Home / Rumah Tangga / Luka Yang Tak Pernah Selesai / BAB 6 – KEBENARAN YANG TERTUNDA

Share

BAB 6 – KEBENARAN YANG TERTUNDA

Author: Adeliaraaa
last update Last Updated: 2025-10-08 00:22:17

Pagi itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya.

Nira menatap bayangannya di cermin kecil meja kerja. Wajahnya tampak lelah, lingkar hitam di bawah matanya samar-samar terlihat.

Ia belum tidur sejak pertemuan tadi malam — kata-kata Raka terus berputar di kepalanya seperti lagu yang tak mau berhenti.

“Kali ini, jangan pergi tanpa penjelasan.”

Kalimat itu seperti tusukan lembut di dada.

Raka masih marah, ya. Tapi di balik nada dinginnya, Nira tahu… ada sisa perasaan yang belum padam.

Dan justru itu yang membuat segalanya makin rumit.

Ia meneguk kopi dingin di mejanya, mencoba fokus pada layar komputer. Tapi huruf-huruf di monitor tampak kabur.

Yang ia lihat hanyalah pantulan wajahnya sendiri — seorang perempuan yang mencoba terlihat kuat, padahal hatinya masih di masa lalu.

Ketukan di pintu membuatnya tersadar.

“Masuk,” katanya cepat.

Reza muncul dengan senyum ramah. “Pagi, Bu Nira. Pak Raka minta tolong laporan revisi kemarin dikirim ke ruangannya jam sebelas, ya.”

“Baik, Mas Reza,” jawab Nira sopan, berusaha menyembunyikan nada gugup di suaranya.

Begitu Reza keluar, Nira menunduk.

Hatinya berdebar. Ia tahu cepat atau lambat, ia harus bertemu lagi dengan Raka. Tapi kali ini, setelah semalam mereka bicara, semuanya terasa berbeda. Ada jarak baru — bukan karena marah, tapi karena kebenaran yang belum siap diucapkan.

Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas tepat.

Nira berdiri di depan pintu ruang kerja Raka, menatap plat nama bertuliskan Raka Adinata – CEO.

Nama itu dulu begitu sering ia tulis di buku catatan, kini terasa asing sekaligus akrab di waktu yang sama.

Ia mengetuk pelan. “Permisi, Pak.”

“Masuk,” jawab suara berat dari dalam.

Begitu pintu terbuka, aroma khas kopi hitam langsung menyeruak. Raka duduk di balik meja besar, mengenakan kemeja putih dan dasi gelap.

Tatapan matanya singkat, tapi cukup untuk membuat dada Nira kembali bergetar.

“Ini laporan revisi yang Bapak minta,” ucap Nira datar, meletakkan map di meja.

Raka mengangguk, menerima tanpa banyak bicara.

Beberapa detik hening.

Hanya suara jarum jam dan detak jantung yang saling beradu dalam diam.

“Kamu nggak tidur, ya?” tanya Raka tiba-tiba.

Nada suaranya lembut, jauh dari nada dingin yang biasa.

Nira menatapnya kaget. “Kok Bapak tahu?”

“Kelihatan dari mata kamu.”

Raka menatapnya lama, seolah mencoba membaca isi hatinya. “Pertemuan semalam ganggu pikiran kamu?”

Nira terdiam, bibirnya gemetar sebelum akhirnya ia menjawab, “Ya. Tapi bukan karena kamu marah. Lebih karena aku takut.”

“Takut apa?”

“Takut semuanya terulang lagi,” jawabnya lirih.

Raka menatapnya dalam diam. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi sebelum sempat, suara ketukan lain di pintu terdengar.

Reza masuk membawa berkas.

“Maaf ganggu, Pak. Ini laporan dari tim legal. Oh iya, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Bu Nira. Katanya penting.”

Nira menoleh. “Siapa?”

“Namanya Pak Aryo. Dari Yayasan Dahana.”

Wajah Nira langsung pucat.

Raka memperhatikan perubahan itu. “Ada masalah?”

Nira berusaha tersenyum. “Nggak, cuma… nggak nyangka aja dia datang ke sini.”

Raka menatapnya curiga, tapi tak bertanya lagi.

Begitu Reza keluar, Nira buru-buru mengemasi map-nya dan berkata, “Saya pamit dulu, Pak. Nanti saya kirim laporan tambahan lewat email.”

Raka hanya mengangguk, tapi matanya mengikuti langkah Nira sampai pintu tertutup.

Nama “Yayasan Dahana” bukan nama asing di kepalanya.

Ia ingat — lima tahun lalu, sesaat sebelum Nira menghilang, seseorang dari yayasan itu sempat datang ke rumah mereka.

Dan sejak itu, semuanya berubah.

Di ruang bawah, Nira berdiri di depan seorang pria paruh baya dengan rambut beruban sebagian — Pak Aryo.

Matanya lembut tapi tegas, dan senyumnya menenangkan seperti dulu.

“Sudah lama, Nira,” katanya pelan. “Aku tahu kamu nggak mau ditemui di sini, tapi ini mendesak.”

Nira mengangguk pelan. “Saya tahu. Tapi tolong jangan bahas hal itu di sini. Aku nggak mau Raka tahu.”

Pak Aryo menghela napas berat. “Kamu nggak bisa terus sembunyikan ini. Kondisi anak itu makin parah.”

Dunia Nira seolah berhenti sejenak.

Matanya memanas. “Saya tahu, Pak. Tapi saya lagi nyari cara. Tolong beri saya sedikit waktu lagi.”

Pak Aryo menatapnya iba. “Nira, kamu nggak bisa terus tanggung semuanya sendirian. Anak itu butuh bantuan medis lebih cepat.”

Air mata mengalir tanpa bisa ditahan.

“Kalau Raka tahu sekarang, dia bakal ninggalin semua yang udah dia bangun. Aku nggak mau itu terjadi lagi. Aku pergi dulu pun buat lindungin dia dari ini…”

Suara Nira pecah di tengah kalimat.

Pak Aryo menghela napas panjang, lalu menepuk bahunya lembut.

“Aku tahu kamu sayang dia. Tapi kadang, menyembunyikan kebenaran bukan bentuk cinta, Nira. Itu cuma menunda luka yang lebih besar.”

Nira mengangguk, tapi hatinya remuk.

“Biar aku yang tanggung dulu, Pak. Aku janji… setelah aku siap, aku bakal kasih tahu semuanya.”

Pak Aryo hanya menatapnya lama, lalu pergi meninggalkan ruangan dengan langkah berat.

Setelah pria itu pergi, Nira duduk di kursi ruang tamu kantor, menatap kosong ke depan.

Air matanya mengalir tanpa suara. Di tangannya, ia menggenggam foto kecil yang selama ini ia simpan di dompet — foto seorang anak laki-laki berumur lima tahun dengan mata besar dan senyum manis.

“Mama, kapan Ayah pulang?”

Suara itu menggema di kepalanya, membuat dadanya nyeri.

Anak itu… hasil dari cinta yang dulu ia tinggalkan.

Alasan sebenarnya kenapa ia pergi.

Ia menatap foto itu erat, suaranya bergetar di antara isak pelan.

“Sebentar lagi, Nak. Mama cuma butuh waktu sedikit lagi.”

Dan di lantai atas, tanpa ia sadari, Raka berdiri di depan jendela ruangannya — menatap ke bawah, ke arah lobi, tempat Nira dan Pak Aryo tadi berbicara.

Dari kejauhan, ia melihat Nira menangis sambil menggenggam sesuatu di tangannya.

Wajah Raka mengeras.

Untuk pertama kalinya sejak lima tahun lalu, ia merasakan rasa takut yang berbeda — bukan karena kehilangan, tapi karena perasaan bahwa selama ini… ada kebenaran besar yang tak pernah ia tahu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 9 – KEBENARAN YANG DISEMBUNYIKAN

    Pagi di Jakarta berjalan seperti biasa—padat, bising, dan terburu-buru. Tapi di hati Raka, segalanya terasa lambat, berat, seperti langkah yang tak tahu arah. Ia berdiri di balkon apartemennya, secangkir kopi hitam di tangan, memandangi jalanan yang mulai ramai di bawah sana.Ia tidak tidur semalaman.Kata-kata Nira terus terulang di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.> “Aku pergi karena ibuku sakit.”“Aku nggak mau jadi beban kamu, Raka.”Raka meneguk kopinya yang kini sudah dingin. Ia ingin percaya. Ia memang percaya. Tapi di balik semua itu, ada perasaan ganjil—seolah Nira masih menyembunyikan sesuatu. Ia tahu tatapan Nira semalam, cara matanya bergetar saat bicara. Itu bukan tatapan orang yang sudah berkata semuanya.Dan nalurinya jarang salah.---Beberapa jam kemudian, di kantor, suasana terasa tegang tapi tenang di permukaan. Semua orang sibuk dengan proyek masing-masing. Nira duduk di me

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 8 – ALASAN YANG TAK TERUCAP

    Hujan belum berhenti sejak sore.Langit gelap, diselimuti awan tebal, dan suara petir sesekali terdengar menggema di kejauhan. Di apartemen kecilnya, Nira duduk bersandar di sofa, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh sudah dingin. Di ponselnya, pesan dari Raka masih terbuka.> “Kamu bilang waktu itu harus memilih. Tapi siapa yang kamu pilih, Nira?”Ia menatap pesan itu lama, lalu meletakkan ponselnya di meja. Matanya terasa panas.Raka memang pantas marah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam luka tanpa penjelasan. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan hingga kini masih menghantui dirinya sendiri?---Lima tahun lalu.Hari itu, Nira berlari keluar dari rumah sakit dengan air mata menetes di wajah. Di tangannya, ia menggenggam surat hasil pemeriksaan—tulisan dokter yang dingin dan singkat, tapi menghancurkan seluruh dunianya.> “Ibu Sulastri men

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 7 – LUKA YANG BELUM SEMBUH

    Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus lewat celah jendela ruang kerja Nira yang belum juga ia tutup, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Lampu-lampu gedung tinggi di luar berkelip samar, sementara di dalam ruangan, hanya bunyi kipas angin kecil dan detak jarum jam yang mengisi kesunyian. Nira menatap layar laptop yang masih menampilkan laporan desain yang belum selesai. Tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia mencoba fokus, tapi setiap kali menatap angka dan diagram, wajah Raka kembali muncul di benaknya—tatapan tajamnya, caranya diam tapi penuh arti, hingga nada suaranya yang kini terdengar lebih dalam, lebih dewasa… lebih dingin. Sudah dua hari sejak pertemuan itu di kafe. Dua hari sejak ia mengatakan bahwa ia tidak berniat kembali ke masa lalu, padahal hatinya berbohong. Dan dua hari juga sejak Raka mengirim pesan terakhir yang belum ia balas. “Kalau bukan cinta, lalu apa yang tersisa, Nira?” Pertanyaan itu terus menggema di kepala. Ia ing

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 6 – KEBENARAN YANG TERTUNDA

    Pagi itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya. Nira menatap bayangannya di cermin kecil meja kerja. Wajahnya tampak lelah, lingkar hitam di bawah matanya samar-samar terlihat. Ia belum tidur sejak pertemuan tadi malam — kata-kata Raka terus berputar di kepalanya seperti lagu yang tak mau berhenti. “Kali ini, jangan pergi tanpa penjelasan.” Kalimat itu seperti tusukan lembut di dada. Raka masih marah, ya. Tapi di balik nada dinginnya, Nira tahu… ada sisa perasaan yang belum padam. Dan justru itu yang membuat segalanya makin rumit. Ia meneguk kopi dingin di mejanya, mencoba fokus pada layar komputer. Tapi huruf-huruf di monitor tampak kabur. Yang ia lihat hanyalah pantulan wajahnya sendiri — seorang perempuan yang mencoba terlihat kuat, padahal hatinya masih di masa lalu. Ketukan di pintu membuatnya tersadar. “Masuk,” katanya cepat. Reza muncul dengan senyum ramah. “Pagi, Bu Nira. Pak Raka minta tolong laporan revisi kemarin dikirim ke ruangannya jam sebelas, ya.” “Bai

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 5 – PERTEMUAN YANG TIDAK DIINGINKAN

    Nira menatap jam dinding di ruangannya. Jarum panjang sudah lewat angka delapan, tapi jemarinya masih menekan-nekan papan keyboard dengan ritme gugup. Semua karyawan lain sudah pulang, lampu-lampu kantor mulai diredupkan, hanya tersisa cahaya putih dari layar komputer yang memantul di wajahnya. Satu pesan dari Raka sejak tadi tak juga ia buka. “Temui saya di ruang rapat lantai dua puluh pukul delapan malam.” Nada pesannya pendek, formal, seperti biasa. Tapi Nira tahu — ini bukan tentang pekerjaan. Dan justru karena itu, napasnya terasa berat sejak menerima pesan itu sore tadi. Sudah lima tahun. Lima tahun ia berusaha menata hidup, meyakinkan diri bahwa semua sudah selesai. Tapi begitu Raka kembali hadir di depan matanya, semua pertahanan itu ambruk seperti pasir tersapu ombak. Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuh. “Aku harus hadapi ini,” bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya nyaris tak terdengar. Ruang rapat di lantai dua puluh terasa terlalu besar malam itu. Lamp

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 4 – RAHASIA YANG TAK PERNAH USAI

    Raka berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu pucat, seperti meniru isi kepalanya yang berantakan. Dari lantai dua puluh, dunia tampak kecil. Mobil-mobil berdesakan di bawah sana, orang-orang sibuk berlari mengejar waktu. Dan ia—berdiri di balik kaca, tampak tenang di luar, tapi di dalam dadanya, badai sedang berkecamuk. Lima tahun. Sudah lima tahun ia hidup dengan kesibukan, dengan kerja keras, dengan ambisi yang menumpuk—semua demi melupakan satu nama: Nira. Namun semua usahanya runtuh hanya dalam satu detik ketika pagi tadi perempuan itu melangkah masuk ke ruangannya, dengan wajah yang sama, senyum yang sama, dan tatapan yang sama… hanya sedikit lebih lelah. Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang. Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu—ke malam terakhir sebelum Nira pergi. Ia masih ingat hujan deras di luar jendela, aroma kopi yang mulai dingin di meja, dan pesan singkat di ponselnya: “Maaf, Rak. Aku harus pergi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status