan.“Oke. Kamu berhak tahu semuanya.”Ia menarik napas panjang.“Tiga tahun lalu, sebelum kamu pergi, perusahaan ayahmu—PT Sagara—sedang dalam tahap merger dengan perusahaan temp

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 17 — DALAM BAYANGAN PERMAINAN MEREKA

    Hujan belum juga berhenti sejak sore kemarin.Kota Jakarta tampak seperti tenggelam di bawah langit abu-abu yang murung, seolah ikut menanggung beban rahasia yang kini membelit hidup Nira.Ia menatap layar laptop di meja kamarnya, matanya menelusuri satu nama yang terus muncul dalam setiap berkas lama:Alena Rahmadani.Semakin ia gali, semakin jelas kalau semua jejak masalah perusahaan ayahnya mengarah ke sana. Tapi yang aneh — di laporan terakhir, nama Alena tiba-tiba hilang, seperti dihapus dengan sengaja.Hilang tanpa alasan.Dan tanggal penghapusan itu sama dengan hari Raka mundur dari jabatan lamanya tiga tahun lalu.Nira menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Apa semuanya saling terhubung?” bisiknya pada diri sendiri.Ia tahu satu hal pasti — kalau ia ingin tahu kebenaran, ia tak bisa lagi hanya menunggu Raka bicara. Ia harus mencari tahu sendiri.Pagi harinya, Nira menyelinap masuk ke gedung perusahaan tempat Raka bekerja.Ia memakai pakaian kasual, rambut diikat sederhana, dan menge

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 16 — BAYANGAN DARI MASA LALU

    Pagi itu, langit Jakarta tampak muram, seolah ikut menyimpan rahasia yang belum sempat diungkap malam tadi.Nira terbangun di sofa apartemen Raka. Ia mengerjap pelan, menyadari posisi dirinya — masih di sana, dengan laptop yang terbuka di meja, penuh dokumen keuangan yang mereka pelajari semalam.Kepalanya berdenyut ringan, tapi bukan karena kurang tidur.Yang lebih sakit adalah pikirannya — memutar ulang kata-kata Raka tadi malam.“Ayahmu yang menyuruh aku menjauh.”Kalimat itu seperti racun yang pelan-pelan menyusup ke jantungnya.Ia tahu Raka tidak berbohong. Tapi menerima kenyataan itu tetap sulit. Bagaimana mungkin ayahnya sendiri menjadi penyebab kehancuran mereka?Suara pintu apartemen terbuka memotong pikirannya.Raka baru kembali, masih mengenakan kemeja putih yang kini agak basah karena hujan. Tangannya membawa dua gelas kopi.“Pagi,” sapanya datar, meletakkan salah satu gelas di depan Nira. “Kopi hitam tanpa gula. Masih suka yang itu, kan?”Nira menatapnya sebentar, lalu te

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 15 — DI BALIK NAMA ITU

    Keheningan di ruang itu terasa memekakkan.Suara hujan yang tadi terdengar samar kini berubah menjadi deras, seolah langit ikut menjerit bersama perasaan mereka.Raka masih berdiri di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah layar laptop yang kini menampilkan berkas audit.Nama itu jelas tertera di sana: Raka Adinata — tanda tangan, inisial, dan nomor rekening yang terhubung dengan transaksi ilegal.Nira menatapnya tanpa kata.Semua yang baru saja ia dengar tentang ayahnya, tentang alasan Raka menjauh… kini terasa seperti pecahan kaca yang menancap di dadanya.Ia ingin percaya bahwa Raka tidak bersalah. Tapi bukti di depannya berbicara lain.“Aku bisa jelasin,” ucap Raka akhirnya. Suaranya berat, hampir bergetar.“Tolong jangan langsung percaya isi laporan itu.”Nira melipat tangannya di dada, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Kamu pikir aku nggak mau percaya? Aku mau, Raka. Tapi semua ini—” ia menunjuk layar komputer, “

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 14 — RAHASIA YANG AKHIRNYA MUNCUL

    Suara hujan mengguyur kaca kantor malam itu. Lantai delapan yang biasanya ramai kini hanya menyisakan suara ketikan lembut dan detak jarum jam yang terasa terlalu keras di telinga Nira.Tangannya berhenti di atas keyboard, menatap layar monitor yang menampilkan laporan keuangan — file yang beberapa minggu terakhir menjadi beban pikirannya.Ada sesuatu yang janggal.Kolom pengeluaran proyek ekspor tahun lalu, angka-angka itu... tidak masuk akal.Dan semakin dalam ia telusuri, semakin jelas bahwa laporan itu dipalsukan.“Nira.”Suara berat itu datang dari belakang, membuat jantungnya hampir berhenti.Raka berdiri di ambang pintu ruangannya, jasnya sedikit basah, wajahnya tajam menatap arah Nira.“Masih di sini?” tanyanya dingin.Nira buru-buru berdiri, mencoba menyembunyikan layar komputernya. “Tadi saya cuma—menyelesaikan laporan, Pak.”Tatapan Raka menurun, lalu berhenti tepat pada dokumen yang terbuka. Sekilas saja cu

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 13 – API YANG TAK PADAM

    Hening.Suara langkah Raka terdengar jelas di ruangan yang setengah gelap itu. Setiap langkahnya membuat jantung Nira berdetak lebih cepat.> “Runtuh apa, Nira?”Nada suaranya dalam dan tenang, tapi dinginnya menusuk seperti es yang menempel di kulit.Nira menelan ludah. Tangannya refleks menutup laptop di hadapannya. “Kamu belum pulang, Pak?”Raka tidak menjawab. Ia berjalan mendekat perlahan, menatapnya tajam.> “Aku tanya sekali lagi,” katanya pelan, tapi tegas. “Apa yang kamu sembunyikan?”Nira memalingkan wajah. “Nggak ada.”> “Nira.”Sekali lagi suara itu memanggil, kali ini lebih rendah, tapi mengandung ancaman.“Tadi aku dengar kamu bilang soal ‘runtuh’. Tentang siapa?”> “Aku cuma ngomong sendiri, Pak. Lagi stres.”> “Jangan bohong.”Raka menatapnya lama. Tatapan itu bukan lagi sekadar tatapan atasan ke bawahan — itu tatapan seor

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status